Minggu, Juni 20, 2021

Sejarah Peradaban Kuno (48): Dalihan Na Tolu Angkola Mandailing, Laras dan Marga; Konsep Dalihan di Filipina Sulawesi Maluku

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Peradaban Kuno di blog ini Klik Disini 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Sidempuan di blog ini Klik Disini

Konsep ‘dalihan na tolu’ adalah inti dan core culture penduduk Angkola Mandailing. Konsep ini berakar pada budaya inti yang penerapannya ke dalam berbagai aspek, tidak hanya dalam kegiatan besar (horja) tetapi juga dalam wujud pemerintahan dan sebagainya. Inti konspe ‘dalihan na tolu’ terletak pada ‘dalihan’nya berapapun jumlahnya. Di wilayah Angkola Mandailing jumlahnya selalu tiga (na tolu) yang menjadi bentuk universil untuk seluruh penduduk Batak. Di wilayah Minangkabau konsep ‘dalihan na tolu’ ini hanya terbatas pada sistem pemerintahan dengan variasi ‘dalihan’ yang berbeda-beda. Konsep ‘dalihan’ ini juga ditemukan di Filipina, Sulawesi dan Maluku. Mengapa sama? Secara khusus di Angkola Mandailing, sebagai core culture, elemen yang mendasarinya justru terletak pada sistem kekerabatan (marga) yang bersifat geanologis.

Dalam wujud pemerintahan tradisional di wilayah Minangkabau, konsep ‘dalihan’ ini sebagai laras (seperti koeria), yang mana beberapa nagari (semacam huta) membentuk persatuan dalam suatu kawasan yang sama. Jumlah laras ini tidak hanya seperti pada pendudukan Angkola Mandailing, tetapi bisa dua, tiga atau lebih yang dapay dilihat dari nama persatuannya seperti Empat Angkat Canduang, Lima Puluh Kota dan sebagainya. Sementara itu di Maluku, khususnya di wilayah Maluku Utara dikenal dengan konsep Fala Raha (empat raha)  yang pada awalnya dihubungkan dengan struktur empat keturunan, struktur empat warisan dan struktur empat komunitas awal Ternate (pemerintahan). Seperti halnya di wilayah Angkola Mandailing, tradisi ini juga diturunkan. Konsep ‘dalihan’ini juga ditemukan di wilayah Minahasa dan wilayah Toraja dan bahkan teluk Manila (pulau Luzon). Di wilayah tradisional Batak, konsep ‘dalihan’ ini tidak hanya di Silindoeng dan Simalungun tetapi juga hingga Karo dan Gajo dengan nama yang berbeda dengan konsep yang sama.

Lantas bagaimana sejarah asal usul inti budaya ‘dalihan na tolu’ di wilayah Angkola Mandailing? Seperti disebut di atas konsep ini menyebar sangat luas, tetapi bukan ke (pulau) Jawa tetapi seluruh Sumatra hingga ke utara di Gajo dan hingga di selatan di Lampung, serta pulau-pulau Filipin, Sulawesi dan Maluku. Di wilayah Lampung dikenal dengan marga, tetapi ada perbedaannya di Tanah Batak, tetapi tetap bertumpu pada hubungan kekerabatan (adat Lampung Papadun). Dalam hal ini marga di Lampung pola masyarakat bersifat genealogis seperti di Tanah Batak. Lalu bagaimana itu terhubung satu sama lain di wilayah yang sangat luas dari Sumatra hingga Maluku? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Dalihan Na Tolu di Angkola Mandailing: Minangkabau, Lampung, Filipina, Sulawesi, Maluku

Tunggu deskripsi lengkapnya

Penerapan Dalihan Na Tolu di Tanah Batak: Berakar pada Marga

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar: