*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Sidempuan dalam blog ini Klik Disini
Dalam dunia jurnalistik di Indonesia nama Saroehoem Panoesoenan cukup dikenal luas. Namanya juga ditulis sebagai Tengkoe Saroehoem dan juga Sar Panoesoenan. Namanya mulai terkenal di Padang Sidempoean tahun 1929 sebagai pemimpin surat kabar Soeara Sini. Saroehoem dalam urusan jurnalistik juga pernah di Sibolga, Taroetoeng, Fort de Kock, Padang, Semarang, Batavia, Soerabaja, Soerakarta, Djogjakarta, Samarinda, Tasikmalaja, Tjirebon.
Pewarta Borneo merupakan salah satu koran tertua yang terbit di Banjarmasin. Menurut sejumlah sumber, koran ini didirikan pada 1901 dan menggunakan bahasa Melayu. Namun, pelacakan sumber autentik hanya menemukan Pewarta Borneo edisi tahun VU 1938. Pada tahun itu, kantor redaksinya tercatat beralamat di Mahakamstraad, Samarinda. Pemimpin umum sekaligus pemimpin redaksinya adalah Lim Ek Thoen dibantu Saroehoem. Repoeblik adalah surat kabar berbahasa Indonesia yang terbit pertama kali pada 1944. Surat kabar ini diterbitkan oleh Perusahaan Harian Rakjat. Alamat redaksinya berada di Cirebon, sedangkan percetakannya dilakukan di percetakan Repoeblik, Cirebon. Pemimpin redaksi Repoeblik adalah Saroehoem dan wakilnya Rivai Marlaut. (Wikipedia).
Lantas bagaimana sejarah Saroehoem Panoesoenan dari Padang Sidempoean menuju Semarang? Seperti disebut di atas, nama Saroehoem dalam dunia jurnalistik Indonesia dimulai dari Padang Sidempoean. Saat Saroehoem memulai karir di Semarang, Parada Harahap di Batavia. Lalu bagaimana sejarah Saroehoem Panoesoenan dari Padang Sidempoean menuju Semarang? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Saroehoem Panoesoenan dari Padang Sidempoean Menuju Semarang; Parada Harahap di Batavia
Saroehoem Panoesoenan dapat dikatakan penerus Parada Harahap di Padang Sidempoean. Nama Saroehoem di Padang Sidempoean mulai dikenal luas pada tahun 1929 sebagai pemimpin redaksi surat kabar Soeara Sini. Saat ini (tahun 1929) Parada Harahap adalah pemimpin redaksi surat kabar Bintang Timoer di Batavia.
Surat kabar tertua di Tanah
Batak adalah Poestaha yang diterbitkan pada tahun 1914 di Padang Sidempoean.
Ini bermula di Belanda. Pada tanggal 30 September 1908 didirikan Bataksch
Instituut di Leiden. Salah satu penggagasnya adalah Charles Adrian van
Ophuijsen. Satu bulan kemudian Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan
menginisiasi pendirian organisasi pelajar/mahasiswa pribumi di Belanda yang
kemudian diadakan rapat di tempat tinggal di Leiden pada tanggal 25 Oktober
dengan nama Indische Vereeniging (Perhimpoenan Hindia). Charles Adrian van
Ophuijsen adalah guru besar bahasa Melayu di Universiteit te Leiden, sedangkan
Soetan Casajangan adalah mahasiswa di sekolah guru (Rijkshoogeschool) di
Leiden. Charles Adrian van Ophuijsen sendiri pada tahun 1881 diangkat menjadi
guru di sekolah guru (kweekschool) Padang Sidempoean dan dari lima tahun
terakhir dari delapan tahun di Padang Sidempoean menjadi direktur sekolah.
Soetan Casajangan adalah salah satu muridnya. Pada tahun 1913 para peneliti Bataksch
Instituut berkunjung kembali ke Tanah Batak dan kemudian di Belanda diputuskan
untuk mendirikan surat kabar Batak dengan nama Poestaha dimana para pengasuhnya
harus orang Batak sendiri (lihat Koloniaal tijdschrift, jrg 3, 1914). Pada
bulan Juli 1913 Soetan Casajangan yang sudah menyelesaikan studi dengan akta
guru MO (setara dengan sarjana Pendidikan) kembali ke tanah air sehubungan
dengan pengangkatannya sebagai direktur sekolah guru (kweekschool) di Fort de
Kock. Dalam hal ini, Soetan Casajangan yang diminta Bataksch Instituut untuk
mengasuh surat kabar Poestaha yang kemudian didirikan di Padang Sidempoean
(jarak Fort de Kock dengan Padang Sidempoean tidak jauh). Soetan Casajangan
sendiri di Belanda sudah pernah menjadi pemimpin redakasi surat kabar berbahasa
Melayu. Surat kabar Poestaha sudah terbit pada tahun 1914 (lihat Geïllustreerd
zendingsblad voor het huisgezin; orgaan van het Java-Comité en van het
Centraal-Comité voor de Oprichting en In Stand Houding van een Seminarie Nabij
Batavia, 1914). Disebutkan di surat kabar Batak Poestaha pernah ada iklan yang
menyebutkan bahwa yang boleh masuk ke sekolah pribumi kelas 1 yang akan dibuka
itu hanya anak-anak kelas 2 dan 3 sekolah negeri, anak-anak pegawai negeri, dan
anak-anak pejabat. Berita-berita di surat kabar Poestaha juga kerap dikutip
surat kabar di Medan seperti Pewarta Deli dan Benih Mardika.
Parada Harahap memulai karir jurnalistik di Medan pada tahun 1918 sebagai editor surat kabar Benih Mardika. Pada awal tahun 1919 surat kabar Benih Mardika dibreidel. Parada Harahap kemudian menjadi editor surat kabar Pewarta Deli. Namun tidak lama kemudian Parada Harahap pulang kampong dan mendirikan surat kabar Sinar Merdeka di Padang Sidempoean pada bulan September 1919. Dari namanya surat kabar Sinar Merdeka sudah garang. Parada Harahap di Padang Sidempoean juga merangkap sebagai pemimpin redaksi surat kabar Poestaha.
Gaya surat kabar Poesataha
dan surat kabar Sinar Merdeka pada prinsipnya sama tetapi dengan cara yang
berbeda. Misalnya surat kabar Poestaha pada tahun 1915 memberitakan tentang kewajiban
kerja paksa (kerja rodi) yang mana memberitakan ‘keluhan penduduk Angfcola
tentang beratnya tekanan kerja paksa di sepanjang jalan dari Sibolga ke Padang
Sidimpoean’, yang kemudian dikomentari dengan pernyataan ‘hal itu menyebabkan
penduduk tidak dapat menggarap sawah mereka dengan baik, cukup sering terjadi
sepanjang tahun 1915’. Pada tahun 1916 Poestaha memberitakan bahwa jumlah
tebusan untuk kerja paksa di Tapanoeli ditetapkan sebesar ƒ24 per tahun yang
kemudian dikomentari surat kabar Pewarta Deli ‘percaya bahwa tidak setengah
dari orang di sana akan mampu membelinya dan karena itu menyarankan mereka
untuk pindah ke Deli, di mana ƒ6 akan mencukupi’. Surat kabar Sinar Merdeka
dengan gaya yang lugas dan to the point dan bahkan frontal (yang berbeda dengan
cara surat kabar Pewarta Deli dan Poestaha). Catatan: sejauh yang diketahui
surat kabar Poestaha tidak pernah terkena delik pers.
Selama di Padang Sidempoean Parada Harahap di Sinar Merdeka beberapa kali terkena delik pers. Parada Harahap ada yang dikenakan hukuman denda dan juga ada beberapa kali hukuman penjara. Khusus untuk kasus yang lebih besar biasanya harus ditangani pengadilan di Padang dan Parada Harahap harus menempuh perjalanan jauh ke Padang.
Surat kabar Sinar Merdeka
akhirnya dibreidel tahun 1921. Parada Harahap kemudian hijrah ke Batavia sebagai
editor di surat kabar Neratja. Pada tahun 1923 Parada Harahap di Batavia mendirikan
surat kabar Bintang Hindia. Lalu pada tahun 1926 Parada Harahap dengan bendera
NV Bintang Hindia mendirikan surat kabar Bintang Timoer.
Surat kabar Soeara Sini di Padang Sidempoean tahun 1929 mengingatkan orang satu dekade lalu tahun 1919 tentang sepak terjang Parada Harahap dengan Sinar Merdeka. Yang membedakan adalah Parada Harahap tahun 1919 berjuang dalam konteks kebangkitan bangsa (meningkatkan kesadaran penduduk tentang penjajahan), sementara Saroehoem dengan mengusung perjuangan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Surat kabar Soeara Sini di Padang Sidempoean mulai terbit 1928.
Pernyataan Saroehoem (Soeara
Sini) dikutip surat kabar Pelita Bangka edisi 24 September 1928 (lihat Overzicht
van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche pers, 1928, Deel: II). Disebutkan Saroehoem mengemukakan kemarahan sebagian anggota pers pribumi tentang
pembatalan delegasi ke Belanda. Dia tidak menganggap hal ini sebagai sesuatu
yang penting, karena hal itu sebagian kecil keinginan rakyat dari mayoritas
penduduk. Di Belanda diperkirakan bahwa kepatuhannya akan sepenuhnya memuaskan
penduduk asli, tetapi hal ini dan hal-hal serupa lainnya tidak terlalu penting
selama Belanda memegang kendali di sini. Apakah usulan itu diterima atau
ditolak, seseorang harus fokus untuk mengambil alih kendali pemerintahan
sendiri.
Lantas siapa Saroehoem Panoesoenan? Tidak terinformasikan sebelumnya. Nama Saroehoem Panoesoenan baru terinformasikan pada tahun 1928. Besar dugaan Saroehoem awalnya adalah salah satu editor surat kabar Poestaha. Pada tahun 1927 pemimpin redaksi surat kabar Poestaha terkena delik pers (lihat Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche pers, 1927, no. 7, 12-02-1927). Setelah kejadian ini diduga surat kabar Poestaha yang kali pertama diterbitkan di Padang Sidempoean relokasi ke Sibolga. Sementara itu, pada tahun 1928 di Sipirok diterbitkan surat kabar Pardomoean yang dipimpin Soetan Pangoerabaan. Apakah dalam kekosongan di Padang Sidempoean tersebut muncul surat kabar Soeara Sini?
Surat kabar Poestaha yang awalnya di Padang Sidempoean, pada tahun 1928
relokasi ke Sibolga. Lalu bagaimana sejarah surat kabar di Sibolga? Sudah ada
surat kabar Tapian Na Oeli yang diterbitkan oleh Koeriabond dengan penasehat
Mangaradja Soangkoepon. Pada tahun 1920 di Sibolga terbit surat kabar Hindia
Sepakat dipimpin oleh Abdoel Manap (lihat Deli courant, 30-09-1920). Surat
kabar ini diterbitkan oleh Boekhandel en Drukkerij Kemadjoean Bangsa di bawah
kepala redaksi dan administrasi Abdoel Manap gelar Mangaradja Hoeta Gogar (lihat
Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche pers, 1920, no. 46,
22-01-1920). Achmad Amin editor surat kabar Tapian Na Oeli terkena delik pers
sebagaimana diberitakan surat kabar Sinar Merdeka di Padang Sidempoean (lihat Overzicht
van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche pers, 1920, no. 29, 29-04-1920). Dalam
perkembangannya Achmad Amin menjadi co-redaktur surat kabar Hindia Sepakat. Pada
tahun 1922 surat kabar Hindia Sepakat yang bersifat radikal sudah tidak terbit
lagi (lihat Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche pers, 1922,
no. 52, 15-01-1922). Pada tahun 1924 terbit surat kabar Persamaan di Sibolga
yang mana surat kabar berbahasa Melayu ini didukung oleh Parada Harahap di
Batavia (lihat Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche pers, 1924,
no. 44, 08-01-1924). Masih pada tahun 1924 di Sibolga surat kabar Tjaja Baroe
dipimpin oleh Amir Hoesin (lihat Overzicht van de Inlandsche en
Maleisisch-Chineesche pers, 1924, no. 43, 05-02-1924). Pada tahun 1925 surat
kabar Persamaan di Sibolga menjadi surat kabar Pertjatoeran (lihat Mededeelingen;
tijdschrift voor zendingswetenschap, jrg 69, 1925, 01-01-1925). Pada tahun 1925
di Sibolga terbit surat kabar Soeara Tapanoeli diterbitkan oleh Boekhandel en
Drukkerij Kemadjoean Bangsa dengan yang dipimpin Mangaradja Hamonangan dengan editor
Amir Hoesin (kemudian digantikan Abdoel Manap). Pada tahun 1925 Achmad Amin
diketahui tinggal di Moeara Sipongi (lihat Sumatra-bode, 26-10-1925). Singkatnya:
pada tahun 1929 di Sibolga sudah ada beberapa surat kabar: surat kabar Pertjatoeran
dipimpin Mangaradja Tinggi; surat kabar Poestaha (bahasa Batak/Melayu) dipimpin
oleh I Dalimoente; Soeara Tapanoeli (bahasa Melayu) dipimpin oleh Amir Hoesin
(sebelumnya dipimpin oleh Abdoel Manap); Anak Batak (bahasa Batak) dipimpin WP
Radja Loemban Tobing (lihat Overzicht van de Inlandsche en
Maleisisch-Chineesche pers, 1929, no. 1, 01-01-1929).
Surat kabar Soeara Sini pada edisi 16 Januari 1929 (lihat Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche pers, 1929, No. 4, 15-01-1929) dalam kolomnya menyindir banyaknya suara-suara ketidaksetujuan yang muncul di kalangan pers pribumi dan Melayu-Cina terhadap, sebagaimana majalah itu menyebutnya, cara tidak senonoh dalam penggambaran tokoh Dr. Tjipto. Secara khusus pers tersebut menunjukkan suara ketidaksetujuan yang bahkan disuarakan oleh “Pandji Poestaka”.
Surat kabar Radio mengutip
Soeara Sini: Saroehoem Panoesoenan mengemukakan keberatan terhadap jabatan
ketua PPPKI Dr Soetomo. Orang ini adalah seorang guru di sekolah kedokteran
NIAS di Soerabaja. Saroehoem berpendapat bahwa ketua perkumpulan non-cooperative
(seperti PPPKI) harus menganut paham non-cooperative dan tidak boleh bekerja
dalam pelayanan pemerintah. Para editor menyatakan dalam sebuah catatan bahwa
meskipun mereka menerbitkan artikel ini, mereka tidak setuju dengan Saroehoem
(lihat Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche pers, 1929, No. 47,
21-05-1929).
Surat kabar Soeara Sini edisi 5 Juli menyalin petisi atas nama dewan SI di Sibolga yang dikirimkan kepada dua anggota Dewan Rakyat (Volksraad) mengenai penghapusan perbudakan (baca: kerja rodi) di Tapanoeli dan penggantiannya dengan pajak jalan (lihat Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche pers, 1929, No. 32, 05-02-1929). Kasus seorang asisten perusahaan Sangkoenoer di Tapanoeli yang membalas serangan kuli dengan tembakan revolver yang mengenai lengan penyerang, dijawab oleh Soeara Sini dengan judul "Kalaoe Belanda mengamoek dibiarkan, kalaoe Inlander dihoekoem gantoeng" (lihat Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 26-07-1929).
Dalam
Soeara Sini edisi 5 Juli tersebut disebutkan penerbit dan kepala editor surat kabar mingguan (majalah) ini adalah
Saroehoem di Padang Sidempoean. Nama para editor yang
disebutkan adalah B Ananda te Padanglawas, Mohamad Ali Harahap
di British India, Raden Mohamad Joesoep di
Sumatera Selatan dan Raden Atmowisastro di Jawa Tengah. Pengurusnya adalah A
Hakim Loebis di Padang
Sidempoean. Dicetak di percetakan “Tapian Naoeli” di Sibolga.
Selanjutnya beberapa agen di Hindia disebutkan: Thaib Joesoef & MA
Machmoed di Blinjoe, M Bangoen Siregar di Tandjoeng Karang, Boerhan
Nasoetion & Pamoentan Harahap di Batavia, Alamsjah di Fort vd Capellen,
Moesali Harahap di Goenoengtoea dan Haroen Harahap di Pargaroetan, terakhir
agen Abdoel Manan di
Singapura dan O Harahap di Ipoh.
Saroehoem Panoesoenan di Padang Sidempoean adalah jurnalis muda pengusung nasionalis Indonesia. Saroehoem menyindir orang pribumi yang takjub dengan kepemimpinan (orang) Belanda. Saroehoem turut mempromosikan tokoh-tokoh pejuang pribumi seperti Dr Tjipto Mangoenkoesoemo. Saroehoem juga turut memperjuangkan untuk mengikis perbedaan Cina dan pribumi dengan satu kata tunggal Orang Indonesia (lihat Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche pers, 1929, no. 35, 26-02-1929). Disebutkan surat kabar Oetoesan Sumatra di Medan edisi 13 Agustus mengutip Saroehoem, editor Soeara Sini di Padang Sidempoean, di dalam artikelnya yang mengkritik seorang operator bioskop Cina yang tidak mengizinkannya masuk secara bebas (sebagai seorang revolusioner Indonesia). Saroehoem mengingatkan ungkapan Tjina sudah tidak umum lagi digunakan, begitu pula berbagai nama untuk nama bagi orang pribumi yang seharusnya disebut sebagai "orang Indonesia". Saroehoem juga meminta rasa saling menghargai dan sentimen nasional mesti tetap diingat.
Sebagaimana diketahui di Padang Sidempoean sudah ada bioskop. Nama bioskop itu diberi nama sesuai nama pemiliknya Tek Hong. Memang saat itu banyak bioskop di berbagai kota dengan nama pemilik orang Cina. Boleh jadi itu karena nama-nama bioskop yang umum adalah nama-nama asing seperti Oranje, Orion, Royal dan sebagainya. Tetapi juga ada nama bioskop yang netral seperti Deli Bioscoop. Dalam konteks masa perjuangan (kemerdekaan) Indonesia ini Saroehoem mengingatkan pemilik bioskop di Padang Sidempoean untuk mengubahnya dengan nama yang sesuai dengan nama tunggal perjuangan Orang Indonesia. Lantas mengapa dilarang pemilik memasuki? Tidak secara individu, tetapi besar dugaan Saroehoem ingin menyewa Gedung bioskop sebagai tempat suatu penyelenggaraan pertemuan umum. Dalam perkembangannya nam bioskop Tek Hong berubah menjadi bioskop Angkola. Foto: Bioskop Angkola pada tahun 1930an (namanya kemudian berubah menjadi bioskop Horas). Catatan: penggunaan nama Indonesia untuk orang Cina sudah dimulai pada tahun 1925 dengan berdirinya Organisasi Rakjat Tionghoa Indonesia-ORTI (lihat Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 06-04-1925).
Parada Harahap di Batavia: Delik Pers Saroehoem di Soerabaja
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar