Selasa, Juni 22, 2021

Sejarah Peradaban Kuno (51): Danau Toba, Danau Siais dan Danau Siabu; Kerajaan Aru hingga Kerajaan Silindung, Simamora, Butar

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Peradaban Kuno di blog ini Klik Disini 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Sidempuan di blog ini Klik Disini

Danau Toba tentulah begitu penting sejak zaman kuno di wilayah Sumatra terutama di bagian utara. Danau Toba begitu besar di pedalaman, Danau-danau lainnya di pedalaman di bagian utara pulau Sumatra selain danau Toba adalah danau Siais dan danau Siabu serta danau Laut di selatan dan danau Takengon dan danau Tangse di utara. Di sekitar danau-danau inilah penduduk awal pada zaman kuno bermukim. Itu jauh sebelum kehadiran pedagang-pedagang India (era Hindoe Boedha). Penduduk yang bermukim di seputar danau-danau besar di pedalaman Sumatra besar dugaan awalnya memiliki bahasa yang sama (mirip satu sama lain) yang dikenal sebagai orang Batak. Bahasa yang mirip di bagian utara ini juga memiliki kemiripan hinggga ke Lampung (sebagaima bahasa-bahasa di pulau Jawa memiliki kemiripan satu sama lain)

Pada masa ini masih ada yang percaya bahwa orang Batak bermula di Pusuk Buhit di pulau Samosir di tengah danau Toba. Risalah itu telah disalin oleh Assistent-Demang Waldemar M Hoeta Galoeng berdasarkan silsilah (tarombo) marga-marga pada tahun 1926. Isi risalah itu bahwa orang Batak bermula di Pusuk Buhit tidak dapat sepenuhnya dipecaya oleh WKH Ypes seorang pejabat Pemerintah Hindia Belanda di Silindoeng dan Toba. Ini dibuktikan oleh Ypes setelah menyelidiki seluruh daftar silsilah marga-marga (tarombo) yang diperkaya dari penelitian Niewenhuis di Angkola Mandailing, Tideman di Karo, di Simalungun dan van Dalen di Alas serta Joustra Batak Spiegel yang dirangkum dalam BIJDRAGE tot de kennis van de stam verwantschap, de inheemsche rechtsgemeenschappen en het grondenrecht der Toba- en Dairibataks 1932 diterbitkan de Adatrechtstichting di Leiden

Lantas bagaimana sejarah di danau Toba? Seperti disebut di atas penduduk Batak sudah terbentuk sejak zaman kuno jauh sebelum kehadiran pengaruh Hindoe Boedha. Hal itulah mengapa terdapat garis continuum bahasa dari selatan (sekitar gunung Ophir) hingga di utara sekitar gunung Leuser. Sebagai satu kesatuan budaya awal tentu saja orang di Angkola Mandailing mengetahui keberadaan danau Toba. Lalu bagaimana sebab musabab mengapa muncul legenda si Raja Batak dari Pusuk Buhit yang telah disalin Hoeta Galoeng, sudah dibantah Ypes tetapi masih dipercaya hingga ini hari? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Danau Toba, Danau Siais dan Danau Siabu: Asal Usul Si Raja Batak di Pusuk Buhit?

Danau adalah tipikal untuk penduduk awal. Wilayah danau aman dari orang asing (orang yang datang belakangan) dari arah lautan. Wilayah danau memiliki perairan, daratan dan vegetasi yang lengkap plus floranya dengan sungai dan gunung-gunungnya (sumber kesuburan). Wilayah danau adalah wilayah ideal untuk penduduk di fase awal zaman kuno dalam terbentuknya peradaban (yang lebih memungkinkan dilestarikan dalam jangka panjang). Dalam proses okupasi dan domestikasi di wilayah seputar danau penduduk menjaga hak pada leluhur meski para penduduknya bisa saja telah meninggalkannya ke wilayah baru (nomaden) tetapi kembali lagi pada fase di waktu yang akan datang (dari suatu pengembaraan). Peninggalan para leluhur seperti makam, lobu tua atau eks perladagangan (persawahan dan irigasi) sebagai cara membuktikan hak (kepemilikan). Dalam hal inilah wilayah seputar danau (yang kaya) menjadi penting bagi penduduk Batak.

Apa yang berlaku di danau Toba, secara umum terjadi di wilayah lainnya di Sumatra bahkan di Jawa, Semenanjung, nusa tenggara, Borneo dan Sulawesi serta pulau-pulau di Filipina. Di pulau Sumatra, selain di danau Toba juga di wilayah utaranya di danau Takengon dan Tangse, demikian juga di wilayah selatannya di danau Siais dan danau Siabu, danau Laut hingga seterusnya ke selatan Sumatra seperti danau Maninjau, danau Singkarak, danau Kerinci dan danau Ranau. Dalam posisi garis lurus pusat-pusat peradaban di pedalaman Sumatra ini terjadi proses interaksi penduduk yang berdekatan yang menjadi faktor penting terbentuknya garis continuum bahasa-bahasa. Dalam hal ini bahasa adalah alat komunikasi yang paling terpenting. Hal itulah mmengapa bahasa-bahasa Angkola Mandailing di satu sisi dan bahasa Silindung Toba memiliki kerabata bahasa yang dekat. Persamaan dan perbedaan ini dapat dijelaskan lagi bahwa bahasa Angkola Mandailing begitu dekat tingkat kekerabatannya, demikian juga bahasa Silindung dan Toba juga memiliki tingkat kekerabatan yang tinggi pula, tetapi antara bahasa Angkola dan Silindung tidak setinggi tingkat kekerabatan yang disebutkan di atas (Angkola Mandailing dan Silindung Toba). Bahasa Silindung Toba masih dapat ditrace kedekatannya dengan bahasa Dairi dan bahkan Alas. Bahasa Simalungun, sebagai vektor bahasa Angkola Mandailing dan Silindung Toba, memiliki kekerabatan dengan bahasa Karo dan demikian Karo dengan Gajo. Demikian juga di wilayah selatan bahasa Angkola Mandailing begitu dekat dengan bahasa Rokan dan bahasa Pasaman. Lalu bahasa Pasaman memiliki kedekatan dengan bahasa Minangkabau (pra Pagaroejoeng) dan bahasa Rokan dengan bahasa Minangkabau (pra Pagaroejoeng). Demikian seterusnya bahasa Minangkabau zaman kuno tadi dengan bahasa Kerinci, bahasa Komering dan bahasa Lampung. Singkatnya pada zaman kuno bahasa-bahasa di Sumatra memiliki kemiripan satu sama lain sebagaimana bahasa-bahasa di Jawa yang juga mirip satu sama lain. Mengapa begitu berbeda di Sumatra sekarang disebabkan karena berbagai faktor pengaruh pada masing-masing wilayah. Contoh: kosa kata elementer (bahasa ibu dari lahir) ayah (amang) dan ibu (inang). Dua kosa kata ini tidak ditemukan di Jawa, tetapi hanya di Sumatra. Adanya pengaruh Melayunisasi yang kuat, di wilayah Minangkabau pasca Pagaroejoeng terbentuk percampuran: ayah, yang diduga dari amang dan bapa[k]; dan ibu menjadi amak (dari amang dan mama[k]). Sementara di wilayah Komering yang juga terjadi proses Melayunsaasi ayah adalah ubak dan ibu adalah umak.Sedangkan di Lampung ayah adalah apak dan ibu masih eksis sebutan ina (singkatan dari inang). Bahasa asli Sumatra dan bahasa asli Jawa awalnya dipengaruhi oleh bahasa Sanskerta (sebagai lingua franca), lalu kemudian bahasa Sanskerta yang bermetamorfosis (dipengarhi bahasa asli Sumatra dan bahasa asli Jawa) terbentuk bahasa Melayu (lingua franca baru). Pengaruh bahasa Melayu lingua franca ini yang menyebabkan perbedaan satu sama lain melebar, yang mana bahasa Sumatra di bagian utara (Bahasa Batak) tidak banyak terpengaruh bahasa Melayu, Sebaliknya bahasa Minangkabau (pra Pagaroejoeng) menjadi bahasa Melayu Minangkabau (terjadi proses Melayunisasi pada bahasa Minangkabau). Sementara di Sumatra bagian selatan (Komering dan Lampung) tidak hanya proses Melayunisasi yang terjadi juga proses Jawanisasi. Inang dan amang adalah bahasa asli Sumatra (bukan bahasa Sanskerta), inang dan amang hanya bertahan di Sumatra bagian utara (bahasa Batak)

Pasca terbentuknya peradaban awal Batak (asli) mulai terjadi interaksi dengan orang asing (pedagang-pedagang India) dalam hubungan perdagangan. Penduduk Batak pra-India ini sudah sejak lama memprouksi kamper (pengawet), kemenyan (obat) dan damar (penerangan). Penduduk Angkola yang begitu dekat dengan laut di pantai barat Sumatra (danau Siais) dapat dikatakan yang pertama dari penduduk Batak yang memoneterisasi kamper, kemenyan, damar plus emas sebagai produk ekspor. Kebetulan bahwa pohon-pohon kamper, kemenyan dan damar sangat melimpah di wilayah Angkola (wilayah dimana terdapat hewan besar seperti gajah, harimau, badak, banteng, tapir dan orangutan).

