Marga Batak adalah suatu fakta, marga yang telah sejak lama digunakan untuk mengidentifikasi kelompok keluarga. Terminologi marga dalam era modern adalah family name. Marga sejauh ini masih dipakai di belakang nama hingga sekarang. Artikel ini tidak dalam rangka mengusut sejak kapan adanya marga, apalagi dikaitkan dengan mitologi. Itu hanya buang waktu dan tidak relevan di era modern, karena tidak akan cukup data dan informasi untuk merekonstrusinya. Artikel ini hanya memfokuskan untuk mendeskripsikan sejak kapan marga dicatat dan bagaimana penyebarannya.
Kapan pertama
kali marga dicatat dan siapa pemakai marga yang pertama?
Nama
marga sebagai satu kesatuan adat (territorial genealogis) sudah ada sejak lama,
namun kala itu penggunaan nama marga di belakang nama tidaklah lazim. Nama-nama
yang digunakan adalah nama kecil dan nama gelar adat (raja), seperti Sutan,
Mangaradja, Baginda dan sebagainya. Pemakaian marga di belakang nama seseorang
diduga mulai diperkenalkan oleh orang-orang Eropa/Belanda.
Dalam koran Javasche
courant, 23-03-1830 terdapat statistic surat kabar utama di Eropa, dimana salah
satunya adalah De Gazelle de France (koran sore di Prancis bertiras 7.000 exp)
salah satu editornya berinisial (marga) Lubis,
diantara nama-nama editor lainnya. Lubis adalah nama marga Batak tetapi Lubis
sang editor tersebut mungkin bukanlah orang Batak tetapi warga Perancis. Family
name Lubis ada juga yang berasal dari Eropa Tengah.
Sejauh
yang tercatat, orang Batak pertama yang pernah menggunakan marga di belakang
namanya adalah Thomas Siregar di Sipirok. Thomas Siregar adalah pendeta muda (lihat
Gumbu Humene. 1892. Amsterdam: Hoveker). Nama berikutnya adalah pendeta Markus
Siregar (lihat Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 02-04-1894). Lalu
diikuti oleh empat calon pendeta, yakni: Jos Harahap, Jafet Harahap Samuel
Tandjong dan Cornelia Pane (lihat Algemeen Handelsblad, 13-09-1894). Thomas, Markus, Jos
Jafet, Samuel dan Cornelia besar kemungkinan adalah nama-nama baptis.
Sketsa sebaran marga (1886) |
Nama-nama
berikutnya yang menggunakan nama marga di belakang nama (di luar lingkungan
misi) baru muncul pada tahun 1909, yakni: Mohamad Daulaij [lihat Bataviaasch
nieuwsblad, 11-10-1909: ‘Layanan Medis Sipil mengumumkan bahwa di Ngawi
(Madiun), dokter Inlandsche Mohamad Daulay; juga diperbantukan dokter
inlandsche Mohamad Daulaij di Semarang’]. Kemudian muncul lagi tahun 1912 nama berikutnya. Mereka adalah Aminoeddin Loebis dan I.
Harahap yang terdaftar sebagai siswa Koningin-Wilhelmina School di Batavia (lihat Het
nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 09-05-1912). Kemudian menyusul
Abdoel Azis Nasoetion, seorang siswa Landbowschool di Buitenzorg (lihat Bataviaasch
nieuwsblad, 12-08-1912).
Mohamad Daulay adalah angkatan terakhir dari Docter Djawa School (sebelumn namanya diubah menjadi STOVIA, 1902). Pada saat Mohamad Daulay masuk tahun 1900, dua kakak kelasnya asal Padang Sidimpoean baru lulus yakni Haroen Al Rasjid (Nasoetion) dan Mohamad Hamzah (Harahap). Sebelum lulus Mohamad Daulay, dua kakak kelasnya dari Padang Sidempoean lulus tahun 1905 yakni Abdoel Karim (masuk tahun 1898) dan Abdoel Hakim (masuk 1899). Abdoel Karim (Harahap) dan Abdoel Hakim (Nasoetion) sama-sama lulus tahun 1905 bersama dengan Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo.
Dua anak Padang Sidempuan sekelas dengan Tjipto di STOVIA
Deretan nama-nama anak Afdeeling Padang Sidempoean (sebelumnya bernama Afdeeling Mandheling en Ankola) di Docter Djawa School dimulai sejak Si Asta (Nasoetion) dan Si Angan (Harahap) dari Afdeeling Mandheling en Ankola diterima tahun 1854 (Docter Djawa School dibuka tahun 1851). Si Asta dan Si Angan adalah dua orang pertama yang diterima di Docter Djawa School yang berasal dari luar Jawa. Pada tahun 1856 diterima lagi dua siswa dari Afdeeling Mandheling en Ankola yakni Si Napang (marga Loebis?) dan Si Dorie (marga Harahap?). Oleh karena prestasi anak-anak Mandheling en Ankola ini terbilang bagus maka sejak 1856 secara reguler dari Afdeeling Mandheling en Ankola diterima di Docter Djawa School (diantara mereka ada yang sekelas dengan Dr. Wahidin). Selanjutnya siswa-siswa STOVIA yang berasal dari Afdeeling Padang Sidempuan terus belanjut, yang terkenal seperti Radjamin (Nasoetion), walikota pribumi pertama Kota Surabaya (sebagaimana Dr. Abdul Hakim Nasution, wali kota pribumi pertama Kota Padang), Abdoel Monier Nasoetion (abang dari mantan Gubernur Sumtara Utara, SM Amin). Sejak tahun 1920, anak-anak di luar Afdeeling Padang Sidempoean mulai muncil, yang pertama adalah FL Tobing dan T. Mansoer.
Sementara itu, pengguna nama marga di belakang namanya Abdoel Azis Nasoetion adalah siswa angkatan pertama Midelbare Landbow School (sekolah menengah pertanian) di Buitenzorg (menggantikan nama sebelumnya). Kakak kelasnya di Buitenzorg adalah Sorip Tagor anak Padang Sidempoean yang telah menjadi siswa Inlandschen Veeartsen School (Sekolah Kedokteran Hewan) sejak tahin 1907. Sorip Tagor (Harahap) ompung dari Risty/Inez Tagor ini adalah adalah alumni pertama Sekolah Kedokteran Hewan. Lalu kemudian anak Padang Sidempoean datang lagi tahun 1910 yakni Alimoesa mengikuti Sorip Tagor..Kelak, Sorip Tagor melanjutkan studi ke Belanda dan di Leiden mendirikan Sumatranen Bond (1917) dan Alimoesa (Harahap) adalah anggota Volksraad pertama dari Tapanoeli (1927).
Siswa-siswa lainnya pada fase awal ini (1910-1930) yang menyusul ke Sekolah Dokter Hewan di Bogor yang berasal dari afdeling Padang Sidempoean, antara lain: Abu Bakar Siregar, Alibasa (Harahap), Pinajoengan, Anwar, Hari Rajo Pane dan lainnya. Anwar (Nasoetion) adalah ayah dari Prof. Andi Hakim Nasoetion (Rektor IPB 1978-1987). Sedangkan yang menyusul ke Sekolah Menengah Pertanian antara lain, Humala (Harahap), Ronggoer Loebis, dan Djohan. Sebagaimana diketahui Djohan Nasoetion adalah ayah dari Prof. Lutfi Ibrahim Nasoetion, guru besar Ilmu Tanah, IPB dan mantan Ketua BPN. Catatan: Midelbare Landbow School dan Inlandschen Veeartsen School adalah cikal bakal Institut Pertanian Bogor.
Ini
berarti penggunaan nama marga di belakang nama belumlah lama meski nama marga
sudah sejak lama ada (dilembagakan). Tampaknya penggunaan nama marga dimulai
dari adanya interaksi orang-orang Batak dengan orang-orang Eropa yang memang orang
Eropa/Belanda sudah sejak lama mengintegrasikan family name di belakang nama mereka.
Interaksi dan adopsi kebiasaan (habit) itu tampaknya baru terbatas di dunia
misionaris dan dunia akademik. Penggunaan nama marga di lingkungan pemerintahan
belum ada terdeteksi (masih menggunakan nama kecil atau nama gelar adat).
Willem Iskander dengan nama kecil Si Sati (adik kelas Dr. Asta dan Dr. Angan), orang Batak dan orang pribumi pertama yang studi ke Belanda (1857) tidak pernah terdeteksi menggunakan nama marganya di belakang nama. Si Sati bukannya menambah marga melainkan mengganti nama. Willem bukanlah nama baptis, tetapi nama yang diadopsi dari nama raja Belanda dan Iskander nama sastrawan terkenal di Eropa saat itu. Si Sati alias Willem Iskander memiliki family name (marga) Nasoetion. Demikian juga, Dja Endar Moeda (mertua Dr. Haroen al Rasjid), alumni Kweekschool Padang Sidempuan 1884 yang menjadi guru dan di masa pension menjadi editor pribumi pertama di Padang tahun 1897 (surat kabar berbahasa Melayu Pertja Barat). Dja Endar Moeda bermarga Harahap tetap mempertahankan gelar rajanya. Juga, setali tiga uang, Soetan Casajangan Soripada (nama kecil Radjioen, marga Harahap), alumni Kweeksschool Padang Sidempuan, orang Batak pertama yang kuliah ke Belanda tahun 1905 hanya menonjolkan penggalan gelar rajanya menjadi R. Soetan Casajangan (beberapa penulis menganggap R adalah singkatan dari Raden di Jawa). Satu lagi: Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi, alumni sekolah hokum di Batavia yang melanjutkan studi doctoral ke Belanda justru ketika lulus cum laude tahun 1925 di Universiteit Leiden nama kecil dan nama marganya dikesampingkan dan yang dipromosikan adalah gelar rajanya. Radja Enda Boemi adalah ahli hokum dan doctor hokum pertama orang Batak.
Di dalam dunia jurnalistik, yang
terang-terangan menggunakan nama marganya di belakang nama adalah Parada
Harahap. Pada tahun 1918 Parada Harahap adalah editor koran Benih Mardika di
Medan. Di dalam koran-koran (berbahasa) Belanda namanya dikutip dengan inisial
yang lengkap dan jelas: Parada Harahap. Sementara senior-seniornya di Medan
lebih menonjolkan nama gelar raja masing-masing, seperti Mangaradja Salamboewe
(anak Dr. Asta, editor koran Pertja Timor, editor pribumi kedua tahun 1902), Panoesoenan gelar Soetan Zeri Moeda, Soetan
Parlindoengan, Mangaradja Ihoetan (ketiganya pernah menjabat editor Pewarta Deli) dan lainnya. Setelah Parada Harahap baru
muncul nama editor yang menggunakan marga yakni Abdoellah Loebis (editor
Pewarta Deli berikutnya, 1920an). Parada Harahap dan Abdullah Lubis adalah dua jurnalis senior yang sejak awal menggunakan nama marga di belakang nama dan dilakukan secara konsisten (dua dari tujuh orang pribumi pertama tahun 1933 melawat ke Jepang, termasuk M. Hatta).
Marga sebagai
kesatuan sistem pemerintahan
Belanda
pertama kali memperkenalkan pemerintahan sipil di Tanah Batak adalah di
Afdeeling Mandheling en Ankola di Residentie Tapanoeli. Sistem pemerintahan colonial
Belanda di Tapanoeli agak berbeda dibanding daerah lain. Sistem pemerintahan
yang diterapkan adalah sistem pemerintahan dua kamar, dimana pada level atas
sistem pemerintahan Belanda sementara di level bawah diterapkan sistem
pemerintahan lokal. Kesatuan pemerintahan lokal disebut koeria.
Seorang
koeria diangkat berdasarkan musyawarah (demokrasi) dari para kepala kampong. Kesatuan
koeria ini umumnya didasarkan pada marga. Koeria adalah wakil pemerintah untuk
memungut pajak atau retribusi. Koeria juga menjadi ketua pengadilan masyarakat (kerapatan)
di wilayah koeria yang bersangkutan. Berdasarkan ruang lingkup tugas dan
tanggungjawabnya diberi imbalan berupa gaji (per tahun). Dewan koera disebut koeriaraad yang terdiri
dari para kepala koeria (koeriahoofd). Batas-batas wilayah ditentukan oleh hukum
adat.
Sebaran negeri di Silindoeng (1930) |
Terminilogi
koeria hanya terdapat di Mandheling en Ankola, Sibolga dan Barus. Sementara di
Padang Lawas digunakan terminologi loehat, sedangkan di Bataklanden (Silindoeng
dan Toba) digunakan terminologi negeri. Namun ketiga terminology ini diterapkan
sama untuk menyatukan wilayah pemerintahan local yang (umumnya)
mempertimbangkan marga. Kata koeria diperkenalkan pada masa dominasi Padri.
Koeria lalu diterapkan Belanda di Mandheling en Ankola plus Sibolga dan Barus
untuk mengindikasikan satu kesatuan wilayah otoritas monarki. Koeria dipilih
untuk menggantikan terminology Djandji yang diusulkan sebelumnya. Sebutan
koeria di Minangkabau digunakan dengan istilah laras. Terminologi koeria diduga
berasal dari kata Arab. Willer sempat menyebut koeria dari kata Melayu. Menurut Mr. Pijper dan dikonfirmasi kepada Husein
Djajanegara bahwa koeria berasal dari Arab (kar’ja). Koeria diasosiakan dengan
wilayah yang dikepalai imam, dimana wilayah yang dimaksud di Atjeh disebut
mukim. Ketika terminologi ini diperkenalkan di Silindoeng, kata koeria sudah
digunakan dalam lingkungan gereja (kata Koeria dalam HKBP berasal dari kata
Arab). Terminologi yang diusulkan di Silindoeng adalah hoendoelan (wilayah) namun
dalam perkembangannya yang dipilih di Silindoeng dan Toba akhirnya adalah
negeri. Di Padang Lawas digunakan istilah loehat (bahasa Batak: loeat). Di Nias
digunakan istilah ori.
Pemerintah
Belanda sejak 1840 telah menerapkan sistem pemerintahan lokal di Mandeling en Ankola dalam satu
kesatuan koeria. Masing-masing koeria mengindikasikan nama marga dominan. Dalam
struktur pemerintahan awal di Residentie Tapanoeli dua afdeeling diantaranya adalah
Afdeeling Mandheling en Ankola dan Afdeeling Natal. Di afdeeling Mandheling en
Ankola terdapat onderafdeeling, yakni: onderaf. Groot Mandheling, onderaf. Klein
Mandheling, Oeloe en Pakantan, onderaf. Ankola en Sipirok. Pada masing-masing
onderafdeeling ini terdiri dari koeria-koeria. Pada awalnya koeria Maga (marga
Nasoetion) masuk dalam onderaf. Klein Mandheling, namun dalam perkembangannya
direvisi dan dimasukkan ke dalam onderaf. Groot Mandheling. Sebaliknya, koeria
Batang Natal (marga Nasoetion) awalnya masuk onderaf, Groot Mandheling
dimasukkan ke afdeeling Natal karena alasan jarak dan efektivitas pemerintahan.
Pembentukan pemerintahan Mandheling en Ankola sudah dimulai sejak 1840. Di Padang Lawas pemerintahan baru dimulai tahun 1879 (meski sudah berada dibawah pemerintahan colonial sejak periode pembebasan 1838-1843 (selama 36 tahun diabaikan). Kesatuan pemerintahan local tidak menggunakan terminology koeria tetapi satu kesatuan loehat (system kesatuan tradisi). Di Silindoeng 1880 dan di Toba 1906 (Residentie Tapanoeli dipisahkan dari Province Sumatra’s Westkust tahun 1905). Di Silindoeng dan Toba menggunakan terminology, awalnya hoendoelan dan diganti menjadi negeri. Pada prinsipnya tiga terminologi tersebut mengacu pada marga.
Koeria dan marga di Sibolga (1930) |
Revisi tidak hanya pada penyesuaian batas-batas wilayah, tetapi juga pada perubahan struktur (promosi dan degradasi). Seperti halnya, koeria Kampung Baru (1850an) karena wilayahnya menjadi kota (proses urbanisasi) lalu kemudian posisinya sebagai koeria dilikuidasi dan posisinya digantikan Loesoeng Batoe sebagai koeria (di luar kota Padang Sidempoean). Demikian juga pada nantinya, koeria Simapil-apil karena populasinya semakin menyusut dan letaknya yang sangat terpencil (akses) kemudian digantikan Siharangkarang sebagai koeria.
Koeria dan marga di Angkola (1930) |
Marga sebagai kesatuan sistem budaya
Dalam buku Nota Omtrent de Inlandsche Rechts
Gemeenschappen in het Gewest Tapanoeli (istilah sekarang Hasil Kajian Akademik
Pembentukan Pemerintahan di Tapanoeli) yang diterbitkan tahun 1930 menyebutkan
bahwa fondasi dari masyarakat Batak secara substansial sama di mana-mana yang
pada prinsipnya terdiri dari tiga hal: 1. Perbedaan tiga kelompok yang disebut
Dalihan Na Toloe; 2. Masyarakat hokum adat tertinggi adalah otoritas monarki,
asosiasi huta (desa) yang bertumpu pada huta induk dan huta-huta turunannya.
Kepala federasi huta disebut Raja panoesoenan. Di
daerah marga yang berkuasa biasanya diberikan tanah kepada anakboru dimana
adakalanya juga diberikan kepada mora; 3. Memiliki silsilah (stambuk).
Jika urutan ini dibalik maka setiap penduduk
Batak haruslah dapat dilacak siapa dia dalam garis keturunan yang disebut
tarombo (stambuk). Dengan demikian, individu membentuk keluarga dan lalu keluarga
membentuk huta. Lalu huta-huta ini dapat dibedakan antar huta baru (ripe) dan
huta induk. Urutan huta sejatinya bersesuaian dan dijalankan sesuai dengan
urutan dalam garis keturunan. Di dalam keluarga, anak yang sulung akan
diprioritas untuk membuka huta baru (mamungka huta). Dengan demikian, huta
induk secara horizontal adalah huta yang lebih tua dari huta-huta yang lain,
dan secara vertical huta induk merupakan kepala huta yang lebih tua di dalam
silsilah marga (stambuk). Kepala huta induk adalah panusunan bulung yang
menjadi kepala federasi huta-huta yang semarga yang dengan sendirinya akan membentuk
otoritas monarki. Dari sinilah hokum adat dimulai yakni adat sekahanggi atau semarga.
Sementara itu dalam hubungan perkawinan,
kawin semarga tentu tidak dibolehkan. Kesadaran dan pemahaman ini adalah
alamiah manusia. Karenanya antara keluarga atau huta akan terjadi hubungan
perkawinan dengan marga lain. Perkawinan antar marga ini bersifat asimetris.
Artinya, perkawinan secara alamiah harus dengan marga lain, juga dimungkinkan
kedua marga melakukan hubungan perkawinan balik yakni dengan anak namboru
dengan boru tulang. Pola hubungan perkawinan semacam ini tidak hanya diinginkan
kedua belah pihak tetapi juga dengan sendirinya menyatukan dua marga (mora-anak
boru) menjadi satu kesatuan yang solid. Sebaliknya, bahwa keluarga dalam posisi
menerima boru dari marga lain, maka posisi keluarga sebagai anak boru dari
mora. Sang menantu perempuan berharap anak-anaknya mengambil boru dari pihak
keluarganya. Ini juga akan memperkuat gubungan keluarga. Relasi tiga keluarga
ini, kahanggi, anak boru dan mora akan membentuk hubungan kekerabatan yang
sangat kuat yang disebut dengan terminologi Dalihan Na Tolu.
Dalihan Na Tolu adalah inti kebudayaan (core
culture) penduduk Tanah Batak. Struktur masyarakat Dalihan Na Tolu dapat timbul
dimana apakah di Angkola, di Mandailing atau di Padang Bolak, atau ditempat
lainnya di Silindoeng, di Toba, di Simalungun, di Karo, di Pakpak, di Alas dan
di Gayo. Yang menjadi pertanyaan, darimana konsep ini dimulai dan bagaimana
konsep ini mengalami difusi ke seluruh penjuru tanah Batak. Mungkin ini sangat naïf
mengatakan bahwa konsep ini menyebar dari satu tempat ke tempat lain yang jauh melalui
migrasi alamiah (tradisi mamungka huta). Sebab konsep marga tentu baru lahir
kemudian setelah adanya penyebaran penduduk. Jika konsep ini menyebar melalui
migrasi alamiah tentu saja terminologinya akan sama untuk semua dialek bahasa.
Namun kenyataannya terminologinya berbeda-beda.
Elemen dasar dari kebudayaan dapat ditelusuri
melalui bahasa. Antar satu dialek dengan dialek secara linguistik memiliki akar
bahasa yang sama (sangat dekat) untuk membedakan dengan bahasa-bahasa Melayu
yang menjadi tetangga dekatnya. Dalam hubungannya dengan kebudayaan Batak, konsep
dalihan na tolu haruslah dipandang sebagai elemen tambahan yang dikembangkan
lebih lanjut. Oleh karenanya, besar kemungkinan bahwa konsep ini menyebar tanpa
adanya migrasi atau mengalami difusi dari satu tempat dan diadopsi di tempat
lain, baik oleh penduduk yang memiliki bahasa/dialek yang sama maupun yang
berbeda dialek.
.
.
Adanya perbedaan dialek dari akar bahasa yang sama tentu
saja tidak terjadi dalam puluhan tahun, tetapi berevolusi dalam ratusan tahun atau
bahkan ribuan tahun. Jika berpedoman pada penemuan candi di Simangambat (abad
kedelapan) atau candi Padang Lawas (abad kesebelas atau sebelumnya), maka
penduduk Batak di Angkola, Mandailing dan Padang Lawas sudah barang tentu sudah
hadir sebelum datangnya pedagang-pedagang dari Ankola, Karnataka, India selatan
dan pedagang-pedagang dari Panai, Ceilon. Penduduk Angkola, Mandailing dan
Padang Lawas secara teknis memiliki dialek yang sama (paling tidak sangat dekat
secara linguistic satu sama lain).
Konsep dalihan na tolu yang diselenggarakan
dalam basis marga dan ketaatan pada silsilah di dalamnya terkandung beberapa unsur
penting seperti garis keturunan ayah (patrilineal genealogis), larangan kawin
semarga dan kesadaran tentang pentingnya teritorial. Unsur pertama dan
melembagakan silisilah haruslah didukung dengan adanya sistem penulisan (adanya
aksara). Unsur kedua tentang larangan kawin semarga boleh jadi merupakan perluasan
dari konsep perkawinan dalam agama Islam (muhrim) yang diserap dan sesuai
dengan sistem marga (clan). Unsur ketiga kesadaran teritorial adalah wujud dari
pemahaman migrasi alamiah yang membentuk otoritas monarki untuk mengatur
resource bagi marga ketika dari sisi lain juga marga lain mengalami migrasi
alamiah. Artinya perkembangan penduduk yang tak terbatas mendapat tekanan pada luas
penguasaan resource (lahan) oleh marga yang saling mendekat dengan marga lain.
Konsep dasar dalihan natolu boleh jadi merupakan konsep yang
dikembangkan secara dialektis antara unsur-unsur tradisi (lokal) yang sudah
melembaga sejak lama dengan unsur luar seperti pengaruh India (Hindu/Budha) dan
pengaruh Islam. Jika mengacu pada temuan Uli Kozok bahwa aksara Batak
berkembang pada mulanya di selatan Tanah Batak (Angkola, Mandailing dan Padang
Lawas). Apakah tidak mungkin konsep dalihan na tolu juga berkembang dari
selatan Tanah Batak? Pengaruh Hindu/Budha
dan Islam diduga sangat intens terjadi di wilayah-wilayah dimana ditemukan
candi yang sekarang. Intensitas peradaban itu
terjadi di sekitar dimana tempat candi berada. Konsep garis keturunan laki-laki (patrilineal) dan
larangan kawin semarga lebih cenderung berasal dari pengaruh Islam daripada
India. Sedangkan konsep otoritas monarki cenderung berasal dari pengaruh India.
Konsep dalihan na tolu tampaknya adaptif
dengan permasalahan serupa itu. Karenanya, mamungka huta di dalam teritori
marga lain dimungkinkan karena terlembagakannya azas pertalian hubungan
perkawinan dalam konsep mora-anak boru. Seiring dengan waktu, anakboru yang
mamungka huta juga akan berkembang sendiri secara internal (marga) yang
memunculkan migrasi alamiah dan terbentuknya ripe dari pihak anak boru yang
pada gilirannya panusunan bulung baru.
Aparatur pemerintah Afd. Padang Sidempuan (kini Tabagsel), 1924 |
Pembentukan pemerintahan lokal ini agak sedikit lebih rumit di Padang Lawas, Silindoeng dan Toba. Di tiga wilayah ini begitu banyak Raja Panoesoenan tetapi dengan kepemilikan wilayah yang relatif kecil dan jumlah populasi yang minim serta tingkat daya dukung lahan (ketersediaan dan kesuburan lahan) yang terbatas. Akibatnya, pembentukan pemerintahan agak sedikit terhambat dan terlambat yang pada akhirnya tidak semua nominasi disahkan (staatsblad), seperti di Silindoeng dan Toba hanya 28 yang diformalkan dari 178 negeri (7 di Silindoeng, 8 di Samosir, 9 di dataran tinggi Toba, 4 di Toba plus 3 buah di Dairi). Di Padang Lawas sejak 1914 hanya terdiri dari 5 loehat (bahasa Batak: loeat). Hanya beberapa huta induk yang kompeten, banyak huta-huta baru dari migrant baru (dari Mandailing). Beberapa loeat harus dilakukan merger. Jumlah loeat yang disahkan menjadi terbilang sedikit dan (apakah memerlukan regrouping kembali?). Di tiga wilayah itu, implikasinya ada sejumlah daerah-daerah marga yang terabaikan dan kurang tersentuh oleh pembangunan (istilah sekarang: daerah tanpa PAD akan kesulitan membangun daerahnya sendiri).
Penyebaran marga
di Tanah Batak
Menelusuri
serupa apa Tanah Batak di masa lampau tentu sangatlah sulit dan samar. Gambaran
terawal tentang Tanah Batak di Angkola yang bersumber dari seorang Tionghoa di
Batavia pada tahun 1701. Pedagang ini menyebut nama tempat bernama Pande yang
mirip bunyi seperti Panai (di muara Sungai Barumun). Selain itu, diceritakan
juga orang Tionghoa tersebut bahwa aktivitasnya bolak-balik antara Pande dan
kawasan pegunungan Ankola (Ancools gebergte). Tambahan lagi, juga disebut bahwa
tempat tinggal orang Tionghoa itu berada di Ankola [lihat: Daniel Perret,
‘Pemeriksaan atas Seorang Pedagang Cina mengenai Orang Batak yang berada di
Sumatera Utara, 1 Maret 1701’. Kemudian gambaran yang lebih lengkap tentang
Tanah Batak di Angkola dicatat oleh Miller yang pernah berkunjung ke Angkola
dan Padang Bolak pada tahun 1772 (lihat buku Marsden, 1811).
Bagas Godang Hoetaimbaroe, 1888 (tampak depan) |
Kisah
Charles Miller terbilang jauh lebih lengkap daripada pedagang Tionghoa. Miller
tidak hanya menggambarkan rute perjalanannya secara lengkap, juga sudah
teridentifikasi nama-nama huta di pedalaman Tanah Batak. Huta Batang Onang
adalah pelabuhan di pedalaman Tanah Batak di hulu sungai Barumum. Ini berarti
Charles Miller sesungguhnya telah melakukan perjalanan semacam ekspedisi rute
coast to coast. Sebab Batang Onang adalah pusat perdagangan di sisi timur
Ankola, sedang pusat perdagangan di sisi barat Ankola adalah Loemoet. Dengan
demikian, Ankola secara praktis terbuka oleh pedagang baik dari pantai timur
maupun pantai barat (jauh sebelum tahun 1701).
Dalam
laporan pedagang Tionghoa (1701) dan botanis Miller (1772) tidak terdeteksi adanya
marga. Laporan pertama yang mengidentifikasi adanya marga di Tanah Batak adalah
buku Verzamileng Mandheling en Pertibie karya Willer yang diterbitkan pada
tahun 1846 (Willer adalah asisten Residen Mandheling en Ankola sejak 1841). Ini
dengan sendirinya Willer adalah orang pertama yang melaporkan adanya marga di
Tanah Batak. Marga adalah kesatuan keluarga berdasarkan genealogis. Menurut
Willer ada empat marga yang dominan di Afdeeling Mandheling en Ankola, yakni:
Nasoetion, Loebis, Harahap dan Siregar. Marga Nasoetion dan Loebis umumnya di
Mandailing dan marga Harahap dan Siregar di Angkola.
Sketsa sebaran marga oleh Topographisch Bureau (1886) |
Sketsa sebaran marga oleh Topographisch Bureau (1886) |
Dalam buku Nota Omtrent de Inlandsche Rechts
Gemeenschappen in het Gewest Tapanoeli (1930) dijelaskan bahwa di dalam wilayah
marga-marga yang dominan ini dalam perkembangannya muncul marga-marga yang lain
(terutama anak boru tetapi jarang untuk mora). Hal ini dapat ditafsirkan bahwa
pemberi boru (pemilik wilayah marga) cenderung memberikan tanah kepada anak
boru agar hubungan antar marga secara wilayah menjadi lebih berdekatan. Alasan
lain adalah agar pada nantinya anak-anak mereka dari pihak anakboru untuk
kembali mengambil boru tulang (generasi berikutnya).
Wilayah-wilayah anakboru ini di dalam wilayah
marga dominan semakin meluas. Wilayah-wilayah anakboru juga dapat dikatakan
sebagai wilayah marga dominan tetapi dari para turunan mereka yang perempuan. Besar
kemungkinan hal inilah yang menyebabkan adanya marga lain di dalam wilayah
marga dominan. Sebagai contoh, adanya wilayah marga Dalimunte dan wilayah marga
Daulay di Angkola. Sebab berdasarkan peta marga 1886, wilayah dominan marga
Dalimunte adalah di Laboehan Batu (sekitar Merbau) dan wilayah dominan marga
Daulay di Padang Bolak atau bisa jadi sebaliknya.
Soal wilayah dan nama marga Daulay ini ada sedikit
petunjuk dari laporan Pinto (walau hal ini masih terlihat samar, karena
minimnya bukti). Pinto dalam laporannya 1539 menyebut adanya Kerajaan Aru (Kingdom
of Aroe) dan juga disebutnya Battak Kingdom dimana dutabesarnya datang ke
Malacca dan mengajak berkolaborasi dalam menyerang Atjeh. Pinto memenuhi
undangan sang dutabesar pada hari kelima bulan kedelapan. Nama duta besar ini
disebut Pinto bernama Quareng Daholay. Bunyi nama ini mirip dengan Karim
Daulay. Pertanyaannya, apakah Daulay adalah nama marga dan Karim adalah nama
yang umum di Timur Tengah. Menurut laporan Pinto, Kerajaan Aru, raja dan
penduduknya semua beragama Islam. Sementara wilayah dominan marga Daulay ditemukan
berada di Siunggam, suatu tempat yang diduga sebagai pusat perdagangan sejak era
Hindu/Budaha (nama Siunggam diasosiasikan dengan nama yang berasal dari India
selatan). Sebab ada dugaan bahwa Kesulatan Aru (Islam) menggantikan Kerajaan
Aru (Hindu/Budha) di Padang Bolak.
Mundur ke belakang (berdasarkan bukti candi di
Simangambat abad kedelapan), diduga bahwa Kerajaan Ankola di Angkola (sungai
Batang Angkola) sudah ada sebelum adanya Kerajaan Aru di Panai (sungai Batang
Pane) yang mengindikasikan bahwa wilayah dominan marga Daulay di Angkola lalu
kemudian Siunggam menjadi wilayah anak boru (marga Daulay) di wilayah
dominannya (marga Harahap) di Padang Bolak. Dalam laporan Pinto, Karim Daulay
menyebut dirinya adalah ipar dari radja Kerajaan Aru (yang boleh jadi marga
Harahap, karena marga Harahap adalah marga dominan di Padang Bolak utamanya
dari Batang Onang hingga Portibi). Oleh karenanya asal marga dominan marga
Daulay maupun Dalimunte bisa jadi memang dari dulu berada di Angkola.
Dari catatan tersebut di atas, ada beberapa
hal yang bisa digambarkan bahwa penduduk Batak paling tidak 13 abad (abad
kedelapan) yang lalu sudah ada di Angkola dan Padang Bolak. Lalu kemudian,
adanya marga ini sudah terdeteksi adanya sejak lima abad yang lalu (abad ke
enam belas). Adanya pembentukan marga haruslah diartikan setelah adanya
peradaban baru (perkembangan sistem social yang lebih kompleks dari sistem sosial
yang masih sederhana yang hanya didasarkan pada hubungan kekerabatan lewat perkawinan).
Oleh karenanya, adanya aturan marga di Angkola dan Padang Lawas dimulai antara
abad kedelapan dan abad ke enambelas.
Marga adalah bagian dari sistem sosial
Pernikahan dalam suku (marga) dilarang (lihat
Willer. 1846. Verzamileng Mandheling en Pertibie). Willer menyebut incest
antara iboto (kakak dan adik) ini akan menjadi keduanya dihukum dengan hukuman mati,
dan dalam derajat lebih lanjut dengan denda dan pembuangan.
Untuk mendapatkan gambaran tentang perihal marga dalam system social dapat disimak hasil sidang adat sebagai berikut (disalin sesuai asalinya dari buku Nota Omtrent de Inlandsche Rechts Gemeenschappen in het Gewest Tapanoeli, 1930):
Untuk mendapatkan gambaran tentang perihal marga dalam system social dapat disimak hasil sidang adat sebagai berikut (disalin sesuai asalinya dari buku Nota Omtrent de Inlandsche Rechts Gemeenschappen in het Gewest Tapanoeli, 1930):
Hasil kerapatan di Sigalangan. Afschrift (salinan). Bijlage
(Lampiran) VM. Procesverbaal. (tertulis apa ada dalam bahasa Melayu) Pada ini
hari Ahad tanggal 12 November 1922 Rapat adat Sigalangan bersidang di bagas na
godang Sigalangan memeriksa perkara adat jang bersalahan didalam dakwa-dakwa
namora-namora dan Bajo-Bajo Sigalangan jang diwakilkan pada Mangaradja
Panoesoenan jaitoe mendakwa Baginda Parimpoenan dihadiri oleh:
1. Mangaradja Pinondang Baganding Toea Sodangdangon,
koeriahoofd
Sigalangan, Voorzitter (Ketua)
2. Soetan Batoga, kepala kampoeng Sidadi,
3. Dja Dongan, kepala kampoeng Sitampa,
4. Baginda Biangkaro, kepala ripe Sidadi,
5. Dja, Doellah, penghoeloe pasar Sigalangan,
6. Dja Kopal, Kepala ripe Sigalangan,
7. Balang Laoet, kepala ripe Sidadi,
8. Soetan Bolat, kepala ripe Sidadi,
9. Dja Mopoel, kepala ripe Sigalangan,
10. Dja Taoetan, kepala ripe Sigalangan,
11. Dja Kamet, kepala ripe Sitampa,
12. Soetan Gerang, Kahanggi,
13. Soetan Mangasa Pintor, Kahanggi,
14. Mangaradja Sokondar, Kahanggi,
15. Mangaradja Irro, Kahanggi,
16. Baginda Gadombang, Kahanggi,
17. Dja Nagoeroe, Kahanggi,
18. Datoe Maradjar, Kahanggi,
19. Orang Kaja Bosi, Bajo-Bajo Adat (kini Anakboru),
20. Dja Hisar, Bajo-Bajo Adat,
21. Dja Isa Bajo-Bajo Adat,
22. Dja Loebis, Bajo-Bajo Adat,
23. Dja Diatas, Bajo-Bajo Adat,
24. Dja Latip, Bajo-Bajo Adat,
25. Bandaro Koening, Bajo-Bajo Adat,
26. Dja Rahim, Bajo-Bajo Adat,
27. Dja Marip, Bajo-Bajo Adat,
28. Baginda Borajoen, Bajo-Bajo Adat,
29. Baginda Ginalahon, Natobang (kini Hatobangon),
30. Baginda Saboereon, Natobang,
31. Marah Sian, Natobang,
32. Mangaradja Martirka, Natobang,
33. Kali Atas, kepala kampoeng Djandji Manaon, leden
(anggota).
DAKWA.
Mangaradja Panoesoenan menerangkan bahasa Baginda
Parimpoenan soedah kerap kali melanggar adat sehingga mendjadikan bingit pada
radja2 dan namora2 jaitoe dakwa I. Baginda Parimpoenan mengawini seorang
perampoean nama si Naimat (mendjadi bininja) jaitoe saudara Dja Ngiro marga
(soekoe) Siregar. Adapoen soekoe Siregar itoe satoe toeroenan dengan soekoe
Dalimoente (soekoe Baginda Parimpoenan) djadi njata Baginda Parimpoenan bersoembang
dengan Si Naimat. Dan lagi poen orang toea Dja Ngiro nama Dja Midin masoek kahanggi
dengan Mangaradja Pinondang Beganding Toea Sodangdangon.
Ditanja Baginda Parimpoenan betoel apa tidak dakwa jang terseboet.
Baginda Parimpoenan mendjawab: Itoe tidak betoel, djoega
selaloe Saja dengar Dalimoente dengan Siregar tida dilarang adat dikawinkan
karena selaloe kedjadian. Dan saja minta diterangkan bagimana pertalian
Dalimoente dengan Siregar.
Mangaradja Panoesoenan mendjawab: Dahoeloe ada seorang
kampong Toekkot ni Soloe (Toba) nama toean Bonggoer mempoenjai anak tiga orang
nama toean Moente, toean Ritonga dan toean Regar. Dan toean Moente, itoelah
toeroenan soekoe Dalimoente. Dan toean Ritonga, itoelah toeroenan soekoe
Ritonga.Dan toean Regar, itoelah toeroenan soekoe Siregar. Itoelah
sebabnja saja menerangkan Baginda Parimpoenan dengan Si Naimat bersoembang karena
Baginda Parimpoenan toeroenan dari toean Moente anak dari toean Bonggoer dan Si Naimat toeroenan
dari toean Regar anak dari toean Bonggoer djoega.
Dipanggil Dja Ngire oemar ± 30 tahoen pekerdjaan berniaga
di Sigalangan mendjadi saksi dalam perkara ini dan ditanja. Betoel kamoe poenja
soekoe Siregar?
Dja Ngire mendjawab: Betoel.
Permintaan Baginda Parimpoenan soepaja diterangkan dari
asal sampai kesoedahan bagaimana pertalian dan pertjeraian soekoe Dalimoente
dengan soekoe Siregar.
Di stem dari permintaan itoe. 27 orang mengatakan tida
perloe, karena itoe permintaan hanja mentjari kesilapan dan 6 orang mengatakan
perloe karena mereka beloem tahoe bagaimana jang sebenarnja.
Kesoedahan stem permintaan Baginda Perimpoenan itoe
ditoelak.
Ditanja Dja Ngire. Bagaimana pertalian kamoe dengan
Mangaradja Pinondang. Djawab Dja Ngire. Nenek saja marpamere dengan
orang toea (mak) Mangaradja Pinondang.
Ditanja Mangaradja Pinondang betoel apa tida. Djawab:
Betoel, akan tetapi beloem dilainkan bahagian Dja Ngire dari hal
bagian ‘djoehoet Moelak’.
Joustra menyebutkan bahwa hubungan seksual
antara seorang pria dan seorang wanita dari marga yang sama dianggap incest. Anggota
marga dari generasi yang sama menganggap satu sama lain sebagai saudara dan
saudari. Namun marga asli yang populasinya besar ada yang membagi menjadi beberapa
submarga yang lebih kecil dan tetap menjaga adanya persatuan. Oleh karena itu
di banyak daerah hal serupa ini cenderung mengatakan larangan pernikahan tidak melanggar
prinsip marga yang semula (marga awal), tetapi tetap menjaga agar
kelompok-kelompok tidak terlalu berdekatan (lihat M. Joustra. Batak Spigel. SC
van Doesburgh. Lead, 1926).
Dalam satuan-satuan yang lebih kecil misalnya huta (atau yang lebih kecil) juga terjadi persebaran lintas marga. Hal ini disebabkan karena adanya perkawinan antar marga. Jika di masa doeloe ‘mangalap’ boru bisa jadi sangat jauh tempatnya, tetapi dengan menyebarnya marga-marga lintas wilayah marga, tempatnya menjadi lebih dekat. Pada masa kini, setiap huta atau kampong boleh jadi setiap marga ada. Namun pemilik huta masih dapat ditelusuri marga apa yang dahulunya yang mamungka huta.
Tunggu
deskripsi lengkapnya…
*Dikompilasi
oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe.
5 komentar:
Yang cukup menarik adalah wilayah marga Dalimunte berada di "Laboehan Baru" Maksudnya yg di tanda kutip labuhan baru atau losung batu...? Jadi bingung saya bacanya Bang..!
Ditunggu lanjutannya Bang...!
Sudah diedit, Laboehan Baru seharusnya Labuhan Batu (di sekitar Merbau). Artikel ini pada dasarnya masih memerlukan pengembangan (masih mencari sumber-sumber tambahan sambil memverifikasi data dan informasi yang sudah ada, tapi belum dipublish). Artikel ini adalah masih satu rangkaian (saling terkait)dengan empat artikel sebelum ini (Sejarah Kerajaan Aru, Sejarah Sisingamangaraja, Sejarah Padang Lawas dan Sejarah Angkola). Selamat menunggu ya. Horas be.
Andigan dope lanjutan na abanganda...?
Anso torang martamba parbinotoan tarombo on, khususna harahap,
harana hami pe harahap sian sosopan.
Hehehe...
Luar biasa artikel, penulisan jelas terstruktur on jala godang parbinotoan, lanjutkan Tulang - Mauliate.
Tangerang, 02-02-2019 02:45 WIB.
Zaman dulu jarak tidak menjadi masalah, orang orang batak biasa berpindah kampung dengan jarak puluhan kilometer. Jadi marga Dalimunte pindah dari Merbau Labuhan Batu ke Sigalangan Angkola adalah wajar.
Marga Daulae yang ada di Sunggam sampai sekarang baru sekitar 6 generasi, sebelumnya mereka berasal dari Sunggam Harangan. Kemungkinan besar Daulae yang ada di Pintu Padang Angkola berasal dari Sunggam Harangan bukan dari Sunggam yang sekarang.
Daerah Angkola lebih detailnya Angkola Jae itu merupakan daerah perpindahan dari Padang Bolak Harangan atau dari Sipirok Harangan, termasuk sebagian Ankola Juli seperti Pargarutan dan sekitarnya.
Posting Komentar