Parada Harahap |
Parada Harahap, lahir tahun 1899 di Pargaroetan, Padang Sidempoean. Pada usia 14 tahun merantau ke Deli. Bekerja di perkebunan sebagai krani. Tidak tahan melihat penderitaan para koeli di perkebunan, Parada Harahap coba bongkar kasus kekejaman di perkebunan (poenali sanctie). Laporannya dikirim ke redaksi koran Benih Mardeka di Medan. Tindakan keberanian ini menyebabkan Parada Harahap dipecat sebagai krani, lalu bergabung dengan Benih Mardeka menjadi editor (1918). Ketika koran Benih Mardeka.dilarang terbit karena penanggungjawabnya didakwa, Parada Harahap menerbitkan koran Sinar Merdeka di Padang Sidempoean (1919). Tahun 1922 Parada Harahap masuk gerakan pemuda di Sibolga dan selanjutnya hijrah ke Batavia menjadi wartawan dan mendirikan kantor berita Alpena, lalu menerbitkan Bintang Hindia.
Pargarutan, Padang Sidempuan
Di Batavia, Parada Harahap mendirikan klub sepakbola Bataksche Voetbal Vereeniging (De Sumatra post, 29-09-1925). Diapresiasi orang asing sebagai de beste journalisten van de Europeescbe pers (De Indische courant, 23-12-1925). Karirnya di bidang pers melejit, menerbitkan koran Bintang Timoer (1926). Parada Harahap adalah mentor Soekarno-Hatta (memancing Soekarno keluar kampus dan membimbing Hatta ke Jepang). Parada Harahap adalah pemilik belasan surat kabar yang dijuluki sebagai The King of the Javapress (Bataviaasch nieuwsblad 29-12-1933). Parada Harahap tidak punya 'hutang' kepada Belanda dan malah sebeliknya Parada Harahap selalu dimusuhi (101 kali disidang di meja hijau dan belasan kali dipenjarakan). Parada dan orang Indonesia pertama yang menyeberang dan berkunjung ke Jepang yang disambut bagai Menteri Luar Negeri Indonesi. Parada Harahap adalah pendiri PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) dan pendiri Persatuan Suratkabar Indonesia. Parada Harahap adalah pendiri Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia dan pendiri Akademi Wartawan serta pendiri Kopertis. Parada Harahap adalah sekretaris PPPKI yang menyelenggarakan Kongres Pemuda (1928) dan Parada Harahap adalah satu-satunya orang Batak yang menjadi anggota BPUPK (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan). Parada Harahap memimpin misi dagang dan industri Indonesia ke 15 negara dan ketua pembuat REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun) pada tahun 1957. Jangan lupa: Parada Harahap adalah orangtua yang ideal dan harmonis: putrinya, 'boru panggoaran' Aida Dalkit Harahap adalah perempuan pertama ahli hukum dari Sumatra (satu dari dua di Hindia Belanda) [Rangkaian sejarah perjalanan hidup Parada Harahap ini dapat anda baca mulai dari bagian tengah artikel ini].
Parada Harahap, pemain sepakbola
***
Sumatra Courant, edisi No. 25 Tahun 1862 |
Pertja Barat vs
Pertja Timor
koran Pertja Barat, milik Dja Endar Moeda |
Sumatra Courant edisi terakhir 11-8-1900 |
Sumatra Post terbit di Medan (edisi perdana, 2-12-1898) |
Radja Surat Kabar |
Iklan penerbitan Pertja Timor (De Sumatra post, 25-07-1902) |
Dengan
semakin meningkatnya ketidakadilan oleh pemerintahan colonial, Dja Endar Moeda
semakin kritis di dalam pemberitaan. Sejumlah peringatan sebelumnya tidak
digubris Dja Endar Moeda. Pertja Barat dan Sumatraasch Nieuwsblad memberitakan
kasus terlarang. Kedua editor dituntut. Dja Endar Moeda dihukum cambuk dan korannya dibreidel, sedangkan K. Baumer hanya dihukum denda dan korannya tetap bisa terbit (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 30-11-1905). Diskriminasi terjadi.
Atas
kasus delik pers yang dialami Dja Endar Moeda kemudian memindahkan investasinya
dan tersebar di Sibolga, Padang Sidempoean, Medan dan Kotaradja (Banda Aceh).
Sementara Pertja Barat dialihkan kepada adiknya Dja Endar Bongsoe. Di Medan, Dja Endar Moeda membuka bisnis percetakan dan menerbitkan surat
kabar. Percetakan Dja Endar Moeda ini mendirikan klub sepakbola bernama
Letterzetter Voetbal Club (1903) dan korannya mendirikan klub Tapanoeli Voetbal
Club (1907). Dja Endar Moeda mulai merintis di Kotaradja dan menerbitkan koran
Pemberita Atjeh (1909). Koran Dja Endar Moeda di Medan diahlihkan kepada
kawan-kawannya dan diterbitkan koran baru bernama Pewarta Deli (1910). Semboyan koran Pertja Barat dan Pewarta Deli persis sama: 'Organ
Boeat Segala Bangsa'.
***
Koran
Pertja Timor di Medan mulai mendapat saingan dengan terbitnya koran-koran
berbahasa Melayu lainnya. Koran Pertja Timor merasa perlu meningkatkan kualitas
agar tiras terdongkrak. Kini saatnya memerlukan editor yang berkualitas. Kronologisnya
mirip dengan koran Pertja Barat dulu. Kebetulan ada seorang perantau baru tiba
di Medan dan menganggur karena dipecat sebagai jaksa di Natal (Tapanoeli). Mangaradja Salamboewe menjadi jaksa di Natal
sejak 1897. Perantau ini bernama Mangaradja Salamboewe. Anak seorang dokter di
Mandheling en Ankola ini dipecat karena desersi karena tidak tahan melihat
ketidakadilan pemerintah colonial dan terjun ke lapangan mengadvokasi
masyarakat. Mangaradja Salamboewe tidak
memusingkannya dan malah senang (makin bebas untuk berjuang dengan rakyat).
Manajemen
Pertja Timor menawari Mangaradja Salamboewe posisi editor. Gayung bersambut,
kedua belah pihak saling membutuhkan. Terbukti dengan masuknya Mangaradja
Salamboewe (1903) tiras Pertja Timor naik pesat. Soal kepiawaian tidak kalah
dengan Saleh Harahap gelar (Mangara)Dja Endar Moeda di Pertja Barat, karena Abdul
Hasan Nasoetion gelar Mangaradja Salamboewe sama-sama alumni Kweekschool Padang
Sidempoean. Hanya saja, Mangaradja Salamboewe tidak menjadi guru tetapi menjadi
penulis di Kantor Residen di Sibolga sebelum diangkat menjadi jaksa. Kemampuan
menulis dan pengalaman di peradilan membuat Mangaradja Salamboewe menjadi
wartawan pribumi yang disegani.
Koran
Sumtra Post yang dikutip juga oleh Bataviaasch nieuwsblad mengakui bahwa
Maharadja Salamboewe memiliki keingintahuan yang tinggi, memiliki kemampuan
jurnalistik yang hebat. Koran ini juga mengakui bahwa Maharadja Salamboewe
memiliki pena yang tajam dan memiliki kemampuan menulis yang jauh lebih baik
disbanding wartawan-wartawan pribumi yang ada. Hebatnya lagi, masih pengakuan
koran ini, Maharadja Salamboewe selain sangat suka membela rakyat kecil,
Maharadja Salamboewe juga sering membela insane dunia jurnalistik baik
wartawannya maupun korannya. Kami juga respek terhadap dia, demikian diakui
oleh koran Sumatra Post yang juga diamini oleh Koran Bataviaasch nieuwsblad.
Mangaradja
Salamboewe tidak berumur panjang. De Sumatra post edisi 29-05-1908 memberitakan
kematian wartawan pemberani ini. Dalam berita koran ini, editor juga
mengungkapkan rasa duka cita yang dalam, karena Maharadja Salamboewe tidak
hanya membela rakyatnya tetapi juga dunia jurnalistik (yang sebagian besar
wartawan pada waktu itu berbagsa Belanda/Eropa). Editor ini melanjutkan bahwa "Di dalam seratoes orang pribumi tidak
ada satoe yang begitoe brani’. Saat mana
Maharadja Salamboewe di waktu pemakamannya hampir semua wartawan Medan hadir
termasuk yang berbangsa Belanda. Abdul Hasan gelar Maharadja Salamboewe
dimakamkan di tempat pemakaman Jalan Sungai Mati.
Penerus
Mangaradja Salamboewe di koran Pertja Timor adalah Soetan Parlindoengan.
Pewarta Deli vs
Sinar Deli
Dja
Endar Moeda yang coba mengadu peruntungan dalam bisnis pers di Medan tidak
berhasil. Pertja Timor sudah terlalu kuat ketika Dja Endar Moeda memulai bisnis
media di Medan. Koran Dja Endar Moeda selalu di bawah bayang-bayang koran
Pertja Timor asuhan Mangaradja Salamboewe. Melihat kenyataan ini, Dja Endar
Moeda coba merintis di wilayah baru di Kotaradja, sementara korannya di Medan
distrukturisasi dengan manajemen baru dengan mengangkat editor sebagai
penggantinya.
Dja
Endar Moeda dengan korannya Pemberita Atjeh (terbit pertama kali 1909)
terbilang sukses di Atjeh. Sementara korannya di Medan yang diberi nama baru
Pewarta Deli dengan editor Panoesoenan gelar Soetan Zeri Moeda yang terbit
pertama kali tahun 1910 ternyata sukses. Sukses Pewarta Deli ini besar
kemungkinan karena Pertja Timor mulai kalah pamor karena tidak menggigit lagi
setelah tidak digawangi oleh Mangaradja Salamboewe.
koran Pewarta Deli di Medan, 1910 |
***
Redaktur
yang berasal dari Padang Sidempoean tiada putusnya. Hilang satu tumbuh seratus.
Baru-baru ini (1914) seorang anak muda belia sudah berada di Deli namanya
Parada Harahap. Umurnya baru lima belas tahun, pendidikannya hanya lulus
sekolah rakyat di kampong Pargaroetan, Padang Sidempoan. Parada Harahap bekerja
di perkebunan di Sungai Karang sebagai asisten krani (asisten kepala kantor
perkebunan). Parada Harahap memiliki memory lapse sangat tinggi dan di
kantornya Parada harahap dapat menggantikan juru buku berkebangsaan Jerman. Parada Harahap dijuluki sebagai akuntan.
koran Benih Merdeka di Medan, media pertama kata merdeka |
Selama bekerja di perkebunan itu
Parada Harahap terus belajar supaya dapat berbicara bahasa Belanda membaca
surat kabar De Sumatera Post. Semangat belajar Parada Harahap luar biasa. Sejak
membaca Sumatra Post, Parada Harahap semakin terbuka pemikirannya. Lebih-lebih
dengan terbitnya koran baru berbahasa Melayu, Benih Merdeka yang sangat intens
menyoroti ketidakadilan utamanya soal koeli di perkebunan. Lambat laun rasa
keadilan Parada Harahap mulai memuncak.
Benih Mardeka vs Sinar Merdeka
Benih
Mardeka terbit pertamakali di Medan tahun 1916. Editor pertama koran Benih Mardeka
ini adalah Mohamad Samin. Semboyan koran baru ini adalah 'Orgaan Oentoek
Menoentoet Keadilan dan Kemerdekaan'. Klop dengan jiwa Parada Harahap (apalagi
Parada Harahap berasal dari keluarga pejuang di Pargaroetan).
Mohamad Samin,
seorang mantan kepala krani het kantoor van Mr. JJ de Heer dan menjadi pimpinan
awal untuk Sarikat Islam (SI) di Medan (Algemeen Handelsblad, 01-11-1913). SI
telah berkembang di Jawa oleh Tjokroaminoto dkk. Lalu, Mohamad Samin membentuk
kepengurusan baru (De Sumatra post, 11-02-1914). Sebagai ketua SI Medan dan
sekitarnya, Mohamad Samin mewakili pertemuan SI seluruh daerah di Djokja untuk
penciptaan perlunya sarikat pusat. Dari 108 asosiasi lokal hanya hadir 88 orang.
Ketua panitia pertemuan adalah Tjokroaminoto. Kepengurusan
terpilih, ketua Samanhudi dan wakil Tjokroaminoto. Penasehat Achmad
Dahlan (Bataviaasch nieuwsblad, 24-04-1914). Mohamad Samin kemudian menjadi (salah
satu) komisioner SI pusat (De Sumatra post, 15-04-1916). De Sumatra post,
11-09-1916 melaporkan adanya rapat umum di Medan: ‘Sarikat Islam Medan, Sarikat
Islam Tapanoeli, Budi Oetomo, Roh Kita, Djamiatoel Moehabbah, Medan Setia,
Sarikat Goeroe Goeroe, dll berkumpul di Bioskop Oranje yang diperkirakan dihadiri
oleh 1.000 orang. Isu yang dibahas tentang ketidakadilan terhadap rakyat dimana
pemerintah tidak hadir dan hanya menonton kepentingan Barat’.
Setelah
rapat umum (wakil pribumi dan Tionghoa) di Medan, Mohamad Samin dkk mempelopori
didirikannya koran dengan nama yang berbeda, yakni: Benih Mardeka (1916).
Penggunaan kata mardeka (dalam hal ini mungkin dimaksudkan merdeka) ini bukan
tanpa risiko. Hal ini karena pemerintah colonial sangat mudah mengajukan
tuntutan dengan dalih delik pers terhadap setiap adanya gangguan yang
dirasakannya. Dja Endar Moeda di Padang (Pertja Barat) dan Panoesoenan di Medan
(Pewarta Deli) sudah pernah merasakannya. Namun itu bukan tanpa perhitungan
oleh Mohamad Samin, karena sesungguhnya Mohamad Samin dkk dengan nama bendera
baru ‘Benih Merdeka’ secara psikologis telah mendapat legitimasi yang luas dari
berbagai kalangan di Medan (setidaknya setelah rapat umum di Bioskop Oranje)
dan perkembangan ekspansif Sarikat Islam.
Mohamad
Samin sendiri dalam hal ini memiliki latar belakang yang lengkap, dua sisi yang
menyatukan idenya menyuarakan merdeka lewat Benih Mardika. Di satu sisi,
Mohamad Samin pernah lama bekerja di perkebunan, sebagai krani yang dengan
kasat mata melihat bagaimana kekejaman dari tuan kebun terhadap para pekerja
(koeli). Para planter berlaku kejam karena ada aturan perundangan (legitimasi)
tentang poenale sanctie. Di sisi lain, Mohamad Samin kini telah menjadi
petinggi Sarikat Islam (awalnya bernama Sarikat Dagang Islam). Dengan
sendirinya, persoalan koeli kontrak yang menjadi salah satu isu penting di Deli
dan ide pembentukan surat kabar Benih Mardeka menjadi pertarungan legitimasi
Planter bangsa Eropa/Belanda (formal) vs legitimasi penduduk local/rakyat
pribumi (non formal).
Bataviaasch
nieuwsblad, 16-04-1917: ‘Medan, 15 April (Part) yang diketuai oleh pemimpin
departemen Sarikat Islam, Mohamad Samin, bertemu orang oriental, sebagian besar
bukan non SI untuk membahas rencana pendirian sekolah Islam (Mohammedaanscbe),
dimana sekolah ini yang pertama, studi Al-Quran yang diintegrasikan ke dalam
kurikulum sekolah normal’.
De Sumatra post,
17-07-1917: ‘Telah diadakan di Medan rapat umum Insulinde, Minggu 24 Juni di bioskop
Oranje, yang dikunjungi banyak orang. Asosiasi Insulinde ini bertujuan untuk
membahas program kerja dan pembentukan organisasi’.
Insulinde
adalah perhimpunan masyarakat yang bersifat umum. Berbeda dengan perhimpunan
Sarikat Islam yang lebih khusus. Insulinde adalah nama yang dicetuskan oleh
Multatuli (mantan controleur di Natal) dan ditemukan dalam Max Havelaar.
Insulinde diambil dari bahasa Latin, ‘insula' = eiland/pulau dan ‘indiae’ =
Indië/Hindia yang secara harfiah ‘Kepulauan Hindia’ yang berarti juga nama saat
ini Indonesia. Nama Insulinde menjadi populer di Belanda sebagai nama panggilan
untuk Hindia, tetapi tidak pernah secara resmi digunakan. Insulinde
(1907–1919), a direct successor of the Indische Party (IP) and later renamed
the Nationale Indische Party (NIP)
Nama Insulinde
telah digunakan sebagai nama koran Dja Endar Moeda di Padang (terbit pertama
tahun 1902). Koran Insulinde melengkapi koran yang dimiliki Dja Endar Moeda
seperti Pertja Barat, Tapian Na Oeli, Pemberita Atjeh dan Pewarta Deli.
***
Parada
Harahap mulai gerah melihat kekejaman di perkebunan. Sebagai krani, Parada
Harahap boleh jadi melihat atau mendengar tiap hari apa yang terjadi terhadap
para koeli. Sementara koran Benih Mardeka sebagaimana misinya tak pernah pula
memberitakan permasalahan ketidakadilan terhadap koeli di perkebunan. Benih Mardeka
memang menyoroti tentang ketidakadilan namun hanya pada tataran makro yang
notabene intel Belanda tak ambil pusing dan karenanya Benih Mardeka tetap eksis
dan dibiarkan terbit. Isinya tidak segarang namanya dan perilaku koran Benih Mardeka
tetap berada pada mainstream seperti Pewarta Deli.
Parada
Harahap tidak sabar menunggu kapan Benih Mardeka mulai bergerak dan menyentuh
titik utama persoalan di Deli. Data-datanya sudah menumpuk di tas. Pelajaran bahasa
Belanda secara otodidaktif Parada Harahap sudah beres. Kini, Parada Harahap
mulai belajar menulis, langsung menulis konten yang berat-berat: soal Poenale
Sanctie dan eksesnya. Parada Harahap mulai mengirim tulisan-tulisan ke redaksi
Benih Mardeka, yang mana yang menjadi editor Benih Mardeka berikutnya adalah
Mohamad Joenoes (yang telah menggantikan Mohamad Samin yang sudah sibuk dengan
urusan organisasi SI). Mohamad Joenoes boleh jadi ragu dan gamang, seorang
pembaca di perkebunan sudah berani-beraninya menulis hal yang sangat sensitif.
Mohamad Joenoes boleh jadi semakin terpicu dengan munculnya semangat dan
keberanian Parada Harahap. Sebaliknya, keraguan Mohamad Samin/Mohamad Joenoes muncul
karena sudah terkooptasi karena kabarnya sekolah Islam yang didirikan mendapat
sumbangan dari pemerintah. Benih Mardeka akhirnya mau tak mau harus menurunkan
laporan yang bahannya sudah dipasok Parada Harahap. Parada Harahap, seorang
independent besar kemungkinan memainkan peran yang lebih besar dari pers
merdeka ini.
De Sumatra post, 15-04-1918: ‘Pematang Siantar dalam hal
politik tidak kalah disbanding yang lain. Beberapa minggu yang lalu telah
diadakan di sini rapat umum dan mendirikan (sarikat) Insulinde dan saat ini
anggotanya sudah 175 orang. Menurut selebaran, Insulinde akan membuka
clubhouse, Senin 15 April. Di dalam clubhouse itu baru terdapat sebuah meja
besar dengan kursi kayu dan rotan serta di meja baca terdapat terbitan seperti
Sumatra Post, Pewarta Deli, Poestaha dan lainnya. Menurut rencana Insulinde
akan mengajukan ke dewan kota untuk pembangunan gedung yang lebih modern dan
akan mengadakan sekolah sore. Rencana berikutnya untuk membangun perpustakaan
umum yang menyediakan buku-buku bebrbahasa Belanda dan bahasa pribumi (bahasa
Melayu dan Bahasa Batak)’.
