Tugu Siborang, Padang Sidempuan |
Seorang
Tionghoa di Indonesia memang jarang terdengar ikut berjuang, apalagi ikut mengangkat
senjata, tapi itulah Padang Sidempuan. Keberanian dan patriotisme Lian Kosong,
anak Padang Sidempoean adalah hati nuraninya untuk berpartisipasi dalam mempertahankan
kemerdekaan Republik Indonesia. Namanya patut dicatat dan diabadikan. Lian
Kosong adalah bagian dari sisa Republik Indonesia kala itu.
Lian
Kosong kelahiran Padang Sidempuan berjuang di tengah Kota Padang Sidempuan dan bergerilya
hingga di Benteng Huraba, Pintu Padang di selatan, Aek Kambiri, Sipirok di
utara dan jembatan Batangtoru di barat.
Orang-orang
Tionghoa di Padang Sidempuan sejak doeloe
Tidak
ada orang Tionghoa sefanatis di Padang Sidempuan. Usut-punya usut orang-orang
Tionghoa sudah ada sejak lama di Padang Sidempuan. Bahkan orang Tionghoa besar
kemungkinan sudah ada sejak akhir abad ketujuh belas. Mereka adalah
pedagang-pedagang yang berkeliling di Angkola (sekitar antara Pijorkoling,
Batunadua, Hutarimbaru dan Sidangkal. Pedagang-pedagang Tionghoa ini datang dari
rute Malaka via sungai Baroemoen di pantai timur Sumatra.
Berita pertama
tentang Angkola diperoleh dari ‘Daghregisters van Batavia, 1 MAART 1701’ (Catatan
Harian Kastil. Batavia, 1 Maret 1701). Di dalam catatan ini dijelaskan bahwa
seorang Tionghoa pada tahun 1691 berangkat dari Batavia ke Malaka dan dari
Malaka ke Panai (di muara sungai Baroemoen). Setelah membeli garam untuk
menambah dagangannya (mangkuk tembaga dan kain biru) pedagang tersebut
berangkat ke Angkola yang dibantu oleh beberapa kuli angkut dengan jalan darat
(melalui Kota Pinang, Goenoengtoea, Batangonang hingga Pijorkoling di Angkola).
Selama di dalam perjalanan dan di Angkola pedagang ini menukarkan barang
dagangannya dengan kemenyan (benzoin) dan bahan lilin. Setelah barang dagangan
yang dibawanya habis, pedagang ini kembali ke Panai untuk mendapatkan garam.
Perdagangan ulang-alik antara Panai dengan Angkola oleh pedagang Tionghoa itu
berlangsung selama 10 tahun.
Pasar Padang Sidempoean, 1890 |
Di
Angkola inilah pedagang Tionghoa yang disebut di dalam Catatan Harian Kastil
Batavia melakukan aktivitas perdagangan (keliling) selama kurun lebih 10 tahun
sebelum pedagang ini kembali ke Batavia pada tahun 1701 (melalui Barus).
Pedagang Tionghoa ini menyebut di dalam laporan tersebut, jarak antara Angkola
dengan Barus sekitar 10 hingga 11 kali hari perjalanan.
Pedagang di pasar Siboehoen doeloe (barang utama: garam) |
Ketika
pedagang Tionghoa ini ingin kembali (ke Batavia) memberitahukan kepada para Radja. Semua para raja merestui dan para raja memberinya
banyak beras dan sejumlah buah-buahan dan sayur mayur sebagai bekal dalam
perjalanan ke Baros yang ditempuhnya bersama istri dan anaknya dalam sepuluh
hari. Keluarga kecil ini dari Baros menumpang kapal milik orang Tionghoa lalu
tiba di Batavia tanggal 27 Februari 1701 (setelah melewati Padang). Pedagang
Tionghoa ini bersama anak dan istrinya mulai bercocok tanam di Batavia.
‘Daghregisters
van Batavia, 1 MAART 1701’ (Catatan Harian Kastil. Batavia, 1 Maret 1701)
dipublikasikan oleh Daniel Perret dengan judul ‘Pemeriksaan atas Seorang
Pedagang Cina mengenai Orang Batak yang berada di Sumatera Utara, 1 Maret 1701’
di dalam Harta Karun. Khazanah
Sejarah Indonesia dan Asia-Eropa dari Arsip VOC di Jakarta, dokumen 9. Jakarta:
Arsip Nasional Republik Indonesia, 2013.
Sejak
pemuda pedagang Tionghoa yang mempersunting gadis Angkola dan memiliki anak
satu ini, tidak ada kabar berita tentang Angkola hingga seorang Inggris datang
pada tahun 1772. Seperti dikatakan pedagang Tionghoa ini bahwa penduduk Angkola
sangat ramah terhadap orang Eropa yang pernah datang ke Angkola. Ini
mengindikasikan bahwa orang-orang Eropa sudah sejak lama memasuki Tanah Batak
di Angkola, paling tidak antara 1691-1701 (selama pedagang Tionghoa itu berada
di Angkola) atau mungkin jauh sebelum tahun 1691. Kehadiran orang-orang Eropa
tersebut tentu dalam kaitan perdagangan komoditi alami khas Tanah Batak:
kemenyan, kamper dan benzoin. Orang Inggris yang datang pada tahun 1772 itu
adalah seorang botanis Skotlandia, Charles Miller yang diutus oleh Gubernur
Jenderal Inggris di India untuk melakukan ekspedisi cassia (kulit manis) di
Angkola.
Charles Miller
berangkat dari teluk Tapanoeli (Pulau Pontjang, tempat pos perdagangan Inggris)
pada tanggal 21 Juni 1772 menuju Angkola. Di Loemoet, Miller (dan para pemandu
dan kuli angkutnya) diterima raja Batak dan disambut dengan hormat dengan tiga
puluh tembakan ke udara. Kampung Loemoet (loeat marga Siregar?) banyak padi dan
kerbau. Pada tanggal 5 Juli 1772, Miller tiba di wilayah yang lebih terbuka dan
menyenangkan di Terimbaru (Hutaimbaru), sebuah kampong besar di tepi selatan
dataran Ankola. Antara Loemoet dan Terimbaroe, Miller berdiam beberapa lama
menunggu surut sungai Batang Tara (Batangtoru) yang tengah meluap. Tanah di
sekitar Angkola sepenuhnya dibajak dengan kayu secara baik dan ditaburi dengan
padi atau jagong, di padang rumput mereka terlihat banyak ternak kerbau,
kambing dan kuda. Setelah diinformasikan kepada Radja, lalu menyuruh anaknya
datang menemui Miller dengan 30-40 orang bersenjata tombak dan senapan locok
(matchlock), lalu membawa Miller, yang sepanjang jalan dilakukan pemukulan gong
dan tembakan ke udara. Radja yang menerima Miller bertubuh besar, dan dengan
hormat memerintahkan untuk menyembelih kerbau. Miller diminta menginap semalam.
Miller mengamati semua perempuan yang belum kawin mengenakan sejumlah cincin
timah besar di telinga mereka yang menurut penyelidikan saya lebih lanjut bahwa
timah itu datang dari Selat Malaka (tampaknya sesuai dengan laporan pedagang
Tionghoa). Pada tanggal 7 Juli 1772 Miller tiba di Sa-masam (Simasom). Miller bertemu
radja yang mana dihadiri 60-70 orang dengan bersenjata lalu menyiapkan sebuah
rumah untuk Miller dan memperlakukan Miller dengan keramahan dan hormat.
Wilayah ini menurut Miller dikelilingi bukit yang dipenuhi kayu dan sebagian
besar tanah padang rumput untuk ternak mereka yang tampaknya memiliki
kelimpahan yang besar. Di sini Miller bertemu dengan hal yang luar biasa
semacam semak berduri yang disebut penduduk sebagai Andalimon, yang berbentuk
bulat yang memiliki rasa pedas yang sangat menyenangkan di lidah dan mereka
menggunakan dalam gulai (kari) mereka (andaliman dala bahasa Angkola adalah ‘sinyarnyar’).
Kemudian Miller tiba di Batang Onang untuk yang selama perjalanan Miller begitu
banyak tumbuh pohon kulit manis di hutan-hutan yang mereka lalui bahkan banyak
diantaranya batangnya berdiameter satu meter atau lebih. Setelah bertemu Radja
dan diantar ke Pangka Doeloek ( Pangkal Dolok, pusat perdagangan cassia) dan
melakukan kesepakatan dengan radja, maka pada tanggal 14 Juli 1772 Miller meninggalkan
Batang Onang untuk pulang dan berhenti untuk bermalam di Koto Moran (Huta
Morang) dan malam berikutnya tiba kembali di Sa-masam. Namun setelah itu Miller
mengambil jalan yang berbeda sebelum Sa-pisang (Sipisang). Dengan mengambil
sampan Miller menyusuri sungai Batang Tara ke laut [Laporan Miller ini menjadi
bagian dari buku William Marsden (1811) berjudul ‘The History of Sumatra].
Catatan
ekspedisi Charles Miller ini menceritakan banyak hal tentang Angkola, seperti
adanya radja-radja, daerah yang makmur baik bahan pangan maupun komoditi ekspor,
memiliki angkatan bersenjata, sosial budaya dan produk luar yang berasal dari
Malaka. Catatan Miller ini juga menjadi satu titik waktu tentang data dan
informasi Angkola sejak 70 tahun sebelumnya. Jika data dan Informasi Miller digabung
dengan data dan informasi Tionghoa akan mendeskripsikan suatu situasi dimana:
Angkola sudah sejak lama terbuka dengan dunia luar (khususnya dalam
perdagangan) paling tidak dengan kehadiran pedagang Tionghoa dan Miller.
Produk-produk
dari dan ke Angkola terus mengalir apakah dari pantai timur atau pantai barat Sumatra.
Tentang keberadaan orang-orang Tionghoa di Angkola selanjutnya besar
kemungkinan factor pedagang Tionghoa tersebut banyak berperan. Jelas bahwa
pedagang Tionghoa itu sudah tiada ketika Miller datang. Tapi koneksi pedagang
Tionghoa itu dengan kampong halaman istrinya, peran pedagang Tionghoa ini
menjadi jaminan bagi pedagang-pedagang Tionghoa lainnya untuk menggantikan
peran sang pionir pedagang Tionghoa untuk dteruskan generasi selanjutnya.
Pada saat suasana tenang di pedalaman
(Angkola dan Mandailing) kehidupan ekonomi di pantai barat Sumatra kembali
bergeliat. Para pedagang Tionghoa mulai kembali mengambil bagian dalam
perdagangan di Angkola khususnya di Padang Sidempuan. Ada dugaan selama fase
kaum Padri di Mandailing dan Angkola, para pedagang Tionghoa menyingkir ke pantai,
utamanya ke Natal (via Loemoet) dan Padang. Komunitas Tionghoa di Padang
kemungkinan besar para pedagang-pedagang Tionghoa di pedalaman Minangkabau
(melalui jalur sungai Siak dan Kampar) sedangkan yang di pedalaman Angkola dan
Mandailing (melalui jalur tradisional via sungai Baroemoen). Pusat komunitas
Tionghoa sendiri berada di Malaka dan Singapoera (lihat penjelasan rinci dalam buku
karya Wallace, The Malay Archipelago, 1869).
Sebagaimana diketahui Padang Lawas baru benar-benar
dinyatakan sebagai daerah aman ketika tahun 1879 mulai dibentuk pemerintahan
sipil di Padang Lawas (di Silindoeng sedikit lebih aman, namun di Toba masih
status DOM antara militer Belanda dengan Sisingamangaradja). Pada tahun 1879
ini juga sekolah guru (kweekschool) dibuka di Padang Sidempuan (menggantikan
sekolah guru di Tanobato yang ditutup tahun 1875 dan telah beroperasi sejak
1862 di bawah pengasuhan Willem Iskander). Kelak menyusul orang penting
lainnya pada tahun 1879 seorang pemuda yang lulus sebagai dokter dan ditugaskan
di Mandheling en Ankola tiba-tiba jatuh cinta terhadap bahasa dan sastra
Mandailing dan Ankola dan kemudian menjadi guru di sekolah guru (kweekschool)
Padang Sidempuan tahun 1882. Pemuda yang dimaksud tersebut adalah Charles Adrian
van Ophuijsen. Kweekschool Padang Sidempuan dibuka tahun 1879 yang menggantikan
Kweekschool Tanobato asuhan Willem Iskander (1862-1875).
Ini menunjukkan bahwa warga kota Padang Sidempuan antara
1870-1890 secara sosial lebih terpelajar dibandingkan warga kota Medan. Dengan
kata lain, orang-orang Tionghoa di Padang Sidempuan lebih terpelajar jika
dibandingkan orang-orang Tionghoa di Medan. Tokoh penting Tionghoa di Medan,
yakni Tjong Yong Hian dan Tjong A Fie tentu saja belum ada apa-apanya jika
dibandingkan tokoh-tokoh Tionghoa yang sudah sejak lama ada di Padang
Sidempuan.
Kota Padang Sidempuan pada tahun1887 secara definitif sudah
dapat dianggap sebagai ‘kota besar’. Akses dari tiga arah (Panyabungan/Fort de
Kock, Sipirok/Padang Lawas) dan Batangtoru/Sibolga), memiliki ‘sekolah tinggi’
Kweekschool Padang Sidempuan (yang keempat di Nederlandsch Indie), memiliki
pasar permanen, kantor post dan telegraf sudah tersedia, siswa-siswa dari luar
daerah semakin banyak (dari Sibolga, Silindung, Singkel dan Nias), pesanggrahan
yang memadai (letaknya kantor walikota yang sekarang), orang-orang
Eropa/Belanda yang semakin banyak (pada tahun 1882 didirikan sekolah dasar
Eropa/ELS). Yang membuat kota ini cepat berkembang juga karena ekonomi kopi
(produksi dan harga kopi dalam top performance) yang menyebabkan derasnya migran
lokal (urbanisasi) dan menjadi pusat perdagangan utama di pedalaman Tanah
Batak. Lalulintas antara Padang Sidempuan dan Sibolga semakin kencang (jembatan
Batangtoru dibangun 1879-1882). Kehadiran dan tingkat ekonomi pedagang-pedagang
Tionghoa baik yang lama maupun pendatang baru sangat-sangat kondusif.
Perkembangan kota sangat cepat melejit. Hanya dalam tempo 40 tahun (1842-1882)
Kota Padang Sidempuan menjadi kota besar yang awalnya mulai dibangun tahun 1842
di dekat kampong yang bernama Sidimpoean [kampong kecil Sidimpoean itu adalah
di sekitar jalan Sutomo yang sekarang, suatu tempat yang terdiri dari beberapa
rumah yang menjadi batas ladang penduduk ke arah selatan (kota) dan batas sawah
penduduk ke arah utara (loeat/koeria Kampung Baroe)].
Komunitas Tionghoa di Angkola dan Mandheling menyingkir
ke Natal selama aneksasi kaum Padri
Belanda memasuki Tanah Batak tahun 1833 di
Mandheling en Ankola melalui Natal dalam rangka memenuhi permintaan radja-radja
Batak untuk mengamankan Tanah Batak yang secara ekonomi terus dieksploitasi
kaum padri. Permintaan ini segera dipenuhi karena pada saat yang bersamaan
Belanda tengah berperang untuk melumpuhkan kaum padri di Minangkabau yang
berpusat di Bonjol (juga permintaan dari radja-radja Minangkabau). Saat situasi
berperang, perlu penanganan khusus terhadap produk surplus beras di Rao,
Mandailing dan Angkola. Pemerintah kolonial Belanda di Padang membuka tender
pengangkutan surplus beras tersebut untuk didistribusikan ke tempat-tempat lain
hingga sampai ke Jawa.
Javasche courant, 04-11-1835 (iklan tender): ‘sesuai
peraturan tentang outsourcing (Java…No 88 dan Stataatsbald No. 67), Kantor
Direktur Produk dan gudang sipil negara, memerlukan satu outsourcing untuk
pengangkuatan beras yang telah disimpan (antara lain): di Nattal stok sebanyak
70.000 pon, Tappanolie 15.000 pon dan Kotta Nopan di Manda Healing stok
sebanyak 97,200 ponden (pon). Operasi
pengangkutan beras di Mandailing dan Rao dajadikan satu plot (dibedakan dengan
tiga plot atau paket lain di Sumatra)’
Ini suatu bukti lagi bahwa sejak pedagang
Tionghoa, Miller dan saat masuknya Belanda, Angkola adalah daerah makmur dalam
arti yang sebenarnya: surplus beras (kebutuhan pokok). Sebagaimana diketahui
pada saat perang padri ini tiga lumbung beras ada di Rao, Mandailing dan
Angkola. Surplus beras di Rao diteruskan ke pelabuhan Air Bangis, surplus beras
di Mandailing diteruskan ke pelabuhan Natal, dan surplus beras di Angkola
diteruskan ke pelabuhan Loemoet (Tapanoeli). Dari tiga pelabuhan yang masuk
Residentie Air Bangis (residentie Tapanoeli belum ada) menjadi pelabuhan ekspor
ke berbagai daerah terutama ke Padang dan Bengkulu dan Jawa serta ke Singkel
dan Atjeh.
Pada tahun 1837, Mandheling en Ankola telah
dianggap aman, seiring dengan jatuhnya Bonjol ke tangan Belanda. Namun Padang
Lawas belum sepenuhnya aman karena masih ada perlawanan Tuanku Tambusai (pasca
Bonjol jatuh). Militer Belanda dikerahkan ke Padang Lawas dan tahun 1838 Padang
Lawas dapat dibebaskan setelah Tuanku
Tambusai dilumpuhkan di Dalu-Dalu.
Algemeen Handelsblad, 07-09-1838: oleh suku-suku yang
berbeda di selatan dan tenggara Bataklanden dilaporkan pemerintah telah memulai
negosiasi untuk penyerahan yang akan datang. Setelah mengambil alih Fort
Pertibie telah benar-benar Padang Lawas dan Kotta Pinang dikuasai. Setelah dari
Ankola dan Kotta Nopan di Mandheling untuk Pertibie tentara kami melakukan
pengepungan setengah lingkaran terhadap kafir, tanah dan kepala asli Tamboesy
menjadi terkepung, dengan demikian tujuan menjadi mencapai untuk membebaskan
Ankola dan Sipirok di utara Negara Batta. Setelah itu, baru mereka harus
menghela napas setelah begitu lama direcokin oleh Tamboesy. Kampong Daloedaloe
terletak liama hari di tenggara dari Pertibie masih kuat dikelilingi oleh
pengikut yang bersenjata. Namun Tamboesy sendiri harus telah keluar dari Padang
Lawas dan kini di lanskap lain, seperti ia sudah akan memiliki isyarat
penampungan dan kesiapan disana’.
Ini dengan sendirinya, pada tahun 1838 daerah
Angkola kembali aman seperti sediakala seperti sebelum tahun 1819 (sebelumnya
masuknya Padri). Akan tetapi, jalur perdagangan Angkola mati suri ke arah timur
(via Baroemoen) sementara ke pantai barat Sumatra semakin berkembang.
Pada awalnya, lanskap Tapanuli dikendalikan dari
administrasi Keresidenan Air Bangis yang mana di lanskap Tapanuli diangkat
seorang Asisten Residen yang berkedudukan di Sibolga. Di lanskap ini juga
ditempatkan tiga controleur, yakni: Controleur Mandheling en Ankola di
Kotanopan, Controleur Battakslanden di Sibolga dan Controleur Barus di Barus.
Selanjutnya pada tahun 1842, Keresidenan Tapanuli dibentuk, namun tetap bagian
dari Sumatra’s Westkust dengan dua asisten Residen yakni: Asisten Residen
Tapanoeli (Sibolga) dan Asisten Residen Mandheling en Ankola (Kotanopan). Pada
masa transisi ini Residen adalah M. J. H. van Oppen, seorang pejabat di
Gouvernour Sumatra;s Westkust dan
sekretaris dilaksanakan oleh L.A. Galle. Pada tahun 1843, secara
definitif Residen Tapanuli diangkat dan L.A, Galle dipromosikan. Untuk Asisten Residen
Tapanuli diangkat A. van der Hart dan asisten Residen Mandheling en Ankola
adalah T.J. Willer. Selanjutnya pada tahun 1844 Mayor (Luit.Kol.) A. van der
Hart menggantikan L.A. Galle sebagai Residen Tapanoeli. Sementara T.J. Willer
tetap sebagai Asisten Residen Mandheling en Ankola’.
Perkampungan Tionghoa sejak doeloe di Natal (foto. 1910) |
Kota Padang Sidempuan terbentuk
Pada saat pembentukan pemerintahan di
Afdeeling Mandheling en Ankola tahun 1841 (bersamaan dengan koffiecultuur), di
Angkola ditempatkan seorang Controleur. Menurut berita yang beradar di surat
kabar di Batavia 1839 controleur Angkola akan ditempatkan di Pijorkoling. Pada
tahun 1840 juga di surat kabar di Batavia dikabarkan bahwa onderafdeeling
Angkola disebut onderafdeeling Angkola en Pitjerkelling (Pijorkoling) namun
kenyataannya pada tahun 1842 secara defacto controleur yang ditempatkan
bertempat tinggal di Padang Sidempeoan. Inilah awal adanya Kota Padang
Sidempan.
Setelah Angkola dan Mandheling aman tahun 1838, para
pasukan/militer di benteng Pijorkoling dipindahkan ke suatu lokasi yang
strategis (yang tidak berpenghuni di antara sungai Batang Ayumi dan sungai Aek
Sibontar/Rungkare dan ditengahnya mengalir sungai kecil bernama Aek Sangkoempal
Bonang). Dilokasi ini telah dibangun garnisun (markas) militer ditempat dimana
kini terdapat Markas Kodim (mungkin sudah menjadi mal?)…..
Ini mengindikasikan bahwa Kota Padang
Sidempuan menjadi suatu tempat (kota) terjauh ke pedalaman di Tanah Batak yang
dapat diakses oleh orang luar (dari teluk Tapanoeli dan kota Padang).
Sebagaimana diketahui pedagang Tionghoa (1691-1701) dan Charles Miller (1772) orang-orang
luar yang tercatat sejak awal memasuki Angkola, tetapi kala itu (kota) Padang
Sidempuan belum terbentuk. Kota Padang Sidempuan sendiri baru dibangun pada
tahun 1842 oleh controleur Angkola bernama FW Godin.
Kantor Controleur Padang Sidempuan (foto 1890) |
FW Godin memulai membangun kota dari areal yang tidak
berpenghuni dengan menarik garis lurus (suatu koridor) untuk menetapkan tempat
tinggal dan kantornya dari garnisun militer Belanda yang telah didirikan pada
tahun 1840. Kantor Controleur ini berada persis di pasar Sangkumpal Bonang yang
sekarang dengan menghadap ke utara. Koridor (jalan) yang berada di depan
garnisun dan kantor Controleur ini dikemudian hari (pada masa kini) menjadi
jalan utama Kota Padang Sidempuan. Antara garnisun dan kantor Controelur
kemudian dibangun apotik (dokter sendiri berada di dalam garnisun sebagai
dokter militer). Sedangkan perumahan staf pemerintahan dibangun di seberang Aek
Sangkumpal Bonang (tempat dimana kini gedung nasional dan lapangan garuda).
Disebelah utara kantor Controleur dibuat taman (yang kini menjadi halaman bolak).
Sedangkan di sebelah selatan garnisun adalah pos check point dan di belakang
garnisun (yang kini menjadi lokasi masjid raya) adalah padang rumput dan
rawa-rawa yang menjadi pusat pemeliharaan kuda.
Pada tahun 1846 datang tamu istimewa ke kota
Padang Sidempuan. Tamu tersebut adalah Jenderal van Gagern, utusan raja Belanda
yang didampingi oleh Jenderal Michiel (Gubernur Sumatra’s Westkust di Padang).
Dipilihnya kota Padang Sidempuan karena kota ini merupakan titik terjauh
pemerintahan sipil yang dibentuk. Uniknya, dua jenderal ini sangat betah di
kota kecil (town) ini, dari dua hari yang direncanakan untuk menginap ternyata
mulur menjadi empat hari.
Sebelum kedatangan dua jenderal ini, beberapa kali geolog
Jung Huhn dan rekannya Rosenberg singgah di kota ini dalam melaksanakan tugas
yang diminta Gubernur Jenderal di Batavia untuk menyelidiki potensi geologi dan
botani di Tanah Batak. Selama bertugas di
Padang Lawas, Jung Huhn diangkat sebagai wakil pemeritah. Jung Huhn menulis
buku fenomenal tentang Tanah Batak. Lukisan disamping ini adalah sebuah rambin
(jembatan gantung terbuat dari rotan) di atas sungai Batangtoru.
FW Godin memperkenalkan koffiecultuur di
Angkola (setelah sukses di Pakantan). Tugas Godin dilanjutkan oleh Controleur Stijman
dengan memperluas koffiecultuur ke Sipirok. KF. Stijman lalu digantikan
controleur AF Hammers. Pada saat Hammers menjadi controleur di Angkola, Padang
Sidempuan kedatangan tamu yang aneh. Dia adalah seorang gadis pelancong asal
Austria bernama Ida Pfeiffer.
Ketika Ida tiba di Saroematinggi (pos militer), tiba-tiba
berubah rencananya yang awalnya menempuh rute dari Padang Sidempuan ke Sibolga
dan langsung pulang ke Batavia, malah tertarik untuk melanjutkan perjalanan ke
danau Toba. Sebagaimana diketahui, hingga saat itu belum satupun orang luar
yang pernah ke danau Toba. Setelah mendapat pemandu di Saroematinggi
(kebentulan salah satu eks pemandu terbaik Jung Huhn) lalu datang ke Padang
Sidempuan (5 Agustus 1852) untuk meminta nasihat kepada Hammers (yang kebetulan
Hammers sudah pernah ke Silindoeng). Hammers memberi petunjuk dan membekalinya
dengan beberapa kosa kata Batak yang penting yang akan digunakan di Silindoeng
dan Toba (Ida juga
sesungguhnya hanya memiliki beberapa kosa kata bahasa Melayu). Ida Pheiffer akhirnya berhasil melongok dari sisi gunung ke arah
danau Toba (meski tidak sampai ke bibir danau Toba, tetapi Ida Pheiffer adalah
yang tercatat orang pertama dari luar yang pernah melihat danau Toba). Ida
Pheiffer kembali ke Padang Sidempuan tanggal 25 Agustus 1852 sebelum
melanjutkan perjalanan pulang ke Padang lalu berlayar ke Batavia.
Setelah itu beberapa orang penting telah datang
ke Padang Sidempuan, satu diantaranya yang penting adalah van der Tuuk (ahli
lingustik) untuk mempelajari bahasa Batak (menyusun tatabahasa Batak). Namun
demikian, semua orang-orang luar yang pernah datang ke Angkola dan Padang
Sidempuan, sejauh ini yang tercatat, yang pertama adalah pedagang Tionghoa
(yang menjadi tokoh penting dalam artikel ini). Pedagang-pedagang Tionghoa generasi berikutnya
semakin banyak yang berkeliling tidak hanya di Angkola (termasuk Padang Lawas,
Sipirok dan Batangtoru) juga di daerah Mandailing.
Ketika terjadi aneksasi padri ke Mandailing,
Angkola dan Padang Lawas, pedagang-pedagang Tionghoa yang telah sejak lama
berdagang keliling di daerah Angkola dan sekitarnya menyingkir ke Natal (suatu
kamp yang lebih dekat dengan komunitas Tionghoa lainnya di Padang). Selama
perang, keberadaan pedagang-pedagang Tionghoa ini sudah diketahui Belanda (dan
menjadi partner dalam urusan perdagangan domestic, baik di Padangsche maupun di
Tapanoeli). Setelah situasi mereda (Residentie Tapanoeli dibentuk tahun 1845)
komunitas Tionghoa di Natal sebagian besar migrasi (menetap) ke Sibolga (suatu
kota baru yang perkembangannya sangat pesat, sebagai ibukota Residentie
Tapanoeli).
Sementara itu, pedagang-pedagang keliling
yang beroperasi di Angkola dan Mandailing (dari dua basis komunitas: Natal dan
Sibolga) mungkin merasa efektif menjadi menetap di Padang Sidempoean. Hal itu
dikarenakan ibukota Asisten Residen telah dipindahkan dari Panyabungan ke
Padang Sidempuan tahun 1870. Kota Padang Sidempuan pada tahun 1870 sudah sangat
jauh berkembang jika dibandingkan pada tahun 1842 ketika kota itu mulai
dibangun. Juga moda transportasi darat Natal, Panyabungan, Padang Sidempuan dan
Sibolga sudah cukup baik dengan adanya pembangunan jalan dan jembatan. Demikian
juga jalur Padang, Fort de Kock, Rao dan Kotanopan dan Laru (simpang pertemuan
dari Kotanopan dan Panyabungan ke Natal) sudah sangat memadai. Praktis moda
transportasi darat dan laut sudah teratasi.
Dalam fase ini pemerintah colonial Belanda menerapkan
monopoli peredaran opium dengan membuat perjanjian kontrak dengan orang-orang
tertentu dengan kewajiban menyetor sejumlah uang tertentu ke kas pemerintah
setiap tahunnya. Pemenang ‘tender’ ini untuk daerah Tapanoeli (Angkola,
Mandailing, Natal, Padang Lawas, Silindoeng, Barus, Singkel dan Nias) adalah Lie
Thong (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 04-01-1871). Nilai kontrak Lie Thong ini
hanya f12 per tahun, suatu angka yang kecilyang mengindikasikan omzetnya juga
sedikit. Bandingkan dengan pemenang tender di Padang (ke arah selatan dan
Pariaman) sebesar f48.120; Padangsch Bovenlanden (Tanah Datar, Padang Panjang, Agam,
Paijakoemboe dan Pasaman) sebesar f60.120. Bandingkan juga hak monopoli yang
diperoleh Tjong bersaudara di Deli (Tjong Yong Hian dan Tjong A Fie) sebesar f
150.000 pada tahun 1881 [catatan: pelarangan bisnis opium baru dilarang (ilegal)
pada tahun 1911].
Sementara itu, minat orang-orang Tionghoa
maupun orang-orang Melayu (Padangsch) yang merupakan migrant baru yang baru datang
dan ingin menetap di Padang Sidempuan hingga tahun 1872 masih dibatasi dan
hanya membolehkan para migrant yang sudah lama. Hal ini karena hal keamanan
yang belum sepenuhnya kondusif terutama militer masih bekerja di Padang Lawas.
De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad,
16-02-1872: Penyewaan (tanah dan bangunan) dilarang (dibatasi)
oleh pemerintahan sipil dan militer di Padang Sidempuan. Penyewa penduduk asli (Melayu
Padangsch) dan orang-orang Tionghoa merasa keberatan dan menunjukkan
ketidakpuasan.
Anak seorang mantan controleur di Natal ini menjadi guru
di Padang Sidempuan selama delapan tahun dimana lima tahun terakhir menjadi
direktur Kweekschool Padang Sidempuan (setelah diangkat menjadi Direktur
Pendidikan Sumatra’s Westkust Ophuijsen menyusun tatabahasa Melayu dan kelak
menjadi guru besar sastra dan tatabahasa Melayu di Universiteit Leiden (asistennya
adalah Soetan Casajangan, anak Padang Sidempuan, alumni Kweekschool Padang
Sidempuan yang tahun 1905 menempuh pendidikan tinggi di Negeri Belanda).
Sekadar diketahui, Soetan Casajangan adalah pendiri Indisch Vereeniging
(perhimpunan ‘Indonesia’).
Surat pembaca Sumatra Courant dari seorang Tionghoa di Padang
Sidempuan
Pada tanggal 19 Maret seorang pembaca
(mungkin seorang Tionghoa) menulis di Sumatra-courant: nieuws- en
advertentieblad, 08-04-1884 bahwa telah terjadi perselisihan antara sesama orang Tionghoa.
Surat ini pada intinya mengungkapkan suatu keluhan terhadap putusan yang dibuat pengadilan yang memberatkan
salah satu pihak dan dianggap tidak adil. Atas hukuman yang dijatuhkan agar
perlu ditinjau kembali demi keadilan.
Sumatra-courant: 08-04-1884
|
Surat pembaca ini mengindikasikan banyak hal. Pertama
populasi orang-orang Tionghoa di Padang Sidempuan bukanlah sedikit sehingga
diantara mereka telah terjadi persaingan yang ketat dalam bidang perdagangan
dan bisnis. Kedua, orang-orang Tionghoa tampaknya sudah cukup terpelajar dan
memiliki kemandirian yang baik yang ditunjukkan dengan komunikasi tulisan di
dalam surat kabar berbahasa Belanda yang terbit di Padang (Onder adfeing
Angkola, Afdeeling Mandheling en Ankola, Residentie Tapanoeli, Province Sumatra’s
Westkust beribukota di Padang, tempat dimana Sumatra Courant diterbitkan).
Ketiga, tingkat kesadaran hukum yang tinggi. Tingkat kesadaran hokum yang
bersifat public terkait erat dengan dunia intelektual (tulis menulis).
Ibukota
afdeeling Mandheling en Ankola pindah ke Padang Sidempuan dari Panyabungan tahun
1870. Pada tahun 1879 dibuka sekolah guru (kweekschool) di Padang Sidempuan.
Terdapat tiga sekolah dasar negeri: di Batunadua, di Hutaimbaru dan di Padang
Sidempuan. Sekolah negeri yang berada di Padang Sidempuan ini letaknya di jalan
Sutomo (SD N 2 dan SD N 10 yang sekarang, seberang pabrik es). Sedangkan
Kweekschool Padang Sidempuan terletak di jalam Merdeka yang menjadi gedung SMA
N 1.
Keempat, Padang Sidempuan saat ini adalah
kota kecil tetapi di masa itu, Padang Sidempuan adalah kota besar dan masih
lebih besar daripada Kota Medan. Kota Medan menjadi ibukota afdeeling Deli pada
tahun 1879, sedangkan Padang Sidempuan sudah sejak 1870. Hal lain keutamaan
kota Padang Sidempuan saat itu adalah Kota Padang Sidempuan sudah memiliki
sekolah guru dan sekolah dasar negeri sudah ada sejak 1950 (sementara Kota
Medan pada tahun 1879 belum ada sekolah dasar).
Ketika Medan masih kampong, Padang Sidempoean sudah kota |
Surat-surat pembaca ini (di luar orang-orang
Eropa/Belanda) sangat banyak antara tahun 1882-1884 yang berasal dari Padang
Sidempuan di Sumatra Courant yang terbit di Padang. Bahkan surat-surat pembaca
dari Padang Sidempuan ini jauh lebih banyak jika dibandingkan yang berasal dari
daerah Minangkabau. Ini suatu indikasi bahwa warga Padang Sidempuan sudah sejak
lama pula terlibat secara intens dalam dunia pers. Pada kala itu kota Padang
Sidempuan adalah kota special Sumatra Courant dalam pemasaran (oplah).
Pada tahun 1887 di Padang terbit suatu surat
kabar Pelita Kecil, suatu media berbahasa Melayu. Salah satu contributor utama
yang kerap mendapat pujian adalah seorang Tionghoa dari Padang Sidempuan (Bataviaasch
nieuwsblad, 30-04-1887). Ini membuktikan bahwa anak-anak Padang Sidempuan meski
jauh di pedalaman, namun soal intelektual sangat menggema di tengah kota besar.
Dua kota terbesar di Sumatra tempo doeloe (1875-1880) |
Orang Tionghoa Anak Padang Sidempoean
Sekolah guru (Kweekschool) Padang Sidempoean (sejak 1879) |
Alumni Padang
Sidempuan lainnya (selain Lim Soean Hin dan Liem Boan San) adalah Dja Endar
Moeda. Dja Endar Moeda adalah editor surat kabar Pertja Barat di Padang tahun
1897. Mereka yang bergerak di bidang pers ini adalah para alumni sekolah guru
(kweekschool) Padang Sidempuan. Situs gedung Kweekschool Padang Sidempuan masih
terlihat hingga ini hari yang menjadi bagian depan gedung SMA Negeri 1 Padang
Sidempuan.
TJIOE Tjeng
Liong, anggota
Dewan, lahir di Padang Sidempuan memulai karir sebagai wijkmeester der
Chineezen di kantor Landraad Padang Sidempuan. Pada tahun 1920 berusaha membantu
Lim Soen Hin di Sibolga dengan banding di pengadilan untuk membebaskan Lim Soen
Hin dari tuntutan karena artikel-artikelnya menentang kapitalisme (lihat De
Sumatra post, 30-03-1920). Atas prestasinya, Tjioe Tjeng Liong berdasarkan Keputusan
Gubernur Jenderal di Batavia, tanggal 18 Agustus, 1934 Nomor 1 terhitung dari
24 Agustus 1934 ditunjuk oleh Kepala Pemerintah Daerah Padang Sidempoean sebagai
anggota Dewan (Plaatselijken Raad) Onderafdeeling Angkola en Sipirok. Tjioe
Tjeng Liong menggantikan posisi yang ditinggalkan oleh seorang pedagang, Lim
Hong Tek (lihat De Sumatra post, 01-09-1934). Tjioe Tjeng Liong diangkat lagi
sebagai anggota dewan untuk periode berikutnya (lihat De Sumatra post, 14-09-1938).
Anggota Dewan
1938 ini termasuk di dalamnya Dr. Abdoel Rashid, seorang mantan anggota Dewan
Pusat (Volksraad) dua periode sebelumunya dari dapil Tapanoeli. Alumni docter
djawa school ini adalah adik dari (Abdoel Firman Suregar gelar) Mangaradja
Soangkoepon yang di tahun 1938 merupakan anggota Volksraad dari dapil Sumatra’s
Ooskust untuk periode yang keempatkalinya. Untuk sekadar catatan: hanya onderafdeeling Angkola Sipirok yang beribukota Padang Sidempoean pada tahun 1921 yang memiliki dewan pada level kecamatan dari 52 buah dewan kota (gemeente) dan dewan kabupaten (gewest) di Hindia Belanda. Pada tahun 1936 di dewan pusat (Volksraad) anggota dewan yang berasal dari Kota Padang Sidempoean, yakni Mr. Mangaradja Soangkoepon dari dapil Sumatra Timur, Dr. Abdoel Rasjid dari dapil Sumatra Utara (Tapanoeli en Atjeh) dan Mr. Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D yang diangkat mewakili golongan pendidikan serta Dr. Radjamin Nasution dari Oost Java.
LIM Hong Tek,
pengusaha karet kelahiran Padang Sidempuan yang memulai karir dalam bidang perdagangan
di Padang Sidempuan. Pernah menjadi anggota Dewan di Padang Sidempuan.
Bisnisnya terus berkembang tidak hanya dalam plantation tetapi juga pabrik
pengolahan karet di Tapanoeli, seperti di Padang Sidempuan, Batangtoru dan
Sibolga. Salah satu bisnis Lim Hong Tek di Padang Sidempuan adalah Hong Tek
Cinema yang kemudian berganti nama menjadi Bioskop Horas.
Tjioe Mo Tjiang |
TJIOE Mo Tjiang, pemilik
perusahaan PT Dos Ni Roha kelahiran Padang Sidempuan 18 Februari 1915. Untuk
mendapatkan pendidikan yang lebih baik dia disekolahkan neneknya di HIS
Sibolga. Setelah menambatkan sekolah Chineese Lagere School 1930 melanjutkan
sekolah Chung Min High School di Penang.
Pada tahun 1935 ia pulang kampong tetapi tidak ke Padang Sidempuan tetapi ke
Gunung Sitoli untuk membantu ayah berdagang. Pada tahun 1940 hijrah ke Sibolga
menjadi guru lalu pada tahun 1946 ia menjadi manajer NV. Tat Hoat (importis dan
eksportir). Tahun 1950 kantor pusat NV. Tat Hoat pindah ke Jakarta. Pada tahun
1956 memulai usaha sendiri di Tanjung Pandan, Belitung. Pada tahun 1962 bersama
adiknya A. Susanto membangun usaha di bidang perlengkapan bank dari Amerika
Serikat, kertas dari Kanada. Pada tahun 1966 mendirikan perusahaan PT Dos Ni
Roha importer obat-obatan dar Roche, Ceiba, Geigy dan Schering. Semua usaha itu
cukup berhasil. Setelah itu perusahaan-perusahaannya tumbuh dan bertambah
hingga awal tahun 1990an. Tjioe Mo Tjiang aliar Eugene Trismitro adalah salat
satu tokoh Tionghoa yang sangat berhasil di Indonesia. Anak Padang Sidempuan,
pemilik PT. Dos Ni Roha itu meninggal dunia di Jakarta tahun 2005 (sumber:
Tokoh Tokoh Tionghoa di Indonesia oleh Sam Setyautama. Penerbit Gramedia, 2008).
Tsukimoto, bukan seorang
Tionghoa tetapi seorang Jepang yang telah lama bermukim di Padang Sidempuan. Tsukimoto
pemiliki perusahaan J. Tsukimoto & Co. Tsukimoto sangat terkenal di Padang
Sidempuan dengan nama tokonya ‘Toko Japan’. Pada tahun 1931, Tsukimoto dan Tjioe
Tjeng Liong termasuk anggota komisi dalam membantu korban bencana di Pakantan.
J. Tsukimoto kemungkinan hijrah tahun 1935 ke Batavia di Pasar Besar (Pasar
Baru?).
Tsukimoto
kemungkinan adalah satu-satunya (keluarga) Jepang di Padang Sidempuan sebelum
terjadinya pendudukan Jepang di Indonesia. Tsukimoto kemungkinan besar datang
(migrasi) dari Medan. Sejak akhir abad kesembilan belas sudah banyak
orang-orang Jepang di Medan (yang waktu itu konsentrasi mereka banyak di
Singapoera).
Nama-nama lainnya: Tan Hok, seorang pedagang van Padang Sidempoean (Sumatra-courant:
nieuws- en advertentieblad, 10-06-1884. Lie
Koen Bie lulus sekolah guru HC Kweekschool di M Cornelis (1931) lalu ditempatkan
di HCS Sibolga dan tahun 1936 pindah ke HCS Padang (Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 02-11-1936). Sho
Tjai Sen, seorang pengusaha bertempat tinggal di Padang Sidempuan dengan
merek dagang Gie Tjiang (Bataviaasch nieuwsblad, 21-02-1935). Pan A San dengan nama firma Seng Lie di
Padang Sidempuan.
Orang-orang
Tionghoa di Padang Sidempuan pasca kemerdekaan
Salah
satu orang Tionghoa Padang Sidempuan yang menonjol pasca kemerdekaan adalah seorang
pemuda bermarga Liem. Dia sebenarnya adalah anak seorang pengusaha sukses yang
bergerak di berbagai bidang perniagaan termasuk perhotelan di Padang Sidempuan.
Keluarga Liem sudah beberapa generasi tinggal di Padang Sidempuan. Ketika mengetahui
bahwa Belanda telah berhasil menguasai Sibolga baik dari laut maupun dari darat
(dari Tarutung), anak-anak Padang Sidempuan bersiap-siap memberikan perlawanan
termasuk pemuda Liem. Para pemuda pejuang menyongsong hingga ke Batangtoru. Tugas
pengangkutan parjurit dilakukan oleh pemuda Liem.
Namun
perlawanan yang diberikan di jembatan Batangtoru, dari pihak pasukan Belanda
memborbardir pasukan republik. Tentu saja perlawanan yang tidak seimbang di
tengah hari itu membuat para pejuang melakukan mundur hingga memasuki kota
Padang Sidempuan. Rupanya warga kota juga tidak senang dengan kehadiran
Belanda, lalu warga mengungsi ke gunung dan hutan. Sebelum meninggalkan kota,
warga melakukan bumi hangus agar setiap bangunan yang ada tidak bisa digunakan
Belanda. Catatan: hanya ada dua kota di Indonesia bumi hangus lautan api, yakni selain Bandoeng adalah Padang Sidempoean.
Setelah
semua warga mengungsi, para pemuda pejuang terus melancarkan perlawanan dengan
cara bergerilya. Para pemuda terus melakukan konsolidasi di dua arah kota: ke
arah Sipirok di Simirik dan ke arah Panyabungan di Pijorkoling. Dari dua titik
kekuatan inilah pasukan melakukan perang gerilya. Untuk mengkonsolidasikan
penduduk di pengungsian peran ini dilakukan oleh Kalisati yang saat itu
menjabat Kepala Dinas Perdagangan untuk urusan logistic. Sedangkan untuk urusan
logistik di pihak pemuda pejuang dibebankan kepada pemuda Liem (yang telah
dinaikkan pangkatnya menjadi Sersan Mayor).
Kalisati setelah menyelesaikan sekolah perdagangan 1938 di Batavia lalu bekerja di Kantor Statistik bagian statistik perdagangan. Ketika pendudukan Jepang, Kalisati pulang kampung di Padang Sidempuan. Namun pemerintah militer Jepang di Padang Sidempuan memintanya untuk menjabat sebagai Kepala Dinas Perdagangan Afd, Padang Sidempuan. Posisi ini tetap dijabat Kalisati hingga kebalinya Belanda. Kalisati adalah ayah dari Hariman Siregar, Ketua DEMA UI tahun 1974.
Tapi
Serma Liem bukanlah tentara republik yang hanya duduk mengurus logistik di belakang
markas-markas perjuangan, Akan tetapi Serma Liem juga ikut berada di tengah
pertempuran. Serma Liem kerap menyamar sebagai supir untuk mengangkut para
prajurit jika berencana melakukan aksi gerilya. Tidak jarang mobil yang dibawa
Serma Liem dicegat pasukan Belanda, namun pemuda Liem berkilah bahwa mobilnya
kosong (hanya membawa barang-barang dagangan). Memang pemuda Liem kelihatan
tidak seperti tentara apalagi dia adalah peranakan Tionghoa, jadi patroli
pasukan Belanda percaya saja argumennya (padahal didalamnya banyak pemuda
pejuang yang bersembunyi di bawah barang-barang bawaan). Kisah yang menarik
inilah teman-teman seperjuangannya memberinya nama Lian Kosong (Liem pembawa
mobil kosong).
Serma Lian Kosong
setelah pengakuan kedaulatan RI tidak berkarir di militer seperti teman-temannya
seperjuangannya. Serma Lian Kosong lebih memilih berbisnis meneruskan bisnis
orangtuanya. Salah satu bisnis Lian Kosong yang terkenal adalah di bidang
penginapan yang doeloe bernama Sentral Losmen Padang Sidempuan yang berada di
tengah kota. Serma Lian Kosong hidup tenang selama sisa hidupnya dan meninggal
dunia tahun 1987 di kampong halamannya di Padang Sidempuan.
Dari gambaran singkat di atas (dan tentu saja belum lengkap, karena kekurangan data dan informasi) sebenarnya orang-orang Tionghoa sudah sejak lama ada di Padang Sidempuan (lebih awal dari orang-orang Tionghoa di Medan). Pedagang Tionghoa yang datang tahun 1691 tidak hanya membuka isolasi Angkola/Padang Sidempuan dari luar, tetapi juga telah berbaur dengan penduduk local (perkawinan pemuda pedagang Tionghoa dengan gadis Angkola). Lim Soen Hin telah berbaur dalam dunia jurnalistik tidak hanya editor surat kabar berbahasa Melayu tetapi juga menjadi editor suratkabar berbahasa Batak. Kemudian, Serma Lian Kosong juga tidak hanya menunjukkan pergaulan yang kental dengan sesama pemuda Padang Sidempuan tetapi juga turut berjuang melawan penjajah. Last but not least: dulu ketika masih bersekolah di Padang Sidempuan salah satu anak Serma Lian Kosong menjadi rekan saya turut aktif di dalam Dewan Kerja Cabang (DKC) gerakan pramuka Kwarcab Tapanuli Selatan. Seorang teman sekolah saya dulu bernama Rudi Hermanto kini juga tengah berjuang di dewan (DPRD) Kota Padang Sidempuan sebagai anggota dewan. Itulah Padang Sidempuan, meski sebuah kota kecil di pedalaman Sumatra, tetapi sejak dari dulu hingga kini selalu memberi contoh besar yang patut diteladani oleh kota-kota besar, seperti Kota Medan.
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe, Artikel ini didedikasikan kepada teman-teman saya dari keluarga Lim dan keluarga Tjioe serta keluarga Tsukimoto selagi masih sekolah di Padang Sidempuan.
4 komentar:
Terima kasih untuk tulisan yang sangat bermanfaat ini, Pak. Salam - Raihan Lubis
terimakasih untuk karya indah ini pak, boleh kah minta kontak wa nya pak? ingin diskusi sejarah lebih banyak lagi pak.
Bolehkah saya buat vt dari artikel saudara/i untuk membantu publikasi sejarah daerah Tabagsel kita tercinta ini?
Silahkan, pengetahuan untuk disebarkan
Posting Komentar