*Semua artikel Budaya Angkola Mandailing dalam blog ini Klik Disini
Menurut buku ‘All About Coffee’ karya William H. Ukers (New York, 1922), kopi Mandailing dan kopi Angkola merupakan kopi terbaik dunia dan memiliki harga tertinggi di pasar internasional. Kopi Mandailing (Mandheling) dideskripsikan dalam buku tersebut sebagai berikut: the best coffee in the world", also the highest priced; formerly a Government coffee; yellow to brown, large-sized bean, dully roast but free from quakers; it is of heavy body, exquisite flavor and aroma. Sedangkan kopi Angkola (Ankola) dideskripsikan sebagai berikut: formerly a Government coffee; large fat bean, making a dull roast; second only to Mandhelings; it has a heavy body and rich, musty flavor. Nikmatnya kopi Angkola atau kopi Mandailing di masa doeloe, kini bisa ditemukan di Sipirock Coffee.
Kopi Mandailing dan kopi Angkola yang di
masa ‘doeloe’ harganya ‘selangit’ di Eropa dan Amerika Serikat, ternyata pada awalnya
harus pula dibayar mahal oleh penduduk ‘bumi’
Mandailing dan Angkola di Tapanuli Selatan. Kisah budidaya kopi (koffie cultuur) di Mandailing/Angkola
yang menerapkan sistem yang seragam dengan tanam paksa (cultuurstelsel)
sebagaimana di Jawa, tetapi kisah yang terjadi di Mandailing/Angkola justru
jauh sangat memilukan ketika hasilnya
harus diangkut dengan kuli panggul secara paksa pula dari gudang-gudang kopi di
pedalaman ke pelabuhan-pelabuhan di pantai. Kisah transportasi paksa kopi ini memicu
dipercepatnya pembangunan jalan di Mandailing dan Angkola.
***
Ekonomi kopi di Angkola-Mandailing
bermula di tahun 1833--awal Belanda memasuki Tapanuli dari Natal, kemudian
menduduki daerah Mandailing dan menaklukkan daerah Angkola. Tidak lama setelah
Mandailing-Angkola dikuasai militer Belanda, pada tahun 1835 pemerintah
kolonial Belanda mendatangkan bibit kopi Arabica dari Jawa-- karena di beberapa
lokasi di Mandailing khususnya di Pakantan sangat sesuai untuk pertumbuhan
kopi. Ternyata terbukti hasilnya sangat-sangat bagus. Daerah Angkola khususnya
Sipirok ternyata juga sangat sesuai untuk tanaman kopi. Ini berarti
lereng-lereng gunung yang hawanya dingin sangat memungkinkan kopi tumbuh dengan
sempurna. Atas dukungan perusahaan NHM milik Raja Willem I—area penanaman kopi
di Mandailing diperluas ke Angkola. Untuk mendukung adopsi sistem tanam paksa (cultuurstelsel) di Mandailing-Angkola
lantas pada tahun 1840, di Tano Bato diadakan kebun pembibitan kopi yang akan
didistribusikan selain di daerah Mandailing juga didistribusikan ke daerah
Angkola khususnya Sipirok.
***
Pada tahun 1845 pemerintah kolonial Belanda melakukan pembelian pertama dari penduduk dan kemudian disimpan di gudang kopi.
Gudang-gudang ini terdapat di Tanobato untuk daerah Mandailing (28 pal),
Kotanopan untuk daerah Ulu dan Pakantan (11 pal). Pada fase berikutnya kemudian gudang kopi dibangun
di Padang Sidempuan. Gudang kopi Padang Sidempuan ini pusat pengumpulan di Angkola dan juga menjadi gudang pengamplasan dari dua gudang pemasok yang berada di Sipirok dan Sigalangan. Masalahnya kemudian
bagaimana mengangkut hasil panen kopi ke pantai—tempat dimana kapal-kapal Belanda
berlabuh. Untuk mengatasi itu diperlukan
kuli dengan upah rendah ke Natal dan Lumut.
A.P. Godon yang pertamakali datang ke Mandailing/Angkola pada bulan April, 1848 melaporkan ‘tragedi’ ekonomi kopi di Mandailing dan Angkola. Penduduk Mandailing/Angkola kala itu berjumlah 44.000 jiwa berdasarkan hasil sensus yang dilakukan bulan September 1846 yang distribusinya sebagai berikut: Mandailing Jae sebanyak 17.000 jiwa, Mandailing Julu sebanyak 11.000 jiwa, Ulu dan Pakantan sebanyak 5.000 jiwa dan Angkola-Sipirok sebanyak 11.000 jiwa. Pada tahun tersebut daerah Padang Bolak/Padang Lawas belum sepenuhnya dikuasai oleh pemerintah kolonial Belanda.
Jumlah penduduk Mandailing-Angkola sudah
jauh berkurang ketika dia datang karena adanya ekonomi kopi yang menyebabkan
pemiskinan, migrasi penduduk ke pantai, timbulnya penyakit dan kematian.
Pemerintah kolonial bersama para kepala-kepala kampung melakukan pemerasan
terhadap penduduk. Para penduduk dewasa dipaksa bekerja menanam kopi yang hanya
untuk makan dan tinggal di gubuk-gubuk yang terbuat dari bambu dengan rangka
kayu kasar beratapkan ijuk. Sementara laki-laki dewasa (yang belum menikah
dibebaskan dari tugas ini) dipaksa bagaikan budak untuk mengangkut kopi ke
pantai (Natal). Pakantan-Kotanopan, Tanobato-Tapus dilakukan dengan kuli. Dari
Tapus ke Natal dilakukan oleh kuli panggul yang berbeda. Di Angkola hasil kopi
tanam paksa dibeli dari penduduk dan dikumpulkan di Padang Sidempuan lalu diangkut dengan kuli panggul ke Lumut
yang berjarak 27 pal. Dari Lumut kemudian diangkut dengan kapal-kapal layar
kecil ke Kota Sibolga.
***
Di Mandailing pada tahun 1848 terdapat
sebanyak 2.800.000 pohon kopi yang sebagian sudah menghasilkan. Sebagai
gambaran menurut A.P Godon yang datang ke gudang kopi pada bulan Mei 1848 ada
sebanyak 4.100 pikul (1 pikul = 1 kwintal = 100 kg) kopi di gudang yang
merupakan hasil panen dari tahun 1847. Kemudian pada bulan Januari 1849
dilakukan pembelian sebanyak 5.200 pikul, dan dengan demikian terdapat
sebanyak 9.300 pikul kopi di gudang yang
sudah dikumpulkan di Tanobato dan siap
untuk diangkut dengan kuli panggul ke Natal.
Pada waktu itu jalan antar kampung masih
jalan setapak di Ulu/Pakantan tetapi pada ruas tertentu jalan yang dilebarkan
tetapi masih sempit untuk ukuran kuda beban antara Muarasipongi ke Kotanopan
hingga ke Tanobato. Jalan dari Tanobato hingga ke Natal yang jaraknya 50 pal dlui
melalui jalan setapak yang melewati pegunungan dengan ketinggian 4.000 kaki dan
bahkan dengan medan yang berat.
Untuk transportasi kopi di pedalaman
menjadi monopoli para kepala-kepala kampung. Kuli-kuli ini merupakan para budak
yang dimiliki kepala-kepala kampung dan penduduk dewasa yang dipaksa untuk
ambil bagian dalam pengangkutan kopi ke Tapus—dari Tapus ke Natal (8 pal)
dilakukan oleh kuli yang berbeda. A.P. Godon mengamati sendiri kerja
transportasi paksa ini dari Tanobato ke Natal dibawah pengamanan militer.
Dengan jumlah kopi yang ada di gudang sebanyak 9.300 pikul maka dibutuhkan 69
hari untuk setiap kuli panggul dimana jumlah kuli panggul yang tersedia
sebanyak 6.000 orang yang mana setiap pikul dibagi 3 bagian panggul dan lamanya
perjalanan jalan kaki selama 15 hari pulang pergi [9300 X 3 kali X 15 hari (pp)
= 418,500 hari, dibagi diantara 6.000 kuli].
Bisa dibayangkan penderitaan penduduk
Mandailing dan Angkola. Di Mandailing kegiatan mengangkut kopi hingga ke
Tanobato adalah bagian dari tanam paksa. Dari Pakantan ke Kotanopan dilakukan
dua hari (4 hari pp). Hanya dari Tanobato ke Natal yang diberi upah angkut
secata tersendiri. Para kuli panggul bekerja nonstop selama dua bulan lebih
melalui jalan-jalan setapak melalui hutan, pinggir jurang yang dalam, baik
hujan maupun terik dan udara yang dingin yang hanya dibayar 15 sen sehari,
padahal pemerintah kolonial Belanda mengalokasikan anggaran yang memadai
sebanyak 25 sen sehari kepada dewan kuli (kepala-kepala kampung). Hal yang
kurang lebih sama antara Padang Sidempuan ke Lumut.
Budidaya (koffie kultuur) membuat
penduduk jelata menderita ditambah lagi di sana sini terdapat banyak
pelanggaran dalam mekanismenya. Kebencian penduduk terhadap transportasi paksa
semakin meningkat. Di Mandailing, A.P. Godon mengusulkan agar pembukaan jalan
dipercepat agar bisa menggunakan gerobak. Sebelumnya sudah ada tiga rute
alternatif pada tahun 1841 dari survei yang dilakukan sebelumnya, yakni: via
Tanobato menuju Natal, via daerah aliran sungai Batang Gadis menuju Singkuang
dan via Muara Sipongi menuju Air Bangis. Namun akhirnya yang dipilih adalah via
Tanobato ke Natal yang sudah digunakan oleh para pedagang dan para kuli panggul
untuk transportasi paksa. Rute menyusuri Batang Gadis menuju Singkuang tidak
sesuai karena tidak memadai untuk tonase kapal di muara sungai Batang Gadis.
Rute ke Air Bangis sangat terlalu jauh.
Akhirnya transportasi paksa dihapuskan
dan digantikan dengan kereta kuda dan gerobak diadakan. Bulan Agustus 1848,
jembatan gantung di atas Batang Gadis digantikan dengan jembatan rangka kayu
dengan beratap ijuk. Dengan demikian jalan Penyabungan-Tanobato Batu dapat
dilalui kuda beban gerobak. Kemudian di Tanobato dibangun gudang besar untuk
menampung hasil panen kopi dan pengamplasan.
Pada tahun 1849 A.P Godon membahas
dengan kepala-kepala kampong tentang pembangunan jalan dan bagaimana
mempekerjakan orang jalan menuju Natal.
Godon dapat meyakinkan Dewan Mandailing bahwa ini adalah cara yang lebih baik
jika dilakukan dengan transportasi paksa. Mr Swieten, kepala tatakelola Pantai
Barat Sumatra ditempatkan untuk memulai pengawasan pembangunan dengan membawa
masterplan jalan yang sudah disiapkan di Padang. Sementara itu, Godon melakukan
kalkulasi kebutuhan tenaga kerja.
Godon sangat hati-hati mempertimbangkan
antara kebutuhan tenaga kerja untuk pembangunan jalan dengan kegiatan pertanian
rakyat dan termasuk misi tanam paksa. Hanya sepertiga laki-laki setiap kampung
yang dapat dipekerjakan untuk membangun jalan, selebihnya untuk tetap bekerja
di pertanian. Diperoleh sebanyak 2.650 laki-laki yang mana Yang Dipertuan Kota
Siantar menjadi pimpinan tertinggi. Ini berarti setiap kuria akan menyertakan
500 laki-laki dan kuria sendiri menjadi pimpinannya. Setiap Kepala Kampung
membawahi 100 laki-laki dan setiap suhu mengkoordinir 25 orang.
Sistem kerja menjadi gotong royong tanpa
ada campurtangan polisi. Godon hanya datang dua atau tiga kali seminggu ke
lokasi pembangunan jalan. Pekerjaan pembangunan jalan ini dilakukan selama 180
hari (enam bulan) dan selesai pada tanggal 8 Januari 1851. Mr. Swieten pada
bulan Maret 1951 melakukan pemeriksaan bahwa jalan ke Natal sudah sepenuhnya
dapat dilalui gerobak yang ditarik dengan kerbau terlatih dan kuda beban yang
digiring oleh laki-laki. Dengan demikian. kuli panggul-transportasi paksa tamat
di Mandailing.
Dengan melihat keberhasilan pembangunan
jalan di Mandailing, hal yang sama juga dilanjutkan di Angkola yakni dari
Sipirok ke Padang Sidempuan dan ke Lumut. Sebelum adanya budaya kopi, arus
perdagangan dari Sipirok ke Sibolga tidak melalui Padang Sidempuan, melainkan
sepenuhnya via Bulumario dan Marancar. Budaya kopi mengarahkan rute
transportasi kopi dari Sipirok melalui Padang Sidempuan karena gudang kopi oleh
pemerintah kolonial Belanda di bangun di Padang Sidempuan. Jarak gudang di
Sipirok ke gudang di Padang Sidempuan sejauh 19 pal. Jalan yang dilalui oleh
kuda beban sangat sempit yang menurut A.P. Godon hanya kondusif di musim
kemarau karena jalan-jalan sempit tersebut sangat licin di musim hujan.
Dalam buku Parlindungan disebutkan pada
mulanya Van Asselt 1857 datang ke Parausorat sebagai pakus (pembeli/pedagang
pengumpul kopi untuk pemerintah kolonial Belanda). Para pakus inilah yang
memainkan peran di dalam proses pembelian, pergudangan dan pengangkutan di
pedalaman di Angkola sebagaimana di Mandailing. Pada bulan Desember 1856 di
seluruh Angkola/Mandailing terhitung terdapat sebanyak 2.952.081 batang tanaman kopi
yang sudah menghasilkan dan pada tahun 1857 lebih dari 28.000 pikul kopi
dipanen. Ketika transportasi kopi dari Tanobato ke Natal sudah menggunakan
gerobak, pengangkutan kopi dari Padang Sidempuan ke Lumut masih dilakukan
dengan kuli panggul. Hal ini karena jalan menuju Sibolga juga termasuk sulit
apalagi sungai Batang Toru hanya dihubungkan jembatan gantung yang
terbuat dari rotan.
Gudang kopi di Muarasipongi, 1895 (kitlv.nl) |
Jalan pos di Mandailing, 1901 |
***
Jika dulunya pusat perdagangan kopi di
pelabuhan Natal pada fase berikutnya beralih menjadi pusat perdagangan kopi di
pelabuhan Sibolga. Baik di Natal maupun Sibolga hasil budidaya kopi dari
Mandailing/Angkola selanjutnya diteruskan ke Pelabuhan Padang melalui laut.
Adanya pembangunan jalan di Mandailing/Angkola bagi penduduk yang berada di
Mandailing/Angkola yang sebelumnya menjadi beban (bahkan sangat menakutkan)
berubah menjadi kegiatan ekonomi yang menguntungkan. Ekonomi kopi yang pada
mulanya mimpi buruk dan pahit bagi penduduk Mandailing/Angkola akhirnya berbuah
manis dengan harga kopi tertinggi dunia.
__________________
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap dari berbagai sumber, antara lain:
-Godon, A. P. De assistent-residentie Mandailing en Ankola,
op Sumatra's Westkust, van 1849 tot 1857.
-Parlindungan, M.O. 1964. Pongkinangolngolan Sinambela Gelar Tuanku
Rao: Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak, 1816-1833. Tandjung
Pengharapan
-P.N. van Kampen & zoon. De Gids,
Jaargang Vol. 50/ Amsterdam, 1886
Tidak ada komentar:
Posting Komentar