***
Koran
yang diberi nama Benih Merdeka awalnya tidak dipedulikan oleh (pemerintah)
Belanda karena kata ‘mardeka’ diaggap sebagai kata-kata umum untuk independent
atau kebebasan, seperti kebebasan berusaha, kebebasan berkumpul dan kebebasan
pers dan sebagainya). Oleh karenanya koran Benih Mardeka diterima umum dengan
sewajarnya, demikian juga (pemerintah) Belanda menganggap sama seperti
nama-nama koran lain seperti Pewarta Deli.
Namun
tidak demikian dengan seorang krani asal Padang Sidempoan bernama Parada Harahap
yang tengah bekerja di perkebunan. Parada menganggap kata ‘mardeka’ atau ‘merdeka’
pada judul koran yang sering dibacanya diartikan sesuai dengan makna merdeka yang
sesungguhnya (mengentaskan ketidakadilan). Parada Harahap mulai merespon sinyal
yang diberikan koran Benih Mardeka dengan mengirim tulisan-tulisannya. Boleh
jadi tulisan-tulisan Parada disambut dengan sumringah oleh editor Mohamad
Joenoes, karena maksud yang tersembunyi dari nama dan semboyan koran Benih
Merdeka sudah mulai ada follower. Follower pertama adalah Parada Harahap.
Tulisan-tulisan
yang dipasok Parada Harahap kemudian dirangkum Mohamad Joenoes dan disajikan sebagai
berita atau ulasan. Berita dan ulasan tentang poenali sanctie di Deli cepat
meluas. Isu poenali sanctie melejit melampaui isu-isu pertanahan, pendidikan,
kesehatan, perumahan dan kemiskinan. Adalah koran Soeara Djawa di pulau Jawa
yang pertama memberi respon dan melansirnya sebagai berita serta menjadi heboh
di Jawa. Ini mudah dipahami karena koeli yang banyak menerima saksi oleh
planter selama ini adalah para pekerja yang umumnya didatangkan dari Jawa dan
Asia Timur (Tionghoa).
De Sumatra post,
03-06-1918: ‘Berita tentang koeli di Medan oleh Benih Merdeka mendapat sorotan
setelah koran Soeara Djawa melansirnya. Soera Djawa telah menulis ulang isi
artikel dalam Benih Mardeka edisi 17 Februari tahun ini, sebagaimana tercantum
dalam Benih Mardeka edisi 19, 27 dan 28 Febr. Serta edisi 2, 13 dan 14 Maret
tahun ini. Artikel Soeara Djawa ini yang diberi judul ‘Bagimana halnja koeli contract
sudah diroendingkan?’ yang dimuat pada edisi 1 Juni’.
Atas
tulisan-tulisan yang menyoroti sepak terjang para planter Eropa/Belanda di
perkebunan, Parada Harahap dipecat sebagai krani (posisi pribumi yang bergengsi
di perkebunan). Parada Harahap sudah tahu betul risikonya. Parada Harahap siap
lahir batin menerima risiko itu. Perjuangan Parada Harahap belum tamat, malah
Parada Harahap merantau ke Medan dan bergabung dengan Benih Mardeka pada akhir
1918 (lihat De nieuwsgier, 15-10-1953).
Parada lahir di
desa Pargaroetan, Padang Sidempoean. Setelah menyelesaikan sekolah dasar,
Parada Harahap merantau ke Deli. Kini, Parada Harahap sudah berada di Medan.
Parada Harahap terus belajar: belajar jurnalistik dan belajar bisnis media. Di
Medan, Parada Harahap tidak kekurangan mentor. Tokoh-tokoh pers di Medan adalah
anak-anak dongan sahuta, kampong halaman di Padang Sidempoean. Yang paling
senior adalah Dja Endar Moeda (meski sudah menetap di Atjeh masih sering ke
Medan), Panoesoenan, Soetan Parlindongan, Abdulah Loebis (Pewarta Deli),
Mangaradja Ihoetan (Pertja Timor) dan lainnya. Mangaradja Salamboewe sudah lama
telah tiada (Pertja Timor) .
Adalah koran Soeara Djawa di pulau Jawa yang
pertama memberi respon dan melansirnya sebagai berita serta menjadi heboh di
Jawa. Ini mudah dipahami karena koeli yang banyak menerima saksi oleh planter
selama ini adalah para pekerja yang umumnya didatangkan dari Jawa dan Asia
Timur (Tionghoa).
De Sumatra post, 03-06-1918: ‘Berita tentang koeli di
Medan oleh Benih Merdeka mendapat sorotan setelah koran Soeara Djawa
melansirnya. Soera Djawa telah menulis ulang isi artikel dalam Benih Mardeka
edisi 17 Februari tahun ini, sebagaimana tercantum dalam Benih Mardeka edisi 19,
27 dan 28 Febr. Serta edisi 2, 13 dan 14 Maret tahun ini. Artikel Soeara Djawa
ini yang diberi judul ‘Bagimana halnja koeli contract sudah diroendingkan?’
yang dimuat pada edisi 1 Juni’.
Ketika Parada Harahap bergabung ke Benih
Mardeka hal yang pertama dipikirkannya adalah memperkuat persatuan dan kesatuan.
Hanya dengan persatuan dan kesatuan diantara pribumi ketidakadilan dapat
dilawan. Musuh bersama adalah Belanda, system koeli harus diperbaiki.
De Sumatra post, 24-02-1919: ‘Parada Harahap dari Benih
Mardeka berpendapat perlunya kerjasama yang lebih antara kelompok penduduk pribumi
di Pantai Timur Sumatera. Persaingan antara Mandhelinger dan Minangkabauer
harus dihilangkan, orang harus merasa dirinya pribumi, rasa memiliki, satu
untuk semua dan semua untuk satu, dan bukan seperti yang terjadi sekarang, semua
untuk saya. Penulis berharap akan membawa hal besar ini ke pertemuan SI, untuk ditemukan
perdamaian antara kelompok etnis pribumi yang berbeda’.
De Sumatra post, 03-03-1919: ‘Untuk mencapai penciptaan
serikat buruh Sumatraanschen kemarin pagi mengadakan pertemuan di bioscop Oranje.
Perserta yang hadir sangat tinggi: sekitar 400 orang. Pembicara dalam pertemuan
itu adalah Mangoenatmodjo, Parada Harahap, presiden dari estate-kierkenbond, M.
Soendoro, editor De Crani, Hie Foek Tjoy, mantan editor Andalas’.
Pada awal April 1919 di Medan dibentuk organisasi wartawan. Organisasi ini merupakan aliansi wartawan pribumi dan Tionghoa. Besar kemungkinan organisasi wartawan di Medan ini yang pertama untuk wartawan pribumi.
De Sumatra post,
04-04-1919 (Een jounalistén bond): ‘Asosiasi wartawan Inlandsch Chinesche
didirikan. Pengurus dewan sebagai berikut: Presiden, Mohamad Joenoes; Sekretaris,
Parada Harahap. Komisaris, satu diantaranya Mohamad Joenoes di Siantar. Sarikat
telah memiliki tidak kurang dari 40 anggota. Asosiasi ini bukan untuk wartawan Belanda,
untuk tujuan bersama, melainkan tujuan sendiri dan bisa meluas ke rekan-rekan
mereka sesama oriental’.
***
Mohamad
Joenoes di Siantar berbeda dengan Mohamad Joenoes di Medan. Yang di Pematang Siantar adalah Mohamad
Joenoes gelar Soetan Hasoendoetan, seorang mantan guru, novelis dan koresponden
surat kabar Poestaha yang terbit di Padang Sidempoean.
Koran Poestaha
didirikan oleh Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan tahun 1915 setelah
pulang studi dari Negeri Belanda dan menjadi guru di Kweekschool Fort de Kock.
Soetan Casajangan, anak Batoenadoea (bertetangga dengan Pargaroetan, kampong
Parada Harahap) adalah alumni Kwekschool Padang Sidempoean, murid terbaik
Charles Adrian van Ophuijsen. Setelah mengajar 13 tahun di Simapilapil, Radjioen
melanjutkan studi ke Rijskweekschool di Haarlem (1905). Soetan Casajangan
adalah mahasiswa pribumi kedua yang studi ke Negeri Belanda. Selama kuliah di
Negeri Belanda hubungan murid guru di Padang Sidempoean berlanjut dengan Prof.
van Ophuijsen yang mengajar di Universiteit Leiden (Soetan Casajangan diangkat
van Ophuijsen menjadi asistennya untuk mengajar bahasa dan sastra Melayu).
Soetan Casajangan adalah pendiri Indisch Vereeniging (Perhimpunan Hindia) yang
lalu diubah namanya oleh Mohamad Hatta dkk (awal 1920an) menjadi Persatoean
Pelajar Indonesia (PPI). Selama masa studi Soetan Casajangan pernah menjadi
editor majalah Bintang Hindia (milik AA Fokker), Bintang Perniagaan dan yang
paling serius menulis buku berjudul ‘Indische Toestanden Gezien Door Een
Inlander’ yang diterbitkan oleh penerbit Hollandia-Drukkerij di Barn (buku
pribumi pertama yang diterbitkan di Negeri Belanda tahun 1913).
Wartawan
Mohamad Joenoes gelar Soetan Hasoendoetan juga adalah koresponden koran Pewarta
Deli. Mohamad Joenoes setelah pension jadi guru adalah pengarang novel. Pada
tahun 1920 dengan teman-temannya dari Padang Sidempoean di Pematang Siantar
mendirikan bank: Bataksch Bank (bank pribumi pertama). Teman-teman Mohamad
Joenoes (Siregar) ini adalah Dr. Muhamad Hamzah (Harahap), Soetan Pane
Paroehoem (Harahap), dan Dr. Alimoesa (Harahap) [lihat De Telegraaf, 28-12-1920].
Novel
terkenalnya adalah Sitti Djaoerah: Padan Djandji Na Togoe (Sitti Djaoerah:
Sumpah Setia yang Teguh). Roman ini pertamakali diterbitkan di Pematang Siantar
tahun 1927 dan dipublikasikan secara serial antara 1929 dan 1931 di surat
kabar Poestaha. Setelah pemuatan serial
roman Soetan Hasoendoetan ini di surat kabar Poestaha, ternyata mendapat respon
yang positif dari masyarakat luas di Tapanuli. Atas dasar itu, roman itu
diterbitkan kembali dengan bentuk buku dalam dua jilid yang secara keseluruhan tebalnya
sebanyak 457 halaman. Kedua jilid buku roman tersebut diterbitkan oleh Tpy
Drukkerij Philemon di Pematang Siantar. Roman ini kemudian diterjemahkan ke
bahasa Inggris oleh Susan Rodgers dengan judul Sitti Djaoerah: a novel of
colonial Indonesia, terbit tahun 1997 oleh University of Wisconsin (Amerika
Serikat).
***
Pers
bangsa Belanda di Medan diwakili oleh wartawan dan surat kabar Sumatra Post.
Mereka juga adalah manusia yang kerap mewakili komunitasnya (Eropa/Belanda).
Mereka juga menjadi penerjemah isi dan isu yang terdapat dalam koran-koran
pribumi.
De Sumatra post,
25-07-1919 (Pers pribumi): ‘Soetan Parlindoengan dari Pewarta Deli, memprotes
buku yang menistakan agama Islam. Parlindoengan menyalahkan penulis buku, “bahwa
alih-alih berjuang untuk kesatuan semua orang pribumi. Kristen dan Muslim,
seharusnya tidak saling mencela, dan justru perlu membangun kesatuan. Buku itu
adalah racun bagi masyarakat”. Seorang tokoh Batak yang dikutip menganggap buku
itu tidak tepat dan tidak layak jual. Kemudian buku itu ditarik dari peredaran’.
De Sumatra post,
25-07-1919: ‘Harahap (maksudnya Parada Harahap) dari Benih Merdeka menyoroti soal prostitusi di Medan: ‘Harahap
memberikan protes keras terhadap bahaya besar prostitusi, seperti yang
saat ini berlaku di Medan. Dia menunjukkan bahwa hukum pidana mengancam untuk
menghukum mereka yang enzoovoort, objek publik terhadap moralitas, tetapi dalam
hal ini di Medan tampaknya tidak mengganggu mereka di sana. Hotel Jepang
disebut hanya kesempatan untuk prostitusi dan baboes dari pemilik pelacur. Ini
adalah berlimpah di jalan-jalan dan dengan kelimpahan mereka menyebabkan bahaya
besar, pertama untuk penyakit, dua sarang sebagai godaan untuk anak muda, karena
wanita layak melalui tergoda untuk tersesat, empat sarang karena wanita layak
keliru untuk pelacur dan mengalami perlakuan yang tidak menyenangkan. Penulis
berpendapat bahwa diinginkan agar intelijen menginvestigasi izin untuk hotel dan
menuduh menyelidiki pejabat yang terlibat, investigasi serius harus dapat mengungkapkan
apa yang sebenarnya yang terjadi. Harahap juga meuntut dewan untuk menyatukan semua
pelacur dan kemudian memberikan pembinaan terhadap perilakunya’.
Pada
tahun 1919 koran Benih Merdeka mulai diperkarakan karena memuat isu sensitif
bagi pejabat Belanda. Isu-isu poenale sanctie, prostitusi dan sebagainya.
Sekarang peluru diarahkan kepada Mohamad Samin, karena dia adalah
penanggungjawab koran Benih Mardeka. Sasaran lainnya adalah bahwa Mohamad Samin
adalah pimpinan SI. Koran Benih Mardeka lalu dibreidel. Parada Harahap
kehilangan media penyaluran aspirasi untuk membebaskan rakyat dari
ketidakadilan Belanda. De Sumatra post, 19-11-1921 melaporkan bahwa Mohamad
Samin didakwa lagi. Anehnya, dakwaan terhadap Mohamad Samin dalam kasus Benih
Mardeka dalam soal poenale sanctie tidak dapat dibuktikan bersalah. Kini,
dakwaan terhadap Mohamad Samin bukan soal politik tetapi pasal-pasal yang
menyangkut perdata (bisnis) tentang pencatutan nama dan pidana tentang
penggelapan dana pembangunan sekolah. Ada-ada saja yang bisa dicari oleh
pemerintah colonial bagaimana cara membungkam seseorang yang dianggap
politiknya berlawanan.
***
koran Sinar Merdeka di Padang Sidempoean, 1919
|
Parada
Harahap tidak kehilangan akal. Parada Harahap sudah lama menyadari
ketidakadilan juga merajalela di kampungnya. Parada Harahap lalu pulang
kampong. Parada Harahap telah mengubah Benih Mardeka yang selama ini dorman
menjadi vigornya menjadi siap tumbuh dan berkembang. Parada Harahap juga tidak
mau benih itu hilang ditiup angin. Lalu benih merdeka itu dibawanya ke kampongnya
di Padang Sidempoean untuk disemaikan. Mungkin Parada Harahap berpikir bahwa benih merdeka itu
harus tetap selalu bersinar.
Sinar Merdeka di Padang Sidempoean, 1919 |
Kini (1919) pers
merdeka sudah berada di Padang Sidempoan dengan koran yang diberi nama Sinar Merdeka. Ini koran bukan surat kabar lokal, tetapi koran nasional, karena saat ini (1919) hanya koran Sinar Merdeka yang mengusung kata 'merdeka' dari semua surat kabar pribumi yang tengah beredar. Semboyan koran Sinar Merdeka: ;Organ Ontoek Kemadjoean Bangsa dan Tanah Air'. Penggunaan frase 'bangsa dan tanah air' melengkapi frase sinar merdeka pada nama koran berdimensi nasional ini.
Surat kabar Sinar Merdeka yang
digagas Parada Harahap melengkapi surat kabar yang pernah ada di Padang
Sidempoean: koran Tapian Na Oeli (oleh Dja Endar Moeda, 1903), koran Poestaha
(oleh Soetan Casajangan, 1915), dan yang terkini koran Sinar Merdeka (oleh
Parada Harahap, 1919). Parada Harahap mendapat tugas ganda yakni
editor dua koran sekaligus: Poestaha dan Sinar Merdeka. Dalam tugas ganda ini,
Parada Harahap bersama Mangaradja Goenoeng sebagai administrator (Bataviaasch
nieuwsblad, 19-06-1920).
Selain koran yang terbit di Padang Sidempoean, juga di Sipirok
, Afdeeling Padang Sidempoean ada koran yang diterbitkan yang diberi nama Sinar
Sipirok (De Sumatra post, 26-06-1933). Koran Sinat Sipirok ini didirikan oleh
Soetan Pangoerabaan Pane, seorang mantan guru dan novelis. Novel terkenalnya
berjudul Tolbok Haleon. Soetan Pangoerabaan adalah individu yang lengkap dan
sukses. Soetan Pangoerabaan, selain pendidik, novelis, jurnalis, juga adalah seorang
pengusaha. Soetan Pangoerabaan Pane, kelahiran kampong Pangoerabaan, Sipirok
kelak kebih dikenal sebagai ayah dari Sanoesi Pane (pengarang), Armijn Pane
(pengarang) dan Lafran Pane (pendiri HMI).
Parada Harahap Menggebrak
Parada Harahap tidak hanya cerdas tetapi juga
pemberani siapa pun yang harus dilawan jika berkaitan dengan ketidakadilan.
Parada Harahap tidak hanya berbicara dengan pena yang tajam, juga dengan mulut
dan tangan sendiri jika harus diperlukan. Inilah yang dilakukannya di Padang
Sidempoean. Dia menggertak pemerintah Belanda: ‘Ini bukan di Jawa, Ini bukan di
Rusia’. Jika diteruskan Parada Harahap menunjuk hidup Belanda itu dengan
mengatakan: ‘Ini bukan di Medan, Bung! Ini kampong gue, tahu!’
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 09-09-1919: Editor dari Sinar Merdeka mengeluh dalam edisi 18 Agustus, Lembaga hokum begitu sedikit di sini,
konsekuensinya ketika orang berperkara harus melakukan perjalanan yang sangat
jauh untuk menuju pengadilan akibatnya setiap perkara bisa memakan waktu yang
sangat lama. Parada Harahap menantang pengadilan pribumi seperti doeloe. Parada
Harahap juga mengkritik dewan tanah (landraad) yang orang-orang yang dipimpin
pengacara sedangkan anggota lainnya tidak akrab dengan undang-undang. Juga soal
penilaian pengadilan yang direvisi oleh dewan kehakiman (Raad van Justitie) dan
kerap berbicara berbeda untuk hukum yang sama. Mengenai Adatrechtspraak, juga
dikritik oleh dia, salah satu pejabat di BB Presiden lagi. dan anggota zyn
tidak kompeten’.
De Sumatra post, 28-11-1919 Van 'n redacteur en 'n
controleur. Parada Harahap, editor Sinar Merdeka baru-baru ini langsung
menghubungi Controluer Padang Sidempoean atas banyaknya keluhan masyarakat
karena soal pembayaran untuk berobat. Parada bertanya, mengapa obat harus
dibayar dan bahkan dokter di rumah sakit meminta harga yang lebih tinggi,
padahal obat harus gratis.. Controleur menjawab bahwa obat pemerintah gratis.
Lalu Parada mendesak apakah obat yang dikutip seperti struk ini dapat
dikembalikan. Controleur ini menjadi marah: Apa yang Anda katakana itu, akan menyulitkan
Anda, itu penting bahwa Anda tidak berlanjut, Anda tahu, tidak ada cara untuk
mendapatkan begitu dekat dengan saya; Anda hanya tidak tahu bagaimana harus
bersikap. Saya tidak suka Anda lihat di sini. P. Harahap menjawab bahwa ia
adalah untuk kepentingan banyak orang yang telah mengajukan keluhan mereka
kepadanya, dan untuk kekasaran bahwa kontroler dia akan mencatat bahwa P.
Sidempoean bukan di Java atau di Rusia. Lebih lanjut dia mengatakan kepada controller
bahwa sikap anda yang justru tidak memiliki kehormatan, lihat saya ini bukan
gelandangan yang harus berdiri di sini, sementara begitu banyak kursi di sini’.
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 15-06-1920: Sebuah kontribusi di Sinar Merdeka telah datang pada ide brilian. Menteri van Kolonien harus memperhatikan
bahwa hidup ini sekarang sangat sulit. Para pejabat pemerintah local tidak
cukup gaji yang diberikan dan tidak bersisa, seharusnya ada pemberian gaji
tambahan satu bulan. Sementara itu pemerintah selama beberapa tahun tidak ada
pajak dituntut terhadap konsesi-konsesi yang diberikan. Kalau pemerintah tidak
punya dana untuk tambahan gaji ini, pemerintah mengenakan blasting pada
konsesi. Ini memang ide yang indah dan praktis. Hanya .... jika pemerintah tidak
mampu membayar eksta bulan ini, mereka (pejabat dan pegawai) tidak bisa menyisihkan
tiap bulan. Pemerintah berharap ada kepuasaan dari pejabat dan pegawai tetapi
juga mereka harus dialokasikan anggaran. Demikian usul dari editor Sinar
Merdeka (Parada Harahap)’.
Masuk Gerakan Pemuda dan Politik di Sibolga
De Indische courant, 07-01-1922 Pemimpim muda De Sibolgasche
yang popular dalam De Jong Sumatraasche adalah Parada Harahap dan Manullang…’.
Parada Harahap Hijrah ke Batavia
Setelah merasa yakin bahwa kampong halamannya
bebas dari ketidakadilan, penduduk makin sadar akan haknya, Parada Harahap
dengan semakin intensnya melakukan pertemuan-pertemuan lewat gerakan pemuda dan
gerakan politik, mulai manatap Batavia sebagai pusat pergerakan dan ruang
pengembangan bakat bisnis di bidang media. Pelajaran jurnalistik Parada Harahap
sudah selesai di Medan dan disempurnakan dengan inkubasi bisnis media di Padang
Sidempoean.
editor Bintang Hindia, edisi No.1 (2-1-1923): Parada Harahap |
Abdul Rivai adalah alumni Docter Djawa School di Batavia
(1904). Selama kuliah, Abdul Rivai sudah
kenal paling tidak dengan lima anak Padang Sidempoean yang kuliah di Dokter
Djawa School: Harun Al Rasjid Nasoetion (lulus 1902 berdinas di Padang dan buka
praktek di Lampong), Muhamad Hamzah Harahap (lulus 1902, berdinas di Lampong, dan
buka praktek di Pematang Siantar), Abdul Karim Harahap (masuk 1898, lulus 1905)
dan Abdul Hakim Harahap (masuk 1899, lulus 1905) dan Muhamd Daoelaj (masuk
1902).
Setelah lulus kuliah Abdul Rivai direkrut oleh Dr. AA
Fokker untuk menjadi editor Bintang Hindia. Fokker juga mengajak Dja Endar
Moeda untuk kerja sama media yang kala itu menjadi pemilik Pertja Barat. Dja
Endar Moeda dan Abdul Rivai berangkat ke Negeri Belanda 1904. Setelah selesai
urusan bisnis dengan Fokker, Dja Endar Moeda balik ke Padang, sementara Abdul
Rivai menetap di Leiden untuk menjadi editor Bintang Hindia. Pada tahun 1905
Soetan Casajangan datang ke Negeri
Belanda untuk studi di bidang pendidikan. Selama kuliah, Soetan Casajangan
mantan guru di Padang Sidempoean banyak memasok tulisan-tulisan untuk Bintang
Hindia yang notabene editornya sudah ditempati oleh Abdul Rivai. Soetan
Casajangan adalah adik kelas Dja Endar Moeda di Kweekschool Padang Sidempoean,
sama-sama murid dari Charles Adrian van Ophuijsen.
Senior Abdul Rivai dan junior Parada Harahap
tidak canggung karena keduanya sudah kenyang makan garam di dunia jurnalistik.
Parada Harahap ketika menjadi editor di Benih Mardeka sangat akrab dengan pimpinannya, Mohamad Samin yang sekampung dengan Abdul Rivai. Keduanya menyetor saham, yang mana sebagai penanggungjawab perusahaan adalah Abdul Rivai dan yang bertindak sebagai editor koran adalah
Parada Harahap. Bintang Hindia kembali muncul.
De Indische courant, 28-02-1924: ‘Investor Amerika
bekerjasama dengan perusahaan penerbitan Bintang Hindia dengan komposisi saham
75 persen local dan 25 persen asing. Bintang Hindia akan menerbitkan serial novel
detektif asal New York. Temanya mirip Nick
Carter dan Lord Listers. Cerita pertama bertema istri yang cemburuan. Parada
Harahap mengatakan tujuan pemuatan cerita bersambung ini agar masyarakat
mendapat tema sastra baru tentang tokoh seorang investigator yang dikaitkan
dengan area perkawinan dalam rumahtangga’.
Parada Harahap Melatjutkan Gerakan Politik dan Perjuangan
Pers
Parada Harahap berjuang dengan caranya
sendiri, jika tidak dapat dilakukan dengan organisasi atau berkelompok
(bersama-sama), Parada Harahap dapat melakukannya dengan sendiri. Ini bisa dilihat ke belakang: ketika
membongkar poenali sanctie, mendatangi langsung kantor pemerintah colonial di
Padang Sidempoean. Kini, Parada Harahap di Batavia, di ruang yang lebih luas,
Batavia Bung!
Bataviaasch nieuwsblad, 13-01-1925 (De Indische
Associatie Vereeniging): ‘Kemarin malam di Oost-Java Restaurant een diadakan
pertemuan yang mengumpulkan asosiasi-asosiasi di Nederlandsch Indie. Di dalam
pertemuan ini dibicarakan AD/ART program dan struktur kepengerusan. Program meliputi
kegiatan poolitik yang sehat, pengembangan pendidikan, pelatihan kejuruan
sesuai dengan prinsip-prinsip dasar. Disamping itu untuk mempromosikan tingkat
kesehatan, kesejahteraan, hubungan keuangan Negara dengan daerah dan lainnya.
Kepengurusan: voorzitter, PJA Maltimo, secretaris Tb van Nitterlk,
penningmeester, Mobamad DJamli, commissarissen: Parada Harahap, Raden Goenawan,
Oey Kim Koel, JK Panggabean, Pb. J.Krancber en A. Cbatib’.
Selama ini pers Eropa/Belanda terbilang non
partisan. Tapi kini ada suara miring kalau tidak bisa dibilang menyesatkan dan
membahayakan yang muncul dari Soerabaija HBL (Belanda). Sesungguhnya sesama
editor tidak boleh ‘saling mendahului’ harus tetap pada kode etik jurnalistik.
Artikel yang dimuat di SHBL yang bernada fascism membuat Parada Harahap
menyerang balik. Ini tidak sulit bagi Parada Harahap untuk bertarung, melawan
pemerintahan yang lalim saja Parada Harahap berani menunjuk hidungnya langsung.
Selama ini, Parada Harahap beranggapan musuh pers adalah kelaliman pemerintah
bahu membahu antar pers asing maupun pribumi. Parada Harahap tidak ambil diam,
lalu bereaksi dengan menulis di Java Bode, milik sobatnya dari pers Tionghoa
untuk melawan pers Belanda. [Pers Belanda merujuk pada kepemilikan, seperti
Sumatra Post (berbahasa Belanda), Pertja Timor (berbahasa Melayu) dan Surabaija
HBL (berbahasa Belanda). Pers Melayu hampir seluruhnya berbahasa Melayu. Pers
Tionghoa ada yang berbahasa Belanda dan ada juga berbahasa Melayu. Java Bode di
adalah surat kepemilikan Tionghoa berbahasa Belanda].
Parada Harahap (1950) |
De Sumatra post, 29-09-1925: ‘Atas penangkapan editor
Warna Warta bernama Keng Po, di Batavia, didirikan Asosiasi wartawan pribumi Pertemuan
diadakan di gedung kantor berita Alpena (pimpinan Parada Harahap) di
Weltevreden, dipimpin oleh editor Hindia Baru Tabrani. Hasil pertamuan ini mengusulkan
dewan agar mengirimkan utusan ke Jaksa Agung. Parada Harahap, redaktur Bintang
HIndia meminta menahan diri karena kasusnya masih dalam penyelidikan dan
menunggu hingga pengadilan. Yang penting menurut Parada Harahap kita menyusun
manifesto dulu. Setelah pertemuan ditutup kemudian dihasilkan manifesto,
isinya: 1. Keluhan dari masyarakat pribumi dan China terhadap aksi bagian dari
Pejabat pemerintah di seluruh wartawan membuat, termasuk sehubungan dengan
penangkapan Mr Lauw Giok Lan, 2 Mengirim utusan kepada Jaksa Ge Jenderal (dalam
advokasi selama masa penahanan) ditambah untuk lebih menahan diri dari
tulisan-tulisan yang mengandung penuh kebencian)’.
Parada Harahap adalah sosok wartawan pribumi
yang tiada takutnya. Keberaniannya adalah keberanian moral yang didukung
kemampuan intelektual serta ditunjang dengan keberanian psikis dan fisik
(berani menggulung lengan baju). Namun, itu baru dilakukan jika semua kebajikan
telah dijalankan tetapi tetap buntu. Pengalaman delik pers Parada Harahap
membuat dirinya makin matang dan lebih arif, tidak tergesa-gesa.
Parada Harahap Mendirikan Bataksche Voetbal Club di
Batavia
Parada Harahap sesungguhnya masih muda, baru
berusia 26 tahun. Sebagai pendiri klub sepakbola, Parada Harahap tidak bermain
untuk pertandingan karena kalah kualitas dibanding yang lebih muda-muda. Akan
tetapi dalam latihan, Parada Harahap selalu ikut bermain.
De Sumatra post, 29-09-1925: ‘Bataksche Voetbal Club di
Batavia dalam pertandingan hari Sabtu di lapangan Decapark dalam perebutan
piala (beker) bertandin melawan tim lainnya, yang dipimpin oleh Parada Harahap,
seorang wartawan terkenal dari Batak’.
Parada Harahap, Wartawan Terbaik dari Europeescbe Pers
De Indische courant, 23-12-1925: ‘Sungguh luar biasa
bagaimana kuat hari ini jumlah majalah Jawa meningkat. Banyak yang tutup tetapi
lebih banyak yang muncul. Semakin berwarna (nasionalis, keagamaan) dan juga
khusus perempuan. Wartawannya juga bertambah pesat, bahkan wartawan Sumatra
sudah mencapai 700 anggota. Sangat disayangkan oleh Parada Harahap dari Bintang
Hindia dan kantor berita Alpena, yang merupakan wartawan terbaik dari
Europeescbe pers, bahwa majalah aksara Jawa kurang diperhatikan oleh
komunitasnya. Perjalanannya melalui Sumatera dan Selat manjadi saksi ini
Indische courant, 23-03-1926 (Pers Melayu): ‘..di
Tapanoeli majalah Soera Batak, yang artikel-artikelnya banyak dipasok oleh
Parada Harahap, redaktur van Bintang Hindia..’.
Parada Harahap Menulis Buku dari Pantai ke Pantai
Bataviaasch nieuwsblad, 27-07-1926: ‘Dari Pantai kepanlai,
Parada Harahap dari penerbitan Uitgeveremij Bintang Hindia-Weltevreden. Penulis
dalam pemberitahuan pengantar ini bertujuan untuk meningkatkan pengenalam Hindia,
terutama karena sejauh ini hanya penulis ‘orang luar’ dam memang bersinar
terang sehingga disarankan juga mempertimbangkan pendapat dari penduduk pribumi
sendiri untuk didengar. Dengan harapan bahwa buku ini akan bekerja untuk
pengetahuan lebih lanjut seperti geografi dan etnografi Kepulauan Nusantara HIndia,
termasuk penulis menyertakan gambar di laut, mencakup bagian dari deskripsi
pada bagian kedua. Ini berisi ringkasan dari pengalaman yang diperoleh oleh
pengalaman penulis selama perjalanannya dari Bengkulu ke Aceh, Pulau Penang,
Kuala Lumpur, Singapura dan kemudian Jambi dan Palembang. Bagian pertama adalah
wacana yang diberikan pada terlihat pantai timur Sumatra dan sisanya akan
dibahas dalam bagian kedua dengan banyak ilustrasi, karya hiasan ini tentu akan
memenuhi tujuan memberikan pembaca wawasan bidang sejarah, ekonomi dan politik
dari bagian negara-negara yang dijelaskan, terutama legenda tentang asal-usul
Minangkabau dan kasus poligami yang berkuasa, disamping kondisi di Batak (misi)
yang layak dibaca. Namun, beberapa halaman yang dikhususkan untuk mata
pelajaran yang tidak memiliki banyak uraian, harus dilakukan penyelidikan agar kemajuan
pengetahuan tentang negara dan rakyat dapat dilanjutkan agar lebih baik ke
depan’.
Parada Harahap Menerbitkan Koran Bintang Timur.
Bataviaasch nieuwsblad, 07-08-1926: “Muncul edisi pertama
Bintang Timur, sebuah suratkabar Melayu, dibawah redaktur Parada Harahap, Koran
ini diterbitkan kepada pembaca diprakarsai oleh perjalanannya. Koran ini, sampai
akhir Agustus sementara seminggu sekali akan muncul, untuk berikutnya belum
diketahui. Koran berbahasa Melayu ini juga terdapat lembar untuk ETI dengan memiliki
beberapa gambar’. Nieuwe Rotterdamsche Courant, 30-08-1926: ‘…koran ini netral
untuk dua hal: keagamaan dan politik’.
Pendiri dan Pengurus Sumatrabond
De Indische courant, 10-02-1927: ‘Tanggal tujuh, di rumah
seorang mantan dewan di Weltevreden, berlangsung pertemuan warga Sumatera yang
berbeda di Batavia, dimana hampir semua provinsi di Sumatera diwakili. Dengan
populasi masing-masing pada pertemuan tersebut antara lain orang Sumatera dari Minangkabau, Tapanoeli, Palembang,
Lampongs dan Benkoelen. Para wakil dari Atjeh dan Oostkust Sumatera tidak dapat
menghadiri pertemuan tersebut. Komite sementara terdiri dari antara lain Sutan
Mohamad Zain, Parada Harahap dan Dr Rivai. Kepengurusan: Sutan Mohamad Zain
(ketua), Parada Harahap (sekretaris), Hamid (bendahara). Board: M. Sjahriar
(Minangkabau), MA Mohamad (Palembang), Boerhanoeddin (Lampong), Dr Joenoes
(Bengkulu), sedangkan dua anggota, masing-masing Atjeh dan Oostkust Sumatera disediakan
kolom kursi berpartisipasi’.
Parada Harahap-isme di Padang Sidempoean dan Soeara Batak
Parada Harahap, meski telah hijrah ke Batavia,
namun pengaruhnya masih terasa di Padang Sidempoean. Para pejabat serba ketakutan
hingga akhirnya ditemukan skandal.
De Sumatra post, 25-02-1927 (Inlandsche ambtenaren en
pers): ‘sebuah artikel di Soeara Tapanoeli dengan judul Over zicht van de
Inlandsche Pers yang mana para pejabat
pribumi saat ini dengan mudah di koran-koran menulis tidak seperti sebelumnya. Menurut
penulis ini karena adanya Parada Harahap-isme, yang para pejabat takut dengan
pers. Pejabat Pemerintah menulis di Padang Sidempoean yang dikeluarkan Inlandschblad,
Poestaha yang dulu editor majalah ini, terutama Parada Harahap, Sekarang tidak
lagi percaya kepada editor lembar asli dan ini adalah kerugian bagi masyarakat.
Oleh karena itu berharap bahwa pejabat ETI dan dewan akan mengikuti arah
gubernur yang melarang pejabat pribumi menyatakan pendapat di surat kabar itu. Kasus
ini diduga muncul dari adanya kolaborasi besar antara administrasi pemerintahan
dan Polisi. (pengkhianatan itu tentu saja tidak cukup, tapi tampaknya dapat
diteruskan ke penjara. Kegunaan media untuk penduduk dapat dipertanyakan’.
Soera Tapanoeli, suksesi Sinar Merdeka telah
mengingatkan sesama insan pers bahwa media tidak dapat dikooptasi, harus
independent. Parada Harahap adalah taruhannya. Bisa saja di tempat lain, tapi
jangan sampai terjadi di Padang Sidempoean. Ini dapat menghianati perjuangan
Parada Harahap.
Pendiri dan Pengurus Inheemsche Vereenigingen
Bataviaasch nieuwsblad, 26-09-1927: ‘Minggu di Weltevreden para pemimpin yang berbeda dari Serikat pribumi bertemu di Batavia di rumah Mr Djajadiningrat. Diputuskan untuk mendirikan organisasi yang terdiri dari para pemimpin dari berbagai serikat pribumi, dengan ketua komite adalah MH Thamrin dan sekretaris Parada Harahap. The serikat: Budi Utomo, Pasundan, Kaoern Betawi, Sumatranenbond, Persatoean Minahasa, Sarekat Amboucher dan NIB.
Parada Harahap Terus Disorot Pers Belanda
Soal tanah air, banyak ahlinya, tetapi soal
tanah air di media, Parada Harahap jagonya. Hanya Parada Harahap yang bergelora
dan berani memainkan penanya yang tajam ke depan hidung pers Belanda. Sejak tulisan Parada Harahap (tentang isu fascism)
yang dimuat di Java Boed dan disarikan oleh De Indische courant, 17-09-1925,
pers Belanda terus mengikuti sepak terjang Parada Harahap. Perang sesama pers
(Pribumi vs Eropa/Belanda ) terus memanas.
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 08-11-1927 (Wat Gisteren in de Krant stond!...): ‘diskusi tentang mayoritas Indonesia, bahwa Indonesia adalah
warisan nenek moyang, sebagai protes keras Parada Harahap dari Bintang Timur. ‘Jika
Indonesia warisan nenek moyang, KW cs menganggap sebagai pemberontakan.. Jadi saya memahami komunikasi yang
dilakukan oleh Pemerintah, bermain aman! Dan Anda? K.W’.
Ungkapan warisan nenek moyang sudah kerap
digunakan Parada Harahap, bahkan ketika masih menjadi editor di Benih Mardeka
di Medan dan Sinar Merdeka di Padang Sidempoean. Kini, jargon itu diulang oleh
koran Benih Timoer di Medan.
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 03-01-1928 (Wat Gisteren in de Krant stond!...): ‘Artikel utama pada Benih Timoer, Medan, pada tanggal 15 Desember membahas lebih lanjut usulan tentang mayoritas penduduk pribumi, yaitu
pertanyaan, apa yang harus terjadi jika tidak diterima oleh Statan General. Menurut
editorial tersebut, Indonesia tidak duduk diam, tapi protes, dimana Regeering
di belakang mereka. Dan sebagai wakil dari Opini publik memberikan opini editor
itu lagi, bahwa Pemerintah di sini dan Belanda akan memahami karena suara
rakyat adalah suara Tuhan. "Sekarang, yang terjadi adalah non-coperative!
Tapi sepertinya yang satu jari tidak diberikan sekali dan untuk semua satu
menangkap seluruh tangan. Benih Timoer ingin di semua dewan kota, mayoritas Indonesia.
Pewarta Dcli mengatakan, 12 Des. ‘Ketika
editor setelah kekuasaan di tangannya, mereka akan dengan Indonesia mencoba
mereka yang mengatakan mereka sudah matang, dan Belanda harus menonton. Dia menyebut
Lubis, Samin, Soekirman; Tjokroaminoto, Salim, Ibrahim Lubis, Mohamad Joenoes
di daerah dan Parada Harahap di pusat’ KW..
Parada Harahap Wakil Sumatra dalam Pertemuan Publik PPPK
De Indische courant, 01-09-1928: ‘Pertemuan publik
pertama PPPK (Permoefakatan Perhimpoenan-perhimpoenan Politiek Kebangsaan
Indonesia) utuk melakukan kongres di Batavia. Berbagai duta Negara sudah hadir
dalam pertemuan ini. Tjokroaminoto dari PSI sudah hadir. Delegasi dari Sumatera
Sarekat, Mr. Parada Harahap, managing editor Bintang Timur, di sini hari
sebelum kemarin tiba dengan mobilnya. Kongres dibuka jam delapan di tempat terbuka
yang dihadiri lebih dari 2000. Di antara mereka yang hadir kami melihat Tuan
Gobee dan Van der Plas dari Kantor Urusan Pribumi. Perwakilan dari asosiasi dan
istri kongres perempuan berlangsung di aula tengah bangunan situs. Untuk
membuka sekitar 9:00 Dr Soetomo atas nama panitia menerima kongres. Soetamo
mengatakan bahwa ini hasil dari diskusi pada konferensi berlangsung di Bandung
pada tanggal 17 Desember 1927, ketika pembentukan PPPKI diputuskan. Pada
konferensi bahwa rancangan undang-undang diadopsi dan menyerah PSI itu., PN1., BO,
Pasundan, Sarekat Sumatera, Studi Indonesia, Kaoem Betawi dan Sarekat Madura
sebagai anggota. Organisasi dalam pembentukan PPPKI berdasarkan nasionalis. Dengan
seru: Hidoeplah Persatoean Indonesia (Hidup unit Indonesia) memutuskan spr.
sambutannya. Kesempatan untuk PPPKI. untuk mengucapkan selamat kongres
pertamanya. Ir. Soekarno, yang berbicara atas nama PNI (Partai nasionalis
Indonesia), bersukacita dalam realisasi PPPKI karena pemisahan antara sana dan
sini dan akan ditentukan lebih tajam. Delegasi dari Sumatera Sarekat, Mr.
Parada Harahap, menyesalkan sikap pasifnya Minahassiscbe dan Amboineesche
sebangsa..’.
Parada Harahap Memperluas Cakupan Media
Parada Harahap selalu bekerja dengan caranya
sendiri. Parada Harahap ingin cepat merdeka, itu saja. Apa pun dilakukan. Tidak
hanya di sarikat dan pertemuan public, juga secara sadar memainkannya melalui
media. Kini, Parada Harahap tidak cukup dengan Bintang Timoer di Batavia,
Parada Harahap ingin juga dapat dibaca di daerah agar pesannya untuk merdeka
dapat tertangkap jelas. Namun hal itu tidak berarti tidak ada tantangan, karena
ada para pihak yang tidak senang.
De Indische courant, 13-09-1928: ‘De Indische courant, 13-09-1928:
‘Koran Melayu. Oleh NV Percetakan Bintang Hindia, Mr Parada Harahap direktur
dan pemimpin redaksi dari Batavia mengeluarkan surat kabar Melayu Bintang Timoe,
untuk Jawa Tengah di Semarang dan Jawa Timur di Surabaya sebagai edisi daerah.
Mr Parada Harahap telah melakukan pertemuan lokal dalam rangka tujuan konferensi
PPPKI. Selama perjalanan dan tinggal dengan tokoh terkemuka di daerah sangat
antusias. Bintang Timoer sudah datang di sebuah iklan untuk kebutuhan yang staf
diminta untuk kedua edisi tersebut’.
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 08-10-1928: ‘Editor koran Bintang Timur, Mr. Parada Harahap, dalam beberapa hari terakhir telah banyak berbicara, kata
Pr. Bode, hampir semua dikutip koran/majalah Maleisehe dan menulis segala macam
hal yang tidak menyenangkan baginya. Ada yang bahkan mengatakan bahwa Perserikatan
Joernalis Asia di Djokja akan membahas perilaku ini pada pertemuan pada tanggal
6 bulan mendatang dan bukan tidak mungkin bahwa pertemuan ini akan diputuskan
apakah Mr. Parada disanksi untuk hal yang dilakukannya untuk ditulis secara khusus
perihal pertemuan publik’.
Nieuwe Rotterdamsche Courant, 28-08-1928: ‘Mahasiswa
Indopesia dl Eropa (Indonesische studenten in Europa) telah mengoleksi tulisan-tulisan dr
Abdul Rivai di surat kabar Melayu, Bintang Hindia di Batavia dari akhir 1926 sampai
pertengahan 1928. Seluruh proses terhadap dilakukan oleh anggota dewan Perhlmpoean
Indonesia. Hal tersebut baru-baru ini diumumkan Hatta, juga mencakup kerja
jurnalistik kontribusi terhadap pengetahuan tentang apa yang terjadi di
lingkaran mahasiswa Indonesia. Dr. Abdul Rivai terus-menerus dengan mereka
untuk berhubungan. Editor Bintang Hindla. Parada Hararap, telah menulis kata
pengantar rekomendasi.
Parada Harahap,
Pulang Kampung
Setelah
enam tahun merantau ke Batavia, Parada Harahap ‘mudik’ ke kampong halaman di
Pargaroetan, Padang Sidempoean. Ketika dulu berangkat (1923), Parada Harahap
berangkat dari Sibolga via BTL ke Batavia. Kini (1929) Parada Harahap pulang kampong
via Medan. Selain lebih nyaman, juga transportasi Medan ke Padang Sidempoean via
Sibolga sudah lebih baik.
De Sumatra post,
15-02-1929: ‘pada 12 Februari kapal ss ‘Melchior Treub’ telah berangkat dari
Batavia. Di Belawan turun antara lain, istri Parada Harahap dan balita’.
De Sumatra post,
15-02-1929: ‘‘pada 26 Maret kapal ss Op ten Noort’ akan berangkat dari Batavia.
Di Belawan akan turun antara lain, Parada Harahap’.
Parada Harahap,
Seorang yang Humanis
Parada
Harahap adalah petarung, tetapi juga seorang manusia yang humanis. Parada
Harahap menghargai pertarung terbuka dan berhadap-hadapan. Itulah yang
dilakukannya terhadap KW (Karel Wybrands) yang mewakili pers Belanda. Kini Mr.
KW telah tiada. Parada Harahap menghormati lawannya, tidak hanya menyampaikan
berita dukacita, tetapi juga menulis artikel di Bintang Timoer tentang
perbuatan baik Karel Wybrands, seorang yang pernah menjadi seterunya.
Het nieuws van
den dag voor Nederlandsch-Indië, 29-05-1929: ‘Direktur utama Bintang Timur, Mr. Parada Harahap, juga pernah
mengirim satu pembenaran belasungkawa, berisi artikel pujian, tentang potret KW.
Dalam majalah itu menunjukkan bahwa almarhum adalah tidak melawan penduduk
asli; sebaliknya, bahwa ia telah melakukan banyak hal untuk pribumi. Catatan tersebut
menginformasikan kualitas jurnalistik KW dan sukses yang diraihnya sebelum
meninggal. RIP’.
Parada Harahap, Berbicara
Poenali Sanctie pada Rapat Umum PPPKI
Bataviaasch
nieuwsblad, 02-09-1929: ‘Kemarin pagi diadakan pertemuan public PPPKI di Clubhouse
di Gang Kenari yang dipimpin ketua local, Mohamad Thamrin (ketua kaoem Betawi) dalam
debat poenali sanctie. Ada sekitar 1500 yang hadir. Hadir Mr. Gobee penasehat
Inlandsch Zaken dan Middendorp dari Volksraad. Mr. Wiraatmadja (Pasundan) yang
memandu acara yang dihadiri sejumlah pembicara pimpinan organisasi, seperti
Sumatranen Bond, BO dan lainnya. Pembicara terakhir naik tuan Parada Harahap,
yang menceritakan pengalamannya sebagai pemegang buku di perusahaan waktu itu. Presiden
kemudian membaca hasil rapat, setelah mendengar diskusi, yakin bahwa penghapusan
poenali sanctie cepat terlaksana’.
Parada Harahap, Pendiri
dan Presiden Kamar Dagang dan Industri Pribumi
Bataviaasch
nieuwsblad, 16-09-1929 (Masyarakat Madani Pribumi): ‘Pertemuan pengusaha
pribumi berlangsung kemarin di clubhouse di Gang Kenari. Di antara mereka yang
hadir adalah Mr van Baalen, Presiden Masyarakat Madani Eropa, anggota Volksraad
dan Mr. Thamrin. Ketua pertemuan, Mr Parada Hlarahap, managing editor Bintang
Timoer membuka pertemuan dan menjelaskan secara ringkas perlunya masyarakat
pribumi yang terorganisir dengan baik. Selanjutnya, studi/kajian akan ditugaskan
Mr. Djajadiningrat. Mr Thamrin menyambut niat untuk merekomendasikan untuk
membentuk Perhimpunan Masyarakat Madani (Middenstandsvereeniging). Diharapkan
oleh Thamrin agar perdagangan dan industri pribumi dapat lebih maju. Mr van
Baalen yakin bahwa ETI akan menyambut dengan sukacita sebagai kepentingan
mereka masing-masing melalui kerjasama akan sangat menguntungkan. Mr van Baalen
berharap bahwa organisasi baru ini akan dibentuk dan ditangani cukup baik untuk
kepentingan negara dan rakyat Hindia. Lalu, beberapa peserta untuk berbicara. Susunan pengurus terpilih: Presiden, Mr Parada
Harahap (Bintang 'Timoer), Wakil Presiden Abdul Gani (industry perabaton),
Sekretaris, Harun (Toko Haroen arahap), bendahara, Dachlan Sapi'ie
(Schoenenmagazijn Sapi'ie). Komisaris: MT Moehamad (Siloengkangwinkel), Tarbin
Moehadjilin (Toko Djokja), Djelami Salihoen (ledikantenhandel). Sedangkan Bapak
Thamrin bertindak sebagai penasihat. Pak Thamrin diminta untuk mengkomunikasikan
bahkan kemungkinan organisasi ini mendapat kursi di Kamar Dagang dan Industri di
sini’.
Parada Harahap, Penulis
Skenario Film
Het nieuws van
den dag voor Nederlandsch-Indië, 20-06-1930: ‘Perusahaan Tan’s Film" saat ini tengah dalam pembuatan film
pribumi. Ini merupakan lanjutan setelah sukses film novel pribumi, Njai Dasima.
Segera akan siap datang film berjudul ‘Melati van Agam, yang ditulis oleh Mr.
Parada Harahap dari Bintang Timoer. Cerita, sejarah cinta, saat ini bermain di
tanah Menangkabauers, Cerita ini benar-benar terjadi Fort de Kock. Film ini syutingdi Fort de Kock, Padang, Sawah Loento dan tempat-tempat lain. Jika tidak
ada halangan film akan diputar juga di Padang pada ulan Agustus’.
Parada Harahap,
Pemilik Koran Edisi Bahasa Belanda
Koran
berbahasa Melayu dengan investasi Eropa/Belanda cukup banyak, seperti dulu, ada
Pertja Barat di Padang (editor Dja Endar Moeda) dan Pertja Timoer di Medan (editor
Mangaradja Salamboewe). Koran berbahasa Belanda yang dimiliki pribumi nyaris
tidak ada. Tidak perlu dan kurang relevan. Java Bode mungkin mewakili pers Tionghoa.
Ternyata ada segmen pasarnya untuk kalangan orang Belanda. Karena itu, Java
Bode tetap eksis. Parada Harahap kerap menulis di Java Bode agar pesannya
sampai ke pers Belanda dan pembaca orang-orang Belanda. Kini, Parada Harahap
telah memiliki koran berbahasa Belanda. Buat apa? Tentu saja, mungkin tidak
hanya motif bisnis, barangkali motif politik, motif bertahan atau motif
menyerang kebijakan pemerintahan colonial dan pers Belanda yang provokatif.
De Indische
courant, 25-09-1930: ‘Volkscourant di Batavia, seperti yang kita baca di AID
dijual kepada Mr. Parada Harahap. Sehubungan dengan ini maka Java Express
(edisi Belanda Bintang Timoer) berhenti beroperasi. Volkscourant sekarang berpindah
ke Krekot. Aneta, 25 September melaporkan bahwa kemitraan baru Volkscourant di
Weltevreden akan terbit 1 Oktober dalam format yang lebih besar’. [Volkscourant
adalah nama baru dari De Courant yang sebelumnya kepala redakturnya adalah A.
Weeber].
Bataviaasch
nieuwsblad, 26-11-1930 (persdelict): ‘Mr. Parada Harahap dan Kontjosoengkono
masing-masing CEO dan editor Bintang Timoer kontra Mr. CW Wormser, directeur
editor Alg. Ind. Dagblad di pengadilan kemarin. Koran edisi Belanda, Bintang
Timoer digugat yang dalam hal ini Koentjosoengkono, asisten editor karena
dianggap menghina Mr Wormser. Mr. Kontjosoengkono didenda f 20 dan penjara
kurungan selama 10 hari’.
Parada Harahap,
Menyindir Anggota Volksraad Pribumi
De Sumatra post,
06-01-1931: ‘Mr Parada Harahap berdiri untuk keseratus kalinya di meja hijau.
Kali ini Parada Harahap dipanggil ke pengadilan karena korannya memuat iklan
tagihan hutang. Si penagih hutang digugat karena dianggap mencemarkan nama dan
juga editor Bintang Timoer, Parada Harahap juga diseret. Ketika dituduhkan
Parada Harahap ikut bertanggungjawab karena iklan itu menjadi pendapatannya.
Parada menjawab: Bagaimana saya bertanggungjawab?. Polisi mencecar: ‘Anda kan
direktur editor?’ Ya, tapi saya hanya bertanggung jawab untuk bagian
jurnalistik, jawab Parada Harahap. Bagian administrasi bertanggungjawab untuk
iklan. ‘Ah, kata Sheriff, ‘tanya sekarang, setuju bahwa di koran Anda muncul
iklan cabul, apakah Anda akan mengatakan tidak bertanggung jawab?. Oh, kalau soal
itu tanggungjawab saya’.
De Sumatra post,
26-01-1931(De Buitengwesten in den Volksraad): ‘Editor Java Bode mengutip
Bintang Timur yang mana Mr. Parada Harahap, editor pada tanggal 16 bulan ini
menulis dengan judul ‘Djago Sabrang’ meski anggota dewan luar Jawa dan yang
disebutnya provinsi bagian depan. Ini disebut ‘depan’ sehubungan dengan cukup
dukungan untuk kepentingan di luar Jawa yang terletak tujuan Belanda –
Inlandsch karena masing-masing dari mereka anggota dewan rakyat memiliki budaya
yang diturunkan tidak jinak, tapi keberanian memiliki kepentingan umum terhadap
siapa juga berdiri dari daerah luar sesuai Bintang Timur dilayani dengan baik.
Para editor majalah menyambut hangat jabatan Dr Ratu Langi, M. Soangkoepon dan
Soekawati, terutama dengan penambahan anggota Mukhtar, Dr. Rashid dan Koesad.
Echo kondisi bahwa orang-orang di dewan kepentingan kepulauan besar di luar
Jawa akan dipromosikan lebih intensif dari sebelumnya dan prospek pengembangan wilayah
akan datang lebih kedepan’.
Soerabaijasch
handelsblad, 03-01-1931: ‘Kami selalu melihat dia sebagai orang-ton putaran.
Mungkin dia memiliki gagasan bahwa ia, seperti lingkaran memiliki jumlah tak
terbatas sisi. Direkturnya, yang giat Parada Harahap, yang populer disebut
Batavia Paradepap yang memiliki banyak delik pers sebagai pemimpin ..Bintang Timoer’.
Parada Harahap,
Pendiri Organisasi Wartawan
Parada
Harahap mempelopori organisasi wartawan pada tahun 1919 di Medan yang diberi
nama Asosiasi Wartawan Inlandsch-Chinesche dimana Parada Harahap sebagai
sekretaris (De Sumatra post, 04-04-1919. Kini (1931) Parada Harahap turut menggagas
didirikannya organisasi wartawan nasional. Koran Bintang Timoer adalah yang
terbaik untuk Koran pribumi.
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 18-07-1931 (Congres Inlandsche Journalisten): ‘Kongres wartawan pribumi pertama
diadakan di Semarang pada 8 Agustus. Kongres ini diketuai oleh jurnalis
Semarang, sekretaris , jurnalis Sumatra, Paroehoem. Program: editor Bahagia Semarang,
Pak Yunus, akan mengadakan kuliah tentang: "Jurnalisme dan pengembangan
bisnis surat kabar"; Haji Salim akan berbicara pada "Jurnalisme dan kode
etik; RM Soedarjo tentang ‘Orang-orang dan Jurnalisme; Maradja Loebis: ‘Jurnalisme
dan kehidupan sosial’; Saeroen, Siang Po: ‘Jurnalisme dan gerakan rakyat’ dan
Parada Harahap: "Jurnalisme dan ekonomi’, sementara editor Swara Oemoem
akan berbicara pada ‘Jurnalisme dan malaise. Kemudian, organisasi wartawan,
dengan Mr Saeroen sebagai ketua dan Bapak Parada Harahap sebagai sekretaris dan
bendahara. Komisaris adalah Bakrie,
Yunus dan Koesoemodirdjo’.
Soerabaijasch
handelsblad, 15-09-1931: ‘Wartawan muda Batak Parada Harahap, direktur dan
editor Indonesisch nationalist meskipun ia mungkin dalam berbagai artikel mencerahkan
bagi nasionalisme untuk hari yang akan datang, dia berada di atas semua realis.
Dia melakukan, tanpa menjauhkan apa yang disebut orang Prancis il prend son
bien öu il le trouve. Dia dengan senang hati merekomendasikan contoh Barat saat
ia menemukan berguna, dan memuji dan menghargai dimana ia menemukan sesuatu
untuk memuji dan menghargai, bahkan jika itu adalah dengan orang Eropa.
Singkatnya, ia praktis dan turun ke bumi dan karena itu sangat dibenci dan
kadang-kadang - dengan permukaan cemburu pada perusahaannya yang berjalan dengan
baik - dibenci oleh orang-orang mabuk nasional. Yang menyebut dirinya
nasionalis, tapi kutukan dan berkampanye untuk melukai dia. Ada banyak
kebencian, persaingan dan kecemburuan dan disebut beberapa kejanggalan dan
bertindak tidak sopan di pihaknya’.
Soerabaijasch
handelsblad, 05-11-1931 (Een en ander over de Inlandsche Pers): ‘Bintang Timur telah
menjadi salah satu yang terbaik adalah hanya karena Parada Harahap’.
Parada Harahap ‘Menimang’
Soekarno dan Hatta
Parada
Harahap sudah berjuang sejak umur 17 tahun dalam kasus Poenali Sanctie. Berperang
dengan pena yang tajam. Lebih dari seratus kali berada di meja hijau. Parada
Harahap hanya berpendidikan sekolah rakyat, tetapi kemampuan berpikirnya jauh
dari seorang mahasiswa di perguruan tinggi. Parada Harahap umurnya hanya beda
dua tahun lebih tua dengan Soekarno, tetapi pengalamannya tentang arti
kemerdekaan jauh melampaui Soekarno dan Hatta. Parada Harahap tahu betul siapa
yang seharusnya memimpin bangsa pada waktunya. Parada Harahap adalah sekretaris
PPPKI yang berkantor di Gang Kenari dan tentu saja yang mengatur potret siapa
yang seharusnya dipajang. Ketika ada oknum yang menurunkan potret Soekarno dan
Hatta dari dinding, Parada Harahap air matanya menangis bagaikan seorang ayah
yang menangisi anak-anaknya yang dilecehkan oleh orang lain. Parada Harahap
adalah orang yang turut membesarkan Soekarno dan Hatta. Parada Harahap berhak
untuk menangisinya.
De Indische
courant, 27-11-1931 (De nationalist Hatta):’Di antara pemimpin cemerlang, Hatta,
seorang Sumatra, dianggap oleh banyak kalangan, setelah Ir Soekarno sebagai
yang paling sesuai sebagai pemimpin Inlandsch baik saat ini maupun masa datang.
Di dalam gedung pertemuan permufakatan di gang Kenari *c, potret Ir. Soekarno
dan Dipo Negoro telah dipajang bertahun-tahun, diambil dari dinding dan disembunyikan
di bawah. Tindakan ini telah membawa banyak keributan di antara penduduk pribumi,
bahkan wartawan Parada Harahap di majalahnya menulis dalam ‘Surat Terbuka’
telah menginformasikan bahwa, saat melihat tempat pajangan telah kosong, air
mata menangis dan pelaku diduga telah
melakukan tindakan kejahatan keji ini akan dicari di kalangan partai. Mr. Sartono
menyangkal semua itu tindakan partainya dan menolak untuk membawa potret itu (kembali)
ke tempat asalnya. Dan sekarang bahkan potret Hatta telah berdebu di bawah meja’.
Parada
Harahap 13-13-13: Wartawan Angka 13
Parada Harahap, wartawan 13 koran |
Het nieuws van
den dag voor Nederlandsch-Indië, 13-02-1932: ‘Hari ini 13 Februari diperingati oleh rekan-rekan Parada Harahap,
dari Bintang Timur, fakta bahwa ia adalah wartawan sejak 13 tahun yang lalu di
bawah namanya sendiri dimana 13 koran pada umurmya
pada tahun ketiga belas ini. Parade angka ini optimis wartawan tidak terlalu banyak
dengan apa yang disebut untuk angka sial?’
Parada Harahap
Konfirmasi Ir. Soekarno: ‘Tunggu tindakan saya, Bang’
Pada
rapat umum (kongres) pemuda tahun 1928, Parada Harahap yang mengundang Soekarbo
untuk dapat mengambila tempat untuk berpidato di kongres. Kongres ini diselenggarakan
oleh PPPKI. Sekretaris PPPKI adalah Parada Harahap. Di kantor PPPKI di Gang
Kenari, potret Soekarno termasuk salah satu yang dipajang di dinding. Ketika
Parada Harahap mengetahui bahwa potret Soekarno telah diturunkan oleh oknum
(partai) yang tak bertanggungjawab, Parada Harahap sempat menitikkan air mata
dan lalu menulis di surat pembaca Koran Bintang Timoer untuk mencari siapa yang
melakukan ‘kejahatan’ itu. Setelah sekian tahun, Parada Harahap tidak sabar,
dan coba melacak dimana kini Soekarno. Parada Harahap membutuhkan calon
pemimpin bangsa masa depan lebih cepat bergerak. Rakyat membutuhkan, Parada
Harahap tidak bisa sendirian.
Het nieuws van
den dag voor Nederlandsch-Indië (Ir. Soekarno en zijn Wederoptreden): ‘Tunggu
tindakan saya’. Ini pernyataan mahasiswa pribumi Ir. Soekarno yang telah secara
khusus meminta untuk meluangkan waktu belajar tentang partai yang nantinya
apakah akan memilih atau apakah harus tetap di belakang layar, sebagaimana
dikonfirmasinya di Bintang Timoer. Ir. Soekarno telah menulis surat kepada
editor Bintang Timoer yang diterbitkan kemarin, yang menunjukkan bahwa Soekarno
bahwa mereka (siswa) tengah mempelajari ‘teori gerakan rakyat’. Saya perlu untuk
belajar teori, karena saya ingin mengambil tindakan. Selanjutnya Soekarno
menulis: "Ketika saya lagi kemauan politik yang aktif? Aku tahu itu saja.
Aku hanya pada jawaban rakyat. Segera itu akan terlihat bahwa orang itu
sendiri, yang sekarang aku ekspor. Saya tidak ingin bermain. Dengan nasib rakyat,
politik bagi saya adalah bukan olahraga tapi masalah serius, yang membuat saya
hidup. Soekarno meminta kepada Mr Parada
Harahap, editor Bintang Timoer komentar, Ir. Soekarno bukan seseorang yang
berasal untuk Rakyat?’.
Perada Harahap
dan Sepakbola Pers
Parada
Harahap termasuk ‘gibol’. Ketika masih di Medan, Parada Harahap adalah pemain
klub Tapanoeli Voetbal Club (1917). Ketika hijrah ke Batavia, Parada Harahap
mendirikan klub sepakbola yang diberi nama Bataksch Voetbal Club dengan
homebase di Decavelt. Kini (1932) di tengah keseibukan yang luar biasa, Parada
Harahap masih sempat untuk bermain bola. ‘Gibol’ tidak ada tuanya.
Bataviaasch
nieuwsblad, 13-05-1932: ‘Parada Harahap, anggota tim sepakbola Pers di
Batavia’.
Pers dibungkam: Parada Harahap Teriak
Sinar Merdeka tidak berumur panjang tetapi
koran Poestaha masih tetap eksis. Poestaha diterbitkan pertama tahun 1915,
sedangkan Sinar Merdeka tahun 1919. Parada Harahap mendapat tekanan dari
pemerintah Belanda dan bahkan dua tahun saja selama di Padang Sidempoean,
Parada Harahap telah 12 kali diperkarakan sebagai delik pers dan dimasukkan ke
penjara Padang Sidempoean. Dengan demikian, pers dibungkam sejak 1905 di Padang
(Pertja Barat pimpinan Dja Endar Moeda) kemudian Benih Mardeka di Medan (1918)
dan kini di Padang Sidempoean koran Sinar Merdeka. Penerus Sinar Merdeka di
Tapanoeli adalah Soera Tapanoeli. Pers pribumi terus diawasi, dikebiri jika
terlalu kencang menyoal pemerintahan.
Pada tahun 1932 sejumlah surat kabar dilarang terbit.
De Sumatra post, 13-06-1932 (Verboden periodieken en
bladen): ‘Pihak berwenang militer pada kenyataannya hampir seluruh rakyat
pribumi ditempatkan pada daftar hitam, diduga melarang. Lembar dan majalah yang
dilarang adalah sebagai berikut : Persato'an Indonesia, Simpaj, Sedio- Tomo,
Aksi, Indonesia Moeda, Balai Pemoeda Bandoeng, Garoeda, Garoeda Smeroe, Garoeda
Merapi, Sinar Djakarta, Indonesia Merdeka, Impressa, Soeloeh Indonesia Moeda,
Keng Po, Sm Po, Warna Warta, Sinar Terang, Indonesia Raja, Soeara Merdeka,
Daulat Ra'jat, Banteng Indonesia, Panggoegah Ra'jat, Banteng Ra'jat, Darmo
Kondo, Haloean, Kaperloean Kita, Mustika, Pahlawan (dengan pcmoeda Kita),
Soeara Kita, Priangan Tengah, Soeara
Oemoera, Soeara Oemoem Jav. Editie, Sipatahoenan, Medan Ra'jat, Fikiran,
dan Ir. Soekarno djeung pergeraken
Ra'jat. Seperti dapat dilihat, termasuk kedua suratkabar Melayu yang pribumi
dan Chineesch. Di antara majalah yang bisa dibaca Bintang Timoer (Parada Harahap) dan" Siang Po ", baik
yang muncul di Batavia, bahkan majalah Fikiran, anggota tubuh Dr Ratu Langi di
Manado, adalah tabu. Majalah lainnya adalah organ nasionalis, semua link bahkan
diucapkan sebagai arah revolusioner’.
Parada Harahap Peduli Sesama Teman Anak Rantau
Parada
Harahap terbilang kloter pertama migrasi orang Batak ke Batavia. Tidak mudah
memang, Parada Harahap telah merintis dari bawah. Parada Harahap kini telah
sukses. Soal perjuangannya terhadap yang lain jangan diragukan. Namun migrasi
anak-anak muda Batak terus mengalir dan semakin sulit mencari dan mengkreasi
pekerjaan. Parada Harahap lalu coba menggagas bagaimana solusi untuk mengatasi
pengangguran anak-anak Batak di Batavia.
Het nieuws van
den dag voor Nederlandsch-Indië, 14-09-1932: ‘Minggu, tanggal 11 diadakan
pertemuan di gedung Loge Gebouw Vry metselaarsweg Batavia Centrum van Bataks. Pertemuan
tersebut dipimpin oleh Mr. Parada Harahap, editor dari BintangTimur. Hasilnya
adalah membentuk sebuah komite untuk pengangguran para migran Batak. Komite ini
terdiri dari: Mr. Mangaradja Soangkoepon (anggota Volkstaad) sebagai presiden.
Parada Harahap sebagai wakil presiden. Sekretaris adalah ML Siregar. Bendahara M.
Japandangan dan M. Siregar. Anggota: WO Mangunsong dan BA Siregar’.
Bataviaasch
nieuwsblad, 14-07-1933 (Bencana Alam Sumatra Selatan): ‘Tadi malam komite lokal
terbentuk, yang memiliki tujuan untuk mengumpulkan dana bagi yang membutuhkan
di daerah yang dilanda gempa di Sumatera Selatan. Komite utama yang dimaksud
adalah terdiri dari: Mochtar, anggota Volksraad sebagai Presiden. Sekretaris:
B. Dachlan Abdullah dan Parada Harahap, dir. hoofdred. van Bintang Timoer. Bendahara:
Mangaradja Soangkcepcn (anggota Voiksraad). Komite akan melakukan berbagai aksi
penggalangan dana seperti pameran mewah, pertandingan sepakbola, pertunjukan film’.
Selain itu, diminta untuk warga asal Sumatranenj dan warga Hindia umumnya untuk
juga fokus di tempat lain membentuk subkomite dan dapat meminta Komite Batavia sebagai
penghubung. Ditujukan kepada Bendahara, Mr M. Soangkoepon, alamat Jalan Petamboeran
47’.
Parada Harahap akan Berkunjung ke
Jepang
Parada
Harahap tidak memiliki hutang kepada pemerintah kolonial Belanda. Sebaliknya,
Parada Harahap bertahun-tahun ‘dizalimin’ oleh polisi kolonial Belanda dan
telah ratusan kali dipanggil ke meja hijau di pengadilan dan tak terhitung pula
berapa kali harus masuk penjara. Tawaran ke Jepang, sesama Asia jelas jawabannya.
Namun itu bukan tanpa konsekuensi (belum terpikirkan pada awal 1930an). Namun
nantinya ternyata sama saja: keluar dari mulut harimau masuk ke mulut buaya.
De Sumatra post,
16-10-1933: ‘Pada 16 Oct. (Aneta). Pemimpin Bintang Timoer, Mr. Parada Harahap
berangkat 7 November disertai sejumlah guru pribumi dan pengusaha ke Jepang.
Rombonga akan kembali melalui Manila’.[Bataviaasch nieuwsblad, 24-10-1933: ‘Jumlah yang wisata
ke Jepang sebanyak tujuh orang. Tiga wartawan, satu orang guru, satu orang kartunis, dua pengusaha (Batavia da Solo).
Tiga orang diantaranya dari pulau-pulau luar (Jawa)].
Parada Harahap
Berdukacita: Dr. Abdul Rivai Meninggal
Parada
Harahap adalah mata rantai sejarah pergerakan pemudan dan kemerdekaan. Sebagai
rantai yang panjang, Dja Endar Moeda (Harahap) telah memulainya di Padang
(1897), dan menjadi mentor Parada Harahap di Medan ketika mulai terjun ke dunia
jurnalistik (1917). Dja Endar Moeda adalah mentor bagi Dr. Abdul Rivai ketika berangkat
ke Belanda untuk bekerja sebagai editor Bintang Hindia (1904). Dja Endar Moeda
adalah mentor bagi adik kelas Soetan Casajangan di Kweekschool Padang
Sidempoean. Ketika Soetan Casajangan tiba di Belanda untuk studi tahun 1905,
yang menyambut Soetan Casajangan di pelabuhan Amsterdam adalah Dr. Abdul Rivai.
Kemudian, keduanya sama-sama membesarkan Bintang Hindia. Saat hijrah ke
Batavia, Parada Harahap berkolaborasi dengan Dr. Abdul Rivai untuk menghidupkan
kembali Bintang Hindia dan menerbitkannya. Setelah Dr. Abdul Rivai pension dan
pindah ke Bandoeng, Parada Harahap menerbitkan Bintang Timoer (sebagai suksesi
Bintang Hindia). Kini (1933), Dr. Abdul Rivai telah tiada, Parada Harahap
kehilangan mentor dan sahabat yang baik, sahabat dari seniornya dongan sahuta:
Dja Endar Moeda dan Soetan Casajangan. Selamat jalan, Uda Pa’i.
De Sumatra post,
18-10-1933: ‘Kemarin sore di pemakaman Dr Abdul Rivai melayat cukup banyak. Beberapa
anggota Volksraad hadir. Ada karangan bunga besar. Ada lima speaker: Mr van Breemen,
berbicara atas nama kepala departemen DVGL Mr Tumbelaka, atas nama manajemen pusat dari dokter pribumi,
Ratulangi nama tokoh pribumi, Mr. Ajoestami atas nama Sumatranen dan Mr. Parada
Harahap atas nama Persatuan Wartawan. Mr. Dahler berterima kasih, atas nama
keluarga’
Bataviaasch nieuwsblad, 18-10-1933 (Menghormati Memory
Dr Rivai): ‘Di Bandung dibentuk sebuah komite oleh teman-teman Dr Rivai yang
baru saja meninggal. Pembentukan ini adalah usulan dan tindakan dari Parada
Harahap, Dr. Latip dan lain-lain. Asosiasi Dokter Hindia dan asosiasi akademisi
Indonesia berpartisipasi. Hal ini bertujuan untuk mengumpulkan semua
tulisan-tulisan Dr. Rivai yang tersebar. Ekspresi simpati dengan senang hati
diundang oleh Mr. Parada Harahap’.
Rantai
tak pernah putus, hilang satu tumbuh seribu. Nama baik Dr. Abdul Rivai telah
diabadikan oleh Mohamad Hatta ketika masih kuliah di Belanda sebagai buku yang
merupakan kumpulan artikel yang ditulis oleh Dr. Abdul Rivai di Bintang Hindia.
Abdul Rivai dan Mohamad Hatta senior-junior yang selalu bermain aman dan lebih
lembut. Tetapi kombinasi Abdul Rivai dan Parada Harahap adalah perpaduan garis
lembut dan garis keras. Parada Harahap adalah penerus Dja Endar Moeda daripada
Soetan Casajangan. Dja Endar Moeda adalah wartawan garis keras (wartawan
pribumi pertama yang terjerat delik pers tahun 1905 di Padang dan dihukum
cambuk), sedangkan Soetan Casajangan sebagai akademisi lebih lembut. Lalu
kemudian, Parada Harahap telah mengindentifikasi sejak lama penerusnya di estapet
garis keras. Dia adalah Soekarno. Soekarno dan Hatta adalah dua sosok muda yang
diimpikan oleh Parada Harahap untuk memimpin bangsa ini—kombinasi lembut dan
keras. Kita lihat saja nanti: apakah ramalan Parada Harahap terbukti.
Parada Harahap
Ikut Menerima Kunjungan Delegasi Mesir
Mesir
dan Jepang adalah Negara berdaulat. Oleh karenanya, kedua Negara ini memiliki
hubungan diplomatic dengan Nederlansch Indie yang dikuasai oleh Pemerintah
Kolonial. Motif Jepang mengundang ‘delegasi’ pribumi ke Jepang kemungkinan
besar karena alasan bisnis dan politik Asia. Sebaliknya, kedatangan delegasi
Mesir ke Nederlansch Indie karena alasan kerjasama budaya (utamanya keagaaman
dan pendidikan Islam).
De Sumatra post,
08-11-1933 (national dinner): ‘Pada tanggal 8 di rumah Mr. Thamrin diadakan
jamuan makan malam untuk menghormati Komisi Mesir. Yang hadir adalah atas nama
Liga Bupati (Bond van Regenten) yang dipimpin Mr. Soejono; atas nama Vereeniging
dari Akademisi, Dr Soeratmo dan Dr Ratulangi; atas nama Nationale Fractie, Mochtar
dan Soeangkoepon; atas nama pers Melayu, Mr Parada Harahap; dan atas nama
masyarakat Arab, Mr Alatas’.
Parada Harahap
dan tiga the rising star: Soekarno, Hatta dan Amir
Ini
adalah tahun 1933. Tokoh pribumi yang berpengaruh di Batavia tentu saja belum
banyak. Mr. Hoesni Thamrin adalah tokoh yang cukup menonjol, selain putra asli
Kaoem Betawi, juga anggota Volksraad dan karenanya pas untuk Ketua PPPKI.
Parada Harahap? Hanya seorang ‘anak kampung’ di Pargaroetan, Padang Sidempoean
tetapi membuat heboh di Medan karena keberaniannya membongkar praktek poenali
sanctie. Kini, Parada Harahap di Batavia berubah drastis (dalam 13 tahun saja)
menjadi ‘anak kota’ yang sudah memiliki 13 media cetak (The King of Java Press),
editor kelas atas (wartawan terbaik versi pers Eropa), pendiri dan presiden kamar
dagang dan industri pribumi, pendiri dan sekretaris perhimpoenan jurnalistik
pribumi, pendiri dan sekretaris Sumatranen Bond. Jangan lupa, Parada Harahap
adalah pendiri dan sekretaris PPPKI, organisasi yang memprakarsai Kongres PPPKI
atau Kongres Pemuda yang melahirkan Sumpah Pemuda: Satu Nusa, Satu Bangsa dan
Satu Bahasa. Dalam posisi serupa ini, kedudukan social Parada Harahap di antara
kalangan pribumi di Batavia adalah nummer one. Parada Harahap adalah mentor
dari tiga the rising star: Soekarno, Hatta dan Amir.
Amir Sjatifoedin
adalah cucu seorang terkenal di Padang Sidempoean yang bernama Sjarif Anwar
gelar Soetan Goenoeng Toea dari Pasar Matanggor. Soetan Goenoeng Toea adalah
(murid pertama Nommensen) di Sipirok tahun 1862, yang menjadi penulis di kantor
Asisten Residen di Padang Sidempoean (1875) yang kemudian diangkat menjadi
jaksa di Sipirok (1880). Soetan Goenoeng Toea memiliki dua anak: Hoemala gelar Mangaradja
Hamonangan (guru menjadi pengusaha) dan Djamin gelar Baginda Soripada (mantri
polisi menjadi jaksa). Mangaradja Hamonangan adalah ayah dari Dr. Todoeng gelar
Soetan Goenoeng Moelia (anggota Volksraad, alumni Belanda). Baginda Soripada
adalah ayah dari Amir Sjarifoeddin gelar Soetan Goenoeng Soaloon. Todoeng
adalah kuliah ke Negeri Belanda 1911 dan lulus 1915. Sebelum Todoeng datang,
sudah ada dua anak Padang Sidempoean di Negeri Belanda yakni Soetan Casajangan
(1905) dan Mangaradja Soangkoepon (1910). Amir Sjarifoedin setelah lulus
sekolah dasar ELS di Medan dikirim oleh kakeknya ke Negeri Belanda untuk
melanjutkan sekolah menengah (1921). Sebelum ke Negeri Belanda, Amir bersama
Todoeng di Batavia. Setelah lulus sekolah menengah, Amir melanjutkan ke
pendidikan tinggi. Amir masuk perguruan tinggi di Haarlem (1926). Tahun 1927,
Amir pulang kampong karena alasan ada masalah di dalam keluarga. Kuliahnya
dilanjutkan di Batavia (Rechtschool). Setelah lulus kuliah dan mendapat gelar
Mister (Mr) di Batavia, Amir langsung terjun ke dunia politik. Pada saat yang tidak
berjauhan, Mohamad Hatta lulus kuliah di Belanda pulang ke tanah air dan terjun
ke dunia politik. Demikian juga Soekarno lulus dari sekolah teknik di Bandoeng
langsung terjun ke dunia politik. Dalam fase dimana tiga rising star ini
muncul, Parada Harahap adalah tokoh penting pergerakan pemuda di Batavia.
Parada Harahap adalah mentor dari ketiga the rising star ini. [Parada Harahap
lahir 1899, Soekarno (1902), Amir (1907), dan Hatta (1901)].
Parada Harahap, The King of the Java Press ke Jepang, Hatta Bergabung
Inilah
saat pertama muncul politik luar negeri Indonesia ketika anak-anak pribumi
bekerjasama dengan Jepang. Selama ini gerakan politik anak-anak pribumi hanya
terbatas politik dalam negeri (di dalam lingkup Nederlansch Indie dan
Nederland). Ini ibarat anak-anak pribumi dipaksa harus memilih: blok barat
(Nederland/Europe) atau blok timur (Japan/Asia). Parada Harahap (senior/jurnalistik)
dan Mohamad Hatta (junior/mahasiswa) memainkan peran penting. Parada Harahap
tidak punya hutang terhadap Belanda, maka pilihan Parada Harahap tidak ada
pilihan harus bekerja sama dengan Jepang. Mohamad Hatta juga tergolong tidak
punya hutang terhadap Belanda, namun seperti lazimnya anak-anak pribumi yang
mendapat pendidikan dari guru-guru Belanda (di Nederlansch Indie atau
Nederland) cenderung berkolaborasi (ingin kesetaraan) tetapi, Hatta tampaknya
sedikit melenceng dan lebih revolusioner dibanding yang lain dan sudah terang-terangan
‘ogah’ sama Belanda dan masih ‘mikir-mikir’ berkolabari dengan Jepang. Parada
Harahap dan Mohamad Hatta, dua pribumi revolusioner yang menjadi pusat
perhatian intel/polisi di Hindia Belanda.
Het nieuws van
den dag voor Nederlandsch-Indië, 17-11-1933 (Gratis Reisje. Inlanders naar Japan): ‘Dua jurnalis, satu dealer
dan satu guru telah meninggalkan Priok dengan kapal Jepang, Nagoya Maru yang
dipimpin Mr. Parada Harahap, editor dari Bintang Timoer. Disamping itu, seorang
mahasiswa jurnalis akan tiba di Jepang secara terpisah untuk merekam situasi
politik dan ekonomi, di Jepang’.
De Gooi- en
Eemlander : nieuws- en advertentieblad, 28-11-1933: ‘Hatta, yang dikenal
sebagai Gandhi ‘Indonesia’ disambut di Jepang, pergi ke sana untuk mendapatkan
hubungan Commerciale. Sekarang pergi ke Jepang sebagai tokoh politik muda’.
Het nieuws van
den dag voor Nederlandsch-Indië, 05-12-1933: ‘Inlanders ke Jepang. Aneta-Iwaki mentransmisikan tanggal 4
kelompok yang dipimpin oleh direktur BintangTimur, Mr. Parada Harahap, telah
tiba di Kobe’.
Parada Harahap, Berangkat Bagaikan ‘Menteri
Luar Negeri’: Belanda vs Jepang
Parada
Harahap saat ini dapat dianggap sebagai ‘menteri luar negeri’ yang membuka ruang
bagi tokoh-tokoh penting lainnya, utamanya Soekarno, Hatta dan Amir. Parada
Harahap hanya berpendidikan formal sekolah rakyat (SD), tetapi semangat belajar
sangat luar biasa (otodidak). Adik dongan sahuta Parada Harahap pada nantinya, Adam Malik (keduanya
kebetulan pernah penghuni tetap penjara Padang Sidempoean) yang hanya sekolah
menengah pertama (SMP) akan menjadi menteri luar negeri (sesungguhya) ketika
membuka ruang bagi tokoh-tokoh lainnya seperti Widjojo Nitisastro, Emil Salim, Ali Wardhana,
dan JB Soemarlin.
Parada Harahap,
Orang Pertama Indonesia yang akan ke Jepang
Ini
tahun 1933. Parada Harahap saat ini menjadi pusat perhatian intel dan
pemerintah kolonial Belanda. Semua koran berbahasa Belanda di Nederlansch Indie
menyajikan berita dan opini tentang Parada Harahap. Koran-koran yang terbit di
Nederland juga tidak ketinggalan. Sebab tokoh sentral Parada Harahap dalam hal ini
bukan soal Inlander vs Moderlander lagi, tetapi Eropa vs Asia (head to head). Dari
sisi pers, Parada Harahap telah membuat pers Belanda tampak heboh. Dulu, tahun
1925, Parada Harahap pernah menyerang pers Belanda (lihat De Indische courant,
17-09-1925). Kala itu, hanya Parada Harahap yang berani perang terbuka dengan
pers Belanda. Sekarang, sepak terjang Parada Harahap telah membuat gaduh pers
Belanda. Di dalam kegaduhan pers Belanda tersebut, Parada Harahap tengah berada
di atas angin. Angin yang berhembus ke arah timur. Entah ada kaitan atau tidak
mengapa pula koran Parada Harahap diberi nama Bintang Timoer (sebelumnya
Bintang Hindia)
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 28-12-1933: ‘Unsur-unsur eksentrik revolusioner Indonesia ke Jepang dengan dalih kunjungan komersial, tidak hanya perhatian pemerintah!
Juga menjadi hal-hal baru yang dipantau oleh bidang politik. Di tempat lain, di
belakang nama-nama otoritas perdagangan Indonesia kualitas mereka, dan mereka
seharusnya telah terlihat. Aneh di Jepang dua wartawan [salah satu Parada
Harahap], seorang pedagang batik,‘master sekolah’ [M. Hatta] dan mahasiswa adalah
penamaan orang sebuah ‘commissionnall’. Apakah Anda punya jawaban yang
memuaskan untuk apa Mr Parada Harahap dari Bintang Timur di Jepang menyatakan
baik di meja sebuah ‘sukiyaki dinner’ di Kikusui, hasil wawancara (ini tidak dikonfirmasi)
Namun dia [Parada Harahap] mengatakan.; Kami ingin membantu membangun hubugan antara
masyarakat Jepang dan Jawa, dan tujuan lain maka kita ingin (adat) masyarakat
di Jawa di negara Anda dapat terhubung. Selanjutnya, berbicara tentang jutaan
Java bahwa Jepang ingin tahu apa yang harus Parada Harahap dapat dilakukan.
Terbaik melalui pers Melayu Karena Pemerintah Nederiandsche juga Hindia Belanda
dan untuk kepentingan mereka mewakili Pemerintah Jepang melalui duta besar
untuk Tokyo, Parada Harahap memberikan jaminan pada penciptaan hubungan harmonis
antara bangsa-bangsa (sic) dari Jawa dan Jepang meskipun penting untuk
melakukan, namun maksud terselubung dari seluruh disebut bandelsgedoe ini. Ini
komite perdagangan tidak ada pejabat, adalah murni pribadi, agak transparan,
hobi. Dan bahkan jika beberapa ‘acara resmi’ memiliki, maka itu bukan di jalan
misi dagang untuk membuat hubungan ramah antara masyarakat’.
Parada Harahap, The
King of the Java Press in Japan
Bataviaasch nieuwsblad, 29-12-1933 (Java in Japan: The
King of the Java Press): ‘The King of the Java Press’ telah tiba di Jepang. Dan
ada resepsi diberikan, dia dijamu layaknya seorang raja, Mr Parada Harahap dari
Bintang Timoer dan partainya dari atas
tampaknya benar-benar melakukan yang terbaik mereka dan dengan demikian
sepenuhnya diperlakukan tuan tamu mereka dalam roh, yang merupakan kunjungi
lonjakan negara dari Jawa ke Jepang ini, untuk alasan apa pun, sehingga sekuat
mungkin untuk mendorong, dan dengan cara lain yang begitu mahal dapat
memfasilitasi kontak dengan gerakan masyarakat adat. Misi Perwakilan Comirercial
dari Jawa, yang orang-orang ini wartawan koran, termasuk agen batik diizinkan
berbicara. Di kapal mereka disambut oleh Mr Shinzaburo Ishiwara, ‘general
manager’ dari Ishiwara Sangyo Kaisha Kabushiki Kobe. Berkenaan dengan tujuan
kunjungan mereka, pemimpin kelompok, Raja dari Pers Jawa, Mr. Parada Harahap,
yang memimpin lima surat kabar Melayu diantaranya Bintang Timoer, berbicara
bahwa: ‘Kami datang ke sini untuk melihat-lihat dan menikmati tempat-tempat
terkenal keindahan alam dan juga untuk melihat ke pemimpin lingkaran
perdagangan dan industry. Kami dapat untuk membantu dengan pembentukan hubungan
persahabatan antara masyarakat Jepang dan Jawa. Mr Parada Harahap juga murah
hati dengan nasihat yang baik. Ia berpikir bahwa Jepang akan melakukan sendiri
benar mengerti populasi millionen di Jawa, yang ingin datang untuk mengenal
negara ini dan ini bisa dilakukan dengan bantuan pers cukup baik kemudian
ternyata bahwa Mr Parada Harahap siap untuk menyebarkan berita tentang Jepang
sebanyak mungkin dan mengatakan masih akan menulis tentang Jepang dalam sebuah
buku-hampir tidak bisa membawa semua niat ini, karena ia takut kunjungan
singkat hanya selama tiga minggu, ia berpikir ke Jepang untuk memutar kembali
waktu berakhir tentang Cherry Blossom dan sebagai anggota dari ‘Indonesia
Parliamentary Party’.
De Indische courant, 29-12-1933 (Harahap in Japan: The
King of the Java Press): ‘Sudah pergi, sebagai salah satu di kalangan luas di
negeri ini, dengan perusahaan dari editor kepala Bintang Timur, ParadaHarahap
yang membuat perjalanan ke Jepang, menurut Java Bode. Tampaknya dari majalah
Jepang terbaru adalah perusahaan menerima enam ini ke Kobe dengan kehangatan
dan kehormatan, yang jauh melebihi pentingnya orang-orang yang bepergian. Bahkan
pers - atau tampaknya - telah datang dari pria terkesan. Kita mengatakan
tampaknya karena kemungkinan tidak dikecualikan bahwa Jepang berguna mulai
kunjungan sebagai kesempatan untuk mengambil di Hindia Belanda, yang mereka
dapat menghasilkan saja. The Osaka Mainichi, sebuah majalah yang memiliki
sirkulasi tetap terhadap jutaan, ParadaHarahap menggambarkan sebagai ‘Raja pers
Java. Dia adalah kepala dari lima surat kabar pribumi, termasuk "Bintang
Timur. "Kami ingin membangun antara masyarakat Jepang dan Jawa hubungan
baik dan untuk tujuan kita berniat, yang Anda inginkan. Jasa Jawa Pers Jepang
akan melakukannya dengan baik untuk membuat dirinya dimengerti oleh jutaan
orang baik di Jawa, dan ini mungkin - kami percaya - capai melalui pers. Ada
saat ini 240.000 orang Eropa di Jawa dan sebagian besar dari mereka dapat
berlibur di Eropa tidak mampu, karena ada hambatan harga tinggi dan perjalanan
panjang. Jepang adalah posisi yang sangat menguntungkan untuk menarik pekerja
keras Eropa, yang memiliki kebutuhan liburan, untuk dirinya sendiri. Hal ini
sangat disayangkan bahwa, meskipun di Jawa banyak yang diketahui tentang
politik, ekonomi, kehidupan sosial dan atletik di Eropa, pada saat ketika
orang-orang sedikit yang diketahui tentang Jepang dan ini adalah Jepang sendiri
dalam ukuran kecil yang bertanggung jawab karena saya takut bahwa itu adalah
pertukaran berita tentang kehidupan di Jepang dan Jawa diabaikan. Saya bersedia
bertukar berita dengan Jepang seluas mungkin untuk menyebar. Saya berencana
untuk menulis buku tentang Jepang. Saya hampir tidak bisa berharap untuk
mencapai perjalanan, tujuan saya tapi rencana saya untuk kembali ke Jepang pada
saat cherry blossom sebagai anggota dari Indonesia Parliamentary Party’.
[Berita ini dilansir De
Sumatra post, 03-01-1934; oplah De Sumatra Post di Padang Sidempoean cukup
tinggi]
Parada Harahap Pulang
dari Jepang: Berperan Bagai ‘Menteri Ekuin’ Indonesia
Parada
Harahap berangkat ke Jepang pada kunjungan pertama (7 November) hanya dilirik
pers Belanda sebagai berita kecil. Kini, setelah Parada Harahap pulang, pers
Belanda matanya mulai terbelalak.
Soerabaijasch handelsblad, 11-01-1934 (De Javasche
Perskoning. Keert terug.): ‘Dengan kapal ‘Panama Maru, yang hari Sabtu kapal
diharapkan merapat di Tandjong Perak, akan kembali Mr. Parada Harahap, Editori
Chief dari Bintang Timoer, yang selama tinggal di Jepang memiliki kesan menjadi
poster sebagai tokoh jurnalieme Hindia
Belanda. Kapal meninggalkan hari berikutnya ke Batavia, belum diketahui apakah di
sini The King of Java Press akan pergi ke darat dengan Panama Matu akan terus
berlanjut ke Batavia’.
De Indische
courant, 13-01-1934 (Parada Harahap. Kembali dari Jepang. Wawancara): ‘Wartawan
pribumi Mr. Parada Harahap telah tiba
disini pagi ini dengan Panama Maru dari Osaka Shosen Khaisa. Dia tinggal di
sini selama beberapa hari, dan kemudian ke Batavia. Mr. Parada memiliki lima surat
kabar pribumi, di Batavia dan Bandung. The "Bintang Timoer", yang Mr
Parada kepala redaksi majalah adalah yang terbesar dan paling penting. Dari
tujuh, dua warga Indonesia di Jepang tertinggal di belakang, agar sana untuk
membuat kemajuan dalam belajar untuk universitas; baik belajar dalam kimia. Kelompok,
yang mencakup seorang guru dan seorang apoteker yang diam di Jepang selesai sekitar
satu bulan program ke Tokyo. Tapi itu bukan maksud Bapak Parada, hanya untuk
dilihat, industri besar apa yang ia harus tur hanya Pabrik mobil, pesawat
terbang, dll. Dia ingin melihat negara dengan mata kepalanya sendiri, juga
membuat studi tentang perusahaan-perusahaan kecil, termasuk di bidang pertanian
hortikultura dan daerah peternakan. Di sana mereka punya di Hindia lagi. Bahwa
Jepang barang manufaktur sangat murah adalah dongeng. Barang yang diproduksi di
semua rentang harga murah. Setiap negara akan menerima barang, yang bisa berada
di sana. Disimpan jadi itu akan membuat akal untuk Jepang, di HIndia kini menjejalkan
dengan barang-barang mahal. Populasi mereka tidak bisa membayar. Memang semakin
mahal dan karena itu pergi barang yang lebih baik ke Amerika dan Eropa.
Essentials untuk Jepang adalah bahwa ada pasar untuk itu. Dan itu saja. Jepang
masih lebih murah menghasilkan mereka, daripada sebagian besar negara di dunia.
Sebuah kecenderungan tertentu untuk Mr Parada telah membuktikannya. Upah
rendah, metode untuk geperfectionneerd secara rinci, tingkat yen rendah. Harga
jual juga rendah. Oleh karena itu, barang-barang Jepang terbang ke luar negeri.
Dua yen secara kasar setara dengan emas. Jepang bertujuan untuk segalanya untuk
mengepung Eropa. Pendidikan adalah baik-baik saja, menemukan satu universitas
besar, yang memberikan yang terbaik profesor mengajar. Bahwa lembaga pendidikan
tinggi yang disimpan di bangunan yang indah dan dilengkapi dengan cara yang
paling modern perpustakaan luas dengan buku dalam semua bahasa. Pengajaran
bahasa telah berkembang sangat dalam beberapa tahun terakhir. Setiap Jepang
yang pergi ke luar negeri, diperbolehkan untuk mengajar bahasa Negara tujuan.
Dengan demikian, ada dua orang Indonesia di Jepang, salah satu dari Hindia
Belanda, yang lain dari Singapura, yang mengajar dalam bahasa pribumi. Dengan
demikian, Mr Parada Harahap mengatakan kepada kami beberapa hal dari
kesan-kesan. Dia yakin bahwa Hindia dalam beberapa hal dapat belajar banyak
Jepang. Asli dari negara yang dapat belajar untuk menusuk, untuk menjadi aktif
dan berkembang. Besar motivasi diri adalah hands. Hal ini hoognoodig baginya,
dia tidak mendapatkan di belakang dan di bawah tekanan. Mr Parada mengatakan
kepada kami akhirnya bahkan sebagian, bahwa ia akan menunjukkan. Tayangannya
dalam artikel dan dalam bentuk buku. Buku yang ditulis dalam bahasa Melayu
muncul sekitar bulan April sebagai terhadap waktu yang sama, sebuah kelompok
kedua Indonesia akan berangkat ke Jepang’.
Parada Harahap Membuat Pers di Belanda
Mulai Khawatir Keberadaan Bangsa Belanda di Indonesia
Parada
Harahap yang datang dari pers merdeka, wartawan revolusioner yang kini pemilik
lima surat kabar, yang juga ketua kamar dagang dan industry pribumi, ketika
pulang dari Jepang berjalan dengan tegak. Wartawan dari pers Belanda
mewawancarai Parada Harahap. Inilah kali pertama pers pribumi revans terhadap
pers Belanda. Koran-koran di Belanda menurunkan laporan tentang Parada Harahap,
diantaranya De Telegraaf (edisi 29-01-1934), Het Vaderland : staat-en
letterkundig nieuwsblad (edisi 29-01-1934), De banier : staatkundig
gereformeerd dagblad edisi 16-02-1934, Algemeen Handelsblad edisi 14-02-1934, De
tribune : soc. dem. Weekblad edisi 15-03-1934 dan koran-koran lainnya. Untuk
mendapat cover both side, wartawan Belanda harus sibuk pula menerjemahkan koran-koran
berbahasa Jepang yang terbit di Jepang, seperti Osaka Mainichi, Tokyo Nichi Nichi
dan lainnya. Algemeen Handelsblad merangkum isu Parada Harahap sebagai
keprihatinan terhadap pemerintah Belanda.
Algemeen
Handelsblad, 14-02-1934 (Onze Oost Japans Politike Belansg-Stelling. Meer
aandacht gevraagd): ‘Ada juga diantara para pemimpin gerakan masyarakat adat
untuk kepentingan Hindia Belanda di Jepang, negara Oriental, begitu luar biasa
dalam waktu singkat, Westersch begitu luar biasa mampu untuk berbelanja dan
jangan ragu untuk melemparkan dirinya sebagai juara Asia dan masyarakat. Perjalanannya
telah menarik banyak minat di kalangan pribumi dan disebut akan, seperti yang
telah dilaporkan, waarschijniyk diikuti oleh orang lain. kepentingan para
pemimpin pribumi kami untuk Jepang didorong oleh serikat "Kaigai Kyolky
Kyokai," serikat membuat propaganda untuk tujuan oleh Jepang, yang
berbasis di Hindia. Seorang wartawan Jepang menulis tentang dalam lembar
Maleisen, termasuk yang berikut: Serikat yang akan. segera memulai pendirian
pesantren untuk kepentingan mahasiswa asing. Persiapan ini sudah hampir
selesai. Biaya per bulan per siswa diperkirakan sekitar 50 yen (25 gulden). Ini
akan dibangun sekolah menengah pertanian, sekolah perdagangan, sekolah teknik. Pada
saat ini, menurut wartawan, satu telah berada di Tokyo beberapa mahasiswa dari Hindia.
Pada yang terakhir Pan-Aziëeongres telah berbicara termasuk Sumatera, beberapa
Gaoes bahwa kursus dalam bahasa Jepang. Saya minta maaf - demikianlah wartawan,
bahwa ada begitu sedikit disebut mahasiswa Hindia, baik untuk kepentingan
kemajuan Indonesia seperti untuk memperkuat persahabatan antara negara-negara Asia.
Dianjurkan untuk mengirim sebanyak mungkin orang-orang muda ke Jepang. Mengapa
hal ini menguntungkan untuk pergi ke Jepang tidak perlu dibahas lebih lanjut.
Posisi Jepang di Dunia Dikenal. Mengenai ilmu, seperti astronomi, listrik,
kedokteran, teknik, djiudjitsu, dll Jepang adalah No. 1 di dunia! Hindari
propaganda ini Hindia tidak bisa meninggalkan acuh tak acuh. Dan meskipun kita
tidak tahu bahwa di balik sutra Jepang mengintai kebijakan luar negeri resmi
atau tidak resmi, kasus apapun, itu yakin bahwa kepentingan pribumi yang
tertarik untuk Jepang, sebuah tahanan politik. Satu dapat sekitar mereka
berbicara dan mengatakan bahwa ada interpretasi lain. Kami sangat menghormati
tenaga kerja dan warga negara berada di bawah pemerintah pansche dan
orang-orang Jepang, tapi di situlah letak bahaya, menyerukan Jepang sendiri dan
bagi lingkungannya, bahwa yang terbaik adalah secara terbuka mendiskusikan. Jika
Jepang memang untuk perdagangan dengan Hindia Belanda adalah mengembangkan,
maka seharusnya tidak menggoda dengan para pemimpin terisolasi vftnjer gerakan
masyarakat adat, tapi kehormatan ini untuk semua sentuhan mengacu pada jalur resmi’.
Parada Harahap,
Pengalaman Intelektual di Jepang: Nederland Tidak Ada Apa-apanya
De banier:
staatkundig gereformeerd dagblad, 16-02-1934 (Pengalaman dari intelektual Indonesia
di Jepang): ‘Mr Parada Harahap 13 Januari kembali. The Ind Ct. Surabaya telah
berbicara dengannya dalam perjalanan, dan menceritakan hal-hal Jepang telah
berada di industri dalam jangka pendek sangat diperluas. Sejumlah besar barang
yang diproduksi dikirim ke luar negeri dari fabrleksboeken Mr Parada bisa
memverifikasi bahwa jumlah yang dikirim ke Hindia benar-benar sangat signifikan
dan dalam waktu dekat, jika memungkinkan, akan semakin besar. Dapat dimengerti
bahwa Japenners peninggian akhirnya tugasnya untuk tidak berbicara. Pengajaran
bahasa telah berkembang sangat dalam beberapa tahun terakhir. Setiap Jepang
yang pergi ke luar negeri, diaktifkan bahasa negara yang belajar kesempurnaan.
Dengan demikian ada dua orang Indonesia di Jepang, salah satu dari Hindia, yang
lain dari Singapura, yang mengajar dalam bahasa pribumi. Itu sangat menarik
untuk mendengar, kata traveler kami, bahkan pemuda Jepang bisa berbicaraMelayu
beberapa kata dan wisatawan ke Indonesia dengan Slamet Dateng! (Welcome!)
menyambut. Selama perjamuan, yang hanya duduk dengan Jepang Mr Parada Harahap
yakin bahwa Hindia dalam beberapa hal banyak dari Jepang dapat belajar untuk
mendalam, untuk secara aktif dan harus berkembang. Besar motivasi diri adalah
hands ini untuk dia, sangat diperlukan, tidak akan jatuh di belakang dan
kesengsaraan. Mr. Parada akhirnya diberitahu bahkan sebagian, bahwa ia tayangan
dalam artikel dan akan muncul dalam bentuk buku. Buku ini ditulis dalam bahasa
Melayu muncul kira-kira dalam April. Pada saat itu, kelompok kedua Indonesia
akan berangkat ke Jepang.
Parada Harahap,
suatu Keajaiban dan M. Hatta, suatu Kebajikan: Keduanya Memilih ‘Penawar Harga
Tertinggi’
Parada
Harahap hanya sekolah rakyat tetapi memiliki otak jenius. Ketika menjadi krani,
prestasinya naik pesat bahkan ‘katanya’ mampu mengalahkan akuntan bangsa Jerman
yang bekerja di perusahaan itu. Ketika melihat para pekerja perkebunan (asal
dari Jawa dan Asia Timur/Tionhoa) dengan penerapan poenali sanctie, hatinya
berubah total. Eropa/Belanda dirasakannya penghisap lalu membongkar kasus
poenali sanctie. Setelah dipecat malah bergabung dengan pers yang menjadi
pemicu dia dipecat. Pers yang merdeka: Parada Harahap mulai menanam di Benih
Mardeka dan megolahnya di Sinar Merdeka. Itu tidak cukup, perlu organisasi
pergerakan pemuda dan politik agar bisa
menghela gerbong pemikirannya menuju pintu kemerdekaan. Untuk memiliki
portofolio yang tinggi, Parada Harahap memadukan bisnis dan jurnalistik dalam
satu badan: Membangun dinasti persuratkabaran (seperti seniornya Dja Endar
Moeda di Sumatra) di Jawa. Parada Harahap sadar mengukuisisi Bintang Hindia dan
mengubahnya menjadi Bintang Timoer yang kelak menjadi ‘perahu’ untuk menuju
bintang (matahari) timur. Hasilnya: bisnis Parada Harahap berkembang pesat lalu
mendirikan Kadin sebagai kendaraan lain. Anehnya, semakin kaya, Parada Harahap
justru semakin garang terhadap bangsa Eropa/Belanda. Bisnis dan jurnalistik
merdeka adalah portofolio terpenting dari pribumi yang dijadikan sinyal yang
dipantau terus-menerus dari Tokyo dan Kobe. Organisasi dan politik semakin
memperkuat (fungsi produksi) portofolio Parada Harahap di mata Jepang. Sebaliknya,
untuk kebutuhan Jepang, saat itu pribumi yang memiliki portofolio tertinggi
hanyalah Parada Harahap. Karena itu, (fungsi kebutuhan) preferensi tertinggi
pemerintah Jepang memilih Parada Harahap. Jepang sangat menyadari siapa yang
harus dipilih, sebaliknya Parada Harahap sadar bagaimana meningkatkan fungsi
produksi kemerdekaan. Ini semua tampak sebagai garis continuum Parada Harahap yang
sangat intuitif—bagaikan cara berpikir anak jenius: suatu keajaiban yang meretas
jalan menuju bintang timur (matahari terbit=Jepang).
Mohamad
Hatta, seorang pelajar, seorang yang tekun seperti Parada Harahap. Bedanya:
Parada Harahap bersifat radikal, sedangkan M. Hatta lebih incremental (smart).
Di Belanda, Hatta dengan sadar mengubah artsitektur organisasi pelajari: dari
kompromistis (Indisch Vereniging/IV) menjadi lebih terprogram (Persatoean
Pelajar Indonesia/PPI). IV didirikan oleh Soetan Casajangan (Harahap) dan IV
dikembangkan Hatta menjadi PPI yang lebih prodemokrasi. Pertemuan dua anak muda
Indonesia (Parada Harahap dan M. Hatta) lewat Dr. Abdul Rivai dan Soetan
Casajangan. Dr. Abdul Rivai alumni Docter Djawa School di Batavia berangkat ke
Belanda 1904 dan menjadi editor Bintang Hindia. Kemudian menyusul Soetan
Casajangan, alumni Kweekschool Padang Sidempoean untuk studi di Negeri Belanda
(1905). Dr. Abdul Rivai (editor Bintang Hindia) bahu membahu dengan Soetan
Casajangan di Belanda (penggagas didirikannya perhimpunan pelajar). Kini di
Batavia, Dr. Abdul Rivai berkolaborasi dengan Parada Harahap untuk membangun
kembali Bintang Hindia dan Soetan Casajangan tetap menjadi guru (Direktur
Normaal School di Mister Cornelis/kini Jatinegara).
Singkat
cerita: Parada Harahap adalah suksesi Soetan Casajangan, dan M. Hatta adalah
suksesi Abdul Rivai. Pemikiran-pemikiran Abdul Rivai tersebar di banyak artikel
majalah/Koran. Sedangkan pemikiran Soetan Casajangan terangkum dalam buku yang
ditulisnya dan diterbitkan di Belanda tahun 1913 berjudul: 'Indische Toestanden
Gezien Door Een Inlander' (negara bagian di Hindia Belanda dilihat oleh
penduduk pribumi). Diterbitkan di Baarn oleh Percetakan Hollandia-Drukkerij.
Buku ini adalah sebuah monograf (kajian ilmiah) setebal 48 halaman yang
mendeskripsikan dan membahas tentang perihal ekonomi, sosial, sejarah budaya
Asia Tenggara (nusantara) dan pertanian di Indonesia. Buku ini berangkat dari
pemikiran bahwa sudah sejak lama penduduk pribumi merasakan adanya dorongan
untuk penyatuan yang lebih besar yang kemudian dengan munculnya berbagai sarikat,
antara lain Indisch Vereeniging (digagas oleh Soetan Casajangan), Boedi Oetomo
(digagas oleh Wahidin) dan Sarikat (Dagang) Islam (Tjokroaminoto). Buku ini
sangat mengejutkan berbagai pihak di kalangan orang Belanda baik di Negeri
Belanda maupun di Hindia Belanda. Jangan lupa: Soetan Casajangan adalah pendiri
koran Poestaha di Padang Sidempoean (1915). Ketika pulang kampong dari Medan
(Benih Mardeka) Parada Harahap menerbitkan koran Sinar Merdeka. Sejak 1919
kedua koran yang terbit di Padang Sidempoan ini editornya adalah Parada Harahap
(Bataviaasch nieuwsblad, 19-06-1920). Rintisan Soetan Casajangan diperkuat
Parada Harahap. Sedangkan rintisan pemikiran Abdul Rivai di dalam
artikel-artikelnya, setali tiga uang, juga diperkuat oleh M. Hatta dengan
membukukan artikel-artikel tersebut menjadi buku (Nieuwe Rotterdamsche Courant,
28-08-1928).
Pada
akhir 1933/awal 1934 Parada Harahap bertemu di Jepang. Parada Harahap
‘direkrut’ di Batavia lalu menuju Kobe. Sedangkan M. Hatta ‘direkrut’ di Rotterdam
sebagai ‘sarjana ekonomi’ lalu berangkat langsung menuju Kobe. Parada Harahap
dan M. Hatta adalah dua anak muda tokoh penting dalam kunjungan orang-orang
Indonesia pertama kali datang ke Jepang. Dua orang ini terbilang ‘pembeli’
utama tawaran harga tertinggi yang kini diperebutkan dua competitor (Belanda vs
Jepang). Jepang, valuenya sangat tinggi untuk semua aspek/negara dengan ekonomi
tengah tumbuh pesat (dibanding value Belanda yang sudah sangat merosot
harganya/negara hampir bangkrut). Dua pemuda Indonesia adalah pionir dalam
hubungan internasional. Parada Harahap berkembang secara imajinatif, dan M.
Hatta berkembang secara pragmatif.
De tribune: soc.
dem. Weekblad, 15-03-1934: ‘Mr Parada Harahap, penerbit ‘netral’ majalah
Melayu, dimana ‘netral’ terhadap propaganda Hitler dan General Haraki. Harahap
dan rombongannya diterima oleh Walikota Kobe, oleh Gubernur Shirane dan Chamber
of Commerce, serta pers Jepang yang membuat pengaruh besar didirikannya Institute
Jepang-Indonesia, dimana pelajar Indonesia bisa belajar di Jepang dengan murah
dan mendapatkan semua informasi tentang pendidikan tinggi di Jepang. Majalah pribumi
‘Soeara Oemoem’ menulis: ‘Tuan-tuan national reformisten menawarkan jasa mereka
kepada imperialisme Jepang - sementara mereka mencoba untuk mendapatkan koneksi
dengan Jepang dengan konsesi sedikit longgar untuk mengancam kolonial Belanda!
Hal ini jelas bahwa tidak ada kebijakan yang dapat merusak bagi masyarakat
Indonesia. Siapa di Jepang mencari dukungan melawan imperialisme Belanda
berasal dari hujan menetes. Kaum burjuis Indonesia menawarkan dirinya kepada penawar tertinggi untuk bertindak
sebagai agen. Penindasan kolonial. Namun, fakta bahwa colonial juga meneteskan
cahaya terang seperti Hatta yang kini melakukan perjalanan ke Jepang, dalam
rangka propaganda untuk ‘Pan-Asian’ oleh kebijakan Jenderal Araki. Satu akan
mengatakan bahwa bahkan para pemimpin OSP dan Mohammad Hatta harus belajar, jika
Anda tidak gulma, mereka melakukannya begitu lama tidak mampu lagi komandan
fasis Belanda sangat takut tentara Jepang dan armada Jepang, mereka gemetar di
kursi mereka, karena mereka membaca bahwa telegram Baron Gah dari Tokyo yang
ditujukan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, yang ia dari kelompok
keuangan, yang ia mewakili, memprotes pembatasan impor Jepang, sebagai
bertentangan dengan ditutup oleh perjanjian perdagangan Indonesia. Dan mereka
melihat tapi satu jalan keluar: penguatan militerisme Belanda ‘The Rijkseenheid’
mengamati: bahwa armada kami di India jauh terlalu lemah! bahwa Hindia adalah basis
cukup kuat ETI karena Angkatan Darat Hindia terrlalu banyak penyimpanan bahan
bakar minyak berat yang cukup dipertahankan di Hindia; militer ETI memiliki
cukup artileri, tank, sumber anti-pesawat tetapi denga armada yang lemah; bahwa
kavaleri terlalu banyak berkurang; dengan jumlah cukup dari komandan latihan
berulang-ulang, bintara dan laki-laki kehilangan kesempatan untuk berlatih
cukup. Dan pisau teror fasis menunjuk ke ‘seringai Japansche’ dan bahaya besar
yang mengancam provinsi Southern kita, sekarang Perancis dan België di border
timur dalam kondisi yang tangguh disebabkan oleh cuaca. Kesimpulannya adalah,
tentu saja, harus memperkuat Wehrmacht’ Tidak ada pemotongan tentara dan
angkatan laut, tetapi menghabiskan unsparingly. Mari kita membeli kapal perang,
bunker beton, artileri, amunisi dan pesawat dan untuk pengangguran untuk tenaga
kerja! Perang Harness alih-alih bekerja dukungan berdaya tersebut adalah slogan
mulia baru dari kaum fasis Belanda Kita tahu betul bahwa ini akan bertemu
dengan oposisi yang besar, kaum borjuis Belanda tidak dalam limbo, bahwa kelas
pekerja tidak berkenan dakwaan baru, ratusan untuk menanggung mereka diperlukan
untuk tentara agak modern di darat, di laut dan di udara dalam jutaan dolar,
tetapi perang mendekati dengan langkah-langkah cepat, baik di Eropa maupun di
Asia, dan karena itu sangat mendesak. Jadi tidak rela atau terpaksa! Menulis
tuan-tuan dari ‘Vaderlandsche club’ dan kaum borjuis Belanda karena itu
meletakkan jarak yang memisahkan dirinya bahkan kediktatoran fasis dipercepat untuk
mendapatkan perdagangan dan pembajakan. ‘Tiga hal ini tidak dapat dipisahkan’ kata
Goethe tua, yang memendam ilusi tentang berkat-berkat dari kapitalisme. Satu
dapat menyajikan kata yang tepat bervariasi: Koloni, perang dan fasisme, yang merupakan
kudus Trinitas baru, yang tidak dapat dipisahkan. Dan perjuangan melawan
fasisme, menentang perang imperialistischen dan penindasan kolonial juga
merupakan kesatuan yang tak terpisahkan’. IL.
Pers
di Belanda sangat berharap ada kedamaian di Nederlandsch Indie dan
memperhatikan pribumi dengan sewajarnya. Tetapi tidak demikian kenyataannya.
Pers di Belanda juga merasakan adanya krisis ekonomi yang berkepanjangan.
Sebaliknya, pers di Belanda juga melihat lahirnya pemuda-pemuda revolusioner
dari kalanga pribumi. Pers di Belanda juga melihat kekuatan Jepang dari segala
segi ketika kekuatan historis Belanda telah mulai melorot.
Parada Harahap
Kritik Pers Belanda: Pers Belanda, Welkom!
Parada
terus berjuang habis-habisan di bidang pers dengan pena yang sangat tajam. Parada
Harahap dulu pernah menulis dalam bahasa Belanda di Java Bode agar pesannya
dapat dibaca oleh orang-orang Belanda (1925). Itu tidak cukup, Parada Harahap
harus mengakuisisi koran berbahasa Belanda miliki orang Belanda di Batavia agar
ada media pribumi berbahasa Belanda (1930) yang kemudian menjadi Bintang Timoer
edisi bahasa Belanda. Lalu Parada Harahap ketika berangkat, selama dan setelah
pulang dari Jepang pers Belanda mulai mengulik-ulik koran-koran pribumi untuk
mendapatkan sepak terjang Parada Harahap. Sejak itu, pers Belanda mulai tidak
malu dan tidak risi untuk membaca koran pribumi berbahasa Melayu. Momen ini
dimanfaatkan oleh Parada Harahap untuk menunjukkan jiwa nasionalis sejati dan
kebutuhan saling menghargai. Sebuah artikel editorial di Bintang Timoer
terpaksa ditanggapi oleh editor Belanda dengan kepala dingin. Posisi Pers
Belanda vs Pers Pribumi mulai berimbang.
De Indische
courant, 09-05-1934 (Welkom!): ‘Parada Harahap, editor menulis di kolom
editorial Bintang Timoer, bahwa banyak wartawan Belanda masih begitu parah
bahwa pengetahuan tentang bahasa Melayu. Kita selama ini kurang memperhatikan
tapi kita harus dengan jalan tengah. Kita kurang memiliki kesabaran untuk
memaknai bahasa. Alih bahasa ini ternyata membuat pribumi tidak nyaman. Artikel
ini menunjukkan bahwa untuk orang biasa mengapa harus disebut ‘oranghutan
laki-laki’ dan ‘orangutan perempuan’ dan baru menyebutnya Mr (tuan) untuk orang
yang terpandang. Untuk semua alasan ini, kita bisa memuji inisiatif Bintang Timocr
sepenuh hati. Kita tidak meragukan perlunya di pers Belanda dapat diedit oleh pemuda
pribumi. Bintang Timoer diharapkan dapat pemulihan hubungan dan ketenangan
dalam hubungan yang ada selama ini antara orang Belanda vs orang pribumi, dan
kami berharap itu juga. Hambatan bahasa bagi banyak pihak utamanya untuk
apresiasi yang layak dari ide-ide dari kelompok lain, dan beberapa tawaran,
pemahaman, pengertian simpatik hanya dapat berhasil dari membuka hati secara
utuh. Media dalam hal ini (berbahasa) adalah sarana yang tepat: welcome!’.
Parada Harahap: Dulu Membongkar Poenali Sanctie, Kini Membrantas
Kinderhandel (Child trafficking)
Poenali sanctie di Deli adalah eksploitasi
manusia di perkebunan dan sanksi yang berlebihan. Parada Harahap membongkarnya.
Kini, Parada Harahap harus menulis berdasarkan penyelidikan wartawannya di
Brebes telah terjadi kinderhandel atau child trafficking atau perdagangan anak
untuk dipekerjakan. Parada Harahap kini memang bagian dari pengusaha, tetapi
untuk soal eksploitasi tenaga kerja apapun bentuknya tidak menerimanya.
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 12-05-1934: ‘Kita diberitahu, memiliki beberapa Cina di Brebes, menyusul publikasi, termasuk Bintaing Timur, pada
bagian mereka. "Anak trafficking" di Brebes, Seperti yang sudah kami
melaporkan, penyelidikan oleh Bupati diadakan, mengungkapkan bahwa subdivisi harus
dipertimbangkan. Sangat tendensius di Bintang Timoer. Semua surat kabar China
turun sekitar jurnalis ini keras dan menuntut bahwa hal itu menjadi sesama
subdivisi menghujat. Karena kita saat ini belum memiliki informasi lebih lanjut
tersedia (yang akan ditransmisikan sehubungan dengan pertanyaan dari Pak
Soetardjo diserahkan kepada Pemerintah segera), tidak mungkin bagi kami untuk
memberikan. Jelas pendapat mengenai hal ini mungkin dengan ini kami mengingatkan Anda tentang
apa yang terjadi perkebunan dalam menanggapi permintaan dari Anggota Dewan Rakyat
penting diperhatikan. Di perkebunan, yang dapat dianggap sebagai sejarah
seperti di desa dikenal dianggap dibuat untuk mengetahui pendapatnya bahwa
perdagangan anak sebagai dimaksudkan, pada kenyataannya, tempat ada (dan
sehingga ditemukan, ini harus dianggap sebagai kasus yang sangat luar biasa),
karena itu benar-benar fenomena langka disini di Hindia, bahwa anak-anak
pribumi untuk dididik dan dibesarkan oleh Cina .
De Indische courant, 14-05-1934: ‘Asosiasi Perdagangan
pribumi, dipimpin oleh Mr Parada Harahap, untuk penerimaan organiseeren selama
kunjungan delegasi Jepang, yaitu mereka dipimpin oleh Osaka Mainichi’.
Parada Harahap: Pendiri Asosiasi Surat Kabar
Pers Belanda sudah dapat ditaklukkan oleh
Parada Harahap. Yang sulit adalah menghadapi laras senjata polisi Belanda. Pers
pribumi pernah dibungkam, hampir semua media pribumi dibreidel termasuk Bintang
Timoer (1932). Kini, euporia media pribumi makin merebak. Untuk menjaga
kemungkinan yang akan terjadi para pemilik surat kabar memerlukan asosiasi.
Bataviaasch nieuwsblad, 25-06-1934: ‘Rapat Direksi Koran
di Solo. Hampir semua direktur surat kabar pribumi dipenuhi dengan tujuan untuk
membangun Asosiasiini didirikan, dengan Dr R. Soetomo, direktur ‘Soeara Oemoem
di Soerabaya sebagai presiden, Saeroen, direktur Pemandangan dan Parada Harahap,
direktur Bintang Timoer sebagai komisaris’.
Parada Harahap: Buku Kedua Perjalanan Wartawan
Buku Parada Harahap: 'Menoedjoe Matahari.. |
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 21-07-1934: ‘Mevr. S. Harahap dalam Drukkerij Bintang Hindia, penerbit Bintang Timoer telah menerbitkan dua buku dalam bahasa Melayu, yang disusun
oleh Ibu Satiaman Parada. Yang satu ini berjudul Boekoe Masakan (masak) dan
yang lainnya adalah panduan yang baik untuk membuat segala macam manisan Eropa dan
penduduk pribumi’.
Parada Harahap Digoyang: Menerbitkan Bendera Timoer
Setelah Bintang Timoer Dilikuidasi
Parada Harahap dan Bintang Timoer adalah dua
nama dalam satu badan. Sepak terjang Parada Harahap telah membuat gaduh pers
dan pemerintah Belanda. Aliansi Parada Harahap dengan Jepang di satu sisi
memperkuat pigur Parada Harahap dan di sisi lain menjadi ancaman besar bagi
pemerintah dan pers Belanda. Apakah pemerintah dan pers Belanda akan tinggal
diam. Setelah lama pers dan pemerintah Belanda menahan napas, tiba-tiba
berhembus angin menerpa Parada Harahap.
Bataviaasch nieuwsblad, 13-08-1934: ‘NV. Bintang Hindia,
editor di BintangTimur, terdiri sebagai berikut: Direktur, Parada Harahap.
Board: PA Tambajong dan Padmahadisarwoko’.
Bataviaasch nieuwsblad, 24-09-1934: ‘Pada pertemuan pemegang
saham NV. Bintang Hindia diselenggarakan kemarin memutuskan untuk melikuidasi perusahaan.
Surat kabar BintangTimoer muncul dalam bentuk lain. Dalam manajemen sama kecuali
Mr. Parada Harahap, sebagai anggota baru termasuk Mr JW Muntu’.
Parada Harahap digembosi dari dalam.
Tiba-tiba Parada Harahap disingkirkan dari Bintang Timoer, namanya lenyap dari
daftar redaksi. Namanya Parada Harahap, tidak mau berseteru dengan kawan sebangsa
di Bintang Timoer, musuhnya hanya satu: Belanda. Parada Harahap tidak mau ambil
pusing hanya sekadar Bintang Timoer, bagaikan ‘hukum kekebalan nasib’, jika
ditekan di satu sisi akan menggelembung di sisi lain. Mengetahui tidak ada
namanya di daftar editor Bintang Timoer, segera Parada Harahap menerbitkan koran
baru dengan nama Bendera Timoer.
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 02-10-1934 (Nieuw Inlandsch Blad): ‘Bendera Timoer, Mr Parada Harahap memiliki koran baru yang disebut Bendera Timoer.
Kantor ini terletak di Brugstraat 48, Batavia’.
Bataviaasch nieuwsblad, 03-10-1934: ‘Mr. Parada Harahap mengatakan
bahwa suspensi editor Bintang Hindia dilakukan oleh liquldateur dari kantor
pemerintah. Suspensi akan ditenggat hingga 8 November.. Saat ini majalah yang
diterbitkan oleh Mr Parada Harahap sekarang
nama Bendera Timoer untuk menghindari kebingungan’.
Parada Harahap tahu persis sejarah Bintang
Hindia tempo doeloe. Ketika Bintang Hindia bangkrut (dilikuidasi), editor Abdul
Rivai kehilangan pekerjaan. Kekosongan media ini, diterbitkan investor baru
majalah sejenis dengan nama Bendera Wolanda dan kemudian Bendera Perniagaan
yang menetapkan Soetan Casajangan sebagai editor. Kini, Parada Harahap boleh
kehilangan nama Bintang Timoer, tetapi Parada Harahap sendiri masih dapat
menerbitkan koran baru Bendera Timoer. Nama Bendera Timoer dipilih mungkin
tidak hanya bercermin dari sejarah masa lalu tetapi juga meratas jalan untuk
masa dating, karena bendera Parada Harahap sekarang bukan lagi merah putih biru
(Belanda) tetapi bola matahari (Jepang). Awalnya pengadilan sempat bingung karena
meminta manajemen Bintang Timoer seperti semula, tapi nasi sudah jadi bubur dan
Bendera Timoer tetap terbit. Namun ternyata itu tidak cukup, kini dituntut di
pengadilan dengan tuduhan lain.
Bataviaasch nieuwsblad, 18-10-1934: ‘Karena aset NV.
Bintang Hindia dari Bintang Timur ada, Orphan Chamber telah memutuskan untuk
melanjutkan kepemimpinan sebagai redactionecle publikasi koran ini: Mr Parada Harahap
dan kepemimpinan administrasi Mr. Tambayong’.
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië 02-01-1935: ‘Senin lalu Parada Harahap, wartawan, yang dianggap mismanagement dituntut dan diinterogasi oleh kepala
Djaksa, yang menunjukkan bahwa tuduhan terhadap dirinya, pada saat ini. Komisi
tindak pidana menganggap likuidasi itu pemalsuan karena akan dijual murah ketika
kasus itu sangat tidak menguntungkan. Setelah interogasi Parada dimasukkan ke
dalam perlindungan pemerintah’.
Parada Harahap dalam menghadapi laras senjata
tidak akan berdaya. Meja hijau selalu solusi optimal untuk membungkam dan
menghambat langkah Parada Harahap. Perjalanan Parada Harahap ke Jepang diduga alasan
kuat mengapa dijepit dari dalam maupun dari luar. Komunitas media menyayangkan
Bintang Timoer karena Koran ini memiliki oplah paling tinggi. Lalu Bintang
Timoer dan Bendera Timoer lenyap dari dunia pers.
De Indische courant 03-01-1935: ‘Kasus Parada Harahap.
Perjalanan ke Jepang terasa mengganggu di gigi. Di kalangan pribumi wartawan
begitu terkenal Parada Harahap kompetisi menjadi sasaran interogasi panjang
setelah penangkapannya Jumat pagi’.
Bataviaasch nieuwsblad, 19-01-1935: ‘Bintang Timur
memiliki sirkulasi lebih dari 3000 eksemplar’.
Parada Harahap tidak terbukti di pengadilan.
Kunjungan Parada Harahap ke Jepang ternyata tidak hanya pers dan pemerintah
yang berang, tetapi juga sejumlah oknum wartawan mengusulkan agar Parada
Harahap dipecat dari Perdi. Kunjungan Parada Harahap ke Jepang ada yang merasa
nyaman tetapi juga ada yang merasa tidak tenang. Semua peluru seakan diarahkan
kepada Parada Harahap. Melihat pigur Parada Harahap coba dihancurkan dari semua
arah, pihak Jepang mulai buka suara.
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 21-01-1935: ‘Parada Harahap geroyeerd? Parada Harahap dipecat? Kita belajar bahwabeberapa wartawan pribumi ke administrasi
pusat federasi wartawan pribumi, di Jogja miliki dengan permintaan Perdi
lakukan untuk wartawan Parada Harahap, yang, seperti sudah diketahui, pada saat
dalam langkah-langkah preventif masalah hak asuh malpraktek NV Bintang Hindia,
yang ia direktur bertahun-tahun. Permintaan ini didasarkan pada pertimbangan
bahwa PH akan dikenakan dirinya sebagai jurnalis tidak layak’.
De Indische courant, 26-04-1935 (Leiders, Pemimpin): 'Akhirnya,
Mr Imamura Chusuke memberikan beberapa keterangan tentang beberapa pemimpin politik dan wartawan pribumi, yang jauh dari lengkap dan juga di sana-sini
benar-benar salah. Berturut-turut, ia tidak menyinggung tuan-tuan Thamrin, Mohammad Hatta,
Rais, Parada Harahap dan Saeroen setiap menggarisbawahi dan menyimpulkan
pidatonya dengan cerita tentang organisasi Gerakan Nasional, yang belum bebas
dari kesalahan. Jadi dia tidak menyinggung pengaruh gerakan
Hitler disini, hanya untuk menyebutkan. kebodohan tunggali orang Belanda disini di Hindia. Kita tidak diberi waktu dan pergi meninggalkan tempat tanpa
komentar, tapi kita harus takjub. Kami mendengar bahwa propaganda bersemangat
ini bahkan belum diambil dirinya benar menginformasikan pemikiran tentang nilai sejarah Pan-Asia sejarah gerakan nasionalis di negara ini dan organisasi masa lalu dan
sekarang dari kelompok masyarakat dan partai. Tidak bisa mencegah bahwa setiap orang dapat menyesuaikan diri peduli kehidupan rakyat, bahkan kebijakan
penindasan pemerintah'.
Parada Harahap tetap tenang dan melenggang.
Semua tuduhan tidak terbukti dan semua hasutan dianggap tanpa alas an.
Kenyataannya Parada Harahap tetaplah editor Bintang Timoer.
De Indische courant. 04-11-1935: ‘De Bintang Timoer yang
diberitakan Aneta 4 November bahwa hari Sabtu muncul kembali untuk pertama
kalinya. Editor adalah Mr. Parada Harahap’.
Parada Harahap akan Melakukan Tour Java
Tunggu deskripsi lebih lanjut artikel ini
Tunggu deskripsi lebih lanjut artikel ini
Parada Harahap Berkunjung ke Lampung
Parada Harahap Veteran Pemain Sepakbola
Parada Harahap Prihatin Kampung Halaman
Parada Harahap: BahasaIndonesia atauMelayu?
Parada Harahap Mendirikan
Tjaja Timur
Parada Harahap Dicalonkan untuk Volksraad
Parada Harahap Dukung M. Yamin Buat Partai
Parada
Harahap, Komisaris Bond van Inheemsche
Dagbladdirecteuren"
Parada Harahap Keliling Djawa
Parada Harahap Wakil Presiden Perdi (Pensatoean
Djoernalis Indonesia),
Parada Harahap Membuka Kantor Baru Tjaja Timoer
Parada Harahap: Indonesische Republikeinsche pers Dikunjungi
Bataviasche republ. pers
Parada Harahap Menerbitkan Koran Detik di Bukittinggi
(masa agresi), Hatta Memanggil Parada dengan Sebutan ‘Om Harahap’
Parada Harahap, hoofdambtenaar van het ministerie NIT
Parada Harahap dan Wage Rudolf Soepratman
Parada Harahap Menerbitkan Buku „Kemerdekaan Pers''
Parada Harahap dalam Kongres Pers
Parada Harahap Mengumpulkan Buku Bacaan Bagi Anak Bangsa (pasca
pengakuan kedaulatan RI)
Parada Harahap Hoofd Documentatie Kementerian Penerangan RI
Parada Harahap dalam Konferensi ILO
Parada Harahap dalam Konferensi Wartawan Indonesia (PWI)
dan Federasi Perusahaan Koran (SPS)
Parada Harahap Mendirikan Akademi Wartawan
Parada Harahap, Memberikan Kuliah PNS
Parada Haraha Pendiri Kopertis (Perguruan Tinggi Swasta)
Parada Harahap dan Java Bode
Parada Harahap, Dekan School of Journalism
Parada Harahap dan Tiga Windu Sumpah Pemuda
Parada Harahap Menerbitkan (kembali) Bintang Timur
Parada Harahap dalam Mengisi Pembangunan
Parada Harahap Paling Terkenal, Dja Endar Moeda Mengapa
Terabaikan dalam Sejarah Pers
Nona Mr. Aida Parada Harahap, Hakim Perempuan Pertama di
Sumatra
Parada
Harahap, Sekjen Kadin Memimpin Misi Dagang dan Industri Indonesia ke 14 Negara
Parada Harahap Mantu ‘Pabagashon Boru’
Penutup
Ringkasan
(sejarah) perjalanan pers Parada Harahap
Beberapa
tokoh pers Sumatra Utara yang telah memberi kontribusi yang luar biasa dalam
perjuangan kemerdekaan
Artikel terkait:
Bersambung ke:
Sejarah Marah Halim Cup (1): Sepakbola Indonesia Bermula di Medan
Sejarah Marah Halim Cup (2): Langkat Sportclub, Klub Sepakbola Kedua di Sumatera UtaraSejarah Marah Halim Cup (3): Suporter Sepakbola Medan Dukung Klub ke Bindjei dan “Menteri Olahraga” Belanda Berkunjung ke Deli
Sejarah Marah Halim Cup (4): Majalah Pertama Olahraga Indonesia, Edisi Perdana Melaporkan Sepakbola di Medan
Sejarah Marah Halim Cup (5): Kompetisi Sepakbola Medan Kali Pertama Bergulir, Klub Tapanoeli Didirikan
Sejarah Marah Halim Cup (6): Klub Baru, Kompetisi Baru dan Deli Voetbal Bond Dibentuk
Sejarah Marah Halim Cup (7): Kompetisi Deli Voetbal Bond 1908 Menjadi Tiga Divisi
Sejarah Marah Halim Cup (8): Dr. Alimoesa, Pemain Sepakbola di Pematang Siantar, Anggota Volksraads Pertama dari Sumatra Utara
Sejarah Marah Halim Cup (9): Klub Sepakbola Bermunculan di Luar Deli, Kompetisi Bergulir Lagi
Sejarah Marah Halim Cup (10): Sepakbola di Perkebunan Berkembang Pesat, ‘Bond’ Baru Bertambah, Kejuaraan Antarbond
Sejarah Marah Halim Cup (11): Oost Sumatra Voetbal Bond (OSVB) Didirikan, Tapanoeli Voetbal Club Berkompetisi Kembali
Sejarah Marah Halim Cup (12): Mathewson-Beker, Cikal Bakal Marah Halim Cup? Suatu Wawancara Imajiner dengan Marah Halim Harahap
Sejarah Marah Halim Cup (13): Kajamoedin gelar Radja Goenoeng, Pribumi Pertama Anggota Gementeeraad Medan; Sepakbola Tumbuh, Pendidikan Berkembang
Sejarah Marah Halim Cup (14): GB Josua, Tokoh Pendidikan Medan dan Presiden Sahata Voetbal Club Sebagai Ketua Perayaan 17 Agustus 1945 dan Ketua Panitia PON III
Sejarah Marah Halim Cup (15): Parada Harahap, Pers dan Sepakbola, Pertja Barat vs Pertja Timor, Pewarta Deli vs Sinar Deli, Benih Mardeka vs Sinar Merdeka
Baca juga:
Sejarah Kota Medan (13): Kerajaan Aru di Sungai Barumun, Kerajaaan Batak, Kerajaan Islam Pertama, Suksesinya adalah Kerajaan Batak Deli (di Deli Toea) dan Kesultanan Melayu Deli (di Laboehan Deli)
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.
2 komentar:
Informasi yang luar biasa. Saya sangat senang membaca artikel ini. Apakah mempunyai koran-koran lama yang berkaitan dengan gerakan feminis di Sumatera-utara (Mandailing, Angkola, Toba dan Karo)?
Salam
Saya belum mengeksplorasi tentang topik feminism. Sejauh ini saya tidak/belum memilikinya, jika saya temukan saya akan kirimkan. Untuk soal feminism di Sumatra Utara khususnya di daerah Batak seharusnya dilihat dari sisi adat. Adat dalihan na tolu: kahanggi, mora dan anakboru (di Mandailing dan Angkola) yang juga dengan nama yang berbeda di Toba, Karo, Simalungun pada hematnya merupakan esensi dari feminism. Hal ini yang mendasari desertasi Masdoelhak (Nasution) di Utrecht tahun 1940 yang berjudul De plaats van de vrouw in de Bataksche Maatschappij’ (Tempat perempuan dalam masyarakat Batak). Desertasi ini bisa diakses di internet. Mungkin idenya karena Ida Loemongga, seorang anak perempuan Batak bisa meraih PhD tahun 1930 di Leiden (doktor perempuan pertama Indonesia). Perempuan Batak yang menonjol adalah Ida Nasution, pendiri Persatuan Mahasiswa Universiteit van Indonesia 1947 dan Mr Aida Dalkit Harahap, perempuan ahli hukum pertama dari Batak, 1956. Semua itu timbul karena sudah ada emansipasi dari awal yg dapt ditelusuri dari core culture dalihan na tolu. Tks
Posting Komentar