Minggu, Juni 20, 2021

Sejarah Peradaban Kuno (49): Partuturon Itu Bermula di Angkola Mandailing pada Zaman Kuno; Marga, Dalihan Na Tolu, Kekerabatan

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Peradaban Kuno di blog ini Klik Disini 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Sidempuan di blog ini Klik Disini

Semua elemen peradaban di Tanah Batak yang dilestarikan hingga kini dapat dikatakan bermula di Angkola Mandailing. Tidak hanya aksara, juga bahasa Angkola Mandailing lebih berkembang daripada di Toba dan Simalungun. Bahkan konsep culture core dalihan na tolu dan pembentukan marga juga bermula di Angkola Mandailing. Demikian juga dalam partuturon (sebutan dalam hubungan kekerabatan). Sebutan partuturon ini bahkan lebih rinci di Angkola Mandailing. Mengapa bisa begitu? Karena faktor sejarah.

Partuturon adalah sebutan kekerabatan di Angkola Mandailing yang telah terbentuk sejak zaman kuno. Seperti pada etnik lain, pada keluarga inti sebutan anak terhadap ayah (amang) dan ibu (inang), kakek (ompung) dan sesama bersaudara sesama jenis abang (angkang) dan adik (anggi) dan berbeda jenis iboto. Ketika partuturon ini dikembangkan ke hubungan kekerabatn dalihan na tolu (yang berbasis marga) maka sebutannya juga meluas. Tidak hanya sekadar sebutan kekerabatan yang muncul tetapi juga memiliki konsekuensi terhadap adab (akhlak). Contoh ketika laki-laki sedang duduk dan berjalan yang ditemani oleh seorang perempuan lawan jenis, maka jika itu muhrim (ibu atau iboto) maka posisinya di kanan dan jika bukan muhrim (istri, boru tulang) di kiri. Ini dimaksudkan untuk membedakan respon bagi yang melihat. Contoh yang lebih halus lagi antara yang bersaudara lawan jenis dalam komunikasi tidak boleh melihat langsung atau saling melihat (kecuali melalui foto atau lukisan). Lalu apakah ada perbedaan posisi duduk untuk pihak mora dan anak boru?

Lantas bagaimana sejarah partuturon di Angkola Mandailing? Seperti disebut di atas, partuturon itu sudah sejak zaman kuno bahkan sejak era navigasi pelayaran kuno. Bagaimana bisa membuktikannya? Di beberapa etnik di Filipina, di Sulawesi dan bahkan Maori partuturon inti antara lain disebut inang (ina), amang (ama) dan kakek (ompung). Lalu mengapa semua sebutan kekerabatan di Angkola Mandailing begitu rinnci (unique)? Semua yang rumit disederhanakan (to the point) agar menjadi jelas. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Partuturon Inti: Kahanggi, Mora dan Anak Boru

Sistem kekerabatan (afinitas) pada dasar terjadi pada semua kelompok manusia (yang berkerabat). Pada kerabat inti yang disebut keluarga inti tercipta afinitas yang mana ayah dan ibu dengan anak-anak. Kerabat inti ini diperluas dengan menarik garis kakek-nenek (ompung boru dan ompung doli) dan saudara dari pihak ayah ibu sebagai keluarga luas. Dalam keluarga luas inilah terbentuk hubungan kekerabatan yang disebut dalihan na tolu. Pada keluarga luas ini sebutan kekerabatan semakin luas, semakin banyak dan semakin rinci. Dalam hal ini bicarakan partuturon.

Dalihan na tolu adalah inti budaya (core culture). Dalam tatanan inti budaya ini, yang awalnya konsep kekerabatan, penerapannya semakin diperluas seperti dalam kegiatan besar (horja), pewarisan bahkan dalam pembentukan struktur pemerintahan. Untuk struktur pemerintahan yang lebih luas, meski tidak mengikuti konsep kekerabatan (genealogis) tetapi pada ruang spasial (teritorial) yang dalihannya tidak lagi tiga (tolu) tetapi dapat dua tetapi umumnya tiga atau lebih (semacam federasi). Dengan penerapan federasi itu bersifat fleksibel tergantung sempit atau luasnya kawasan yang membentuk persatuan pada suatu masa semakin banyak dan pada masa berikutnya dapat berkurang lagi dan bahkan federasi itu hilang dan kembali ke awal pada inti budaya (dalihan na tolu).

Di wilayah Angkola Mandailing, elemen inti dalihan na tolu ini adalah kahanggi, mora dan anak boru). Kahanggi adalah keluarga-keluarga pada garis genealogis yang semarga. Sementara mora adalah keluarga-keluarga yang terhubung dengan kahanggi yang telah memberi boru (gadis) dari pihak mora. Sedangkan, sebaliknya anak boru pihak yang menerima boru. Relasi dalam dalihan na tolu ini timbul dari hubungan perkawinan (pemberi dan penerima). Dalam hal inilah dalihan na tolu disebut inti budaya, suatu budaya (berbagai aspek budaya) dikembangkan dari inti.

Di wilayah Silindung-Toba, kahanggi disebut dongan tubu, mora disebut hula-hula dan anak boru disebut boru (saja). Untuk nama dalihan na tolu di wilayah Karo disebut rakut sitellu, di wilayah Simalungun disebut tolu sahundulan dan di wilayah Pakpak disebut daliken sitelu. Penamaan nama inti budaya (dalihan na tolu) masih sama di Silindung-Toba tetapi sudah berbeda dengan di Simalungun, Karo dan Pakpak. Akan tetapi, karena adanya variasi bahasa (dialek) di satu sisi terkesan ada garis lurus dari Mandailing, Angkola, Silindung, Toba dan Pakpak tetapi sedikit bergeser di Simalungun dan Karo. Hal itu juga terjadi pada sebutan kekerabatan (partuturon). Mengapa begitu? Ini karena ada faktor emigrasi (membawa partuturon) dan adopsi (penyesuaian dengan yang baru) di masa lampau

Seperti disebut di atas, inti budaya dan partuturon (dimulai dari kelaurga inti), sebagaimana di wilayah lain, partuturon (sebutan kekerabatan) dimulai dari ayah dan ibu (sebagai yang paling elementer). Di Angkola Mandailing ayah dan ibu disebut amang dan inang. Dua kata elementer ini (amang dan inang) diduga kuat dari bahasa asli (yang dibawa sejak lahir bahkan seumur dengan kehidupan), Terminologi ayah, ibu, bapa dan mama berasal dari bahasa asing (paling tidak dari bahasa Sanskerta). Terminologi ini sama dengan di Silindung dan Toba (tetapi berbeda dengan di Simalungun dan Karo). Amang dan inang adakalanya disingkat ama dan ina.

Amang dan inang khas bahasa Batak. Di Minangkabau disebut apak dan amak (merujuk pada bahasa Melayu Kuno dan bahasa Sanskerta: bapa dan mama). Demikian juga di Jawa merujuk pada bahasa Jawa Kuno dan bahasa Sanskerta. Nama terminologi amang, ama dan inang, ina ini terdapat dalam bahasa di Filipina, Minahasa dan Toraja. Seperti disebutkan pada artikel sebelumnya ada indikasi yang kuat ada pengaruh Kerajaan Aru (Angkola Mandailing) di tiga wilayah ini. Idem dito nama amang dan inang di Maori (Sellandia Baru).

Untuk sebutan anak disebut bayo (anak laki-laki) dan boru (anak perempuan). Dalam hubungan yang bersaudara juga diduga bahasa asli (sejak zaman kuno) yakni angkang (abang atau kakak) dan anggi (adik) dan sebutan bersaudara berbeda jenis kelamin ibota atau disingkat ito. Adanya unsur bahasa iboto, tidak hanya bahasa asli dan kebiasaan sebutan relasi iboto (antar jenis kelamin) ini bahkan jarang ditemukan pada bahasa lain. Terminologi kahanggi dalam dalihan na tolu diduga merujuk pada sebutan kekerabatan angkang-anggi (marangka-maranggi menjadi kahanggi). Demikian juga anak boru dalam dalihan na tolu merujuk pada boru, tetapi untuk mora (diduga merujuk pada bahasa Sanskerta, morsa yang bergeser menjadi mora). Lalu terminologi kakek-nenek (ompung) diduga kuat merujuk pada bahasa Sanskerta (mpu) yang telah menggantikan atau menggeser bahasa asli. Terminologi ompung (mpu) ini diduga kuat diserap ke dalam bahasa Angkola Mandailing terkait dengan masuknya religi (Hindoe Boedha)

Masuknya religi baru dan kepercayaan pada leluhur (ompung) menyebabkan nama ayah, ibu dan kakek (doli-boru) tidak boleh disebut. Sebagai penggantinya adalah nama anak atau nama cucu tertua (dan cenderung laki-laki). Oleh karena itu sebutan kekerabatan menjadi lebih kuat daripada nama kecil (pemberian nama lahir). Misalnya Ompung ni [nama cucu] dan imang dan inang ni [nama anak]. Partuturon dalam hal ini sebenarnya tidak hanya bersifat adat (sopan santun atau adab) tetapi juga mengandung unsur religi (sakral). Sebutan-sebutan kekerabatan ini di dalam kahanggi, mora dan anak boru semakin luas, semakin banyak dan semakin rinci dan unik karena semua merujuk pada penerapan sebutan kekerabata inti ompung, inang dan amang. Namun yang perlu diperhatikan bahwa bahasa Sanskerta adalah bahasa asing sebagai lingua franca di Hindia Timur dimana terdapat bahasa-bahasa asli seperti Batak di Sumatra dan Jawa di Jawa. Pada zaman kuno orang Angkola Mandailing bersifat bilingual (dwi bahasa seperti sekarang antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah). Seperti halnya bahasa Jawa, bahasa Batak tentu saja banyak menyerap dari bahasa Sanskerta. Bahasa Melayu (kuno) sendiri adalah perkembangan lebih lanjut bahasa Sanskerta yang sudah tercampur dengan bahasa asli seperti bahasa Jawa dan bahasa Batak. Awalam mar atau ma adalah bahasa asli (Batak) dan juga kata sandang ni yang kemudian menjadi di dalam bahasa Melayu. Idem dito kata sambung na menjadi nan atau yang. Dalihan sendiri bahasa asli Batak

Wilayah Angkola Mandailing sendiri pada zaman kuno terbilang yang awal menerima peradaban baru dari India seperti bahasa Sanskerta, aksara Pallawa, musik, religi, arsitektur dan seni tenun. Wujud peradaban baru ini terakumulasi pada prasasti-prasasti dan candi-candi di Angkola Mandailing (Simangambat dan Padang Lawas). Campuran bahasa Batak dan bahasa Sanskerta dapat diperhatikan pada prasasti Kedukan Bukit 682 M,  Pada prasasti Vo Cahn abad ke-3 dan prasasti Dong Yen Chau abad ke-4 masih murni bahasa Sanskerta. Pada prasasti Laguna 900 M terkesan lingua franca adalah bahasa Melayu (kuno) sebagai suksesi bahasa Sanskerta. Oleh karena itu pada prasasti-prasasti yang lebih muda seperti prasasti Sitopayan dan prasasti Batugana di percandian Padang Lawas terkesan campuran bahasa Batak dan bahasa Melayu (kuno).

Pada prasasti-prasasti Padang Lawas terdapat indikasi yang kuat penerapan konsep dalihan na tolu dalam struktur pemerintahan yang telah membangun kota-kota di Padang Lawas. Ini mengindikasikan bahwa penerapan dalihan na tolu sudah diperluas tidak hanya inti budaya. Dalam konteks kemajuan peradaban inilah di Angkola Mandailing terbentuk kerajaan yang kuat (Kerajaan Aru) yang tidak hanya kaya (dengan perdagangan kamper dan kemenyan) juga mampu membangun kota-kota dan tempat ibadah (candi) dan penulisan pada prasasti. Pengaruh Kerajaan Aru di Angkola Mandailing ini diduga kuat tergambar pada prasasti Vo Chan (Vietnam), prasasti Kedukan Bukit (Sriwijaya) dan prasasti Laguna (Filipina) yang di wilayah Sriwijaya muncul konsep yang sama dengan marga di Angkola Mandailing (marga merujuk pada bahasa Sanskerta) dan pengaruh budaya lainnya seperti bahasa Batak di Filipina, Minahasa dan Toraja seperti kosa kata elementer inang, ina dan amang, ama. Kosa kata dalihan di Toraja ditemukan yang diucapkan sebagai daliang (yang digunakan konsep dalihan dalam struktur pemerintahan).

Seperti halnya bahasa dan partuturon, aksara Angkola Mandailing (yang diturunkan dari aksara Pallawa) meluas hingga ke wilayah Toba, Simalungun dan Karo. Hal itulah mengapa konsep marga, dalihan na tolu dan terminologi partuturon di Angkola Mandailing ada persamaan di Toba dan perbedaan di Simalungun dan Karo. Kosa kata dalihan menyebar ke Toba dan Pakpak, demikian juga kosa kata boru. Kosa kata mora dan kahangi tidak diadopsi. Untuk kosa kata kahanggi (berabang-beradik, seayah) di Angkola Mandailing ada padanannya (tetapi memiliki makna berbeda) di Simalungun sanina (seibu) dan di Toba dongan tubu (teman sejak kecil). Dalam terminologi partuturon di Angkola Mandailing terkesan lebih rinci (tidak semua diserap di Toba dan Simalungun). Bahasa partuturon di Angkola Mandailing juga diterapkan lebih luas tidak hanya dalam bahasa verbal tetapi juga dalam adab berkomunikasi bahasa non-verbal (seperti kita lihat nanti).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Partuturon yang Diperluas: Adab dan Sopan Santun

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar: