Senin, September 01, 2025

Sejarah Budaya (08): Peradaban Masa Awal di Wilayah Angkola; Situs Bongal di Lumut hingga di Situs Candi Simangambat di Siabu


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Budaya dalam blog ini Klik Disini

Peradaban Angkola adalah kebudayaan yang dikembangkan oleh suku Angkola, bagian dari rumpun Batak di Sumatera Utara, yang memiliki ciri khas seperti agama mayoritas Islam, bahasa Batak Angkola, dan arsitektur tradisional Bagas Godang. Masyarakat Angkola memiliki tradisi adat yang kaya, termasuk upacara pernikahan seperti Mangupa Boru, dan seni tradisional seperti Tari Rondang Bulan.


Situs Bongal terletak di Desa Jago-jago, Kec Badiri, Kab Tapanuli Tengah, dan merupakan situs arkeologi penting yang menunjukkan adanya pelabuhan internasional dan pusat peradaban Islam serta perdagangan di Pesisir Barat Sumatera sejak abad ke-7 M. Situs ini lebih tua dari Barus dan kaya artefak seperti koin zaman Khalifah Umayyah dan Abbasiyah, keramik Tiongkok, serta jejak industri farmasi kuno. Situs ini merupakan bukti kawasan yang maju dan menjadi pusat aktivitas masyarakat dari berbagai penjuru dunia, yang berinteraksi melalui jalur maritim internasional. Situs Bongal menyimpan bukti-bukti penting tentang interaksi Nusantara dengan dunia Islam sejak abad ke-7 Masehi, bahkan lebih tua dari situs-situs lain seperti Barus. Artefak Penting yang Ditemukan: Koin-koin emas dari masa Khalifah Umayyah dan Abbasiyah; Keramik dari Dinasti T'ang dan tembikar berglasir dari Timur Tengah; Berbagai manik-manik, botol kaca Timur Tengah, dan pecahan kaca berlapis emas; Peralatan medis kuno dan alat pengasah dari batu; Jejak industri farmasi kuno ditunjukkan oleh temuan pecahan kaca Timur Tengah yang mengindikasikan penggunaan bahan-bahan herbal, serta temuan resin, pala, dan biji-bijian (AI Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah peradaban awal di wilayah Angkola? Seperti disebut di atas, beberapa tahun yang lalu ditemukan situs kepurbakalaan di area muara sungai Lumut di bukit Bongal dan sekitanya yang masuk wilayah desa Jago-Jago. Jauh di masa lalu, di area muara sungai Batang Angkola ditemukan situs kepurbakalaan yang dikenal sebagai situs candi Simangambat di wilayah Siabu. Dalam konteks inilah peradaban awal di wilayah Angkola penting diperhatikan. Lalu bagaimana sejarah peradaban awal di wilayah Angkola? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sabtu, Agustus 23, 2025

Sejarah Budaya (6): Nama-Nama Jam, Hari dan Bulan dalam Satu Tahun di Angkola Mandailing; Bahasa Daun dan Aksara Batak


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Budaya dalam blog ini Klik Disini

Pada masa lalu di Angkola Mandailing memiliki sistem penanggalan adat sendiri yang disebut Parhalaan, yang tidak mengenal pembagian hari berdasarkan siklus tujuh hari seperti kalender Masehi (Minggu, Senin, dst.). Sistem Parhalaan mengatur siklus 30 hari per bulan, bukan tujuh hari, sehingga nama-nama hari dalam Parhalaan bersifat unik dan tidak mengulang siklus mingguan. Dalam satu hari satu malam ada 15 sebutan penanda waktu.


Satu abad adalah 100 tahun. Dalam satu abad 10 dekade. Tentu saja ada sebutan satu windu sama dengan delapan tahun; satu lustrum sama dengan lima tahun. Dalam satu tahun adalah 12 bulan yang sama dengan 365 atau 366 hari. Dalam satu bulan adalah 30 hari yang dapat dibagi menjadi beberapa minggu yang mana satu minggu adalah tujuh hari: Senen, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu dan Minggu. Satuan waktu yang lebih kecil satu hari adalah 24 jam yang di Eropa dibagi dua: Ante Meridiem (AM) yang berarti “sebelum tengah hari” berlaku dari pukul 00:00 tengah malam hingga 11:59 siang; Post Meridiem (PM) yang berarti “setelah tengah hari”. Lalu bagaimana dengan satu jam? Yang jelas 1 jam adalah 60 menit dan satu menit adalah 60 detik. Lantas apakah ada nama-nama detik dan nama-nama menit? Yang jelas di wilayah Angkola Mandailing ada nama-nama setiap jam dalam satu hari dan nama-nama setiap hari dalam satu bulan; dan nama-nama bulan setiap tahun.

Lantas bagaimana sejarah nama-nama jam, hari dan bulan dalam satu tahun di Angkola Mandailing? Seperti disebut di atas, di Angkola Mandailing ditemukan 30 sebutan nama hari per bulan dan dan satu hari satu malam ada 15 sebutan penanda waktu. Apa hubungannya dengan bahasa daun dan aksara (surat) Batak? Lalu bagaimana sejarah nama-nama jam, hari dan bulan dalam satu tahun di Angkola Mandailing? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Rabu, Agustus 06, 2025

Sejarah Budaya (5): Pemburu Harimau Itu Bernama Tongkoe Soetan di Padang Lawas; Pemburu Gajah Soliter di Angkola Pietersz


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Budaya dalam blog ini Klik Disini

Pada masa lampau wilayah Angkola banyak terdapat hewan besar di hutan-hutan seperti gajah, badak, tapir, harimau dan tentu saja termasuk orangutan. Namun yang tersisa pada masa ini hanya harimau dan orangutan. Sisa gajah masih ditemukan di wilayah Padang Lawas. Bagaimana dengan badak dan tapir? Tampaknya sudah punah. Pada masa lalu di Angkola ada pemburu harimau bernama Tongkoe Soetan dan pemburu gajah (orang Belanda) Pietersz.


Pemburu harimau terkenal pada masa lalu di Indonesia, terutama pada masa kolonial Belanda, termasuk Th. Boreel dan keluarga Bartels dari Sukabumi, serta Tuan Ledeboer dari Banyuwangi. Selain itu, ada juga pemburu harimau Sumatera seperti Mawi di Musi Rawas yang dikenal produktif. Th. Boreel dan Keluarga Bartels: Mereka dikenal sebagai pemburu harimau terkemuka di Sukabumi, yang tergabung dalam organisasi perkebunan. Tuan Ledeboer: Seorang pemburu legendaris dari Banyuwangi yang dikenal mampu menangkap puluhan harimau sendirian. Mawi: eorang pemburu harimau Sumatera yang sangat produktif di Musi Rawas, dikenal karena kemampuannya berburu sendirian dalam waktu lama dan menggunakan berbagai macam senjata. Pemburu gajah "tempo dulu merujuk pada orang-orang yang berburu gajah, baik untuk diambil gadingnya maupun untuk kesenangan. Perburuan gajah ini seringkali dilakukan oleh pihak kerajaan atau para bangsawan, seperti yang tercatat dalam sejarah Kesultanan Deli dan Belanda di Sumatera. Selama masa penjajahan, orang Belanda juga terlibat dalam perburuan gajah, baik untuk perdagangan maupun kesenangan. Ada juga catatan tentang bumiputra yang terlibat dalam perburuan gajah, terutama di wilayah Sumatera (AI Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah pemburu harimau itu bernama Tongkoe Soetan di Padang Lawas? Seperti disebut di atas, banyak hewan besar temnpo doeloe di Angkola, tetapi hany yang tersisa kini harimau dan orangutan. Salah satu pemburu harimau terkenal adalah Tongkoe Soetan dan pemburu gajah Bernama Pietersz. Lalu bagaimana sejarah pemburu harimau itu bernama Tongkoe Soetan di Padang Lawas? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Kamis, Juli 31, 2025

Sejarah Budaya (4): Aksara dan Candi di Angkola dan Mandailing; Sejarah Aksara dan Pusat Percandian di Wilayah Padang Lawas


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Budaya dalam blog ini Klik Disini

William Marsden di dalam bukunya The History of Sumatra yang diterbitkan tahun 1812 menyebutkan lebih dari separuh penduduk Batak mampu membaca, suatu angka yang tinggi bahkan jauh lebih tinggi dari semua bangsa-bangsa di Eropa. Dalam apa yang dibaca penduduk Batak? Sudah barang tentu tulisan dengan menggunakan aksara Batak. Hal yang sama juga disebutkan oleh Oscar von Kessel yang mengunjungi pedalaman Batak pada tahun 1844 bahwa menulis dan membaca hampir dikenal secara universal di antara mereka (lihat tulisannya berjudul Reis Oscar von Kessel in Klein Toba yang dimuat di dalam Das Ausland dan kemudian diterjemahkan yang dimuat di dalam Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indie, 1856).


Aksara Angkola, bagian dari aksara Batak, berkembang di wilayah Angkola dan Mandailing, yang merupakan bagian dari Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Aksara ini, bersama dengan aksara Batak lainnya, diperkirakan berasal dari aksara Palawa yang dipengaruhi oleh aksara India dan kemudian diadaptasi untuk bahasa-bahasa lokal. Berikut penjelasan lebih detail mengenai sejarah aksara Angkola: Asal Usul: Aksara Angkola, seperti aksara Batak lainnya, diperkirakan berasal dari India Selatan, kemungkinan dari aksara Palawa yang dibawa melalui jalur perdagangan. Perkembangan Awal: Aksara ini pertama kali berkembang di daerah Angkola dan Mandailing, yang merupakan wilayah awal penyebaran aksara Batak. Adaptasi dan Penyebaran: Aksara ini kemudian menyebar ke utara, mempengaruhi perkembangan aksara Batak di daerah Toba, Simalungun, dan daerah lainnya. Pengaruh Budaya: Wilayah Angkola juga menunjukkan jejak pengaruh budaya Hindu-Buddha, seperti yang terlihat pada peninggalan candi di Padang Lawas (Padang Bolak), yang juga mempengaruhi perkembangan aksara Angkola dan kosakata bahasa Angkola. Perkembangan di Tapanuli Selatan: Aksara Angkola digunakan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam upacara adat, dan bahasa Batak Angkola menjadi bahasa sehari-hari di wilayah tersebut (AI Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah aksara dan candi di Angkola Mandailing? Seperti disebut di atas tingkat literasi penduduk Batak terkait dengan keberadaan aksara Batak, termasuk di wilayah Angkola, wilayah Mandailing dan wilayah Toba. Satu yang penting diduga ada hubungan aksara dan pusat percandian di wilayah Padang Lawas. Lalu bagaimana sejarah aksara dan candi di Angkola Mandailing? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Senin, Juli 28, 2025

Sejarah Budaya (3): Bahasa, Kamus Bahasa Angkola Mandailing; Prasasti dan Riwayat Rumpun Bahasa Batak di Pulau Sumatra


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Budaya dalam blog ini Klik Disini

Bahasa Angkola adalah salah satu bahasa Batak yang dituturkan di wilayah Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Indonesia. Bahasa ini memiliki kemiripan dengan bahasa Batak Toba, namun dengan intonasi yang sedikit lebih lembut. Bahasa Angkola juga sering disebut sebagai Bahasa Batak Angkola. Bahasa Angkola terutama dituturkan di daerah Tapanuli Selatan, meliputi Padang Sidempuan, Batang Toru, Sipirok, dan seluruh bagian Kabupaten Tapanuli Selatan. Bahasa Angkola termasuk dalam rumpun bahasa Batak dan memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengan bahasa Batak Toba. Meskipun mirip, Bahasa Angkola memiliki perbedaan dengan Bahasa Mandailing, terutama dalam beberapa kata dan intonasi.


Bahasa Angkola dan Mandailing adalah dua dialek yang berkerabat dekat dari Bahasa Batak, yang digunakan di Tapanuli (bagian) Selatan, Sumatera Utara. Meskipun mirip, terdapat perbedaan kecil dalam kosakata dan pengucapan antara keduanya. Bahasa Angkola sering disebut sebagai Bahasa Batak Angkola (BBA) dan digunakan dalam percakapan sehari-hari serta upacara adat. Perbedaan Bahasa Angkola dan Mandailing: Perbedaan Kosakata: Beberapa kata mungkin berbeda meskipun maknanya sama. Contohnya, "tangkas" dalam Mandailing berarti "jelas," sedangkan dalam Angkola menjadi "takkas". Perbedaan Pengucapan: Perubahan konsonan dalam beberapa kata juga dapat membedakan kedua dialek ini, meskipun tidak selalu mengubah makna.  Kamus Bahasa Angkola Mandailing: Kamus Angkola Mandailing Indonesia: Terdapat kamus yang memuat kosakata dari kedua dialek ini ke dalam bahasa Indonesia, seperti yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Bahasa Angkola/Mandailing Indonesia: Buku ini juga tersedia dan bisa dicari di repositori.kemendikdasmen.go.id. Kamus Bahasa Angkola Mandailing Indonesia Edisi Kedua 2016: Tersedia di Scribd (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah bahasa dan kamus bahasa Angkola Mandailing? Seperti disebut di atas, bahasa Angkola mirip bahasa Toba, tetapi bahasa Angkola lebih mirip dengan bahasa Mandailing. Bahasa-bahasa subetnik tersebut terkait dengan prasasti dan riwayat rumpun bahasa Batak di pulau Sumatra. Lantas bagaimana sejarah bahasa dan kamus bahasa Angkola Mandailing? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sabtu, Juli 26, 2025

Sejarah Budaya (2): Adat Istiadat di Angkola Mandailing di Wilayah Tapanoeli; Gondang Sabangunan, Mangupa Boru, Marpege-pege


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Budaya dalam blog ini Klik Disini

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adat istiadat adalah tata kelakuan yang turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya sebagai warisan dan sudah menjadi pola perilaku suatu masyarakat. Adat istiadat ini mencakup berbagai kebiasaan, tradisi, dan aturan yang diwariskan secara turun temurun dan menjadi ciri khas suatu daerah atau kelompok masyarakat. Adat berasal dari bahasa Persia yang berarti kebiasaan, cara, penggunaan, upacara, atau observasi. Istiadat berasal dari bahasa Arab yang berarti permintaan kembali atau kebiasaan yang berulang. Adat istiadat memiliki peran penting dalam menjaga nilai-nilai sosial, moral, dan identitas suatu masyarakat.


Adat istiadat Angkola Mandailing mencakup berbagai tradisi dan upacara yang kaya akan nilai budaya dan sosial. Beberapa di antaranya adalah upacara pernikahan, seperti Gondang Sabangunan dan Mangupa Boru, serta berbagai tradisi lisan seperti Marsitogol dan Maronang-onang. Selain itu, ada juga tradisi seperti Manortor dan Marpege-pege yang memiliki makna mendalam dalam kehidupan masyarakat Angkola Mandailing. Beberapa Adat Istiadat Angkola Mandailing yang Penting: Gondang Sabangunan: Upacara pernikahan adat yang dilakukan dalam pernikahan di Mandailing. Mangupa Boru: Upacara khusus bagi pengantin perempuan dalam adat Angkola. Manortor: Tarian adat yang sakral dalam upacara Horja Godang (pesta besar). Marpege-pege: Tradisi gotong royong dalam pernikahan, di mana masyarakat saling membantu secara finansial. Marsitogol: Senandung ratapan yang digunakan dalam berbagai upacara, termasuk pernikahan dan kematian. Maronang-onang: Nyanyian pengiring tari Tor-tor, yang juga digunakan dalam berbagai upacara adat. Tradisi Lisan Lainnya: Seperti Marjeir, Marolok-olok, Marbue-bue, Markobar, dan Marturi yang memiliki fungsi dan makna masing-masing dalam kehidupan sosial masyarakat Angkola.Pakaian Adat: Pakaian adat Batak Angkola mirip dengan Mandailing, didominasi warna hitam dengan perpaduan merah, seringkali menggunakan ulos. Bagas Godang: Rumah adat yang dulu berfungsi sebagai tempat tinggal raja. Mangitaki: Tradisi memercikkan air santan dan kue itak untuk tujuan keselamatan dan rezeki. Pataru Sere Sahatan: Tradisi dalam pernikahan yang melibatkan sanksi bagi pelanggar kesepakatan. Adat istiadat ini mencerminkan nilai-nilai kekeluargaan, gotong royong, dan penghormatan terhadap leluhur yang menjadi ciri khas masyarakat Angkola Mandailing (AI Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah adat istiadat Angkola Mandailing di wilayah Tapanoeli? Seperti disebut di atas, adat istiadat memiliki peran penting dalam menjaga nilai-nilai sosial, moral, dan identitas suatu masyarakat. Adat istiadat di Angkola Mandailing cakupannya banyak seperti gondang Sabangunan, mangupa boru, marpege-pege dan lainnya. Lalu bagaimana sejarah adat istiadat Angkola Mandailing di wilayah Tapanoeli? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Selasa, Juli 22, 2025

Sejarah Budaya (1): Bahasa Daun di Angkola Bahasa Bunga di Eropa; Charles Adrian van Ophuijsen Guru di Padang Sidempoean, 1881


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Budaya dalam blog ini Klik Disini

Katakan dengan bunga. Ini merujuk pada buku berjudul Le Langage des Fleurs oleh Charlotte de Latour (lihat edisi 1820, 1827, 1862 dan 1870); Le langage des fleurs ... oleh Louis-Aimé Martin. 1830; Nouveau langage des fleurs, ou Parterre de flore, 1832 dan 1860. Ini mengindikasikan simbolik (bahasa) bunga di Eropa menjadi bagian dari budaya. Namun, jauh di timur di Angkola di pulau Sumatra sudah dikenal sejak lama simbolik (bahasa) daun.


"Bahasa bunga" atau floriografi adalah praktik memberikan makna simbolis pada bunga untuk menyampaikan pesan atau perasaan tanpa kata-kata. Bunga telah lama digunakan sebagai alat komunikasi untuk mengekspresikan berbagai emosi, mulai dari cinta dan kasih sayang hingga duka cita dan persahabatan. Berikut beberapa contoh bahasa bunga yang umum: Mawar: Simbol cinta, keindahan, dan gairah. Tulip: Melambangkan cinta yang sempurna, kesempurnaan, dan keanggunan. Anggrek: Melambangkan keindahan, kemurnian, keanggunan, dan kekuatan. Lily: Melambangkan kepolosan, kemurnian, dan keindahan yang abadi. Bunga Matahari: Melambangkan kebahagiaan, keceriaan, dan energi positif. Melati: Melambangkan kecantikan, kesuburan, dan kemurnian. Anyelir: Simbol cinta, kasih sayang, dan kekaguman. Bunga Daisy: Melambangkan kebahagiaan, cinta yang tulus, dan kesederhanaan. Tradisi bahasa bunga ini, yang dikenal sebagai floriografi, populer di berbagai budaya, termasuk budaya Eropa, Asia, dan Afrika. Di Jepang, bahasa bunga dikenal sebagai Hanakotoba (AI Wikipedia) 

Lantas bagaimana sejarah bahasa daun di Angkola, bahasa bunga di Eropa? Seperti disebut di atas, bahasa bunga di Eropa, bahasa daun di Angkola. Orang Eropa pertama yang melaporkan keberadaan bahasa daun adalah Charles Adrian van Ophuijsen, guru di sekolah guru (kweekschool) Padang Sidempoean. Lalu bagaimana sejarah bahasa daun di Angkola, bahasa bunga di Eropa? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.