Minggu, September 29, 2024

Sejarah Pantai Timur (3): Tanjung Pasir dan Bandar, Gunting Saga Daerah Aliran Sungai Kualuh Berhulu di Toba; Kerajaan Kualuh


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Pantai Timur Sumatra di blog ini Klik Disini

Jika data tertulis tidak ada atau sangat minim, untuk memahami sejarah masa lalu atau zaman kuno, mulailah dari wilayah dimana terdapat populasi yang menetap dan sumber-sumber ekonomi yang penting dalam bentuk produk zaman kuno. Untuk merelasikan sejarah setempat (in-situ) dengan wilayah yang lebih luas, perhatikanlah fungsi sungai-sungai besar yang dapat dinavigasi. Dalam hal ini, perdagangan (pertukaran produk) melalui sungai menjadi mudah mengapa kemudian muncul sejumlah kampong/kota di hilir sungai hingga ke muara di pesisir.

 

Aek Kanopan adalah ibu kota dari kabupaten Labuhanbatu Utara. Secara administratif, Aek Kanopan adalah sebuah kelurahan yang berada di kecamatan Kualuh Hulu. Berdasarkan data BPS tahun 2021 penduduk Aek Kanopan umumnya Batak Toba (38%), kemudian disusul Jawa 35%, Minangkabau 10% dan Melayu 4%. Kabupaten Labuhan Batu Utara sendiri merupakan pemekaran dari Kabupaten Labuhanbatu tahun 2008. Di Tanjung Pasir, pernah menjadi pusat Kesultanan Kualuh. Sebutan Labuhan Batu bermula tahun 1862 angkatan laut Hindia Belanda di hulu Labuhan Bilik membangun tempat pendaratan kapal dari batu beton. Lambat laun, tempat ini berkembang menjadi kampung besar yang diberi nama "Pelabuhan Batu" lalu sebutannya menjadi "Labuhan Batu". Nama Labuhan Batu menjadi nama wilayah. Sebelum kemerdekaan Indonesia, di wilayah Kabupaten Labuhan Batu terdapat 4 kesultanan, yaitu: Kota Pinang yang berkedudukan di Kota Pinang; Kualuh berkedudukan di Tanjung Pasir; Bilah berkedudukan di Negeri Lama; Panai berkedudukan di Labuhan Bilik (Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah Tanjung Pasir, Gunting Saga dan Bandar di daerah aliran sungai Kualuh berhulu di Toba? Seperti disebut di atas, untuk memahami sejarah lama hingga jauh ke zaman kuno mulailah mempelahari daerah aliran sungai untuk lebih memahami hubungan antara pesisir/pantai dan pedalaman/pegunungan termasuk sejarah Kerajaan Kualuh. Lalu bagaimana sejarah Tanjung Pasir, Gunting Saga dan Bandar di daerah aliran sungai Kualuh berhulu di Toba? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tanjung Pasir, Gunting Saga dan Bandar di Daerah Aliran Sungai Kualuh Hulu di Toba; Kerajaan Kualuh                                                    

Seperti dikutip di atas, di Tanjung Pasir, pernah menjadi pusat Kesultanan Kualuh, sementara sebutan Labuhan Batu bermula tahun 1862 angkatan laut Hindia Belanda di hulu Labuhan Bilik membangun tempat pendaratan kapal dari batu beton. Lambat laun, tempat ini berkembang menjadi kampung besar yang diberi nama "Pelabuhan Batu" lalu sebutannya menjadi "Labuhan Batu". Nama Labuhan Batu menjadi nama wilayah.


Kapan nama Tanjung Pasir terinformasikan? Yang jelas nama Kualuh paling tidak telah terinformasikan dalam laporan John Anderson tahun 1822. Dalam laporan tersebut disebutkan Bandar Kwalooh berada di sungai Kwalooh. Di sekitar sungai Kwalooh ini dihuni oleh orang Batak sekitar 1.200 jiwa yang dikepalai oleh Radja Muda Ulabalang. Kota Kwalooh berjarak dua hari dari pantai. Ekspor terutama rotan, kemenyan, tikar dan lainnya sedangkan impor adalah kain putih, kain biru, opium dan lainnya. Jarak dua hari dari pantai melalui sungai ke Bandar Kwalooh mengindikasikan bahwa bandar/kota Kualuh tidak di pantai. Apakah Bandar Kualuh yang disebut Anderson berada di kota/kampong Bandar Lama di arah hulu kampong Gunting Saga?

Dalam laporan John Anderson (1822) tidak disebut nama Tandjoeng Pasir, tetapi yang disebut adalah Bandar Kualuh, Untuk mencapai wilayah Bandar Kualuh yang diduga adalah Bandar Lama dari pantai selama dua hari dengan perahu. Sebagai pembanding: dengan perahu pada tahun 1850 dari Portibi melalui sungai Baroemun ke muara sungai Bila selama lima hari. Dalam laporan John Anderson populasi kota Bandar Kualu adalah orang Batak.


John Anderson juga menyebut duan ama tempat lainnya. Bandar Beelah berada di sungai Beelah. Di sekitar sungai Beelah ini dihuni oleh orang Batak sekitar 1.300 jiwa yang dikepalai oleh Sultan Bedir Alum yang terdiri dari beberapa kampung. Ekspor terutama rotan, kemenyan, benzoin, tikar, emas dan lainnya dan. Bandar Panei merupakan kampung pertama di muara sungai besar dan terdapat beberapa kampung. Ada pulau kecil namanya Pulo Rantau di tengah sungai besar. Penduduk terutama Batak dan terdapat sekitar 1.000 jiwa Melayu. Orang Batak berasal dari dua tempat: Tambuse dan Padang Bolak. Ekspor terdiri dari kemenyan, benzoin, tikar, gaharu dan beras. Bagaimana dengan Kota Pinang? Jauh di pedalaman, tidak dikunjungi John Anderson. Di dalam Laporan TJ Willer tahun 1846 menyebut Kota Pinang adalah salah satu dari empat distrik di lanskap Padang Lawas yang mana di distrik Kota Pinang terdapat 2 kampung dengan 100 keluarga. Dalam laporan ini setelah Kota Pinang bermalam di kampong Sisamoet. Lalu satu hari ke kampong Paneh dan satu hari lagi ke kampong Bilah. Dari laporan ini tidak disebut nama Laboehan Batoe. Nama Laboehan Batoe baru terinformasikan dalam Aardrijkskundigen en Statustisch Woodenboek van Nederlandsch Indie 1864. Disebutkan Laboehan artinya tempat berlabuh.  Dalam hal ini nama Laboehan Batoe adalah pelabuhan dari (Boekit) Batoe di sungai Baroemoen. Besar dugaan Laboehan Batoe adalah nama lama sebelum Labuhan Bilik dijadikan pemerintah sebagai pelabuhan utama (menggantikan Bandar Bilah dan Bandar Paneh) dan pelabuhan Kota Pinang di pedalaman.

Dari gambaran yang disebut oleh John Anderson kota Bandar Pane adalah kota pelabuhan/bandar yang cukup besar dimana sudah ada populasu orang Melayu (yang berasal dari tenggara di wilayah Siak. Di Bandar Bila dan Bandar Kualu umumnya orang Batak. Sementara Kota Pinang baru terinformasikan dua decade setelahnya dimana populasi Kota Pinang hanya sekitar 500 jiwa. Dalam hal di daerah aliran sungai Baroemoen dan sungai Bila penduduk Batak masih cukup dominan di pantai/pesisir. Sedangkan di daerah aliran sungai Kualuh populasi hanya ditemukan di pedalaman (tidak ada indikasi di wilayah pesisir). Lantas apakah kota tertua di daerah aliran sungai Kualuh adalah Bandar Lama? Suatu tempat pada masa ini yang berada di hulu kampong/kota Gunting Saga.


Bagaimana dengan kota/kampong Tanjung Pasir? Seperti dikutip di atas, di Tanjung Pasir pernah berdiri Kesultanan Kualuh. Pada permulaan pembentukan cabang Pemerintah Hindia Belanda di pantai timur Sumatra, pada tahun 1863 ditempat Asisten Residen di Siak Indrapoera. Lalu kemudian pada tahun 1864 Controleur ditempatkan di Laboehan Batoe. Selanjutnya disusul penempatan Controleur di Deli, di Asahan, di Batoebara dan di Siak (lihat Regerings-almanak voor Nederlandsch-Indië, 1865). Pada masa inilah para Controleur mulai menjalin kerjasama dengan para pemimpin local yakni para raja-raja keci; yang terdapat di berbagai tempat di pantai timur Sumatra. Lalu Raja Siak ditinggikan dimana ibu kota pemerintahan berada (Asisten Residen berkedukan). Di wilayah Deli, Raja Laboehan ditinggikan, di Asahan, Batubara dan Laboehan Batoe Radja Tandjoeng Balai ditinggikan (di Baubara tidak disebut radja tetapi kepala seku). Raja-raja lainnya pada level kedua seperti Radja Serdang, Radja Kualuh, Radja Bila, Radja Pane dan Radja Kota Pinang. Hal seperti inilah sebelumnya di wilayah Angkola Radja Sipirok ditinggikan dari Radja Parau dan Radja Baringin; Radja Batoenadoea ditinggikan dari Radja Simapil-apil dan Radja; Radja Hoeta Imbaroe ditinggikan dari radja-radja di Saboengan. Dalam konteks inilah pejabat Pemerintah Hindia Belanda (Asisten Residen/Controleur) menyusun wilayah administrasi dan pemerintahanm di tingkat local. Dalam pemerintahan ini di wilayah Angkola/Mandailing radja yang ditinggikan disebut Kepala Koeria, di pantai timur disebut Radja yang juga adakalanya disebut sultan, di Minangkabau disebut Kepala Laras; di Jawa disebut Kepala Distrik. Seperti disebut di atas, secara khusus di Batoebara (karena migran dari Minangkabau sejak Padri) disebut Kepala Suku. Dalam perkembangan lebih lanjut pada tahun 1873 wilayah Oost Sumatra ini dibentuk menjadi residentie baru yakni residentie Oost Sumatra dengan ibu kota di Bengkalis. Pada tahun 1887 afdeeling Bengkalis dan afdeeling Siak dipisahkan dari dimasukkan ke residentie Riouw yang mana ibu kota residentie Oost Sumatra dipindahkan dari Bengkalis ke Medan. Sejak inilah para radja/sultan di pantai timur Sumatra di residentie Oost Sumatra semakin kaya karena semakin meluasnya pembukaan perkebunan (dari Deli hingga ke Kota Pinang).

Lantas bagaimana dengan kerajaan/kesultanan Kualuh yang terletak di Tanjung Pasir? Besar dugaan pada awal pembentukan cabang Pemerintah Hindia Belanda di residentie Oost Sumatra, letak kerajaan telah direlokasi dari Bandar Kualu (Jhon Anderson 1822) ke arah hikir sungai Kualu di Tanjung Pasir? Mengapa? Pada saat itu akses pejabat Belanda ke pedalaman melalui sungai dari pantai. Boleh jadi sungai Kualu saat ini tidak mudah lagi dinavigasi jauh ke hulu ke Bandar Kualuh dan hanya lancar sepanjang tahun hingga ke Tanjung Pasir. Bandar Kualuh ini sebagai pusat kerajaan awal kemudian disebut Bandar Lama? dan sebagai penggantinya di Tanjung Pasir? Dalam kontkes inilah perlu memperhatikan Gunting Saga.


Dalam perkembangannya wilayah Residentie Oost Sumatra yang beribukota di Medan direorganisasi. Residen berkedudukan di Medan. Residentie dibagi ke dalam empat afdeeling dimana ditempatkan masing-masing seorang Asisten Residen: afdeeling Langkat (di Tandjoengpoera), afdeeling Deli en Serdang (di Medan); afdeeling Simaloengoen en Karalanden (di Pemantang Siantar) dan afdeeling Asahan (di Tandjoeng Balai). Afdeeling Asahan terdiri tiga onderafdeeling dimana ditempatkan masing-masing Controleur, yakni onderafd. Batoebara (empat suku yakni Dua, Tanah Datar, Limapoeloeh, Pesisir dan satu lanskap: Indrapoera), onderafd. Asahan (tiga distrik: Tandjoeng Balai, Kisaran dan Bandar Poelaoe) dan onderafd. Laboehan Batoe (di Laboehan Bilik) dengan empat lanskap: Pane, Bila, Kualu dan Kota Pinang. Lanskap Pane terdiri tiga distrik: Pane Hilir, Pane Tengah dan Pane Hulu. Berdasarkan Sensus Penduduk tahun 1920 jumlah penduduk di lanskap Kualuh sebanyak 21.715 jiwa yang terdiri dari pribumi 20.469 jiwa; Cina 1.216 jiwa; Eropa/Belanda 25 jiwa dan Timur asing sebanyak lima jiwa.

Wilayah populasi penduduk adalah satu hal, perluasan perkebunan adalah hal lain lagi. Yang jelas pembangunan jalur kereta api dari Medan ke berbagai tempat sudah dilakukan seperti ke Binjai, Tebing Tinggi dan Pematang Siantar. Perluasan perkebunan ke wilayah selatan hingga Laboehan Batoe menyebabkan jalan darat mulai dibangun. Dengan demikian, lalu lintas orang dan barang di pantai timur semakin terhubung satu tempat dengan yang lain di pedalaman. Lalu lintas sungai secara perlahan mulai ditinggalkan.


Deli courant, 01-12-1923: ‘Pembangunan jalan raya. Berikut adalah hal-hal yang kami peroleh dari anggaran tahun 1924 untuk wilayah pengembangan perkebunan: Pengaspalan jalan poros dari Loeboek Pakam sampai Perbaoengan antara KM 36 dan KM 39; pengaspalan jalan poros Simpang Kawat sampai Marbau antara KM 192 dan KM. 195; persiapan pembangunan jalan dari Membang Moeda sampai Brussel; pengaspalan jalan poros Simpang Kawat ke Marbau antara KM 195 dan KM 198, pengalihan jalan Simpang Kawat ke Marbau antara KM 199 dan KM 201 pengalihan dan perbaikan jalan poros Tebing Tinggi-Tandjoug Balai antara KM 116 hinga Lima Poeloeh,  pembangunan jalan baru antara Aek Kanopan higgan Goenting Saga terus ke sungai Kualu; pembangunan jalan baru antara sungai Koelaourivier dan Kota Pinang. 

Pembangunan jalan baru pada tahun 1924 antara Aek Kanopan dan Goenting Saga/sungai Kualu dan antara sungai Kualu dengan Kota Pinang menjadi ruas terakhir jaringan jalan di residentie Oost Sumatra. Pembangunan jalan (kontruksi baru) biasanya mengikuti jalan tradisi yang sudah ada sejak masa lampau (jalan setapak/jalan kuda/jalan pedate). Pembangunan jalan aspal menjadi prasyarat pengembangan angkutan jalan darat menggunakan mobil.


Sebagai perbandingan pemabungan jalan darat dari Padang ke Sibolga via Fort de Kock, Rao, Panjaboengan, Padang Sidempoean dan Batangtoroe sebelum tahun 1870 sudah selesai. Pada tahun 1870 ibu kota afdeeling Angkola Mandailing dipindahkan dari Panjaboengan ke Padang Sidempoean. Seiring dengan pemulihan cabang pemerintahan di Padang Lawas pada tahun 1875 dibangun jalan darat dari Padang Sidempoean ke Goenoeng Toea via Pal 11, Aek Godang dan Siunggam. Pada tahun 1886 jaringan telegraf dari Rantau Prapat ke Padang Sidempoean via Kota Pinang dan Goenoeng Toea. Lalu kapan, ruas jalan antara Goenoeng Toe dan Kota Pinang dibangun?

Goenting Saga adalah kota/kampong yang berada dekat di sisi utara sungai Kualu. Kampong Saga ini menjadi tempat antara kampong/kota Bandar (Lama) di hulu dan kampong/kota Tandjoeng Pasir di hilir. Dalam hal ini kampong Gonting Saga menjadi persimpangan antara jalan darat dan jalan air sejak masa lampau. Penulisan Gonting dan Goenting saling menggantikan.


Dalam kamus bahasa Angkola Mandailing oleh HJ Eggink tahun 1936 kosa kata saga adalah nama pohon/tanaman yang mana diantaranya biji atau kacang merahnya oleh tukang emas digunakan sebagai pemberat emas. Gonting diartikan sempit, tipis di tengah; sempit, melewati gunung. Dalam hal ini umum kata gonting sebagai pananda navigasi untuk jalan sempit melewati bukit/gunung atau tebing (bukit/sungai). Nama tempat Gonting banyak ditemukan di Angkola, Mandailing dan Padang Lawas. Nama-nama tempat yang menggunakan nama Gonting selain Gonting Saga adalah Gonting Gadja, Gonting Tolang, Gonting Mahe. Gonting Malaha, Gonting Salak dan Gonting Pege (dan juga Boeloe Gonting). Dapat ditambahkan disini nama Aek Kanopan merupakan nama sungai (aek). Kanopan diduga telah bergeser dari nama asalnya sebagai nama tempat yang umum ditemukan di Angkola Mandailing sebagai Hanopan yang diduga merupakan nama tempat zaman kuno Hoetanopan (Kotanopan). Dalam perkembangannya nama Gonting Saga telah bergeser menjadi Goenting Saga. Pergeseran ini umumnya terjadi antara daerah aliran sungai di hulu dan di hilir seperti Aek Bilah di hulu sungai/sei Bila di hilir, Batang Pane di hulu menjadi sungai/sei Paneh di hilir.

Pembangunan jalan darat dari Aek Kanopan ke Goenting Saga sudah selesai pada tahun 1925 (lihat De Sumatra post, 19-02-1925). Yang masih sedang dikerjakan adalah jembatan di atas sungai Kualuh dimana berada penyempitan sungai. Tampaknya nama Gonting Saga sebagai nama tempat dalam hal ini dihubungkan dengan geografi sungai (Kualu) yang menyempit (dan kerap banjir di musim penghujan).


De Sumatra post, 19-02-1925: ‘Gubernur akan membahas, diantara sekian banyak topik yang dibicarakan, juga dan terutama hubungan di wilayah Selatan, demi kepentingan perusahaan, konsesi yang diperoleh dan masih akan diperoleh, itu tepat waktu untuk menyebutkan status pekerjan saat ini dengan jalan raya utama. Seperti diketahui, ruas jembatan hingga KM 235 masih menjadi bagian jalan utama. Namun, sejak saat itu, jalan berjalan lurus ke depan, bukannya berbelok ke arah pantai. Oleh karena itu, jalur baru ini lebih mengarah ke atas, yang dengan sendirinya sudah menawarkan keuntungan. Bentangan berlanjut hampir lurus menuju Goenting Saga, dimana terdapat penyempitan sungai dan sedang dibangun jembatan. Seluruh bagian sekitar 5.5 Km. Dari Goenting Saga jalan juga cukup lurus menuju Baindar Doerian, jaraknya kurang lebih 28 Km. Dari ruas ini sudah selesai 14 Km. Rute kemudian dilanjutkan ke arah konsesi Pernantian, jaraknya kurang lebih 12 Km. Pada ruas ini terdapat jalan perusahaan sepanjang 5 Km. Dari situ jalan menuju Rantau Prapat sepanjang kurang lebih 19 Km jarak sekitar 38 Km. selatan Soemoet, Totolan dll (yang dapat dihubungkan ke jalan utama) mencapai Normark. Nantinya jalan tersebut akan diperpanjang hingga Rasau di Baroemoe. Jalan eksisting Kota Pinang-Normark akan diambil alih sehingga akan terjalin hubungan dengan Kota Pinang. Marbau dapat dihubungkan dengan jalan utama melalui jalan samping’. Catatan: Bandar Doerian berada di daerah aliran sungai Aek Natas yang bermuara ke sungai Kualuh.

Tidak lama setelah pembangunan jalan darat di Goenting Saga, muncul berita tentang rencana perluasan DSM, perusahaan kereta api Deli (lihat De Sumatra post, 03-06-1926). Disebutkan perusahaan kereta api DSM bermaksud memperluas jaringannya ke Selatan, untuk sementara dengan membangun jalur baru dari Kisaran ke arah selatan hingga dekat Tandjong Pasir. Konsesi telah disiapkan oleh GG. Sehubungan dengan nasihat yang akan diberikan oleh Gubernur kini telah dimasukkan dalam agenda rapat Cultuuraad berikutnya sebagai bahan pembahasan: Surat Gubernur tertanggal 25 Mei berisi permintaan untuk memberikan nasihat. mengenai permintaan dari Administrator DSM tanggal 22 Mei tentang Pembangunan Jalan Trem Kisaran Sampai Goenting Saga.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Kerajaan Kualuh: Kerajaan Batak atau Kerajaan Melayu?

John Anderson (1822) menyebut tiga nama dengan Bandar (Bila, Pane dan Kualu) mengindikasikan pelabuhan. Mengapa? Bagaimana dengan nama Laboehan seperti Laboehan Batoe, Laboehan (Deli) dan Laboehan (Bilik)? Yang jelas nama Bandar dan nama Laboehan digunakan secara luas di berbagai tempat seperti Bandar Khalifah, Laboehan Roekoe, Bandar Lampoeng. Banda(r) Atjeh, Band(j)ar Masin, Bandjar (Tasik Malaja), Bandjar Negara (Banjumas), Laboehan (di Borneo Utara; di Banten), Laboehan Ratoe, Laboehan Tring, Laboehan Hadji dan Laboehan Badjo.


Dalam Kamus Bahasa Angkola Mandailing oleh HJ Eggink, 1936 kosa kata bandar diartikan sebagai gudang, gubuk, pemukiman yang menjadi tempat pelayanan. Kosa kata bandjar diartikan sebagai baris, rentang, distrik, desa baru dibangun. Tidak ada kosa kata laboehan di dalam kamus tersebut. Kosa kata bandar dan bandjar tampaknya sinonim. Lantas mengapa menjadi banda di Atjeh dan di Maluku (pulau Banda)? Boleh jadi telah terjadi pergeseran pengucapan (dialek). Jika kosa kata bandar dan bandjar disebut dalam kamus bahasa Angkola Mandailing, lalu apakah kosa kata laboehan berasal dari bahasa Melayu? Yang jelas di Jawa juga ditemukan nama Bandar. Dalam hal ini di dalam catatan sejarah nama Bandar (Banda dan Bandjar) terbilang sudah tua, lalu kemudian menyusul Laboehan. Nama Palaboehan (Plaboehan) pertam kali muncul di Jawa selatan (Palaboehan Ratoe). Pa adalah awalan yang umum digunakan di Jawa bagian barat untuk nama tempat seperti Pamanoekan, Parakan dan Pamonjanan. 

Oleh karena Bandar adalah nama yang sudah lama (relative terhadap Laboehan), maka nama tempat Bandar yang mengindikasikan pelabuhan sudah lama ada. Hal itulah yang dapat dihubungkan dengan nama Bandar (Lama) di daerah aliran sungai Kualuh. Bagaimana dengan nama Tandjoeng Pasir?


Tandjoeng Pasir adalah gabungan kara Tandjoeng dan Pasir untuk menunjukkan nama tempat, yang tempat yang diduga di daerah aliran sungai khusunya dekat pantai. Tanjung sendiri adalah bagian daratan yang menjorok ke perairan/laut dan juga suatu area di daerah aliran sungai dimana lekukan sungai membentuk tanjung. Nama tempat Pasir ditemukan di pantai timur pulau Kalimantan, Tandjoeng Pasir di Tangerang di Indragiri, di Jambi, di Sumatera Selatan dan lainnya. Dalam hal ini Bandar mengindikasikan pelabuhan, Pasir atau Tanjung Pasir menujukkan nama tempat di hilir (dekat pantai). Banda bisa di pesisir dan bisa juga di pedalaman. Bandar (Lama) di daerah aliran sungai Kualuh berada di pedalaman.

Di daerah aliran sungai Kualuh, kota Bandar (Kualuh) sesuai catatan John Anderson tahun 1822 mengindikasikan suatu kerajaan Batak. Bagaimana dengan kerajaan Kualuh di Tandjoeng Pasir? Yang jelas Bandar (Lama) berada di arah hulu dan Tanjoeng Pasir di arah hilir. Hal ini juga ditdemukan di daerah aliran sungai Deli, dimana di arah hulu kerajaan Soenggal (Batak) dan di arah hilir kerajaan Laboehan (Melayu). Menurut catatan John Anderson, dua kerajaan ini pernah berperang. Kerajaan-kerajaan yang berada di wilayah pesisir pernah berada di bawah kekuasaan kerajaan Siak atau kerajan Atjeh (di pantai barat Sumatra antara kerajaan Selebar/Banten di Bengkoeloe dan kerajaan Atjeh. Dalam konteks inilah nama Bandar (Lama) di daerah aliran sungai Kualuh.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar: