Selasa, Juni 15, 2021

Sejarah Peradaban Kuno (43): Hewan Liar di Angkola Mandailing Zaman Kuno; Harimau, Orangutan, Gajah, Badak, Tapir dan Banteng

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Peradaban Kuno di blog ini Klik Disini 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Sidempuan di blog ini Klik Disini

Wilayah Angkola Mandailing pada masa lampau zaman kuno terbilang wilayah yang memiliki sastwa liar terpenting. Bahkan semua ada kecuali singa. Ada gajah, ada harimau, ada badak, ada banteng dan sebagainya. Satwa lain yang sangat jarang bahkan ditemukan di wilayah Angkola Mandailing seperti orangutan. Konon, yang disebut ‘orang pendek’juga disebut pernah ditemukan. Belum lagi satwa melata, ular rakasasa dan satwa burung seperti garuda. Tidak diketahui apakah keberadaan satwa-satwa itu secara alamiah atau awalnya dibawa dari tempat lain. Yang jelas populasi satwa liar tersebut, kecuali badak dan banteng sudah lama punah.

Satwa orang uang yang mirip berperilakuk manusia ini hanya ditemukan di wilayah yang sangat terbatas, Selain di Angkola pada masa ini juga ditemukan di Aceh dan Kalimantan Tengah. Gajah pada masa ini masih ditemukan di hutan dan semak-semak Padang Lawas (yang berbatasan dengan wilayah Rokan). Pada era Belanda gajah masih ditemukan di wilayah Angkola dan Mandailing yang sekarang. Namun gajah terakhr itu berhasil dilumpuhkan pada tahun. Itulah The lasr Mochican elephant van Angkola Mandailing. Demikian juga banteng dan gajah pada era Belanda masih ditemukan di wilayah Angkola Mandailing. Lantas bagaimana itu semua ada, lalu ada yang punah dan juga ada yang tetap masih bertahan hingga ini hari.

Lantas bagaimana sejarah satwa-satwa bersar yang liar di wilayah Angkola Mandailing? Seperti disebut di atas ada yang sudah punahm tetapi ada yang masih eksis seperti harimau dan orang utana. Lalu apa pentingnya satwa besar nan liar ini dalam sejarah Angkola Mandailing ini. Tentu saja itu karena ada yang bisa dijinakkan dan ada yang selalu menjadi ancaman, tapi ada yang sudah punah dan ada yang masih survive. Dalam konteks inilah satwa besar dan liar ini penting dalam sejarah, terutama zaman kuno. Sebab satwa-satwa tersebut mewakili satwa zaman kuno. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Satwa Besar dan Liar: Orangutan, Gajah, Badak, Banteng dan Harimau

Hingga masa ini, eksistensi orangutan, gajah dan harimau masih ditemukan di wilayah Angkola Mandailing. Orangutan ditemukan hutan Batangtoru (kabupatan Tapanuli Selatan), gajah di perbatasan kabupaten Padang Lawas dengan kabupaten Rokan Hulu, sedangkan harimau ditemukan di beberapa wilayah termasuk di daerah aliran sungai Batang Gadis (kabupaten Mandailing Natal). Hanya badak dan banteng yang dianggap (telah) punah. Keberadaan badak di wilayah Angkola Mandailing paling tidak dilaporkan Ida Pheiffer tahun 1852 (lihat Algemeen Handelsblad, 09-05-1853 yang ditulis pada tanggal 12 Oktober 1852 di Batavia).

‘Ekspedisi dan perjalanan ke Sumatra ini, tidak ada dalam rencana awal saya. Namun, seorang pedagang di Batavia yang begitu baik untuk saya, memperlihatkan peta untuk perjalanan ke Sumatera. Dengan kapal uap saya ke Padang, yaitu ibukota Hindia Belanda di pulau itu. Segera setelah kedatangan saya disana, saya menghadap gubernur, diterima dan dicatat. Saya sudah berlama-lama, beberapa hari perjalanan saya terus di pedalaman dengan menunggang kuda. Pemberhentian pertama adalah Fort de Kock (50 pal), lalu menemui Residen [Luit Col] van der Hart (mantan residen Tapanoeli 1845-1850). Di sini dan seterusnya rencana wisata dirancang. Dia menunjukkan rute yang berbeda, aku harus mengikuti, serta tempat-tempat dimana saya harus berhenti, ia menulis beberapa surat kepada para pejabat Bataklanden, dan memerintahkan mereka untuk melakukan perlindungan ke saya. Dia sendiri sudah mengenal teliti tujuh daerah, dia selama sekitar 10 tahun telah membuat ekspedisi lapangan terhadap negara-negara di wilayah itu dan sampai tembus Selingdoeng. Sedangkan tujuan saya membentang ke tingkat yang lebih jauh dari itu. Jadi dilengkapi, aku pergi dengan iman yang teguh di jalan sampai Padang Sidcmpoean (200 pal), yang ini adalah tempat terakhir  dimana saya bertemu orang Europeers. Aku dengan kuda, berjalan perlahan, lalu berlari kencang, keluar masuk hutan, di semak ditemukan penuh jejak untuk harimau, gajah dan badak, aku tidak takut pada siang hari bolong; Saya sering melaju selama berjam-jam melalui hutan semak dan alang alang (3 sampai 6 kaki tinggi rumput). Dengan cara ini saya dapat melukiskan lanskap Klein en Groot  Mandheling dan lanskap Ankola. Di Padang Sidempoean di Ankola, aku menghadap [Controleur] Mr. Hammers, dimana aku tinggal dua hari. Dari Tuan Hammers saya dapat beberapa panduan dalam perbedaan bahasa Bataksche. Setelah semua. diselesaikan, kataku yang terakhir kepada Europeer perpisahan hangat dan saya diantar pergi bersama sejumlah Batakchen untuk memandu jalan sekitar 20 pal. Aku masih duduk di atas kuda, tapi kemudian aku harus berjalan kencang dengan meninggalkan mereka. Berjalan selama tiga hari pertama adalah yang terlama yang pernah saya buat. Ekspedisi kami tidak pernah berhenti. Hutan ditembus, dimana sering tidak ada jalan lain dan menemukan jejak daripada badak, melalui alang-alang yang mencapai di atas kepala’.

Seperti disebut di atas gajah masih terdapat hingga masa ini di wilayah Padang Lawas. Namun gajah tidak lagi ditemukan di wilayah Tapanuli Selatan dan wilayah Mandailing Natal alias sudah punah.Namun paling tidak keberadaan gajah di dua wilayah ini kali terakhir ditemukan pada tahun 1936.

Surat kabar De Sumatra post, 22-05-1936 melaporkan gajah besar terdeteksi pada bulan Mei 1936 di Batang Toru (Angkola). Gajah ini sudah sangat tua. Penduduk lokal menyebutnya ‘klamboe boeroek’ atau kelambu tua. Disebut demikian, karena puluhan tahun lalu dilaporkan gajah tersebut telah menghancurkan kemah militer lalu menyeret semua barang dan orang didalamnya hingga masuk jauh ke dalam hutan. Sejak kejadian itu, sering ada laporan penduduk yang menyebut gajah besar itu menghancurkan sawah ladang dan perkampungan. Gajah itu kemudian menjadi target buruan. Gadingnya yan panjang dan bagus menjadi incaran setiap pemburu. Mr. Pietersz, seorang pemburu gajah yang tengah berada di Padang Sidempoean telah menemukan jejak gajah itu dan ukurannya memang sangat besar, Sudah banyak pemburu yang coba melumpuhkannya tetapi senjata laras panjang tidak mempan. Almarhum Tjong A Fie (orang kaya dan Mayor Tionghoa di Medan; meninggal 1921) bahkan pernah menjanjikan uang sebesar f2.500 untuk gading gajah soliter tersebut. Itu juga tetap tidak ada yang berhasil melumpuhkan gajah tersebut. Orang terus bertanya-tanya, apakah gajah soliter ini pada nantinya akan mati secara alamiah? Dengan memperhatikan harga (hadiah) dari satu buah gading gajah ini, besar kemungkinan gajah soliter ini boleh jadi merupakan gajah terbesar yang pernah dilaporkan pada masa itu. Mr. Pietersz yang tengah berada di Padang Sidempuan adalah pemburu professional yang mungkin hanya datang karena Klamboe Boeroek (dan tentunya tergiur dengan hadiah (harga) gading yang cukup menggiurkan. Pada bulan Juli gajah raksasa ini dilaporkan berada di Mandailing sebagaimana dilaporkan Sumatra post yang dilansir oleh Bataviaasch nieuwsblad, 01-08-1936. Menurut laporan penduduk, gajah soliter ini yang di Mandailing disebut Si Teleng (karena hanya memiliki sisa satu gading) beberapa waktu sebelumnya telah menghancurkan sawah, kebun dan pondok-pondok. Petugas dari Panjaboengan didatangkan tetapi tetap tidak berhasil melumpuhkannya. Juga dilaporkan bahwa gajah bergading satu itu telah berulang kali dating menghancurkan pondok-pondok ikan kering (dari orang-orang yang mengumpulkan ikan di sungai Batang Gadis), Gajah ini juga dilaporkan tahun lalu telah menginjak-injak mati seorang penambang emas hingga mati di Hutabarat. Jika membandingkan saat ditemukan bulan Mei di Batang Toru dan kemudian kini di Mandailing serta kejadian tahun lalu di Mandailing, ini berarti bahwa gajah soliter ini telah bolak-balik antara Angkola dan Mandailing. Sebagaimana diketahui, bahwa gajah adalah hewan berkelompok, tetapi laporan-laporan dari Batang Toru di Angkola dengan yang di Mandailing gajah besar ini selalu sendiri (soliter). Ini juga mengindikasikan bahwa gajah lainnya sudah tidak ada lagi alias tidak ada lagi kelompoknya. Mendengar kejadian-kejadian yang terakhir ini, seorang inspektur polisi yang sekarang berdinas di Koetanopan bernama Mr van Leuven diminta penduduk untuk turut membantu. Mr van Leuven bukanlah pemburu gajah, tetapi keahliannya adalah pemburu harimau. Mr van Leuven ini sudah kerap membantu penduduk yang merasa terancam dengan kehadiran harimau di kampong-kamnpung mereka. Dan selalu berhasil melumpuhkan harimau-harimau tersebut. Ketika bulan Juli sebagaimana dilaporkan Sumatra post/ Bataviaasch nieuwsblad gajah tersebut dilaporkan tengah berada di Aek Siajoe, Mr van Leuven diberitahu dan kemudian bergegas ke TKP. Akhirnya sang pemburu harimau bertemu sang gajah soliter yang besar. Saat Mr van Leuven masih coba membuka koper (tempat senjatanya) dia sudah langsung diserang sang gajah, Mr van Leuven terpelanting dan senjatanya ala cowboy Arkansas tersebut hancur berantakan. Namun, Mr van Leuven masih ada revolver dipigang. Pertarungan jarak dekat tidak terhindarkan. Mr van Leuven tidak bisa menyasar mata gajah (titik paling lemah) karena gajah yang besar tidak terlihat dari jarak dekat. Tapi Mr van Leuven masih sempat berpikir untuk membidik rahangnya: dor..dor..dor. Peluru revolver tentu tidak akan mempan sebab sebelumnya sudah banyak pemburu yang pernah menggunakan peluru yang lebih besar dari laras panjang (dari jarak jauh). Mr van Leuven yang kini bertarung dalam jarak dekat memiliki kesempatan untuk menembak rahang atas. Setelah pertarungan ini selesai, sang gajah mundur dan berkeliaran kemana-mana. Mungkin sang gajah mulai sempoyongan (karena sudah mulai kekurangan darah) dan baru dua hari kemudian gajah itu benar-benar jatuh dan mati. Mr van Leuven adalah pemenang dalam pertarungan itu. Gajah ini setelah tergeletak lalu diukur dan ternyata sangat  besar: tingginya 2.2 meter dan panjangnya 4.68 meter. Umurnya sangat tua, tetapi tidak diketahui berapa puluh tahun umurnya. Good news dari hasil pertarungan gajah tersebut, semua penduduk bersukacita. Hama besar dan predator manusia telah mati. Semua desa lalu beramai-ramai memberikan upeti (baca: hadiah) kepada Mr van Leuven. Penduduk kini bernapas lagi. Bad news dari perburuan gajah tersebut adalah gajah di Angkola dan Mandailing tamat alias punah untuk selama-lamanya. Tapi mudah-mudahan saja masih ada gajah yang tersisa di sudut-sudut hutan di Angkola dan Mandailing yang belum terdeteksi. Namun sejak kematian the last mochican itu, tidak ada lagi gajah yang pernah dilaporkan di Mandailing dan Angkola’.

Beberapa tahun kemudian di dalam jurnal ‘Bijdragen tot de taal-, land-en volkenkunde van Nederlandsch-Indie’ tahun 1855 jejak gajah ditemukan di sekitar Portibi, pertemuan sungai Sirumambe dengan sungai Pane. Ini mengindikasikan bahwa habitat gajah-gajah masih ditemukan di kawasan percandian (Padang Lawas). Pada masa ini habitatnya sudah semakin jauh ke dekat perbatasan Kabupaten Rokan Hulu.

‘…kami tiba di Sioengam dengan ketinggian 114 meter dpl. Kami terus jalan menuju Pertibi tanah licin, jarang melihat pohon dan rumput alang itu hampir satu kaki tinggi, kecuali di lembah lebih lembab dan dekat air. Seperti kita mendekati Pertibi, itu lanskap datar padang rumput berbukit. Vegetasi di gurun rumput ini sangat asing karakter yang sama sekali aneh, benar-benar berbeda dari apa yang kami terbiasa lihat sejauh perjalanan ini. Di antara pohon-pohon terdapat satu jenis pohon Mimosa, dengan buah asam hijau, bentuk dan ukuran seperti peluru senapan (balakka). Salah satu spesies kecil puyuh (Tlemipodius) beterbangan dekat kami dari rumput dan menghilang lagi di reruputan (leto). Jejak gajah yang cukup banyak. Di dalam sungai, kami menemukan dua jenis scheipen, satu Unio dan satu Melania. Pada pukul 7 kami sudah di kaki Pegunungan Sipapal, tempat dimana bambu yang disebutkan di atas ditemukan dengan tanda-tanda naskah asli. Mendaki gunung itu, sepanjang sisi timur lebih mudah daripada ke barat. Vegetasi memiliki penampilan yang hangus dan tandus. Selain sudah mantan semak dengan jarum-seperti dedaunan, kami juga mengambil satu Melastoma daun kecil, daun kasar dan bunga merah muda-merah (aramonting).

Lalu bagaimana dengan banteng, orangutan dan tapir?.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Peta Satwa Besar dan Liar di Indonesia: Melacak Hewan Liar di Angkola Mandailing Zaman Kuno

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar: