Rabu, Juni 02, 2021

Sejarah Peradaban Kuno (30): Kota-Kota Zaman Kuno di Angkola Mandailing, Siais hingga Siabu; Pijorkoling dan Sarumatinggi

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Peradaban Kuno di blog ini Klik Disini 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Sidempuan di blog ini Klik Disini

Huta pada zaman kuno adalah kota, tetapi kini huta hanyalah setingkat desa. Huta (bahasa Batak) dan negeri (bahasa Melayu) serta nagara di Jawa sama-sama merujuk pada nama India. Huta di Tanah Batak dan nama nagari di Minangkabau (tetapi kemudian muncul nama kotta atau kota). Nama negeri digunakan luas di wilayah Semenanjung dan nama negara atau nagara di Jawa (yang kemudian nagara berubah menjadi desa di Jawa). Huta atau kota bermula di Tanah Batak sejak zaman kuno. Nama kota dengan akhiran ‘pura’ mengindikasikan kota suci (ibu kota, pusat agama kerajaan) lalu kemudian muncul nama bandar atau banda (untuk mengidentifikasi kota pelabuhan).

Nama-nama kota zaman kuno banyak ditemukan di Tanah Batak yang merujuk pada nama India. Itu berarti karena adanya pengaruh India pada era Boedha Hindoe yang begitu kuat di Tanah Batak khususnya di Angkola Mandailing. Seperti halnya nama kota (hoeta), di Angkola Mandailing juga banyak ditemukan nama sungai (Barumun, Angkola, Toru, Gadis, dan Pane) dan gunung (Malea, Sarik dan Lubuk Raja) yang merujuk pada nama India. Bahkan nama-nama terkenal pada masa ini merujuk pada nama India seperti danau Toba, Banten (Banta, Bantan), Jawa, Kalimantan dan Sumatra serta Malaya (Himalaya) dan tentu saja Deli (bukan Doli). Jangan lupa nama Batak juga merujuk pada nama India (Bata) yang pelaut-pelaut Arab dan Persia mengeja dan menyebutnya dengan Batang (yang menjadi kata untuk sungai). Nama Bata dalam bahasa Mandarin kuno pada era Cheng Ho disebut Mada (Ma-Ba; dan Da=Ta). Nama Nauli, Agam dan Pasaman juga merujuk pada nama India, demikian juga nama Binanga (dari Binaga). Last but not least: nama Si-Abu, Si-Ais, dan Si-Pirok dan Barus (Baros) juga merujuk nama India serta Angkola dan Mandailing juga merujuk pada nama India.

Lantas bagaimana sejarah nama-nama kota di Angkola Mandailing? Seperti nama-nama geografi yang disebut di atas begitu banyak, nama-nama kota--yang kini menjadi setingkat desa atau kota kecil cukup banyak. Si-Ais dan Si-Abu adalah nama-nama kota zaman kuno di Angkola Mandailing. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Nama-Nama Kota Zaman Kuno di Angkola Mandaiing

Bahasa Sanskerta (Sanskrit) adalah lingua franca di wilayah India selatan pada zaman kuno. Bahasa Sanskerta pada dasarnya adalah bahasa suci (agama) Hindoe dan Boedha. Agama-agama yang memiliki kasta inilah yang mana kasta kedua (Kastria) dan kasta kedua (Waisya) yang melakukan navigasi pelayaran perdagangan hingga mencapai Hindia Timur di pantai barat Sumatra (jarak terdekat dari India).

Para pelaut dan pedagang India selatan ini datang ke pantai barat Sumatra untuk berdagang produuk-produk tahan lama, tidak terlalu berat tetapi memiliki nilai tinggi dalam perdagangan internasional di pantai barat India (Surate, Gujarat dan Goa). Produk bernilai tinggi seperti emas ditemukan di berbagai wilayah pegunungan di pantai barat Sumatra mulai dari bagian utara (Batak), tengah (Kerinci) dan selatan (Komering). Karena itulah pulau Sumatra disebut Svarnadwipa sebagai pulau emas (prasasti Nalanda 860)  Namun yang menjadi sentra produk kamper dan kemenyan hanya di wilayah Batak (dari Angkola Mandailing hingga Alas Gajo). Kamper inilah yang menyebabkan terbentuknya pelabuhan zaman kuno Barus yang diidentifikasi sebagai pelabuha ekspor kamper (kapur Barus).

Dalam perkembangannya para pedagang dari India selatan ini membentuk koloni-koloni, ayang awalnya di kota-kota pantai kemudian merangsek ke pedalaman, di lembah-lembah yang subur dimana terdapat danau-danau pedalaman. Di wilayah Angkola Mandailing (Tapanuli Bagian Selatan yang sekarang) tiga danau yang ada adalah danau Siais, danau Siabu dan danau Pakantan (danau Laut). Di wilayah pedalaman inilah koloni India ini berinteraksi dengan penduduk setempat yang menghasilkan produk hasil hutan (kamper, kemenyan dan damar), hasil tambang (emas) dan hasil berburu (kulit harimau dan gading).

Dengan kesuburan tanah surplus pangan, dengan kekayaan hasil perdagangan (hasil hutan, tambang dan berburu) penduduk Angkola Mandailing menjadi makmur. Dengan trasnfer budaya dari India seperti religi, ilmu pengetahuan (aksara) dan seni maka sistem pemerintahan dimodernisasi yang menjadi suatu kekuatan politik yang kemudingan terbentuknya Kerajaan Aru. Perkampongan-perkapongan menjadi semakin banyak populasi dengan semakin meningkatnya arus pendatang (pedagang India) dan terbentuk kota-kota yang banyak. Kota ini disebut penduduk sebagai huta.

Para pendatang dari India yang berbahasa Sanskerta, maka pendudk Angkola Mandailing juga menjadi bilingual. Ibarat sekarang di Angkola Mandailing setiap orang bilingual (bahasa Indonesia dan bahasa Batak). Seperti masa kinilah, pada zaman kuno penamaan geografi di Angkola Mandailing termasuk nama kota (huta) banyak yang menggunakan nama India (bahasa Sanskerta).

Bahasa Sanskerta yang menjadi lingua franca, lambat laun dengan adanya interakasi bahasa di dalam navigasi pelayaran perdagangan dengan berbagai penduduk yang berbeda bahasa di kota-kota pantai di Sumatra, Jawa, Semenanjung Asia dan Borneo menyebabkan bahasa Sanskerta semakin diperkaya. Modus bahasa baru inilah yang melahirkan bahasa baru sebagai lingua franca di nusantara yang dikenal sebagai bahasa Melayu Kuno. Lalu bahasa Melayu Kuno ini semakin berkembang dengan masuknya bahasa Tiongkok dan Eropa yang menjadi bahasa Melayu Modern. Tidak sapai disitu, bahasa Melayu Modern yang berkembang di wilayah kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda dideklarasikan sebagai Bahasa Indonesia (1928). Pada masa ini Bahasa Indoenesia (bahasa Melayu Modern yang semakin diperkaya) menjadi lingua franca dan bahasa Melayu Modern menjadi bahasa daerah yang setara dengan bahasa Batak, bahasa Jawa.

Dalam hubungan perkembangan wilayah di Angkola Mandailing (Kerajaan Aru), perkembangan bahasa lingua franca dan pertumbuhan kota-kota di wilayah Angkola Mandailing dapat ditrace nama-nama tempat (kota atau huta) di Tapanuli Bagian Selatan yang berasal dari zaman kuno, yang bersumber dari bahasa Sanskerta, bahasa Melayu Kuno dan bahasa Batak (bahasa penduduk asli).

Nama Aru sebagai nama Kerajaan Aru merujuk pada nama India yakni aru yang diartikan sebagai sungai atau air (pada era bahasa Sanskerta). Nama-nama Si-ais dan Si-abu juga merujuk pada nama India yang menjadi nama danau Siais dan danau Siabu (danau ini sudah menyusut diduga karena gempa besar). Nama Barus diduga merujuk pada nama aru (B-aru-s) demikian juga nama Panai dan Binanga merujuk pada nama India (Binagan). Di sekitar kota Padang Sidempoean juga ada nama kuno B-aru-as, Si-masom dan Morang. Antara dua pelabuhan kuno inilah tumbuh kota-kota diantara pelabuhan Barus di barat dan pelabuhan Binangan di timur. Pelabuhan Kerajaan Aru yang lebih kecil juga terbentuk di Nauli dan Lumut (dua nama yang juga merujuk pada nama India, Nauli dan Lamut). Tentu saja ada nama-nama kuno di hulu sungai Angkola yang sekarang dekat dengan danau Siais yakni (Batu) Rombi, Mosa, [Si]Ondop dan Lingga Bayu. Nama kuno di sekitar danau Siais adalah S-aru-matinggi dan Pijorkoling serta Sinonoan. Tentu saja ada nama-nama kota yang berasal dari bahasa asli (Batak) seperti Simangambat, Muaratais dan Sihepeng serta Salambuwe, Batang Onang, Sibuhuan dan Hoeta Bargot. Pada era bahasa lingua franca Melayu Kuno nama-nama kuno juga muncul seperti Pintu Padang, Gunung Tua (Panjabungan dan Padang Lawas), Batugana, Pargaroetan dan Malintang.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Mengapa Disebut Huta Nopan menjadi Kotanopan, Huta Pinang Menjadi Kotapinang

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar: