Oleh Akhir
Matua Harahap
Berdasarkan
hasil Sensus Penduduk, 2010 di Provinsi Jawa Timur tercatat sebanyak 707 etnik.
Hanya lima etnik asli yang menjadi penduduk asli Jawa Timur, selebihnya adalah
etnik pendatang (perantau). Lima etnik asli tersebut adalah Jawa, Madura,
Osing, Bawean, dan Tengger. Dari 37,476,757 jiwa penduduk Jawa Timur,
persentase terbesar adalah etnik Jawa (79.58 persen) yang disusul kemudian
etnik Madura (17.53 persen). Tiga etnik asli lainnya, persentasenya terbilang
sangat kecil: Etnik Osing di Banyuwangi (0.76 persen), etnik Bawean (0.19
persen) dan etnik Tengger (0.13 persen). Persentase keseluruhan etnik asli
adalah sebesar 98.19 persen. Ini berarti
Provinsi Jawa Timur dominan dari etnik Jawa dan etnik Madura.
Tabel-1.
Persentase etnik di Provinsi Jawa
Timur
|
|||||
Etnik
|
Persen
|
Etnik
|
Persen
|
Etnik
|
Persen
|
Jawa
|
79.58
|
Bajao
|
0.07
|
Melayu
|
0.03
|
Madura
|
17.53
|
Bugis
|
0.06
|
Betawi
|
0.02
|
Osing
|
0.76
|
Bali
|
0.05
|
Rajabasa
|
0.02
|
Tionghoa
|
0.73
|
Lampung
|
0.05
|
Mandar
|
0.02
|
Bawean
|
0.19
|
Ambon
|
0.04
|
Sibolga
|
0.02
|
Tengger
|
0.13
|
Banjar
|
0.03
|
Minang
|
0.02
|
Sunda
|
0.12
|
Karo
|
0.03
|
Lainnya
|
0.41
|
Angkola
|
0.08
|
Flores
|
0.03
|
||
Etnik
pendatang sendiri hanya sebanyak 1.81 persen saja dari total penduduk Provinsi
Jawa Timur. Persentase etnik pendatang terbesar adalah etnik Tionghoa (0.73
persen) dan kemudian pada urutan
berikutnya adalah etnik Sunda (0.12 persen) dan Etnik Angkola (0.08 persen).
Ini berarti etnik Angkola merupakan penduduk terbanyak ketiga di luar penduduk
asli Provinsi Jawa Timur. Etnik Angkola adalah sub etnik Batak yang jumlahnya
dominan terdapat di empat kabupaten/kota di wilayah Tapanuli Bagian Selatan,
Provinsi Sumatera Utara, yakni di Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Padang
Lawas Utara, Kabupaten Padang Lawas dan Kota Padang Sidempuan.
Tingginya
persentase etnik Angkola ini di Provinsi Jawa Timur boleh jadi sebuah misteri (sesuatu
yg masih belum jelas). Pertama, secara keseluruhan etnik Batak di Provinsi Jawa
Timur hanya sebesar 0.15 persen. Dengan demikian, persentase subetnik lainnya
dari etnik Batak hanya sebesar 0.07 persen yang dapat dirinci sebagai berikut:
etnik Karo (0.029 persen), Mandailing (0.005 persen), Pakpak (0.001 persen),
Simalungun (0.005 persen, Sibolga (0.017 persen) dan Toba (0.012 persen).
Kedua, jika di perhatikan komposisi etnik Batak baik di Provinsi Sumatera Utara
maupun secara nasional, persentase sub etnik Angkola tidak terlalu besar jika
dibandingkan dengan subetnik Batak lainnya. Ketiga, jarak geografis antara
Sumatera Utara apalagi wilayah Tapanuli Bagian Selatan sungguh sangat jauh ke
Jawa Timur.
Tabel-2.
Persentase Subetnik Batak di Tapanuli
Selatan, Sumatera Utara,
DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur dan Indonesia
|
|||||||
Kode
BPS
|
Subetnik
Batak
|
Tapanuli
Selatan
|
Sumatra
Utara
|
DKI
Jakarta
|
Jawa
Barat
|
Jawa
Timur
|
Indo-
nesia
|
14
|
Angkola
|
37.72
|
4.10
|
0.09
|
0.03
|
0.078
|
0.26
|
15
|
Karo
|
0.17
|
5.49
|
0.92
|
0.34
|
0.029
|
0.52
|
16
|
Mandailing
|
36.30
|
9.44
|
0.33
|
0.12
|
0.005
|
0.73
|
17
|
Pakpak
|
0.06
|
0.78
|
0.02
|
0.01
|
0.001
|
0.08
|
18
|
Simalungun
|
0.15
|
2.50
|
0.14
|
0.06
|
0.005
|
0.19
|
19
|
Sibolga
|
0.56
|
1.38
|
0.59
|
0.15
|
0.017
|
0.23
|
20
|
Toba
|
7.64
|
20.83
|
1.11
|
0.32
|
0.012
|
1.55
|
Batak
|
82.6
|
44.52
|
3.20
|
1.03
|
0.147
|
3.55
|
|
umber: Diolah dari Sensus Penduduk 2010
|
Yang
menjadi pertanyaan adalah mengapa persentase (sub)etnik Angkola begitu fantastik
di Jawa Timur? Ini adalah semacam anomali dan tidak normal untuk persebaran
penduduk masa kini dan juga tidak mengikuti pola persebaran subetnik Batak
secara umum. Secara statistik, komposisi etnik Batak sesungguhnya mengikuti komposisi
etnik Batak secara umum baik di Sumatera Utara maupun secara nasional.
Persentase subetnik Angkola di Sumatera Utara dan secara nasional berada pada
posis keempat setelah Toba, Mandailing dan Karo (lihat Tabel-2). Jika DKI Jakarta,
Jawa Barat dan Jawa Timur dianggap sebagai daerah tujuan migrasi etnik Batak,
maka persentasei etnik Angkola di DKI Jakarta dan Jawa Barat tampak kurang
lebih serupa, dimana etnik Angkola berada di peringkat keenam. Akan tetapi di
Jawa Timur, persentase etnik Angkola
justru berada di peringkat pertama. Ini sungguh tak terduga.
Jika
persentase etnik Angkola di Provinsi Jawa Timur sebesar 0.078 persen maka ini
setara dengan 29,194 jiwa. Jumlah ini
tidak ada artinya jika dibandingkan dengan etnik Jawa dan etnik Madura
(penduduk asli) yang jumlahnya masing-masing 29.824.950 jiwa dan 6.568.438
jiwa. Namun jika jumlah etnik Angkola di Jawa Timur dibandingkan dengan etnik
Tionghoa (236.124 jiwa) dan etnik Sunda
(45.262 jiwa) dan etnik Bali (19.316),
jumlah etnik Angkola ini menjadi begitu berarti (signifikan). Lebih berarti
lagi jika jumlah etnik Angkola di Jawa Timur dibandingkan dengan subetnik Batak
lainnya, misalnya etnik Mandailing yang hanya terdapat 1.712 jiwa dan etnik
Toba 4.636 jiwa. Ini di satu sisi jelas suatu perbedaan jumlah yang sangat besar sekali
diantara subetnik Batak di Jawa Timur. Sedangkan di sisi lain, ternyata populasi etnik Angkola di Provinsi Jawa Timur merupakan populasi etnik Angkola terbanyak di luar Provinsi Sumatra Utara.
Keberadaan
etnik Angkola ini di Jawa Timur tidak hanya terdapat di ibukota Provinsi (Kota
Surabaya) tetapi juga tersebar merata di semua kabupaten/kota di Jawa Timur.
Jumlah etnik Angkola terbanyak di Jawa Timur adalah di Kabupaten Bojonegoro
sebanyak 4.100 jiwa. Kabupaten/kota lainnya yang menjadi konsentrasi etnik
Angkola di Jawa Timur adalah Kabupaten Pasuruan (3.427 jiwa), Kota Surabaya
(3.389 jiwa), dan Kabupaten Lamongan (3.174 jiwa). Kabupaten lainnya yang
terbilang menjadi konsentrasi etnik Angkola dengan jumlah 2000 jiwa lebih adalah
Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Malang, sementara dengan jumlah 1000 jiwa
lebih di Kabupaten Jombang, Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Gresik dan Kabupaten
Nganjuk.
Etnik
Angkola di Jawa Timur sebagai etnik pendatang terasa memberi makna jika
dibandingkan dengan etnik pendatang lainnya. Mungkin aneh terdengar jika jumlah
etnik Angkola merupakan jumlah etnik terbanyak kedua setelah etnik Jawa di
Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Lamongan, Kabupaten Nganjuk dan Kabupaten
Tulungagung. Akan tetapi dalam kenyataannya memang etnik Angkola merupakan
penduduk terbanyak di kabupaten-kabupaten tersebut setelah etnik Jawa. Sementara
etnik Angkola menempati posisi yang terbanyak ketiga di Kabupaten Jombang,
Kabupaten Ngawi. Sedangkan di Kabupaten Mojokerto dan Kabupaten Pasuruan peringkat
keempat, di Kabupaten Sidoarjo peringkat kelima, di Kabupaten Gresik (peringkat
keenam) dan di Kota Surabaya berada pada peringkat kesembilan terbanyak.
***
Dengan
memperhatikan statistik penduduk Provinsi Jawa Timur, tampaknya belum ada
informasi yang menjelaskan mengapa persentase dan jumlah etnik Angkola di Jawa
Timur cukup signifikan diantara 700 lebih etnik pendatang. Bagaimana
menjelaskan keberadaan etnik Angkola di Provinsi Jawa Timur jelas tidak mudah
karena jarak antara Tapanuli Selatan, Sumatera Utara (asal etnik Angkola)
dengan Jawa Timur (tujuan migrasi etnik Angkola) sungguh sangat jauh.
Keberadaan etnik Angkola di Jawa Timur bukanlah menggambarkan pola persebaran
etnik pada masa kini tetapi diduga lebih pada pola migrasi masa lalu. Penduduk
Jawa Timur dewasa ini yang mengidentifikasikan dirinya sebagai etnik Angkola
boleh jadi merupakan generasi kesekian dari generasi pendahulunya. Oleh
karenanya penelusuran terhadap kehadiran etnik Angkola di Jawa Timur lebih
tepat dilihat dari sisi historis.
Satu
hal tentang etnik Angkola adalah bahwa mereka bukanlah tipikal ‘pelaut’ yang
memiliki daya jelajah migrasi sebagaimana diriwayatkan pada etnik Bugis,
Madura, Banjar, dan Flores. Etnik Angkola justru sebaliknya tipikal etnik ‘petani’
yang menetap dan bermukim di daerah pedalaman Tapanuli (jauh dari laut).
Lantas, bagaimana etnik Angkola ada di Jawa Timur? Apakah ada peran
pemerintahan Belanda Indonesia di masa kolonial sebagaimana adanya transmigrasi
dari Pulau Jawa ke Lampung dan timbulnya arus ‘migrasi tenaga kerja’ perkebunan
dari Pulau Jawa ke Sumatera Utara. Untuk kasus etnik Angkola, penjelasan serupa
ini kurang realistik mengingat ketersediaan tenaga kerja di Jawa Timur cukup berlimpah
dan di Tapanuli Selatan sendiri jumlah tenaga kerja relatif terbatas
dibandingkan dengan luas lahan untuk pertanian.
Apakah
keberadaan etnik Angkola di Jawa Timur terkait dengan birokrasi di era Belanda?
Dalam suatu artikel Yousri Nur Raja Agam yang berjudul ‘Radjamin Nasution: Walikota Pertama Surabaya’ mengungkapkan bahwa di era Belanda sudah ada seorang etnik
Batak yang memiliki posisi penting di Keresidenan/Kota Surabaya. Singkat cerita,
ketika terjadi kekosongan pemerintahan Belanda akibat invasi Jepang di
Nusantara, pemerintahan Kota Surabaya diambilalih oleh para pegawai di
lingkungan Pemerintah Kota Surabaya. Pada masa transisi ini berdasarkan
kesepakatan bersama ditetapkan, karyawan pribumi yang cukup berwibawa waktu itu
Radjamin Nasution, Gelar Sutan Komala Pontas diposisikan sebagai Pejabat
Walikota. Selama delapan bulan sejak Februari hingga September 1942, Radjamin
Nasution mengendalikan Pemerintahan Kota Surabaya.
Selanjutnya
setelah Jepang menduduki kota-kota besar di Indonesia dan masa pemerintahan militer
Jepang, tokoh pribumi Radjamin Nasution yang berasal dari Tapanuli Selatan
tetap dipertahankan kedudukannya oleh pemerintahan militer Jepang sebagai wakil
walikota. Kemampuan Radjamin Nasution tidak hanya diakui oleh pemerintah
kolonial Belanda namun juga pemerintahan militer Jepang. Takahashi Ichiro sebagai
Walikota ketika Jepang dikabarkan menyerah kalah dari Sekutu, menyerahkan
sepenuhnya pimpinan pemerintahan Kota Surabaya kepada wakilnya, Radjamin
Nasution. Kemudian, setelah Republik Indonesia diproklamirkan, terhitung sejak
17 Agustus 1945 Radjamin resmi diangkat menjadi Walikota Surabaya.
Kepemimpinannya dapat diterima oleh arek-arek Suroboyo.
Ketika
menjadi walikota itu, Radjamin juga sibuk menghimpun kekuatan perlawanan
terhadap gempuran sekutu dalam fase Agresi Militer Belanda (November 1945). Ia
bersama pemuda dan karyawan yang masih bertahan di Surabaya, bahu membahu
menyediakan keperluan pejuang. Karena kekuatan tidak seimbang, sebagian
penduduk meninggalkan kota untuk menyusun kekuatan. Walikota serta
pejabat-pejabat pemerintahan setempat ikut mengungsi ke Mojokerto. Perhatian
Radjamin di masa “sulit” itu kepada pegawai Pemerintah Kota Surabaya yang
mengungsi sangat besar. Dari Surabaya, Radjamin Nasution membawa sendiri uang
untuk membayar gaji para karyawan yang berada di tempat pengungsian, di
Mojokerto, Jombang dan Tulungagung. Bahkan ketika ikut mengungsi ke
Tulungagung, Radjamin sendiri berinisiatif mengumpulkan pakaian bekas dan
karung goni untuk bahan pakaian para pejuang di Surabaya. Akhirnya, pihak
Belanda kembali merebut dan mengambil alih pemerintahan di Kota Surabaya, sehingga,
berakhir pula masa pemerintahan Radjamin Nasution sebagai Walikota pertama di
Kota Surabaya.
***
Lantas
apakah ada kaitan sosok pribadi yang berwibawa Radjamin Nasution ini dengan
kehadiran para migran etnik Angkola di Surabaya atau apakah Radjamin ditempatkan
pemerintahan Belanda dan bermigrasi ke Kota Surabaya bersama yang lainnya dalam
jumlah besar untuk mengisi kebutuhan pegawai Belanda di dalam pemerintahan Kota
Surabaya? Boleh jadi penjelasan ini masuk akal karena sudah sejak lama Tapanuli
Selatan, khususnya Padang Sidempuan diakui menjadi pusat pendidikan dan budaya.
Perkembangan pendidikan sangat pesat di era Belanda sehubungan dengan adanya
Kweekschool Padang Sidempuan yang mana Charles Adriaan van Ophuysen (ahli
Bahasa Melayu dan Bahasa Angkola/Mandailing) menjadi salah satu direkturnya. Tenaga-tenaga terdidik dari Padang Sidempuan (Tapanuli Selatan) boleh jadi direkrut
pemerintahan Belanda untuk membantu mereka di pemerintahan Kota Surabaya. Kota
Padang Sidempuan di era Belanda terbilang surplus orang pribumi terdidik dan
memiliki keunggulan untuk urusan administrasi pemerintahan maupun
perusahaan-perusahaan perkebunan. Bahkan untuk mengisi kebutuhan pegawai-pegawai
di perusahaan perkebunan di Sumatera Timur dan pemerintahan Belanda di Kota
Medan umumnya berasal dari Tapanuli Selatan.
Penjelasan
tenaga pribumi terdidik di era pemerintahan Belanda diduga kuat sebagai faktor
kehadiran etnik Angkola di Kota Surabaya dan sekitarnya. Penjelasan ini
diperkuat ciri sosial budaya etnik Angkola khususnya dan etnik Batak umumnya ‘sekali
merantau tidak akan kembali’ (istilah sosiologis: ‘perantau hanyut’). Kita
teringat dengan alm Ucok Aka Harahap, seorang rocker yang menganggap dirinya sebagai
arek Suroboyo tulen dibanding anak-anak
Surabaya lainnya. Sehubungan dengan keberadaan etnik Angkola yang cukup
signifikan di Jawa Timur dewasa ini boleh jadi mereka merupakan generasi yang
kesekian setelah leluhur mereka datang pertamakali ke Kota Surabaya. Persebaran
etnik Angkola yang cukup merata di Provinsi Jawa Timur diduga mereka menyebar (migrasi
lokal) dari Kota Surabaya ke semua kabupaten/kota yang terdapat di Jawa Timur (Akhir Matua Harahap).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar