Rabu, Juni 16, 2021

Sejarah Peradaban Kuno (44): Metropolitan Pertama Zaman Kuno di Binanga, Lebih Tua dari Palembang; Metropolitan Era Belanda

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Peradaban Kuno di blog ini Klik Disini 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Sidempuan di blog ini Klik Disini

Begitu penting nama Binanga atau Minanga pada masa lampau. Hal itu mengapa nama Binanga terdapat di Toba, Simalungun, Karo dan Singkil. Tentu saja nama Binangan banyak ditemukan di wilayah Tapanuli Bagian Selatan (Tabagsel). Binanga pada zaman kuno adalah ibu kota Kerajaan Aru di muara sungai Batang Pane di sungai Barumun (Padang Lawas). Sebuah candi besar terdapat di Binangan yang dikenal kini candi Sipamutung. Pada zaman kuno, posisi GPS kota Binanga ini masih berada tepat di suatu teluk (pantai). Saat itu dua sungai besar bermuara yakni sungai Panai dan sungai B-aru-mun. Pada saat jaya-jayanya Kerajaan Aru, kota Binanga dapat dianggap kota metropolitan zaman kuno (pusat perdagangan dan pusat pemerintahan Kerajaan Aru).

Nama Binanga dengan aksen berbeda Minanga ditemukan di berbagai wilayah, terutama di wilayah (kepulauan) Filipina dan pulau Sulawesi (daerah Minahasa dan daerrah Toraja). Besar dugaan bahwa nama-nama tempat di Filipina dan Sulawesi merujuk pada nama kota besar di zaman kuno, Binanga di muara sungau Batang Pane dan sungai Batang Barumun. Pada masa ini nama Minanga tidak ditemukan di wilayah Sumatra Barat. Oleh karena itu nama Minanga di wilayah Toba hingga Singkil serta di Filipina dan pulau Sulawesi karena faktor kehadiran orang Angkola Mandailing (Padang Lawas) pada zaman kuno. Besar dugaan nama Binanga dan Minanga pada zaman kuno di Vietnama menjadi Binh dan Minh.

Lantas bagaimana sejarah nama Binanga di Angkola Mandailing (Padang Lawas) pada zaman kuno sebagai suatu kota besar (metropolitan)? Seperti disebut di atas nama Binanga atau Minanga digunakan di wilayah lain. Ini mengindikasikan nama Binanga adalah nama yang penting pada zaman kuno. Lalu bagaimana kota Binanga tersebut dapat dikatakan sebagai metropolitan zaman kuno? Semua candi dibangun di arah hulu kota Binanga di sungai Barumun dan sungai Panai. Kota Binanga bahkan jauh lebih besar dari kota zaman kuno lainnya Palembang. Adanya candi mengindikasikan wujud suatu kota (populasi penduduk yang besar). Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Nama Binanga di Muara Sungai  Panai dan Sungai Barumun

Kota Binanga pada masa ini hanya suatu kota kecil yang menjadi ibu kota kecamatan Baruunn Tengah di kabupaten Padang Lawas (Tapanuli Bagian Selatan). Nama-nama kota yang juga menjadi tetangga Binanga adalah Huristak (kecamatan Huristak) di arah timur, Portibi (kecamatan Portibi) di arah utara dan Sosa (kecamatan Sosa) di arah selatan da Batugana di arah barat (ibu kota kecamatan Padang Bolak Julu, kabupaten Padang Lawas Utara). Posisi GPS kota Binanga ini begitu strategis berada diantara kota-kota tersebut. Nama Binanga, Portibi, Huristak dan Sosa adalah nama-nama kuno yang diduga merujuk nama India (bahasa Sanskerta) yakni Binanga atau Minanga, Portibi atau Pertiwi, Huristak atau Orissa, Batugana atau Gana, dan Sosa atau Sossa.

Pada era Hindoe Boedha awal, lingua franca adalah bahasa Sanskerta dan aksara yang digunakan adalah aksara Pallawa. Bahasa Sanskerta dan aksara Pallawa menyebar dari India bagian selatan melalui pedagang-pedagang di India. Tentu saja sebelum kehadiran pedagang-pedagang India, sudah eksis penduduk asli dengan bahasa masing-masing yang menghasilkan produksi nilai tinggi yang diekspor ke India kemuudian diteruskan ke Araba dan Eropa (dalam hal ini kamper dan kemenyan). Penduduk asli ini adalah orang Angkola Mandailing di Sumatra dan orang Jawa di pulau Jawa. Sebagai lingua franca Sanskerta-aksara Pallawa, penduduk di Padang Lawas (Angkola Mandailing), seperti halnya penduduk asli di Jawa, tentulah menguasai bahasa itu. Dalam hal ini penduduk Angkola Mandailing di Padang Lawas bilingual (dwibahasa). Ibarat sekarang penduduk di kabupaten Padang Lawas, selain berbahasa sendiri dan aksara sendiri juga menguasai bahasa Indonesi aksara Latin sebagai lingua franca masa ini (bahasa resmi di Indonesia). Hal itulah mengapa nama-nama kota di Padang Lawas yang sekarang merujuk pada nama Sanskerta (seperti halnya nama kota-kota di Sumatra dan Jawa). Dalam hal ini penduduk Angkola Mandailing di Padang Lawas zaman kuno sudah bersifat kosmopolitan.

Posisi strategis kota Binanga di sisi utara sungai Baruuun pada saat ini tepat berada di hilir sungai Batang Pane bermuara di sungai Barumun (bukan di sisis selatan, kantor kecamatan yang sekarang), Besar dugaan pada zaman kuno, kota Binanga ini terbentuk berada di suatu teluk sempit (pantai) tempat dimana dua sungai besar bermuara (sungai Barumun dan sungau Batang Pane). Oleh karenanya akses ke selat Malaka (lalu lintas pelayaran antara pulau Sumatra dan Semenanjung) masih begitu mudah (tidak seperti sekarang terkesan sangat jauh di pedalaman). Kota Huristak juga di pantai yang pada masa kini berada di hilir sungai Barumun pada sisi selatan (daratan). Tidak ada lagi sungai yang bermuara ke teluk setelah Binanga dan Huristak (selain sungai Barumun dan sungai Batang Pane; kecuali di ujung pantai utara di Langga Payung yang sekarang (sungai Kanan; dilihat dari laut di sebelah kanan) dan sungai Bila

Positioning kota Binanga (diduga koloni awal pedagang asal Odisha) dan Huristak (oang Orissa) di India menjadi penting sebagai kota-kota yang berada di sisi luar kawasan (seperti halnya kota Barus di pantai barat Sumatra). Satu penanda navigasi penting zaman kuno pada saat ini adalah candi Sipamutung di Binanga. Kota-kota penduduk asli terbentuk di belakang pantai di daerah aliran sungai Barumun dan sungai Batang Pane. Di daerah aliran sungai Barumun di belakang pantai tidak jauh dari Biananga terbentuk kota-kota yang ditunjukkan adanya candi Tandihat I, candi Tandihat II dan candi Tandihat III. Arah ke hulu tempat dimana sungai Batang Siapas bermuara di sungai Barumun terdapat candi Sipamutung II, lalu di arah hulu sungai Barumun sungai Sangkilon bermuara terdapat candi Sangkilon (Ypes mencatat terdapat satu candi Hindoe di Padang Lawas bertarih 1167 yang diduga kuat adalah candi Sangkilon). Sungai Barumun ini berhulu di gunung Malea (Mandailing); sungai Sangkilon berhulu di gunung Simardona (Angkola Jae); dan sungai Batang Siapas berhulu di gunung Sibualbuali (Angkola Dolok-Sipirok). Sementara itu di belakang pantai di daerah aliran sungai Batang Pane terbentuk kota-kota yang ditunjukkan oleh candi Bahal I, candi Bahal II, candi Bahal III, candi Portibi. Masih di wilayan kecamatan Portibi ini tepat di kota kecamatan Portibi bermuara sungai Batang Sirumambe yang di arah hulu sungai terbentuk kota-kota seperti yang ditunjukkan candi-candi seperti candi Nagasaribu. Lalu di arah hulu sungai Batang Pane terbentuk kota seperti Gunung Tua yang ditunjukkan candi Sitopayan. Di arah hulu dekat kota Gunung Tua ini terdapat sungai Batang Ilung. Sungai-sungai di daerah aliran sungai Batang Pane, seperti sungai Barumun, berhulu ke arah barat yakni sungai Batang Sirumambe berhulu di barat Batugana dan Siunggam (Angkola Dolok), sungai Batang Ilung berhulu di Angkola Dolok dan sungai Batang Pane sendiri berhulu di Sipiongot (kecamatan Dolok). Seperti disebut di atas positioning kota Binanga dan Huristak menjadi penting sebagai simpul kota-kota di belakang pantai, kota-kota di belakang pantai melalui jala raya (air) ke arah barat di wilayah Angkola dan wilayah Mandailing. Posisi Binanga dalam hal ini menjadi pusat kota-kota (metropolitan) seperti halnya Kota Jakarta yang sekarang (Jakarta, Bekasi, Depok, Serpong dan Tangerang). Seperti kita lihat nanti di dua wilayah (Angkola dan Mandailing) ini terbentuk kerajaan besar (Kerajaan Aru) yang ibu kotanya relokasi dari Siabu (candi Simangambat) ke Binanga (kota pelabuhan)

Sejak kapan kota metropolitan terbentuk? Tentulah kota berawal dari kota pelabuhan yang kecil, tidak sebesar kota pelabuhan di pantai barat Sumatra di Barus. Kota pelabuhan Barus sudah terbentuk sejak lama di zaman kuno. Paling tidak nama Barus sebagai pelabuhan ekspor komoditi kamper sudah diberitakan di Eropa pada abad ke-5. Ptolomeus (90-168 M) menyebut pulau Sumatra bagian utara sebagai sumber produksi kamper. Tidak disebut pada era Ptolomeus pad abadk-2 apakah pelabuhan ekspor (Barus) sudah terbentuk. Yang jelas menurut berita Eropa yang disebut di atas, nama Barus kali pertama dicatat pada abad ke-5. Lalu apakah pelabuhan kamper sebelumnya diekspor daru pelabuhan Sangkunur? Sangkunur adalah pelabuhan kuno di Angkola di muara sungai Batang Toru dan pelabuhan kuno di Mandailing di Lingga Bayu (muara sungai Batang Natal). Nama Sangkunur dan Lingga Bayu sama-sama merujuk nama Sanskerta (India). Nama Binanga diduga kuat sudah dicatat paling tidak pada abad ke-7.

Pada prasasti Kedukan Bukit (682 M) disebutkan raja Dapunta Hyang Nayik berangkat dari Minanga (baca: Binanga) dengan 20,000 tentara dan tiba di hulu Upang (baca: nama sungai di Bangka) dan membentuk banua (kerajaan) Sriwijaya. Pada prasasti Talang Tuo (684 M) raja (kerajaan) Sriwijaya disebut bernama Dapunta Hyang Srinagajaya. Pada prasasti Kota Kapur (686 M) disebut bala tentara Srieijaya berangkat untuk menyerang Jawa (baca: Tarumanagara). Besar dugaan kerajaan Tarumanagara hancur. Pada prasasti Sojoerto (abad ke-7)  disebut nama Dapunta Seilendra sebagai raja (baru). Besar dugaan kerajaan ini koperatif dan bekerjasama dengan (kerajaan) Sriwijaya yang didukung raja Dapunta Hyang Naik (dari Binanga). Pada prasasti Canggal (baca: Magelang) 732 M disebut nama raja Sanjaya yang membangun candi (nama yang diduga kuat dari dinasti Seilendra). Dari prasasti ini terdapat dua raja bergelar Dapunta Hyang yakni dari Binanga (Nayik) dan di Sriwijaya (Srinagajaya) serta satu raja bergelar Dapunta (saja) di Jawa (Seilendra). Dengan demikian raja dari Binanga tentulah raja yang termahsyur diantara dua raja lainnya yang bergelar Dapunta. Dalam hal ini nama Binanga paling tidak sudah disebut pada 682 M. Binanga dalam hal ini adalah salah satu kota pelabuhan dari Kerajaan Aru di wilayah Angkola Mandailing. Untuk memperkuat pendapat ini dapat diperhatikan isi prasasti abad ke-3 Vo Chan (di Champa, Vietnam) dan prasasti Laguna 900 M (di teluk Manila, pulau Luzon) serta prasasti Ligor 775 M (di Thailnad selatan). Nama Binanga di muara sungai Barumun dan sungai Panai masuk akal sudah terbentuk pada abad ke-7, sebagaimana disebut nama Barus sebagai pelabuhan ekspor kamper pada abad ke-5 dan catatan Ptolomeus pada abad ke-2 tentang sentra produksi kamper di bagian utara Sumatra (dan yang disebut raja termasyhur pada prasasti Vo Cahn abad ke-3).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Kota Metropoitan Binanga: Sister City Zaman Kuno di Filipina dan Sulawesi

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar: