Bismar Siregar |
Bismar
Siregar memang telah lama meninggalkan kursi pengadil, namun namanya masih
terus akrab di telinga sebagian masyarakat Indonesia. Bagaimana tidak, sejumlah
keputusan keras lahir dari balik pribadi yang lembut. Bagi beberapa orang,
keputusan hukum yang dibuat Bismar terlihat kontroversial. Kini sang pendekar
hukum yang idealis itu telah pergi untuk selamanya. Bismar meninggal pada hari ini (Kamis, 19 April 2012) setelah mendadak pingsan di rumahnya saat melukis pada
Senin (16/4) lalu.
Yang
paling dikenal dari sosok kelahiran Sipirok, Sumatera Utara, 15 September 1928,
ini adalah ketegasannya bahwa dia tidak mau disuap dan tidak bisa dibeli. Prof
Satjipto Rahardjo, Guru Besar Fakultas Hukum Undip, menilai Bismar sebagai
orang yang lurus. Setiap memutus perkara Bismar selalu bertanya kepada hati
nuraninya untuk tahu apakah orang yang akan divonisnya jahat atau tidak.
Setelah itu, dia baru mencari pasal hukum untuk mendasari keputusannya. Tak
hanya nurani dan UU, putusan yang dikeluarkan Bismar juga berpatok pada ajaran
dan kitab suci agama terdakwa.
Bismar adalah sosok bersahaja. Tutur bicaranya lembut dan menyejukkan. Dia dikenal sebagai orang yang kerap memberikan petuah-petuah bijak. Mungkin perjalanan hidup yang tidak selalu lurus dan mulus membentuk Bismar menjadi orang yang berkarakter.
Bismar
adalah putra seorang guru SD yang juga petani. Kahidupan masa kecilnya berat.
Makan adalah kegiatan mewah bagi keluarga Bismar kecil. Bagaimana tidak, nasi
hanya bisa dimakan sekali dalam sehari. Karena hidup yang serba susah, orang
tua Bismar ingin anak-anaknya mendapat penghidupan yang lebih baik saat dewasa.
Sang ayah ingin Bismar kecil yang rajin belajar dan menonjol di sekolah menjadi
hakim. Dengan tertatih-tatih, Bismar berusaha mewujudkan keinginan ayahandanya.
Saat bersekolah di bangku Sekolah Dasar, Bismar Tidak lulus. Namun kegigihan
luar biasanya berbuah hasil saat dia akhirnya diterima saat mendaftar ke SMP di
Sipirok. Karena kondisi keuangan yang tidak baik, bangku SMA lantas
dilanjutkannya di tanah perantauan Bandung. Seragam putih abu-abu baru
ditanggalkannya 10 tahun kemudian. Nasib baik berpihak pada Bismar. Dengan
kemampuan yang dimiliki, dia berhasil memanfaatkan peluang saat mengikuti ujian
penerimaan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Pintu menjadi hakim
pun terbuka.
Kariernya
di meja hijau dimulai saat dirinya menjadi jaksa di Kejari Palembang pada
1957-1959, dan berlanjut di Kejari Makassar/Ambon pada 1959-1961. Lantas pada
1961, impiannya menjadi hakim terwujud di Pengadilan Negeri Pangkalpinang. Namanya
juga pernah tercantum sebagai hakim di PN Pontianak selama 6 tahun hingga 1968.
Kemudian Bismar menjadi panitera di Mahkamah Agung pada 1969-1971. Kariernya
menanjak saat menjadi Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara/Timur pada 1971-1980.
Bismar
juga sempat mengenyam pendidikan di
National College of The State Judiciary, Reno, AS pada 1973, America Academy of
Judicial Education, Tescaloosa, AS di tahun yang sama, dan Academy of American
and International Law, Dallas, AS, pada 1980. Sebelum akhirnya menjadi hakim
agung pada 1984, Bismar sempat menduduki Ketua Pengadilan Tinggi Jawa Barat dan
Ketua Pengadilan Tinggi Sumatra Utara. Selama menjadi hakim ada beberapa
keputusan Bismar yang menggemparkan. Misalnya pada 1976 saat dia menjatuhkan
hukuman mati kepada terdakwa Albert Togas. Albert Togas merupakan karyawan PT
Bogasari yang di-PHK. Alber lantas membunuh Nurdin Kotto yang merupakan staf
ahli perusahaan itu dengan keji. Mayat Nurdin dipotong-potong padahal Nurdin
banyak memberi pertolongan saat Albert masih pengangguran.
Ketika
menjadi Ketua Pengadilan Tinggi di Medan, Bismar melipatgandakan hukuman
pengedar ganja. Seorang terdakwa yang dituntut jaksa 10 bulan penjara, oleh
Bismar dilipatgandakan menjadi 10 tahun. Sedangkan yang 15 bulan dihukum 15
tahun. Bismar juga pernah menjadi sorotan ketika mengomentari kasus mantan
Presiden Soeharto yang bergulir ke meja hijau. Menurut dia, mengadili Soeharto
yang sedang sakit sama halnya melakukan penganiayaan sehingga haram hukumnya. Bismar
berpendapat Soeharto yang sudah senja, memasuki usia 80 tahun, telah berada di
masa kembali seperti anak-anak yang tanpa dosa. Karena pendapatnya itulah dia
dicap sebagai antek-antek Soeharto. Soal ini dia membantahnya, namun hanya
segelintir yang percaya. Akhirnya Bismar pun memilih diam. Diam bukan karena
membenarkan, tapi karena Bismar tahu kebenaran yang diyakininya hanya dia yang
tahu, dengan berkesaksian Tuhan tentu saja.
Selamat
jalan, Pak Bismar!
Sumber: Detik News
Tidak ada komentar:
Posting Komentar