Wilayah danau Toba, terutama di seputar danau begitu subur. Ibarat kesuburan di Jawa, wilayah danau Toba menjadi penghasil beras yang penting dimana begitu luas persawan yang terbentuk, Wilayah Humbang tidak terlalu subur tetapi sangat sesuai dengan pertanian hortikultura. Wilayah Silindung kurang lebih dengan wilayah Toba terbentuk persawahan. Wilayah di selatan Silindung yakni Angkola mulai dari Sigompulon hingga wilayah Mandailing hanya disana-sini terdapat sawah yang subsisten tetapi sangat kaya hasil-hasil hutan seperti kamper, kemenyan dan damar serta hasil pertambangan (emas). Dalam konteks spasial dan komoditi ekspor ini terbentuk perdagangan luar negeri yang menyebabkan penduduk Angkola Mandailing surplus devisa. Kamper sendiri sudah dicatat Ptolomeus abad ke-2 sentra produksi kamper di (pulau( Sumatra bagian utara. Literatur Eropa pada abad ke-5 menyebutkan bahwa kamper diekspor melalui pelabuihan yang disebut Barus.

Modal perdagangan komodiri ekspor yang menyebabkan pendudduk Angkola Mandailing terbuka dengan orang asing (terutama pedagang-pedagang India) dan terbentuk kota-kota besar (seperti Siondop dan Pijorkoling di Angkola dan Pakantan dan Hutagodang di Mandailing). Kota-kota ini menjadi pusat peradaban baru, adopsi ilmu pengetahuan (aksara Pallawa, seni, religi dan bentuk pemerintahan). Di antara kota-kota tersebut terbentuk kota besar di sekitar danau Siabu, paling tidak aspek-aspek berasal dari luar ini ditunjukkan dengan adanya sisa peninggalan zaman kuno candi di danau Siabu (candi Simangambat), suatu indikasi sudah terbentuk suatu kerajaan (Kerajaan Aru). Besar dugaan pelabuhan ekspor Barus dari sisi penduduk Batak dikuasai penduduk Angkola Mandailing dan dari sisi luar dalam perdagangan dikuasai oleh pedagang-pedagang India. Barus sendiri diduga merujuk pada kata aru (India selatan) yang diartikan sebagai air atau sungai.

Kerajaan Aru berawal di Angkola Mandaiing dengan ibu kota di sekitar danau Siabu kawasan dimana kemudian dibangun kelak candi di Simangambat. Danau Siabu ini merupakan muara sungai Batang Angkola dari arah utara yang berhulu di danau Siais dan gunung Lubuk Raya dan gunung Sibual-buali dan muara sungai Batang Gadis yang berhulu di danau Laut dan gunung Kulabu dan gunung Sorik. Di sebelah timur danau Siabu terdapat gunung Malea (merujuk pada nama Himalaya). Seperti halnya danau Tangse di Aceh, danau Siabu di Angkola Mandailing telah hilang karena jalur air (celah sungai) ke laut di duga ambruk (akibat gempa tektonik atau vulkanik) atau bisa juga karena proses pegerusan jangka panjang sehingga dasar sungai makin dalam (seperti sungai Asahan di Porsea) akibatnya permukaan danau menurun. Pelabuhan Kerajaan Aru ini di utara di Sangkunur (muara sungai Batang Toru) dan di Lingga Bayu (muara sungai Batang Natal). Tentu saja pada saat garis pantai berada lebih ke dalam jika dibandingkan pada masa ini. Dari dua pelabuhan domestik di Angkola dan di Mandailing ini diteruskan ke pelabuhan ekspor di Barus (pelabuhan internasional)

Tunggu deskripsi lengkapnya

Kerajaan Aru, Silindung, Simamora, Butar: Peradaban Baru Berasal dari Selatan (Angkola Mandailing)

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar: