Sabtu, September 28, 2024

Sejarah Pantai Timur (2): Kota Bandar dan Rantau Prapat di Daerah Aliran Sungai Bila; Lobu Tayas di Hulu Daerah Aliran Aek Bilah


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Pantai Timur Sumatra di blog ini Klik Disini

Aek Bilah, sungai Bila. Satu sungai dengan dua nama, tetapi mirip: Aek Bilah di wilayah hulu dan Sungai Bila di hilir. Bilah dalam bahasa Batak dan Bila dalam bahasa Melayu. Satu kota penting pada masa ini di daerah aliran sungai Bila adalah Rantau Prapat. Namun kota Rantau Prapat dalam sejarahnya adalah kota baru. Bagaimana sejarah masa lampau hilir sungai Aek Bilah ini tentu penting dipelajari. Mungkin tidak ditemukan di kota Rantau Prapat, tetapi besar dugaan dimulai di kota Bandar.


Rantau Prapat atau Rantauprapat adalah ibu kota Kabupaten Labuhan Batu. Nama Rantau Prapat tidak diketahui dengan jelas. Ada masyarakat yang mengatakan bahwa nama Rantau Prapat berasal dari kata "Merantau ke Parapat (desa)". Namun ada juga yang berpendapat bahwa Rantau Prapat adalah tempat persinggahan orang-orang merantau sehingga banyak orang yang menjadi merapat/semakin dekat. Kabupaten Labuhan Batu telah dimerkarkan dengan membentuk dua kabupaten baru: kabupaten Labuhan Batu Selatan (ibu kota di Kota Pinang) dan kabupaten Labuhan Batu Utara (ibu kota di Aek Kanopan). Dua Kesultanan besar pernah berdiri di sini, yakni Kesultanan Bilah yang beribu kota di Negeri Lama dan Kesultanan Panai yang beribu kota di Labuhan Bilik (Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah Kota Bandar dan Rantau Prapat di daerah aliran sungai Bila? Seperti disebut di atas, Rantau Prapat adalah kota yang terbentuk baru, sementara Kota Bandar diduga sudah ada di masa lampau. Bagaimana bisa? Lobu Tayas di hulu daerah aliran Aek Bilah. Lalu bagaimana sejarah Kota Bandar dan Rantau Prapat di daerah aliran sungai Bila? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Kota Bandar dan Rantau Prapat di Daerah Aliran Sungai Bila; Lobu Tayas di Hulu Daerah Aliran Aek Bilah

Nama Labuhan Batu pada masa ini melekat dengan nama Rantau Prapat. Mengapa? Sebab sejak era Pemerintah Hindia Belanda, afdeeling (kabupaten) Laboehan Batoe ditetapkan ibu kota (hoofdplaats) di Rantaoe Prapat. Dalam hubungan ini, seberapa tuan ama Labuhan Batu dan nama Rantau Prapat.


Hal itu juga berlanjut pada era Republik Indonesia. Pada decade terakhir kabupaten Labuhan Batu dimekarkan dengan membentuk dua kabupaten baru: Kabupaten Labuhan Batu Selatan ibu kota di Kota Pinang dan Kabupaten Labuhan Batu Utara dengan ibu kota di Aek Kanopan.

Nama Laboehan Batoe tidak terinformasikan dalam laporan John Anderson (1822). Oleh karena Anderson datang dari laut, yang diidentifikasi adalah Kualu, Pane dan Bila. Dalam laporan TJ Willer (1846) yang datang dari pedalaman, juga mengindetifikasi nama Bila dan Pane. Dalam catatan Willer disebut ‘Paneh dan Biela merupakan tanah rawa yang datar, di sisi laut ditutupi hutan nibong yang tidak bisa ditembus; iklimnya panas dan sangat lembab’.


Dalam laporan John Anderson (1822) ada beberapa kota/kampong pelabuhan di pantai timur Sumatra, antara lain: (1) Bandar Kwalooh berada di sungai Kwalooh. Di sekitar sungai Kwalooh ini dihuni oleh orang Batak sekitar 1.200 jiwa yang dikepalai oleh Radja Muda Ulabalang. Kota Kwalooh berjarak dua hari dari pantai. Ekspor terutama rotan, kemenyan, tikar dan lainnya sedangkan impor adalah kain putih, kain biru, opium dan lainnya. (2) Bandar Beelah berada di sungai Beelah. Di sekitar sungai Beelah ini dihuni oleh orang Batak sekitar 1.300 jiwa yang dikepalai oleh Sultan Bedir Alum yang terdiri dari beberapa kampung. Ekspor terutama rotan, kemenyan, benzoin, tikar, emas dan lainnya. (3) Bandar Panei merupakan kampung pertama di muara sungai besar dan terdapat beberapa kampung. Ada pulau kecil namanya Pulo Rantau di tengah sungai besar. Penduduk terutama Batak dan terdapat sekitar 1.000 jiwa Melayu. Orang Batak berasal dari dua tempat: Tambuse dan Padang Bolak. Ekspor terdiri dari kememyan, benzoin, tikar, gaharu dan beras.

Sungai Batang Paneh (sungai Barumun) yang jatuh ke laut dekat Biela sedang musim hujan dapat dinavigasi dengan perahu dari muara sampai Orislak, jaraknya sejauh 10 étape, dan dengan perahu maksimal hingga Pertibie, satu etape ke hulu. Pada mousson kering sungai selalu dapat dilayari sampai Orislak.

 

Hanya ada sedikit atau tidak ada uang yang beredar, tetapi yang umum adalah barter untuk memenuhi kebutuhan secara maksimal dan kemewahan. Orang-orang Melayu datang untuk berdagang ke daerah aliran sungai Boeroemon; penduduk Mandhelingers menghidupi diri mereka sendiri. Sejak masa lampau, Padang Lawas kaya dengan carabao dan membayar dengan garam, besi, timah, rempah-rempah, senjata, koral, kawat tembaga dan budak. Bersama budak-budak itu mereka dengan perahu menyusuri sungai ke Biela, dan di sana menukarnya dengan garam, linen Bengal dan kain sutra. Carabao dewasa ditukar dengan 9 depa linen, 15 batang besi, 15 kati timah atau 4 gulungan kawat tembaga. Budak dewasa ditukar dengan tiga carabao dewasa; seorang budak muda hal yang sama juga terjadi, kecuali kecantikan menaikkan harganya. Zaman keemasan ada disini. Kedamaian dan kebebasan, kekayaan dan kesenangan diperoleh tanpa kerja keras bagian dari Battah

Lantas bagaimana dengan nama Laboehan Batoe? Nama Laboehan Batoe baru terunformasikan pada laporan Resident Riouw, Elisa Netscher (1863). Hasil ekspedisi Netscher ini ke pantai timur Sumatra, mulai dari Siak hingga Deli merupakan bagian dari pembentukan residentie baru yang diberi nama Oostklust van Sumatra (yang direalisasikan pada tahun 1873). Dalam pembentukan residentie baru ini, nama Laboehan Batoe dijadikan suatu afdeeling (bentang alam do pantai timur dari daerah aliran sungai Barumun/sungai Pane hingga sungai daerah aliran sungai Kualu (di selatan dengan nama afdeeling Bengkalis, di utara dengan nama afdeeling Asahan). Lalu mengapa nama afdeeling diberi dengan nama Laboehan Batoe?


Laboehan Batoe sejatinya adalah nama kampong di sisi selatan sungai Baroemoen di hilir Kota Pinang. Nama tersebut mengindikasikan nama suatu pelabuhan. Nama Laboehan Batoe diduga muncul setelah nama (pelabuhan) Kota Pinang dan sebelum Laboehan Bilik. Besar dugaan semasa Elisa Netscher Laboehan Batoe adalah nama pelabuhan terbesar di hilir daerah aliran sungai Pane/sungai Baroemoen. Sukses Laboehan Batoe adalah Laboehan Bilik. Nama Laboehan Bilik sendiri diduga nama asalnya adalah Laboehan Bila (orang Batak di dataran rendah) yang kemudian bergeser penyebutannya menjadi Laboehan Bilik (orang Melayu di pesisir). Laboehan Bila/Laboehan Bilik ini berada di sisi selatan sungai Baroemoen/sungai Pane dimana sungai Bila bermuara.

Seiring dengan perkembangan pemerintahaan di wilayah pesisir muara sungai Baroemoen/sungai Pane, nama wilayah (afdeeling) tetap digunakan Laboehan Batoe. Sementara ibu kota direlokasi dari Laboehan Batoe ke Laboehan Bilik (biar lebih mudah diakses dari Bengkalis, ibu kota residentie Oostkust Sumatra). Laboehan Batoe dan Laboehan Bilik di daerah aliran sungai Pane/sungai Baroemoen berada di wilayah kerajaan Pane (yang di bagian dalam bagian kerajaan Kota Pinang).


Dalam perkembangannya, sejak terbentuknya residentie Oostkust Sumatra pada tahun 1873. Afdeeling Laboehanm Batoe dibagi ke dalam tiga district yakni Pane, Bila dan Kota Pinang. Berbeda dengan afdeeling lainnya (di bawah naungan Sultan Siak), afdeeling Laboehan Batoe berada langsung di bawah otoritas Pemerintah Hindia Belanda. Mengapa? Dengan merujuk pada laporan John Anderson (1822) kota Kualu, Bila dan Pane populasi umumnya orang Batak (Angkola/Mandailing). Wilayah sisi pesisir pantai ini sudah lama berada di bawah pengaruh persaingan perdagangan antara Atjeh dan Siak. Residen Netscher sejak 1863 telah mengusir orang-arang Atjeh dari Asahan dan Deli, yang kemudian aktivitas perdagangan dikuasai sepenuhnya Siak di bawah perlindungan Pemerintah Hindia Belanda. Singkat kata: sejak 1887 Residentie Oostkust dikeluarkan wilayah Bengkalis dan Siak (dimasukkan ke Riouw) yang kemudian ibu kota dipindahkan dari Bengkalis ke Medan (menjadi Sumatra Timur yang sekarang).

 

Pada saat afdeeling Laboehan Batoe beribukota di Laboehan Batoe, berdasarkan pembentukan residentie Oost Sumatra, district Bila terdiri dari lanskap (bentang alama) Rantau Prapat, Balimbing, Si Ringo Ringo, Bandar Koemboel, Si Bargot dan sebagian daerah aliran soengei Merbou. Sementara (pusat) kerajaan Bila sendiri (yang menjadi partner Pemerintah Hindia Belanda). berada di wilayah pesisir (muara sungai Bila).

 

Pusat pemerintahan Hindia Belanda dari Laboehan Batoe dipindahkan ke Laboehan Bilik. Kerajaan Pane yang awalnya berpusat di Laboehan Batoe relokasi ke sisi utara sungai Baroemen. Area ibu kota kerajaan Pane ini kelak disebut Negeri Lama. Disebut Negeri Lama, karena area dipindahkan ke suatu tempat di sisi selatan sungai Bila di pertemuan sungai Merbau (yang disebut Negeri Baroe).

 

Bagaimana dengan nama Rantau Prapat? Seperti disebut di atas, salah satu lanskap di distrit Bila adalah Rantau Prapat. Nama yang terdiri dari nama Rantau dan nama Prapat.Bentang alam ini mulau dari muara sungai Bila hingga kea rah hulu. Nama Rantau sendiri sudah lama dikenal sebagai nama pulau (sedimen) di muara sungai Pane/sungai Baroemon. Besar dugaan nama Prapat diambil dari nama prapatan (seperti halnya di Batavia, Prapatan), dimana lulu lintas air (di sungai Bila) berpotongan dengan lalu lintas darat antara Kota Pinang dengan Kisaran.

 

Nama Rantau Prapat awalnya diduga sebagai nama wilayah sebagai lanskap (bentang alam). Rantau Prapat sebagai nama tempat, baru teridentifikasi dalam peta-peta pembagian area perkebunan pada tahun 188aan. Identifikasi nama Rantau Prapat ini sebagai pemukiman awal yang terletak di sisi selatan sungai Bila (tepat di kota Rantau Prapat yang sekarang).     

 

Nama Laboehan Batoe dan nama Rantau Prapat diduga kuat adalah nama baru. Nama Laboehan Batoe muncul setelah adanya nama lama Kota Pinang (juga sebelum muncul nama Laboehan Bilik). Nama Rantau Prapat muncul setelah adanya nama pulau (pulau Rantau). Wilayah Laboehan Batoe sendiri, secara geomorfologis dapat dikatakan sebagai wilayah daratan baru yang terbentuk dari proses sedimentasi jangka panjang. Lalu apakah dalam hal ini nama tempat tertua di daerah aliran sungai Bila adalah kota Bandar Koempoel?

 

Tunggu deskripsi lengkapnya

Lobu Tayas di Hulu Daerah Aliran Aek Bilah: Dunia Lama di Aek Bilah, Dunia Baru di Sungai Bila

Secara toponimi, nama Bandar seakan merujuk pada nama tempat yang mengindikasikan suatu pelabuhan. Seperti disebut di atas, di daerah bentang alam (lanskap) Rantau Prapat hanya ada nama pulau Rantau dan nama tempat Bila di muara sungai Bila. Di arah hulu sungai Bila kemudian nama tempat Rantau Prapat (di persimpangan jalan air/sungai dan jalan darat, suatu jalan yang kini menjadi jalan darat antara Kota Pinang dan kota Rantai Prapat terus ke Kisaran).


Secara geomorfologis, hilir sungai Pane/sungai Baroemoen dan hilir sungai Bila terbilang dengan elevasi rendah. Akibatnya masih ditemukan di sana-sini area rawa-rawa, arena yang kering di musing kemarau tetapi basah/banjir di musim penghujan. Seperti pada artikel sebelumnya, dari Langga Payung ke arah pantai timur di daerah aliran singai Kanan dan sungai Paneh/sungai Baroemoen dengan elevasi yang rendah. Hal ini juga dengan situasi dan kondisi di daerah aliran sungai Bilah, mulai dari kota Rantai Prapat terbilang dengan elevasi rendah. Elevasi permukaan sungai Bila di Rantau Prapat 23 M dpl, sementara di kampong/kota Bandar 33 M dpl. Area antara Rantau Prapat dengan Bandar disela oleh perbukitan rendah. Tidak jauh di hilir Rantau Prapat di desa Pangkatan elevasi sungai Bila turun lagi sekitar 10 M dpl (kurang lebih sama dengan elevasi sungai Barormoen di Kota Pinang). Elevasi 10 M di wilayah yang luas dan jauh ke pedalaman dapat dikatakan sangat rendah, suatu elevasi yang secara geomorfologis di masa lampau suatu perairan/laut. Kampong Pangkatan dan kampong Kota Pinang di masa lampau pernah menjadi garis pantai. Dalam konteks inilah diduga sebab terbentuk jalan darat dari Kota Pinang ke Kisaran melalui Rantau Prapat.

Seperti disebut di atas, kota Rantau Prapat diduga dulunya adalah suatu persimpangan antara jalan air dan jalan darat (prapatan), dan karena Pangkatan diduga sebagai perairan/laut, lalu apakah kampong Bandar dulunya adalah suatu pelabuhan zaman kuno? Secara toponimi, nama Bandar menunjukkan arti pelabuhan. Nama Bandar dalam hal ini tidak hanya di Rantau Prapat di sungai Bila, juga ada nama Bandar Pulau di Kisaran di sungai Asahan. Sebagaimana sungai Baroemoen dapat dinavigasi dengan perahu ke Portibi, sungai Bila diduga kuat dulunya dapat dinavigasi dari arah pantai ke Rantau Prapat dan Bandar.


Kampong Bandar dan tempat persimpangan (Rantau Prapat) secara geofrafis memiliki posisi strategis. Persimpangan Rantau Prapat di daerah aliran sungai Bila tidak hanya penting ke hilir sungai Bila, tetapi juga menjadi arah jalan darat ke utara (di Kisaean) dan ke selatan (di Kota Pinang). Sementara kampong (pelabuhan) Bandar tidak hanya suatu pelabuhan kea rah jilir, tetapi juga menjadi pelabuhan dari arah hulu sungai Aek Bilah di Lobu Tayas (kini kecamatan Aek Bilah).  

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar: