Masjid Istiqlal adalah Masjid Merdeka, nama masjid yang diinginkan oleh Presiden Soekarno. Meski sejauh ini pembangunannya belum selesai, namun nama masjid yang sesuai (istiqlal) dan lokasi yang sesuai sudah menjadi paten (tidak akan berubah lagi). Sayangnya, Ir. Soekarno tengah berada di dalam kesulitan dan sohibnya Zainul Arifin Pohan telah lama tiada. Singkat kata: untuk sementara pembangunan Masjid Istiqlal terkendala untuk sementara waktu.
Mesjid dan gereja di Sipirok, 1906 |
Lokasi Masjid
Istiqlal yang dipilih Soekarno berdasarkan diskusinya dengan Zainul Arifin
Pohan tentu saja berdasarkan pilihan dari Yang Maha Menentukan. Secara vertical
(historis) lokasi masjid berada di atas taman Wilhelmina, yang seakan
menyiratkan masa lalu colonial telah digantikan oleh masa depan bangsa
Indonesia. Secara horizontal (futuristic) lokasi masjid yang berada berhadapan
dengan Gereja Katedral (bukan berseberangan dan juga bukan membelakangi) seakan
menyiratkan di masa depan harmoni antar umat beragama dapat terus terjaga.
Itulah masjid terbesar di Indonesia, masjid merdeka dan masjid lambang
persatuan.
Masjid
Istiqlal yang akan menjadi lambang agama Islam di alam kemerdekaan akan
menaungi siar agama Islam hingga ke masa depan. Agama Islam sendiri adalah
agama yang datang kemudian (setelah Budha dan Hindoe) yang kemudian menyusul
agama Kristen dan Katolik. Agama Islam di Nusantara diduga bermula di Baros,
Tanah Batak, Pantai Barat Sumatra dan kemudian menyebar ke seluruh nusantara.
Ini berarti boleh jadi agama Islam di Nuasantara diterima oleh penduduk Batak.
Sebaliknya, seperti yang akan dideskripsikan, di Tanah Batak juga di Sipirok
agama Kristen terakhir kali diterima di Nusantara. Ini seakan penduduk Batak di
Tanah Batak terbilang yang di satu sisi terawal masuk Islam dan di sisi lain yang
terakhir masuk Kristen di Nusantara.
Dalam statistik
terakhir (hasil Sensus Pendudu 2010), penduduk Batak, merupakan etnik di
Nusantara yang komposisi penduduknya yang beragama Islam dan beragama Kristen
terbilang seimbang: Sebanyak 46.35 persen beragama Islam, sementara sebanyak
47.30 persen menganut agama Kristen dan 6.25 persen menganut agama Katolik.
Sedangkan sisanya sebanyak 0.08 persen terdiri dari agama Hindu, Budha,
Khonghucu dan lainnya. Di Sumatra Utara sendiri, agama Islam umumnya dianut
oleh sub etnik Angkola (97.8 persen) dan etnik Mandailing (98.9 persen).
Sementara agama Kristen umumnya dianut oleh sub etnik Toba (73.8 persen).
Persentase agama Islam untuk sub etnik Pakpak Dairi, sub etnik Tapanuli/Sibolga
tampak relatif lebih banyak dibandingkan penganut agama Kristen. Sedangkan
untuk sub etnik Simalungun dan sub etnik Karo persentase penganut agama Kristen
tampak relatif lebih banyak dibandingkan dengan agama Islam. Persentase agama
Katolik cukup menonjol pada sub etnik Karo dan sub etnik Toba.
Soekarno dan
Zainul Arifin Pohan
Awal
pembangunan masjid agung (yang kemudian diberi nama Masjid Istiqlal) peran dua
tokoh penting sangat besar, yakni Ir.
Soekarno dan Zainul Arifin Pohan. Mereka bedualah yang secara intens
membicarakannya, tidak hanya dibicarakan di Istana Merdeka, tetapi juga di
Makkah dan Madinah. Keduanya meski berbeda partai, Soekarno (Nasionalis/PNI)
dan Zainul Arifin Pohan (Islam/Masyumi) tetapi untuk urusan masjid ini keduanya
satu visi (merdeka di atas kesatuan dan persatuan). Nama dan lokasi Masjid
Istiqlal seakan menggambarkan visi dari dua tokoh ini.
Kedua tokoh ini
lahir di dua tempat yang berbeda tetapi sangat khusus dalam sejarah awal
perkembangan Islam di Nusantara pada masa lampau. Zainul Arifin Pohan lahir di
Baros, Tanah Batak, suatu tempat yang diduga awal pertama kali Islam masuk ke
Nusantara. Soekarno lahir di Soerabaja, Tanah Jawa, suatu tempat yang tidak
jauh dari Gresik. Suatu tempat yang diduga awal pertama kali Islam masuk ke
Pulau Jawa.
Baros dan Tanah
Batak
Kampong
halaman Zinul Arifin Pohan dan Soekarno, sangat penting dalam proses adopsi
agama Islam di Baros dan proses difusi di seluruh Sumatra. Agama Islam dari
Baros menyebar di Pantai Barat Sumatra (hingga ke Atjeh dan Bengkulu). Dalam
proses penyebaran lebih lanjut dengan menguatnya kerajaan-kerajaan Islam di
Atjeh (orang-orang Moor) Islam menyebar cepat ke Pantai Timur Sumatra, Jawa dan
wilayah-wilayah lainnya.
Baros
sendiri adalah kota perdagangan paling kuno di Pantai Barat Sumatra. Suatu
tempat yang awalnya kosong (teritori penduduk Batak) lalu muncul pusat
pertukaran komoditi-komoditi kuno. Para pelaut-pelaut Yaman, Persia dan Mesir
lalu menyusul India datang untuk mengambil komoditi kuno seperti benzoin, kapur
barus, kamper dan kemenyan, suatu komoditi yang dibutuhkan di jaman kuno untuk
penerangan, pengawetan, kesehatan dan lainnya.
Uniknya,
komoditi itu (saat itu) hanya ditemukan di wilayah Tanah Batak yang kini
disebut Angkola. Pohon-pohon anugerah tuhan itu menyebar dari Loemoet hingga
Sigompoelon (dari barat gunung Lubuk Raya hingga timur Gunung Sibualbuali).
Orang-orang Batak dalam hal ini adalah produsen pertama komoditi kuno tersebut
yang menyebabkan para konsumen dari Asia Barat dan Afrika Utara datang ke
pantai-pantai di Pantai Barat Sumatra di sekitar Telok Tapanoeli yang sekarang.
Dari sumber-sumber di pedalaman Tanah Batak komoditi mengalir ke muara-muara
sungai dan pantai-pantai (pelabuhan feeder) yang pada akhirnya terbentuk simpul
perdagangan komoditi akhir di Baros (sebagai pelabuhan internasional). Hasil
pertukaran komoditi kuno ini pendudk Batak memperoleh garam, kain dan besi.
Penduduk Batak yang semakin kaya menyebabkan kehidupan sosial-ekonomi
berkembang pesat yang lalu memunculkan sistem sosial dengan basis aristokrasi
yang pada gilirannya terbentuk Batak Kingdom (lihat laporan Pinto, Pires,
Barbosa).
Dalam peta-peta kuno
buatan Portugis itu (yang menjadi rujukan pembuatan peta-peta selanjutnya)
besar kemungkinan didasarkan pada laporan Tome Pires (1512-1515) yang pernah
mengunjungi Malacca. Pires mendeskripsikan Sumatra berdasarkan informasi yang
dikumpulkan di Malacca, dimana di dalam laporannya Barros ditulisnya saling
tertukar antara Barros dengan Bata, Bara dan juga ditulis sebagai Terra de
Aeilabu (Aek Labu) dan Terra de Tuncoll. Semua nama-nama yang tertukar itu
berada di daerah teritori penduduk Batak (Baros). Lalu kemudian Daru tertukar
dengan Barros atau de Aru (Daru adalah ucapan untuk 'de Aru'). Ini juga
mengindikasikan nama-nama itu berada di daerah teritori penduduk Batak.
Intinya, beberapa bandar penting yang didaftar Tome Pires adalah Pedir,
Aeilabu, Lide, Pirada dan Pacee. Dari tiga pelabuhan penting ini hanya Aeilabu
(Aek Labu atau Lobu Toea? nama lain Baros) yang sangat dekat dengan teritori
penduduk Batak. Meski disebut nama Aru, tetapi di dalam laporan Pires tidak
menonjol.
Dalam
perkembangan selanjutnya di Baros, sistem aristokrasi mulanya tipikal dengan
sisten aristoktasi di Angkola dari marga Daulay (dalam laporan Pinto terdapat
duta besar Battak Kingdom yang Daholay). Mingrasi penduduk Batak ke pantai
barat di Baros akibat perdagangan komoditi kuno menyebabkan beragam marga yang
muncul di Baros, termasuk marga Pohan yang terbilang pemilik sistem aristokrasi
yang kuat di Baros.
Pelabuhan Baros
di Tanah Batak begitu penting pada masa itu, masa dimana agama Islam belum
lahir. Penduduk Batak belum ada yang beragama tetapi sudah terbentuk
kepercayaan kuno yang menyembah benda-benda termasuk pohon yang mensejahterakan
yakni pohon kemenyan. Lagu Batak berjudul Sekko-Sekko boleh jadi lagu yang
terus hidup dalam kehidupan penduduk sejak sebelum adanya agama Islam. Sekko
dalam bahasa Angkola adalah kemenyan. Satu hal lagi, komoditi kapur barus
(kamper) yang diduga komoditi dunia atas partisipasi pedagang/pelaut internasional
kala itu menyebabkan kata kapur (kafura) masuk dalam kosa kata di Asia Barat
(yang dapat ditrace dalam kamus Persia Kuno). Kosa kata kapur (kafura) inilah
terdapat dalam Al’Quran, kata yang satu-satunya terdapat dalam kitab suci yang
berasal dari Nusantara di Tanah Batak yang berbasis di Baros (kapur baros).
Sementara
di Jawa proses adopsi diduga bermula di Gresik lalu mengalami proses diffusi di
Jawa (pantai utara dan pedalaman Jawa melalui sungai-sungai di sekitar Surabaya
yang sekarang). Penyebaran agama Islam di Jawa semakin massif dengan munculnya
sejumlah wali-wali di pantai utara Jawa. Ekspedisi Cheng Ho pada fase
berikutnya telah memperkuat kedudukan dan eksistensi agama Islam di Jawa.
Di Tiongkok nama
Batak cukup dikenal dalam dialek Tiongkok Kuno. Nama Batak terdeteksi dalam
laporan-laporan Tiongkok (ekspedisi Cheng Ho) yang sebelum atau sesudah
ekspedisi duta besar Batak Kingdom telah dicatat perbnah berkunjung ke Tiongkok.
Tentu saja urusan ini adalah urusan komoditi kuno.
Baros, Sipirok
dan Jakarta
Nama
Baros sebagai pelabuhan penting di Pantai Barat Sumatra, simpul perdagangan
komoditi kuno dari Tanah Batak secara perlahan siar Islam di Baros juga mengalami
proses difusi ke pedalaman Tanah Batak (khususnya di Angkola dan Mandailing).
Penduduk Batak di pedalaman beragama Islam tentu saja dibawa oleh penduduk
Batak yang telah lebih dahulu menganut agama Islam di Baros (suatu teritori
penduduk Angkola di fase peradaban awal, perdagangan kuno).
Penyebaran agama
Islam di Tanah Batak terbilang sangat lambat dan tidak cepat meluas seperti
penyebaran agama Islam di wilayah lain, terutama nantinya di Pulau Jawa.
Penyebaran agama Islam di Tanah Batak hanya terbatas di wilayah-wilayah terbuka
dari pengaruh asing. Wilayah terbuka itu adalah wilayah Angkola dan Mandailing
yang sekarang yang secara de facto berdiam antara Baros/Batahan di Pantai Barat
Sumatra dan muara pengaliran sungai Baroemoen (Bila/Kota Pinang) di Pantai
Timur Sumatra.
Penduduk
Angkola dan Mandailing menganut agama Islam jauh sebelum orang-orang Eropa
datang ke Nusantara. Sipirok adalah batas Tanah Batak yang beragama Islam
dengan yang bukan (belum) beragama Islam. Penduduk Sipirok sendiri umumnya
telah beragama Islam.
Belanda memasuki
Tanah Batak bermula di Mandailing kemudian merangsek ke Angkola. Pada tahun
1840 pemerintahan Hindia Belanda dibentuk di Mnadailing dan Angkola (satu
afdeeling). Sejak kehadiran Belanda inilah introduksi agama Kristen dimulai
yang diperankan oleh para misionaris. Awalnya hanya misionaris Belanda kemudian
diikuti misionaris Jerman. Para misionaris awalnya melakukan pengabaran Injil
di Mandailing di Pakantan. Namun karena proses penyebarannya lambat, lalu
dipindahkan Angkola. Hasilnya juga sama dengan yang di Mandailing tetap
penyebaran Kristen tidak berkembang. Baru di distrik Sipirok (Angkola Dolok)
penyebaran agama Kristen mulai mendapat titik terang.
Sebagai
wilayah Islam di Tanah Batak yang paling ujung, di Sipirok jumlah penduduk
Sipirok (yang awalnya beragama Islam) banyak yang masuk agama Kristen. Namun
perkembangannya tetap tidak optimal, lalu misionaris (terutama Jerman)
melakukan terobosan untuk memasuki wilayah Silindoeng dan Toba (yang secara
teknis belum ada catatan tentang penganut agama Islam, Kristen dan Katolik).
Untuk penyebaran agama Kristen yang diawali di Silindoeng basisnya dilakukan di
Sipirok. Kejadian ini bermula ketika Gustav van Asselt dikirim dari Batavia ke
Sipirok tahun 1858.
Pada tahun 1861
tepatnya tanggal 7 Oktober 1861 di Kampong Parau Sorat, Sipirok terjadi
kesepakatan antara misionaris Belanda dan misionaris Kristen tentang pembagian
wilayah kerja, pembangunan gereja (kecil) dan pelayanan pendidikan. Misionaris
Belanda bekerja di Angkola dan misionaris Jerman di Silindoeng. Pada tahun 1862
Nommensen datang untuk mengikuti rekan-rekannya dan Nommensen bekerja lebih
jauh ke utara di Silindoeng. Sipirok, saat itu adalah tempat terjauh adanya
orang Eropa (misionaris) di Tanah Batak. Ibukota Angkola adalah Padang
Sidempoean. Tanggal 7 Oktober 1861 diklaim sebagai hari kelahiran HKBP.
Ketika
waktunya misionaris membutuhkan gereja yang lebih besar di Sipirok (lebih besar
dari yang di Parau Sorat) penganut agama Islam tidak keberatan. Sebab penduduk
Sipirok masih berkerabat dekat satu sama lain, baik yang sudah beragama Islam
maupun yang belakangan masuk agama Kristen. Gereja yang dibangun justru
terbilang sangat dekat dengan masjid. Meski begitu, tidak pernah terjadi
pertentangan dan malah harmoni yang terjadi. Masjid dan gereja di Sipirok
adalah gambaran terawal tentang harmoni antar umat beragama di Nusantara yang
boleh jadi merupakan keinginan Soekarno dan Zainul Arifin Pohan menginisiasi
lokasi Masjid Istiqlal di Jakarta yang berada di Wilhelmina Park yang
berhadapan langsung dengan Gereja Katedral. Visi kedua tokoh masjid Istiqlal
ini hanya satu: selalu tercipta harmoni.
Zainul Arifin
Pohan: Pesantren dan NU
Tunggu
deskripsi lengkapnya
Bersambung:
Sejarah
Masjid Istiqlal, Ini Faktanya (8): Selesai di Era Orde Baru; Ir. Sukarno
Direhabilitasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar