Kamis, Juni 03, 2021

Sejarah Peradaban Kuno (31): Zaman Kuno Tanah Batak, Mangapa Sejarah Dikerdilkan? Analisis dan Interpretasi Membelokkan Fakta

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Peradaban Kuno di blog ini Klik Disini 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Sidempuan di blog ini Klik Disini

Sejarah zaman kuno Tanah Batak hampir selalu dilihat sebelah mata. Tidak hanya oleh orang Batak sendiri apalagi orang yang bukan Batak. Orang Batak sendiri banyak yang buta tentang sejarahnya sendiri, namun ini karena dua sisi: Dari sisi dalam orang Batak sendiri kurang tertarik dengan penyelidikan sejarah. Hal ini semakin diperburuk, kalau boleh dibilang tidak adanya arkeolog dan sejarawan asal Batak yang kapabel. Dari sisi luar orang non Batak tidak terlalu intens mendalami sejarah Tanah Batak apalagi sejarah zaman kunonya. Jika pun ada yang berminat tetapi hanya memandang sebelah mata dan kerap contennya ditempatkan pada catatan kaki atau hanya disinggung seadanya pada kalimat atau frase terakhir dala setiap uraian. Yang lebih buruk muncul, sadar atau tidak sadar, sengaja tidak sengaja ingin mengerdilkan sejarah zaman kuno di Tanah Batak. Ada kesan bahwa bukti sejarah kuno candi-candi di Tapanuli Bagian Selatan dianggap menjadi batu sandungan dalam penyelidikan sejarah zaman kuno di wilayah lain.

Seperti di Jawa dan juga wilayah lain, penemuan bukti-bukti sejarah zaman kuno masih terus muncul, ini juga waktu yang tepat untuk menunggu temuan baru zaman kuno di Tanah Batak khususnya di wilayah Tapanuli Bagian Selatan. Kesadaran masyarakat untuk melaporkan adanya tanda-tanda penemuan haruslah didukung Pemerintah Daerah secara serius. Sudah waktunya Pemerintah Kabupaten Kota di Tapanuli Bagian Selatan via dinas terkait lebih interns melakukan kontak dengan yang lebih intens dengan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Aceh-Sumatera Utara di Medan. Dengan demikian ada sinergi antara Pemerintah Daerah (yang mewakili masyarakat) dengan lembaga yang khusus menangani hal-hal yang bersifat kepurbakalaan ini. Mengapa begitu seangat di daerah lain, tetapi penduduk dan pemerintah daerah di wilayah radar percandian Padang Lawas dan Siabu (Tapanuli Bagian Selatan) adem ayem saja.

Bukti-bukti sejarah zaman kuno di wilayah Tapanuli Bagian Selatan sangat kasat mata berupa candi, artefak dan prasasti. Data-data mengenai bukti itu belum tergali sepenuhnya. Dalam hal inilah perlunya kesadaran warga dan stakeholder terkait di daerah intens saling bersinegeri dengan BPCB Aceh-Sumatera Utara. Okelah. Namun demikian yang ingin dituju dalam artikel ini adalah untuk mengetahui mengapa sejarah zaman kuno di Tanah Batak khususnya di Tapanuli Bagian Selatan dilihat sebelah mata dan cenderung dikerdilkan. Celakannya, upaya pengerdilan ini menjadi sebab perghatian pada situs-situs kepurbakalaan di wilayah Tapanuli Bagian Selatan lambat-laun menurun, padahal faktanya, data (bukti empiris) sangat melimpah. Mengapa bisa begitu? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Schnitger 1935: Retrospektif Sejarah Zaman Kuno Angkola Mandailing

Belum lama ini kuam NU mencak-mencak karena tokoh pendiri NU KH Hasyim Asy'ari tidak termasuk dalam Kamus Sejarah Indonesia 1900-1950 yang diterbitkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Tidak hanya itu, banyak lagi bahkan tokoh sekaliber Jenderal Abdul Haris Nasution juga tidak ada. Apa itu sengaja atau tidak sengaja? Demikianlah, banyak serupa ini terjadi dalam narasi sejarah. Tentu saja dalam narasi sejarah zaman kuno. Pertanyaannya: seberapa besar porsi sejarah zaman kuno Tanah Batak?

Juga belum lama, budayawan Betawi, Ridwan Saidi menyatakan Kerajaan Sriwijaya fiktif dan hanya sekelompok bajak laut yang beroperasi di perairan nusantara. Pernyataan ini membuat warga Sumatera Selatan khususnya di Palembang menjadi meradang dan bahkan ada yang ingin melaporkan Ridwan Saidi ke polisi. Ridwan Saidi juga menyatakan Kerajaan Galuh fiktif yang membuat warga Jawa Barat khususnya Sunda meradang. Pada tahun 1980 seorang cendikiawan Malaysia Prof Dr Nuquib Alatas menyatakan sejarah Indonesia berusaha menyembunyikan atau dipisah dari peran Islam. Tentu saja ada pro kontra tentang Boedi Oetomo yang disebut sebagai ‘pelopor pegerakan nasional’ sebagaimana tertulis pada buku sejarah resmi yang diajarkan di bangku sekolah, sebab ada yang membantah bahwa sebenarnya pelopor pergerakan nasional adalah Sarikat Dagang Islam atau Sarekat Islam karena didirikan lebih awal. Di Sumatra utara pernah heboh yang mana seorang dosen Unimed. Dr.Ichwan Azhari menyatakan nama Batak sebagai etnik (suku) tidak berasal dari orang Batak sendiri, tapi diciptakan atau direkonstruksi oleh para musafir Barat dan kemudian dikukuhkan oleh misionaris Jerman yang datang ke Tanah Batak. Tentu saja berbagai macam reaksi muncul. Sesungguhnya ada apa dengan hal sejarah, mengapa pro kontra muncul? Sadar atau tidak sadar; sengaja atau tidak sengaja. Sejarah sejatinya adalah narasi fakta dan data.

Sejarah adalah perihal masa lalu atau masa lampau bahkan di zaman kuno. Seharusnya narasi sejarah harus mencerminkan fakta dan data. Dalam hal ini analisis dan interpretasi harusnya berdasarkan fakta dan data apa adanya, bukan sebaliknya analisis dan interpretasi justru membelokkan data (bukti empiris). Bahwa data baru ditemukan itu hal berikutnya. Analisis dan interpretasi dapat dilakukan lagi. Sebab analisis dan interpretasi berdasarkan fakta dan data yang ada. Yang jadi masalah adalah mengapa tetap saja ada analisis dan interpretasi yang membelokkan fakta data. Jadi tidak hanya menggali dan menemukan data sulit, tetapi bagaimana analisis dan interpretasi yang jujur dan beretika begitu sulit dilakukan. Dalam hal ini kita belum berbicara proporsional. Narasi sejarah menjadi semacam perlombaan untuk memenangkan pertandingan dengan cara apa pun yang dapat digunakan. Dalam hal ini pulalah kita melihat ada fakta dan data sejarah disembunyikan atau dikerdilkan dan sebaliknya ada fakta dan data fiktif dibangun atau analisis dan interpretasi yang digelembungkan. 

Tunggu deskripsi lengkapnya

Sejarah Zaman Kuno Angkola Mandailing: Mulailah di Candi Simangambat dan di Candi-Candi Padang Lawas

Dalam penulisan sejarah Angkola Mandailing, jangan sekali-kali membiarkan orang lain menulisnya secara bebas, kecuali penulis itu bersifat jujur (empiris) dan adil (proporsional). Peniulis-penulis sejarah terdahulu, terutama pada era Hindia Belanda tidak memiliki kepentingan, kecuali kepentingan ilmu pengetahuan (bersifat apa adanya, empiris). Berbeda dengan penulis sejarah masa kini cenderung lebih bersifat subjektif. Lebih-lebih orang Angkola Mandailing jarang terlibat dalam penulisan sejarahnya sendiri. Hal itulah mengapa ada kecenderungan sejarah Angkola Mandailing sengaja atau tidak sengaja dikerdilkan dan faktanya dibelokkan.

Dalam sejarah Sumatra Utara, hanya sepintas menyinggung sejarah Angkola Mandailing. Demikian juga dalam sejarah Tapanuli (Batak) sejarah Angkola Mandailing cenderung diplinter, Yang paling tragis dalam sejarah Tapanuli keberadaan situs-situs kuno seperti percandian tidak akan disinggung. Belum lagi dari sudut pandang Riau, Aceh, Malaysia (Melayu), Sumatra Barat dan Sumatra Selatan, sejarah Angkola Mandailing bahkan di posisikan sebagai sejarah yang tidak berarti, hanya dilihat di horison secara samar-samar dan karenanya kerap dikooptasi (sejarah Angkola Mandailing dianggap sebagai sejarah dari bagian milik mereka). Terjadi tragedi dalam penulisan sejarah. Padahal sebaliknya yang terjadi bahwa sejarah Angkola Mandailing ada di Riau, Aceh, Malaysia (Melayu), Sumatra Barat dan Sumatra Selatan.

Para penulis sejarah Angkola Mandailing sejak tempo doeloe (bahkan hingga ini hari) tak pernah mencari-cari sejarahnya, karena bukti sejarahnya sudah terbentuk sejak zaman kuno, lestari dan berkesinambungan. Hal itulah dari sudut pandang Angkola Mandailing sendiri tidak pernah berpikir untuk mencari-cari bukti sejarah, tidak pernah membuat yang tidak ada menjadi ada dan tidak pula menggelembungkan hal kecil menjadi besar. Boleh jadi hal itulah mengapa orang Angkola Mandailing tidak begitu tertarik pada studi sejarah Angkola Mandailing, karena faknya sudah sejak dari doeloe tersedia, datanya begitu melimpah dan para penulis Belanda sudah mengulik semuanya (yang laporan dan ulasannya dapat diakses pada masa kini). Namun celakanya, para penulis non Angkola Mandailing memanfaatkan situasi itu dengan menarik manfaat baginya dan di sisi lain merugikan sejarah Angkola Mandailing. Kita tidak perlu mendaftarkan ratusan artikel dan buku yang dapat dihubungkan dengan permasalahan itu.

Para arkeolog dan ahli sejarah kepurbakalaan masa kini cenderung tidak jujur dan tidak adil tentang sejarah Angkola Mandailing. Saya hanya berasumsi kareana ketidaktahuan mereka semata karena datang dengan mind-set yang beranggapan bahwa sejarah Angkola Mandailing tidak memiliki arti penting. Demikian juga para ahli sejarah modern (kontemporer) yang cenderung menghapus data dan fakta sejarah Angkola Mandailing dari file atau dari pembahasan.

Untuk sekadar mengingatkan bahwa bukti sejarah Angkola Mandailing tidak hanya di wilayah Tapanuli Bagian Selatan, tetapi juga di seluruh Sumatra bahkan di Semenanjung, Jawa, Borneo, Filipina, Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara. Hal ini sudah ditunjukkan pada artikel-artikel sebalum ini.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar: