Soetan Mangkoetoer di Mandailing dan Ranggar Laoet di Angkola. Dua pejuang di Afdeeling Mandailing dan Angkola yang terang-terangan melawan Belanda. Mereka berdua menunjukkan perlawanan sejak awal ketika Belanda memulai kolonialisasi di Afdeeling Mandailing dan Angkola. Keduanya lalu ditangkap dan dibuang ke daerah lain.
Peta (perbatasan) Angkola-Sipirok, 1852 |
Sejauh ini, kiprah dua pejuang Angkola ini
tidak pernah ditulis. Karena itu, kedua pejuang yang terang-terangan menentang
kehadiran Belanda tersebut seakan hilang ditelan masa. Artikel ini akan
mengkompilasi berita-berita surat kabar masa lampau tentang kiprah keduanya.
Intinya, riwayat Ranggar Laoet di Angkola mirip dengan riwayat Soetan
Mangkoetoer di Mandailing.
Riwayat perjuangan Ranggar Laoet di Angkola bukanlah
sejarah yang hilang. Riwayat perjuangan Ranggar Laoet di Angkola lebih pada
sejarah yang tercecer: tidak ditulis, tidak ada yang menceritakan dan karena
itu lambat laun tidak diperbincangkan lagi, hilang ditelan waktu. Kiprah perjuangan
Ranggar Laoet di Angkola dalam menentang kehadiran Belanda faktanya diberitakan
surat kabar antara 1840-1860. Semua itu kita angkat kembali. Mari kita lacak!
Ranggar Laoet
Perlawanan senjata penduduk Angkola sesungguhnya
tidak hanya terjadi era perang kemerdekaan (1945-1949), tetapi, jauh sebelum
itu di awal kehadiran Belanda (1840) sudah ada perlawanan yang dilakukan dengan
mengangkat senjata. Perlawanan dengan mengangkat senjata terhadap kehadiran
Belanda di Angkola dipimpin oleh Ranggar Laoet. Sebelumnya, di Mandailing,
Soetan Mangkoetoer telah melakukan perlawanan terhadap kehadiran Belanda.
Nederlandsche staatscourant, 24-06-1842: ‘berita dari
Sumatera diterima di Batavia bahwa terjadi ketegangan yang juga berkaitan
dengan afdeeling Mandheling, di mana diumumkan terjadi kerusuhan namun tidak
sampai meletus. Meskipun ada konspirasi kecurigaan terhadap beberapa kepala,
tapi perbuatan itu lambat laun telah hilang. Uutuk mengkonfirmasi bahwa itu
benar untuk sisanya, hanya anggapan sebagai berita yang bersifat lateral.
Sementara itu sudah ada tindakan militer untuk pencegahan yang diambil,
terutama terhadap kampong-kampung atau distrik yang agak banyak ditemukan
permasalahan. Sejumlah pertemuan telah dilakukan dan semua berniat untuk
memberontak. Sudah dilakukan pendekatan dan sudah dapat menggagalkan cukup.
Setelah sulit ditekan, tiga kepala Mandheling berperilaku telah meminta
perlindungan sementara di Natal’
Di Mandailing, perlawanan serupa dipimpin
oleh Soetan Mangkoetoer, kepala kampong (Radja) di Hoeta Godang di dekat
Kotanopan. Radja Soetan Mangkoetoer menggantikan posisi abangnya, Radja
Gadoembang, sebagai radja di Hoeta Godang. Radja Gadoembang sendiri meninggal
tertembak ketika melakukan penyerangan terhadap Padri di sekitar Rao.
Radja Gadoembang dan Soetan Mangkoetoer adalah kakek
moyang Radja Djoendjoengan Lubis (mantan Gubernur Sumatera Utara) dan Basjirah
Lubis (mantan Wali Kota Medan).
Di Angkola, perlawanan terhadap kehadiran
Belanda ini dipimpin oleh Ranggar Laoet. Dalam kerusuhan yang terjadi di
Angkola, Ranggar Laoet dkk telah menghancur sejumlah jembatan untuk memutuskan
akses dan menghacurkan sejumlah properti Belanda dan berhasil membunuh Sersan
Luxemburg. Namun perlawanan Ranggar Laoet ini dapat dipatahkan setelah Yang
Dipertoean Hoeta Siantar member bantuan tambahan.
Nederlandsche staatscourant, 01-10-1847 |
Nederlandsche staatscourant, 01-10-1847: ‘dalam bagian
North-Eastern Sub Kerajaan Sumatra’s Westkust afdeeling Mandheling, pada bulan
Mei tahun ini terjadi satu gangguan yang meletus, didorong oleh mengamankan Ranggar
Laoet, dan mulai dengan kehancuran beberapa jembatan, termasuk jembatan baru
Batang Taro, merampok dan melakukan pembakaran sejumlah bangunan dan pembunuhan
terhadap sersan Luksemburg. Dengan langkah-langkah otoritas sipil dan militer
yang dimiliki dapat dilakukan perdamaian dan mereka segera dipulihkan. Rangar
Laoet dan beberapa pemimpin lainnya telah datang ke dalam penyerahan. Pada
kesempatan itu, Jang di Pertoean dari Mandheling terbukti penting dengan
menyediakan layanan pasukan tambahan, bahkan lebih dari yang diperlukan atau
diperlukan. Sebuah penyelidikan penyebab apa yang terjadi adalah tidak
diketahui jelas. Namun beberapa rumor telah dikaitkan dengan keinginan dalam penyebaran
vaksinasi anak-anak atas perintah pemerintah, yang mana vaksinasi ini akan
meninggalkan tanda abadi di lengannya’.
Soetan Habiaran
Soetan Habiaran adalah salah satu pemimpin lokal
yang turut membantu Belanda dalam Perang Pertibie (melawan Toeankoe Tambusai)
pada tahun 1837 hingga 1839 (Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 15-02-1873). Dari Mandailing dipimpin
oleh Yang Dipertoean Hoeta Siantar.
Pemimpin local lainnya yang berpartisipasi dalam Perang
Pertibie adalah Kepala Batoenadoea, Patoean Soripada. Jabatan koeria Batoenadoea
digantikan oleh anaknya Mangaradja Soetan. Sumatra-courant: nieuws- en
advertentieblad, 21-11-1878 melaporkan
bahwa Mangaradja Soetan mengundurkan diri sebagai koeriahoofd karena berselisih
dengan Asisten Residen Angkola dan Mandailing berinisial N. Untuk sekadar
diketahui, Mangaradja Soetan adalah ayah dari Soetan Casajangan.
Namun entah apa pasal sejak Belanda membentuk
pemerintahan di Angkola (dan Padang Lawas), Soetan Habiaran berseberangan
dengan Belanda. Perlawanan Soetan Habiaran terdeteksi tahun 1870 di
Simangambat.
Java-bode: nieuws, handels-en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 03-03-1870: ‘Sutan Habiaran dan pengikutnya dari kampong
‘Tapian’ melakukan tindakan kriminal terhadap dusun Pagaran Padang, antara
Lantjat, Si Mangambat dan Si Pirok, suatu distrik yang belum berada di bawah
pemerintahan regular (terregister) yang berada di perbatasan antara Sipirok
dengan Bataklanden telah diamankan. Mereka ini menggerebek dusun itu dan
melakukan aksi penjarahan. Sebanyak 12 orang ditangkap. Tindakan yang mereka
lakukan itu oleh dewan (adat) pada tanggal 16 Februari 1870 akan dibawa
(ditahan) ke Padang’.
Dalam pengusutan terhadap Soetan Habiaran,
terbukti dirinya telah bersalah dalam penjarahan properti milik pemerintah.
Residen Tapanoeli, Canne memerintahkan militer membawa Soetan Habiaran ke
Padang Sidempoean dan meminta kembali properti pemerintah dan diminta meminta
pengampunan dan dipenjarakan di Padang Sidempoean. Sejak dilumpuhkannya Soetan
Habiaran tercipta kepuasan umum, situasi dan kondisi tenang (Java-bode: nieuws,
handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 09-06-1870).
Siapa Ranggar
Laoet dan Soetan Habiaran?
Siapa
Ranggar Laoet dan Soetan Habiaran, sejauh yang diteliti masih samar-samar.
Kedua pejuang ini hanya disebutkan daerah gerilyanya di Batangtoroe (Ranggar
Laoet) dan di Hulu Bila (Soetan Habiaran). Untuk melacak dimana kampong halamannya
ditelusuri sejumlah buku stambuk (silsilah keluarga/marga). Data dalam stambuk
umumnya tidak mencantumkan tahun, tetapi dengan menghitung generasi (mundur ke
belakang) dapat dipadankan dengan peristiwa sejarah yang diberitakan dalam
surat kabar: misalnya Stambuk marga Nasution untuk mengidentifikasi nama Willem
Iskander.
Saya sudah
memiliki sejumlah stambuk keluarga/marga atas bantuan teman-teman: Nasution,
Lubis, Siregar, Harahap, Hasibuan dan lainnya. Namun stambuk keluarga/marga ini
hanya beberapa cabang dari keluarga/marga induk (lebih banyak akan lebih
lengkap dan lebih valid untuk dijadikan sumber). Namun karena nama-nama yang
akan dilacak pada generasi-generasi awal maka satu sama lain (dari marga yang
sama) masih bisa diperbandingkan. Sebagai misal dalam marga Nasution, nama Ranggar
Laoet dan Soetan Habiaran haruslah berada di atas generasi Willem Iskander.
Dari
berbagai stambuk keluarga/marga tersebut nama-nama Ranggar Laoet dan Soetan
Habiaran baru ditemukan di dalam satu stambuk. Oleh karena stambuk
keluarga/marga tersebut diberikan oleh yang bermarga harahap dan garis generasi
mereka berada di Angkola, maka dugaan awal Ranggar Laoet dan Soetan Habiaran
bermarga Harahap yang berdiam di Angkola.
Di dalam salah
satu cabang stambuk keluarga/marga Harahap di Angkola, nama Ranggar Laoet dan
Soetan Habiaran berada pada generasi dimana awal kehadiran Belanda di Angkola.
Dengan demikian, berita-berita dalam surat kabar cukup berdekatan (sejaman) dengan
nama-nama yang dicatat dalam stambuk keluarga/marga. Dalam hal ini mengambil titik
tolak satu garis datar generasi (seperti dicatat dalam stambuk): Radja Imbang
Desa (Pidjorkoling), Ompoe Saroedak (Hoetaimbaroe/Saboengan), Dja Bilang Naoeli
(Sidangkal), Toenggal Hoeajan (Pargaroetan), Lombang Alom (Losoeng Batoe). Tiga
generasi dari titik tolak tersebut (pada satu cabang stambuk keluarga/marga)
terdapat nama Dja Maranggar yang memiliki dua saudara. (Ra)Dja Mangaranggar ini
memiliki anak tujuh orang (laki-laki). Dari anak yang kedua (Ra)Dja Mangaranggar
memiliki tiga anak: dua diantaranya bernama (Ra)Dja Laoet dan (Ra)Dja Habiaran.
Dengan kata lain Ra(Dja) Mangaranggar memiliki cucu bernama (Ra)Dja Laoet dan (Ra)Dja
Habiaran. Oleh karena dalam catatn sejarah (sumber surat kabar) hanya menyebut
Ranggar Laoet dan Soetan Habiaran boleh jadi ini adalah bersumber dari tiga
nama: Ranggar (kakek), Laoet dan Habiaran (cucu-cucu). Jika Ranggar Laoet
merujuk pada satu orang kemungkinan (Ra)Dja Laoet mengkombinasikannnya dengan
nama kakeknya.
Tunggu
deskripsi lengkapnya
*Dikompilasi
oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama
yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan
peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena
saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber
primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi
karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang
disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan
kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar