Kota lama di Langkat dan di Deli adalah Tandjongpoera dan Laboehan—kota pelabuhan yang menjadi simpul perdagangan dari pedalaman dan menjadi tujuan perdagangan internasional—sudah berkembang sejak lama, jauh sebelum kehadiran Belanda. Dua kota pelabuhan ini terkenal sebagai pusat perdagangan komoditi lada dan tembakau di Sumatra’s Oostkust. Juga terkenal sebagai eksportir kuda-kuda dari Bataklanden.
Deli Mij, Medan of Medan Poetri (1876) |
Pemerintah Hindia Belanda memulai pemerintahan
di Deli pada tahun 1863 dengan menempatkan seorang controleur di Laboehan (Baron
de Raet van Cat). Sedangkan di Langkat-Tamiang pemerintahan baru dibentuk kemudian
pada tahun 1876 dengan menempatkan controleur di Tandjongpoera (Bataviaasch
handelsblad, 20-04-1876).
Controleur Deli di Laboehan adalah C. de Haan yang memulai bertugas pada
tahun 1865. Tugas pertama controleur Deli ini adalah melakukan ekspedisi ke
Bataklanden yang dilakukan tahun 1866 (tiga tahun setelah kehadiran
controleur).
Tugas ini menjadi penting
bagi controleur karena sudah mulai ada reaksi dari penduduk Batak di hulu.
Hubungan ke hulu secara ekonomi lebih penting daripada di sepanjang pantai.
Controleur mengabaikan tugas menyatukan Melayu (Deli, Langkat dan Serdang).
Tentu ini sangat penting, karena kemajuan transaksi dagang di pelabuhan
Laboehan di Deli sangat tergantung aliran komoditi dari penduduk Batak baik
yang berada di belakang pantai (dataran rendah) maupun yang berada di
pegunungan (dataran tinggi). Sebab tujuan utama kolonisasi adalah perdagangan
dan keuntungan. Inilah yang dilakukan Controleur untuk memahami kunci
keberhasilan Deli itu melakukan ekspedisi ke Tanah Batak pada bulan Desember
1866 hingga Januari 1867.
Pasca ekspedisi ke Bataklanden, ternyata kemudian menjadi awal perluasan
perkebunan yang dipelopori Nienhuys dan kawan-kawan dengan membuka kawasan
Medan Poetri tahun 1869. Sejak itu investor baru yang datang dari Jawa dan
Eropa bermunculan. Deli menjadi pusat pertumbuhan baru perkebunan di Hindia
Belanda, apalagi Terusan Suez sudah dibuka sejak 1869.
Pusat usaha bisnis
perkebunan Nienhuys dkk (Deli Mij.) di Medan Poetri menjadi check point
perluasan perkebunan di pedalaman dengan semakin menjamurnya investor baru: ke
timur di Serdang, ke barat di Langkat Hulu (Langkat Bocvenlanden) dan ke selatan
di Deli Toea. Pusat perkantoran Deli Maatschappij di Deli Poetri lambat laun
menjadi semacam kota baru (sekitar Lapangan Merdeka yang sekatang). Nama Medan
Poetri mengalami pergeseran menjadi Medan dan nama Medan semakin popular dibanding
Medan Poetri. Lambat laun nama Medan Poetri hilang.
Sejak 1870, reaksi penduduk Batak di belakang pantai mulai bermunculan.
Ini sehubungan dengan semakin meluasnya lahan-lahan perkebunan ke segala arah
di sekitar Deli Mij. (Medan). Sultan Deli yang bertempat tinggal di Laboehan
yang bekerjasama dengan controleur Deli merupakan actor utama dibelakan
pemberian konsesi lahan kepada para investor. Di sisi lain, penduduk yang merupakan
pewaris lahan lambat laun digusur dari tanah miliknya. Controleur adakalanya
menggunakan militer atas persetujuan Sultan untuk membebaskan lahan. Lahan
perkebunan terjadi di Langkat sudah sampai di lokasi yang disebut Timbang (kota
dimana Binjai yang sekarang).
Peta Timbang-Langkat dan Bindjai. 1873 |
Ketegangan antara pemimpin
penduduk di satu sisi dengan controleur dan Sultan di sisi lain makin memuncak:
munculah perlawanan penduduk yang dipimpin Radja Soenggal (Radja Soenggal
menganggap Sultan sudah bertindak arogan). Pertikaian pertama muncul pada tahun
1872 di Timbang-Langkat. Ini menyusul setelah sebelumnya terjadi pemberontakan
koeli Tjina di Pertjoet yang membunuh pemilik orang Eropa dan beberapa tenaga
kerja orang Melayu. Sejak kerusuhan di Pertjoet dan Timbang-Langkat satu
datasement militer ditempatkan di Medan, yang kemudian membentuk kampement
militer (kelak menjadi garnisun militer).
Datasement militer (yang berbasir di Medan) mendapat tugas berat karena
eskalasi politik di Medan dan sekitarnya semakin memanas. Puncak perlawanan
penduduk yang dipimpin Radja Soenggal memakan korban baik di pihak penduduk
maupun di pihak militer Belanda. Perang antara penduduk dan Belanda ini disebut
Perang Soenggal.
Perlawanan penduduk makin
lama makin tidak seimbang dengan semakin ditingkatkannya jumlah tentara dan logistic
di Medan. Akhirnya perlawanan penduduk melemah dan mundur ke pedalaman dan pada
waktu-waktu tertentu tetap melakukan gerilya ke batas-batas perkebunan dengan
menganggu dan bahkan menyerang para planter.
Dengan semakin meningkatnya peran militer di pedalaman untuk menjaga
keamanan, lambat laun situasi dan kondisi sudah memungkinkan membentuk pemerintahan
sipil di Medan. Sejak 1875 Afdeeling Deli ditingkatkan statusnya dari
Controleur menjadi Asisten Residen. Afdeeling Deli terdiri dari dua
onderafdeeling: Laboehan dan Medan. Di Laboehan controleur digantikan Asisten
Residen dan di kota Medan ditempatkan seorang controleur. Asisten Residen Deli
juga membawahi Tandjoengpoera dan pada tahun 1876 di Tandjongpoera seorang
controleur.
Peta konsesi perkebunan di Deli dan Langkat, 1875 |
Hubungan lalu lintas antara
Tandjoengpoera (Langkat Benelanden) dengan Langkat Hulu (Langkat Bovenlanden)
yang berpusat di Timbang (Timbang-Langkat) ternyata lebih sulit jika
dibandingkan antara Medan (ibukota onderafdeeling Medan) dengan Timbang Langkat.
Oleh karena itu, hubungan Medan dan Timbang makin lama, makin hari Medan dan
Timbang semakin pesat, maka kedua tempat utama di pedalaman terbentuk sebagai
kota. Medan dan Kesawan makin menyatu menjadi Kota Medan, Timbang dan Bindjai
semakin menyatu menjadi Kota Bindjai. Kota Medan sebagai kota utama dan Kota
Binjai sebagai kota satelit lambat laun semakin dekat satu sama lain sehubungan
dengan ibukota Deli pada tahun 1879 dipindahkan dari Laboehan ke Medan dan
pembangunan moda transportasi kereta api (1881): Medan-Laboehan, Medan-Timbang
dan Medan-Deli Toea. Pada tahun 1887 (ketika ibukota Residentie Sumatra’s
Oostkust dipindahkan dari Bengkalis ke Kota Medan, Kota Bindjai sudah semakin
berkembang, sebaliknya kota Laboehan semakin mundur.
Kota Medan dan Kota Bindjai pada awalnya berkekembang secara perlahan
(kota kembar), tetapi kemudian kecepatan tumbuh Kota Medan jauh lebih cepat
dibandingkan Kota Bindjai, maka Kota Medan sudah jauh meninggal Kota Bandjai (kota
baru) dan dua kota lama (Laboehan dan Tandjongpoera).
Pada tahun 1909 Kota Medan
statusnya ditingkatkan menjadi Gemeente. Pada tahun 1915 Kota Medan menjadi ibukota
Province Oost van Sumatra (nama lain sebelumnya Sumatra’s Oostkust). Pada tahun
1917 Kota Bindjai ditingkatkan statusnya menjadi Gemeente. Kota Tandjongpoera
dari status controleur menjadi Asisten Residen, kedudukan Asisten Residen tetap
berada di Tandjongpoera.
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber
tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti
surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak
semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain.
Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut
di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar