Selasa, September 23, 2025

Sejarah Budaya (11): Tor Ina di Sumatra dan Tur Saina di Semenanjung Sinai; Kemiripan Bahasa Batak dan Bahasa-Bahasa di Arab


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Budaya dalam blog ini Klik Disini

Kata "Tur" (طور) dalam bahasa Arab berarti "bukit" atau "gunung". Kata ini digunakan dalam Al-Qur'an, misalnya pada surah At-Tur (surah ke-52), yang dinamakan demikian karena terdapat kata tersebut pada ayat pertamanya. "At-Tur" merujuk pada bukit Sinai, tempat Nabi Musa menerima Taurat dari Allah SWT. Kata "ina" dalam bahasa Arab, biasanya merujuk pada kata إنّ (inna) yang berarti "sesungguhnya," "memang," atau "pasti" ketika digunakan sendiri sebagai huruf penekanan. Ketika digabungkan dengan kata ganti orang lain, misalnya menjadi إنّا (inna), artinya menjadi "sesungguhnya kami" atau "sesungguhnya kita".


Kata Rūḥ (روح) dalam bahasa Arab berarti roh atau nyawa, yaitu unsur non-materi penyebab kehidupan yang ada dalam jasad manusia, serta memiliki makna lain seperti angin, Jibril, wahyu, dan pertolongan Allah, bergantung pada konteks penggunaannya. Kata "kafura" (atau kāfūr) dalam bahasa Arab merujuk pada kapur barus. Ini adalah zat padat berwarna putih yang harum dan digunakan sebagai campuran minuman di surga dalam Al-Qur'an, serta dalam pengafanan jenazah. Kata Adat dalam bahasa Indonesia diserap dari bahasa Arab, yaitu kata adah (عادة) yang berarti kebiasaan, tradisi, atau praktek yang berulang-ulang dan menjadi lumrah dalam suatu masyarakat. Kata ini juga sinonim dengan kata Arab urf (عرف), yang berarti sesuatu yang telah diketahui atau diterima oleh banyak orang. Kata "bata" dalam bahasa Arab berarti tahan, kuat, atau berani dalam konteks sifat atau tindakan. Makna ini sering kali terkait dengan ketahanan atau keberanian yang berasal dari kepercayaan, sehingga juga bisa diartikan sebagai "iman" atau "keyakinan"Dalam bahasa Arab, kata "Saba" memiliki beberapa arti tergantung konteksnya, di antaranya adalah angin timur yang lembut (الصبا), angin sepoi-sepoi, atau merujuk pada salah satu negeri atau bangsa kuno di wilayah Yaman. Kata ini juga menjadi nama salah satu surah dalam Al-Qur'an, yaitu Surah Saba' (AI Wikipedia) 

Lantas bagaimana sejarah tor Ina di pantai barat Sumatra dan tur Sinai di semenanjung Sinai? Seperti disebut di atas, ada sejumlah kata yang mirip (secara toponomy) antara bahasa Batak dan bahasa Arab. Apakah ada penjelasannya? Lalu bagaimana sejarah tor Ina di pantai barat Sumatra dan tur Sinai di semenanjung Sinai? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Budaya (10): Kampong dan Sungai Tapanoeli di Teluk Tapanuli; Orang Angkola dan Orang Inggris di Pantai Barat Sumatra


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Budaya dalam blog ini Klik Disini

Nama "Tapanuli" sudah digunakan dalam konteks administratif pada tahun 1842 dengan dibentuknya Keresidenan Tapanuli, meskipun makna etimologisnya berasal dari frasa "tapian nauli" yang berarti "perairan tempat permandian yang indah". Penggunaan nama tersebut kemudian terus berlanjut dalam pembentukan wilayah-wilayah administratif lain.


Asal usul nama Tapanuli adalah dari frasa "tapian nauli" yang berarti "perairan tempat permandian yang indah". Nama ini merujuk pada teluk Tapan Nauli di Sibolga, kota yang menjadi pusat administrasi Keresidenan Tapanuli pada masa Hindia Belanda. Setelah kemerdekaan, wilayah Keresidenan Tapanuli dipecah dan membentuk beberapa kabupaten seperti Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, dan daerah lainnya. Kata "Tapanuli" berasal dari dua kata dalam bahasa Batak, yaitu "Tapian" (perairan) dan "Nauli" (indah). Nama ini kemudian menjadi penamaan wilayah karena adanya teluk yang indah di dekat kota Sibolga, yaitu Teluk Tapian Nauli. Tapanuli awalnya adalah sebuah keresidenan di bawah pemerintahan Hindia Belanda, dengan pusat di Sibolga. Keresidenan ini mencakup wilayah barat Sumatera Utara dan pulau Nias. Setelah kemerdekaan Indonesia, Keresidenan Tapanuli digabungkan dengan Keresidenan Sumatera Timur untuk membentuk Provinsi Sumatera Utara. Kemudian, wilayah tersebut mengalami pemekaran menjadi beberapa kabupaten, di antaranya Tapanuli Utara dan Tapanuli Selatan, seperti yang tercantum dalam UU No. 7 Tahun 1956. Tapanuli merujuk pada nama wilayah karesidenan di era kolonial dan kemudian nama kabupaten di Sumatera Utara. "Batak" adalah istilah kolektif untuk sekelompok etnis di Sumatera Utara yang memiliki bahasa dan adat istiadat yang beragam, seperti Batak Toba, Karo, Simalungun, Angkola, dan lainnya (AI Wikipedia). 

Lantas bagaimana sejarah kampong dan sungai Tapanoeli di Teluk Tapanuli? Seperti disebut di atas, Tapanuli berasal dari frasa "tapian nauli" yang berarti "perairan tempat permandian yang indah". Nama Tapanuli sejak kehadiran orang-orang Inggris di wilayah Tapanuli. Lalu bagaimana sejarah kampong dan sungai Tapanoeli di Teluk Tapanuli? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Senin, September 15, 2025

Sejarah Budaya (9): Sebutan Bilangan di Tanah Batak; Ada Bahasa dan Aksara Batak, Apakah Ada Lambang Bilangan Batak?


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Budaya dalam blog ini Klik Disini

Ada bahasa Batak, ada aksara Batak, ada sebutan bilangan Batak, lantas apakah ada lambang bilangan Batak? Dalam sejarah Batak, tidak terinformasikan lambang bilangan Batak. Lambang bilangan Batak yang ditemukan di internet yang sekarang, diduga adalah suatu kreasi pada masa ini saja. Jadi, bagaimana duduk persoalannya? Apakah benar-benar ada lambang bilangan Batak?


Lambang bilangan adalah simbol atau notasi berupa angka yang digunakan untuk menyatakan suatu bilangan. Contoh lambang bilangan adalah angka 1, 2, dan 5, yang mewakili konsep banyaknya anggota suatu himpunan. Bilangan: Merupakan konsep abstrak yang menyatakan suatu kuantitas atau jumlah. Lambang Bilangan (Angka): Adalah simbol visual, seperti "1" atau "2", yang digunakan untuk menuliskan atau melambangkan bilangan tersebut. Nama Bilangan: Seratus delapan puluh dua. Lambang Bilangan: 182. Tujuan dan Fungsi Lambang Bilangan: Untuk menunjukkan jumlah atau banyaknya sesuatu; Mempermudah proses penjumlahan, pengurangan, dan perhitungan lainnya; Sebagai bagian dari sistem bahasa matematika untuk menyampaikan informasi secara terstruktur; Digunakan dalam kehidupan sehari-hari untuk nomor alamat, kamar, atau nomor telepon. Jumlah angka dalam lambang bilangan menunjukkan nilai tempatnya. Angka paling kanan adalah satuan, sebelahnya adalah puluhan, dan seterusnya. Contoh: Angka 7 adalah satuan, angka 1 adalah puluhan, sehingga lambang bilangan tersebut dibaca 17. Contoh: Angka 4 adalah satuan, 2 adalah puluhan, dan 1 adalah ratusan, sehingga dibaca 124 (AI Wikipedia) 

Lantas bagaimana sejarah sebutan bilangan di Tanah Batak? Seperti disebut di atas ada bahasa Batak, ada aksara Batak dan ada sebutan bilangan Batak, namun bagaimana dengan lambang bilangan Batak? Yang jelas pernah terinformasikan lambang bilangan dalam aksara Batak, tetapi itu bukan lambing bilangan Batak? Lalu bagaimana sejarah sebutan bilangan di Tanah Batak? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Jumat, September 12, 2025

Sejarah Budaya (8): Abdurrauf van Singkel, Orang Aceh atau Orang Batak? Sejak Invasi VOC (1668) hingga 1905 (Dja Endar Moeda)


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Budaya dalam blog ini Klik Disini

Berbagai pihak mengklaim siapa Abdoerraoef van Singkel. Mengapa? Abdoerraoef van Singkel disebut adalah orang pertama menerjemahkan (tafsir) Al-Qur’an ke dalam bahasa Melayu. Itu satu hal. Bahwa ada orang Aceh yang mengklaim orang Atjeh dan ada orang Batak yang mengklaim orang Batak itu hal lain.  Namun dalam hal ini, yang jelas dari namanya Abdoerraoef berasal dari Singkel (di pantai barat Sumatra).

 

Syekh Abdurrauf bin Ali al-Fansuri as-Singkili lahir Singkil, 1615-wafat Kuala Aceh, 1693, disebut Syekh Abdurrauf Singkel. Nama lengkapnya ialah Aminuddin Abdurrauf bin Ali al-Jawi tsuma al-Fansuri as-Singkili. Menurut Ali Hasjmy dan Peunoh Daly, keluarganya diduga berasal dari Persia atau Arabia, yang datang dan menetap di Singkil, pada akhir abad ke-13. Namun, hal itu belum dapat dipastikan karena minimnya catatan sejarah keluarganya, serta tidak didukung nama keluarga yang mencirikan keturunan Arab ataupun Persia. Terdapat dugaan berdasarkan namanya yang tertulis pada karya-karyanya, bahwa ia keturunan Melayu dari Fansur (Barus); sedangkan menurut riwayat lisan masyarakat Simpang Kanan di Aceh Singkil, ia keturunan Batak yang beragama Islam. Pada masa mudanya, ia mula-mula belajar pada ayahnya sendiri, kemudian juga belajar pada ulama-ulama di Fansur dan Banda Aceh. Selanjutnya, ia pergi menunaikan ibadah haji, dan dalam proses pelawatannya ia belajar pada berbagai ulama di Timur Tengah untuk mendalami agama Islam (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah Abdoerraoef van Singkel, orang Aceh atau orang Batak? Seperti disebut di atas, siapa Abdoerraoef van Singkel adalah satu hal, namun dalam hal ini sejarah Singkel sejak invasi VOC (1668) hingga invasi Pemerintah Hindia Belanda 1905 (Dja Endar Moeda). Lalu bagaimana sejarah Abdoerraoef van Singkel, orang Aceh atau orang Batak? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Senin, September 01, 2025

Sejarah Budaya (7): Peradaban Masa Awal di Wilayah Angkola; Situs Bongal di Lumut hingga di Situs Candi Simangambat di Siabu


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Budaya dalam blog ini Klik Disini

Peradaban Angkola adalah kebudayaan yang dikembangkan oleh suku Angkola, bagian dari rumpun Batak di Sumatera Utara, yang memiliki ciri khas seperti agama mayoritas Islam, bahasa Batak Angkola, dan arsitektur tradisional Bagas Godang. Masyarakat Angkola memiliki tradisi adat yang kaya, termasuk upacara pernikahan seperti Mangupa Boru, dan seni tradisional seperti Tari Rondang Bulan.


Situs Bongal terletak di Desa Jago-jago, Kec Badiri, Kab Tapanuli Tengah, dan merupakan situs arkeologi penting yang menunjukkan adanya pelabuhan internasional dan pusat peradaban Islam serta perdagangan di Pesisir Barat Sumatera sejak abad ke-7 M. Situs ini lebih tua dari Barus dan kaya artefak seperti koin zaman Khalifah Umayyah dan Abbasiyah, keramik Tiongkok, serta jejak industri farmasi kuno. Situs ini merupakan bukti kawasan yang maju dan menjadi pusat aktivitas masyarakat dari berbagai penjuru dunia, yang berinteraksi melalui jalur maritim internasional. Situs Bongal menyimpan bukti-bukti penting tentang interaksi Nusantara dengan dunia Islam sejak abad ke-7 Masehi, bahkan lebih tua dari situs-situs lain seperti Barus. Artefak Penting yang Ditemukan: Koin-koin emas dari masa Khalifah Umayyah dan Abbasiyah; Keramik dari Dinasti T'ang dan tembikar berglasir dari Timur Tengah; Berbagai manik-manik, botol kaca Timur Tengah, dan pecahan kaca berlapis emas; Peralatan medis kuno dan alat pengasah dari batu; Jejak industri farmasi kuno ditunjukkan oleh temuan pecahan kaca Timur Tengah yang mengindikasikan penggunaan bahan-bahan herbal, serta temuan resin, pala, dan biji-bijian (AI Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah peradaban awal di wilayah Angkola? Seperti disebut di atas, beberapa tahun yang lalu ditemukan situs kepurbakalaan di area muara sungai Lumut di bukit Bongal dan sekitanya yang masuk wilayah desa Jago-Jago. Jauh di masa lalu, di area muara sungai Batang Angkola ditemukan situs kepurbakalaan yang dikenal sebagai situs candi Simangambat di wilayah Siabu. Dalam konteks inilah peradaban awal di wilayah Angkola penting diperhatikan. Lalu bagaimana sejarah peradaban awal di wilayah Angkola? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sabtu, Agustus 23, 2025

Sejarah Budaya (6): Nama-Nama Jam, Hari dan Bulan dalam Satu Tahun di Angkola Mandailing; Bahasa Daun dan Aksara Batak


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Budaya dalam blog ini Klik Disini

Pada masa lalu di Angkola Mandailing memiliki sistem penanggalan adat sendiri yang disebut Parhalaan, yang tidak mengenal pembagian hari berdasarkan siklus tujuh hari seperti kalender Masehi (Minggu, Senin, dst.). Sistem Parhalaan mengatur siklus 30 hari per bulan, bukan tujuh hari, sehingga nama-nama hari dalam Parhalaan bersifat unik dan tidak mengulang siklus mingguan. Dalam satu hari satu malam ada 15 sebutan penanda waktu.


Satu abad adalah 100 tahun. Dalam satu abad 10 dekade. Tentu saja ada sebutan satu windu sama dengan delapan tahun; satu lustrum sama dengan lima tahun. Dalam satu tahun adalah 12 bulan yang sama dengan 365 atau 366 hari. Dalam satu bulan adalah 30 hari yang dapat dibagi menjadi beberapa minggu yang mana satu minggu adalah tujuh hari: Senen, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu dan Minggu. Satuan waktu yang lebih kecil satu hari adalah 24 jam yang di Eropa dibagi dua: Ante Meridiem (AM) yang berarti “sebelum tengah hari” berlaku dari pukul 00:00 tengah malam hingga 11:59 siang; Post Meridiem (PM) yang berarti “setelah tengah hari”. Lalu bagaimana dengan satu jam? Yang jelas 1 jam adalah 60 menit dan satu menit adalah 60 detik. Lantas apakah ada nama-nama detik dan nama-nama menit? Yang jelas di wilayah Angkola Mandailing ada nama-nama setiap jam dalam satu hari dan nama-nama setiap hari dalam satu bulan; dan nama-nama bulan setiap tahun.

Lantas bagaimana sejarah nama-nama jam, hari dan bulan dalam satu tahun di Angkola Mandailing? Seperti disebut di atas, di Angkola Mandailing ditemukan 30 sebutan nama hari per bulan dan dan satu hari satu malam ada 15 sebutan penanda waktu. Apa hubungannya dengan bahasa daun dan aksara (surat) Batak? Lalu bagaimana sejarah nama-nama jam, hari dan bulan dalam satu tahun di Angkola Mandailing? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Rabu, Agustus 06, 2025

Sejarah Budaya (5): Pemburu Harimau Itu Bernama Tongkoe Soetan di Padang Lawas; Pemburu Gajah Soliter di Angkola Pietersz


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Budaya dalam blog ini Klik Disini

Pada masa lampau wilayah Angkola banyak terdapat hewan besar di hutan-hutan seperti gajah, badak, tapir, harimau dan tentu saja termasuk orangutan. Namun yang tersisa pada masa ini hanya harimau dan orangutan. Sisa gajah masih ditemukan di wilayah Padang Lawas. Bagaimana dengan badak dan tapir? Tampaknya sudah punah. Pada masa lalu di Angkola ada pemburu harimau bernama Tongkoe Soetan dan pemburu gajah (orang Belanda) Pietersz.


Pemburu harimau terkenal pada masa lalu di Indonesia, terutama pada masa kolonial Belanda, termasuk Th. Boreel dan keluarga Bartels dari Sukabumi, serta Tuan Ledeboer dari Banyuwangi. Selain itu, ada juga pemburu harimau Sumatera seperti Mawi di Musi Rawas yang dikenal produktif. Th. Boreel dan Keluarga Bartels: Mereka dikenal sebagai pemburu harimau terkemuka di Sukabumi, yang tergabung dalam organisasi perkebunan. Tuan Ledeboer: Seorang pemburu legendaris dari Banyuwangi yang dikenal mampu menangkap puluhan harimau sendirian. Mawi: eorang pemburu harimau Sumatera yang sangat produktif di Musi Rawas, dikenal karena kemampuannya berburu sendirian dalam waktu lama dan menggunakan berbagai macam senjata. Pemburu gajah "tempo dulu merujuk pada orang-orang yang berburu gajah, baik untuk diambil gadingnya maupun untuk kesenangan. Perburuan gajah ini seringkali dilakukan oleh pihak kerajaan atau para bangsawan, seperti yang tercatat dalam sejarah Kesultanan Deli dan Belanda di Sumatera. Selama masa penjajahan, orang Belanda juga terlibat dalam perburuan gajah, baik untuk perdagangan maupun kesenangan. Ada juga catatan tentang bumiputra yang terlibat dalam perburuan gajah, terutama di wilayah Sumatera (AI Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah pemburu harimau itu bernama Tongkoe Soetan di Padang Lawas? Seperti disebut di atas, banyak hewan besar temnpo doeloe di Angkola, tetapi hany yang tersisa kini harimau dan orangutan. Salah satu pemburu harimau terkenal adalah Tongkoe Soetan dan pemburu gajah Bernama Pietersz. Lalu bagaimana sejarah pemburu harimau itu bernama Tongkoe Soetan di Padang Lawas? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.