Parada Harahap bukanlah politisi, juga bukan birokrat (petugas pemerintah
Belanda maupun pemerintahan militer Jepang). Parada Harahap murni seorang
jurnalis. Meski begitu, untuk soal kebangkitan bangsa dan perjuangan mewujudkan
kemerdekaan, tingkat revolusionernya tidak ada yang menandingi (bahkan
sekaliber Sukarno pun tidak). Parada Harahap bekerja dengan penanya. Pena yang
sangat tajam.
Mochtar Lubis pimpin demosntrasi kebebasan pers (1953) |
Pasca pengakuan kedaulatan RI, Presiden Sukarno dan Wakil Presiden M.
Hatta tidak melupakan Parada Harahap, senior mereka. Sukarno dan Hatta meminta
Parada Harahap untuk memimpin misi ekonomi Indonesia untuk studi banding ke 14
negara di Eropa (1954). Laporannya yang dibukukan dan didistribusikan ke publik
dijadikan sebagai buku dengan judul Rencana Lima Tahun Pembangunan Ekonomi
Indonesia (buku repelita pertama!). Misi ekonomi yang dipimpin Parada Harahap
ini (di era republik) seakan menjadi misi ekonomi Indonesia kedua. Pada tahun
1933, Parada Harahap memimpin misi ekonomi Indonesia ke Jepang di era kolonial
Belanda (termasuk di dalamnya, M. Hatta sebagai anggota rombongan yang baru
lulus sarjana ekonomi di Belanda).
Kebijakan ekonomi Presiden
Sukarno untuk menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing (khususnya Belanda)
tahun 1951 telah direspon positif oleh Parada Harahap. Pada tahun 1951 Parada
Harahap telah mengakuisisi surat kabar berbahasa Belanda yang sangat legendaris
(sejak 1850an) dan bertiras paling tinggi, Java Bode. Surat kabar yang dulu
terbit di Semarang, ketika era pemilikan tengah berada di tangan pengusaha
Tionghoa (1920an), Parada Harahap mengirim tulisan-tulisannya untuk berpolemik
dengan pers asing/Belanda karena soal kebangsaan (1925).
Presiden Sukarno, secara fisik pada dasarnya seorang penakut, namun
pikirannya yang cemerlang terbilang berani. Karena itu, Sukarno selalu
membutuhkan orang-orang yang berani di sekitanya. Yang ditakutkan Sukarno
adalah orang yang tidak mau bekerjasama dengannya dan memiliki pemikiran yang
sangat cemerlang juga. Sejak awal, Sukarno tidak takut kepada Hatta, karena
Sukarno lebih unggul secara fisik dan secara pemikiran dari Hatta (Hatta tetap
selamanya subordinat dari Sukarno). Yang ditakutkan Sukarno adalah Amir
Sjarifoeddin, namun untungnya Amir Sjarifoeddin masih bersedia diajak Sukarno
bekerjasama (dan memang mereka sangat akrab sejak awal di Partai Indonesia).
Sedangkan Amir dan Hatta (anda dapat lacak sendiri).
Hal-hal yang ditakutkan
Presiden Sukarno adalah disintegrasi (pemberontakan di daerah, seperti di Jawa
Barat, Atjeh dan Sulawesi Selatan), berseberangan dengan militer dan adanya tekanan
pers. Dua yang terakhir sangat ditakuti oleh Sukarno (di era Jepang, Sukarno
adalah tentara, di era Belanda, Sukarno adalah penulis yang handal di surat
kabar. Catatan: tekanan mahasiswa saat itu belum begitu menonjol dan karenanya
belum menjadi pertimbangan.
Pada awal pengakuan kedaulatan RI, Presiden Sukarno sangat tenang dan
nyaman. Sukarno dikawal dua pemikir yang berani: di bidang ‘militer’ terdapat
Zainul Arifin Pohan dan di bidang pers terdapat Parada Harahap. Yang paling
ditakuti oleh Sukarno saat itu adalah jika kehilangan semua kawan yang berasal
dari Tapanuli.
Sukarno Mulai
Bermimpi Besar
Sukarno mulai bermimpi besar dapat diartikan dalam dua segi: Indonesia
Hebat dan Sukarno adalah Radja. Saat itu semua hal berjalan normal, tidak ada
sesuatu yang mengganggu jalan pikiran Sukarno. Bahkan kampanye Parada Harahap
tentang kebebasan pers sangat didukung oleh Sukarno (karena sejak era Belanda
Parada Harahap dan Sukarno berjuang dalam kebebasan pers).
Parada Harahap menerbitkan buku
berjudul ‘Kemerdekaan Pers’'. Isi buku ini mengedepankan kebebasan bersuara di
bidang pers tetapi dengan cara bertanggungjawab. Parada Harahap menginisiasi
untuk diadakan Kongres Pers. Selain itu, Parada Harahap juga aktif mencerdaskan
bangsa melalu buku. Parada Harahap mulai mengumpulkan buku bacaan bagi anak bangsa
(pasca pengakuan kedaulatan RI). Parada Harahap membawa buku sangat banyak dari
Singapura (untuk mengisi perpustakaan di Jakarta).
Sukarno membutuhkan Parada Harahap. Parada Harahap lalu diangkat menjadi Hoofd
Documentatie Kementerian Penerangan RI. Di luar itu, Parada Harahap berinisiatif
mendirikan Akademi Wartawan (selama ini wartawan Indonesia dimunculkan para
senior dan berkembang secara otodidak). Parada Harahap menggagas didirikannya Kopertis
(Perguruan Tinggi Swasta). Satu hal yang tidak kalah penting, tahun 1952, Parada
Harahap mempelopori Tiga Windu Sumpah Pemuda (24 tahun sumpah pemuda, 1928—1952).
Parada Harahap dan Sukarno;
AH Nasution dan Mochtar Lubis
Ketika Sukarno ingin Indonesia menjadi hebat dan dirinya seakan radja, Sukarno
terus ingin menggapai langit dan mulai lupa menginjakkan kaki di bumi. Diantara
keberanian dan ketakutan Sukarno berlari menuju ‘Indonesia Hebat’ dan ‘Sukarno
Numero Uno’ terdapat lubang menganga: kemiskinan, kekurangan pangan,
pengangguran, inflasi dan ketiadaan uang (anggaran pemerintah). Semua itu
menjadi luput dari perhatian Sukarno ketika ingin menggapai langit. Sejumlah
pihak mulai mengingatkan Sukarno namun tetap tidak dipedulikan hingga seorang
jurnalis, Mochtar Lubis berteriak dan ‘menimpuk’ Sukarno melalui tulisan di
surat kabar.
Hubungan Parada Harahap
dengan Mochtar Lubis sangatlah dekat. Parada Harahap (lahir 1899) adalah mentor
dari Adam Malik, Mochtar Lubis dan Sakti Alamsjah (di bidang jurnalistik).
Parada Harahap dengan Sukarno sangat akrab. Zainul Arifin Pohan sangat dekat
dengan Kolonel AH Nasution. Mochtar Lubis sangat dekat dengan Kolonel Zulkifli
Lubis. AH Nasution tidak selalu sepaham dengan Zulkifli Lubis. Kedekatan AH
Nasution dan Zulkifli Lubis dengan Sukarno karena kehadiran Zainul Arifin
Pohan. Parada Harahap dan Zainul Arifin Pohan sangat dekat karena kehadiran
Sukarno. Itulah konfigurasi para pemimpin di sekitar pucuk kekuasaan Sukarno
sebagai Presiden RI di awal penataan pemerintahan Indonesia (pasca pengakuan
kedaulatan RI).
Umumnya segala tindakan Sukarno masih didukung, tetapi diantaranya ada
juga yang kontra. Kontra pertama mulai datang dari Mochtar Lubis. Tidak jelas
motifnya apa. Yang jelas, Mochtar Lubis di era Jepang pernah bekerja di radio
militer Jepang di Batavia dan ikut memimpin kembali kantor berita Antara di
masa agresi militer Belanda.
‘Berita Indonesia melaporkan
bahwa kantor berita republik, Antara akan segera dibuka kembali yang berkantor
di Batavia. Mochtar Lubis akan termasuk dalam pimpinan, dan oleh karena itu,
kantor berita akan melayani koran-koran republik (Het dagblad: uitgave van de
Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 04-03-1948).
De vrije pers:
ochtendbulletin, 02-05-1949: ‘..surat terbuka…pers bebas.. Ini adalah tentang
kehormatan kami sebagai tentara, martabat kita sebagai Najie, pada hati nurani
dicemarkan… pengalaman saya selama 30 bulan, hanya sedikit dan dangkal… Itu
percaya pada kebebasan sebagai Menselyk-hukum, yang percaya pada akal dan
keadilan sebagai tugas manusia. Saya menunggu jawaban Anda. Di Amsterdam, di
mana saya berasal, saya memiliki beberapa rekan-rekan Anda bertemu selama dan
setelah perang. Saya bertemu termasuk Mochtar Lubis, salah satu tokoh terkemuka
di pers republik di pihak keberadaan Anda. Saya memiliki banyak kenangan indah
dari mereka...’. Te Velde, April 26, 1949 Sgt. Maj. H.J. Reijn.
Ketika jalan Sukarno mulai kencang dan tidak menoleh kiri kanan dimana
terdapat rakyat mulai mengiba (miskin), Mochtar Lubis mulai menyentil Sukarno
dengan tulisan di surat kabarnya, Indonesia Raya. Akibat tulisan itu, Mochtar
Lubis mulai berurusan dengan aparatur pemerintah.
De nieuwsgier, 02-03-1951:
‘Karena ada keluhan oleh Presiden, diperintahkan oleh Jaksa Agung, ex officio,
Mochtar Lubis redaktur Indonesia Raya, Senin dipanggil oleh kepala jaksa A.
Karim sehubungan dengan tulisan dimana presiden adalah yang bertanggung jawab
atas kematian banyak orang Indonesia selama pendudukan (Jepang)’.
Mochtar Lubis menulis apa adanya, menulis tentang apa yang diketahuinya. Mochtar
Lubis mengangkat isu yang sensitif bagi Sukarno ini karena Mochtar Lubis
melihat sekitar yang situasi dan kondisinya tidak menentu: kemiskinan
dimana-mana, tingkat kesehatan masyarakat sangat akut, kesulitan pengadaan
pangan. Intinya: tingkat morbiditas dan tingkat mortalitas yang semakin
meningkat.
Tentang apa yang ditulis
Mochtar Lubis diketahui kelak, bahwa Jepang memberinya segala macam fitur bagus
dan antara lain, membuatnya ketua Tjuo di Sangi, dewan penasehat Indonesia. Segera
Sukarno Sumatera dipindahkan ke Jakarta setelah awal pendudukan. Di sana ia
menjadi pemimpin nasionalis yang siap untuk bekerja sama dengan Jepang.
Lainnya, seperti Sjahrir dan Subandrio, memilih oposisi… ia dipaksa untuk memberikan
dukungan aset Jepang. Pada tahun 1943 mengambil Sukarno dan Hatta, yang telah
menjadi suami kedua Sukarno, bahkan perjalanan ke Jepang untuk kaisar untuk
mengekspresikan rasa terima kasih mereka… Selama pendudukan Jepang korps pembantu Indonesia
diciptakan untuk Jepang, Peta, di mana Sukarno aktif bekerja sama. Karena ia
akan jelaskan nanti untuk meletakkan dasar bagi tentara Indonesia. Juga Sukarno
aktif merekrut pekerja romoesja Indonesia di bawah kondisi yang buruk seperti
di luar negeri yang bekerja yang tidak puluhan ribu dari mereka (lihat Leeuwarder
courant: hoofdblad van Friesland, 22-06-1970).
Mochtar Lubis sendiri adalah pejuang (utamanya di bidang pers). Mochtar
Lubis mendirikan surat kabar baru dengan judul besar Indonesia Raya (suatu
terminology besar yang dikaitkan dengan lagu Indonesia Raya dan Kongres
Indonesia Raya).
Di dalam manajemen maupun di
bidang redaksional Indonesia Raya terdapat para pejuang. Salah satu pejuang itu
adalah Ali Mochtar Hoetasoehoet, masih muda belia, mantan pimpinan tentara
pelajar.
Mochtar Lubis adalah wartawan Indonesia paling serius (meneruskan estafet
dari wartawan revolusioner Parada Harahap). Untuk memperkuat kesatuan insan pers,
Mochtar Lubis bersama wartawan yang
lainnya mendirikan organisasi wartawan Indonesia yang disebut Persatuan
Wartawan Indonesia (PWI). Ketua PWI yang pertama adalah Adinegoro, wartawan
senior.
Dalam kepengurusan
organisasi wartawan yang baru ini (setelah kemerdekaan) Mochtar Lubis duduk sebagai
komisaris (bersama Rosihan Anwar). Sebagai ketua, diangkat wartawan senior,
Adinegoro (lihat di atas: Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers
te Batavia, 03-08-1949). Di dalam surat kabar ini juga diberitakan: ‘Mochtar
Lubis dan Adam Malik meresmikan kembali pembukaan kantor berita Antara’. Het
nieuwsblad voor Sumatra, 19-08-1949: ‘Untuk menandai pembukaan kembali kantor
berita republic, Antara di Batavia, hari Rabu, Adam Malik, direktur dan Mochtar
Lubis, pemimpin redaksi mengundang kolega dan melakukan receptive di pavillioen
Hotel des Indes’.
Pendirian oragnisasi wartawan Indonesia (era republic) adalah kelanjutan
dari sarikat wartawan sejak era Belanda. Seperti diutarakan sebelumnya, sarikat
wartawan pribumi pertama di didirikan tahun 1918 di Medan oleh Parada Harahap
dan kawan-kawan. Kemudian pada tahun 193? Sarikat wartawan didirikan di Jawa
dimana penggagasnya adalah Parada Harahap. Juga Parada Harahap menggagas
didirikan sarikat surat kabar (kini SPS). Sarikat wartawan (nasional) ini
kemudian anamanya menjadi Persatoean Djoernalistik Indonesia (Perdi). Ketika
Parada Harahap dan rombongan (termasuk Hatta) melakukan misis ekonomi ke Jepang
(1933) beberapa anggota Perdi sempat mengusulkan Parada Harahap dipecat sebagai
anggota Perdi. Kemudian jelang berakhirnya kolonialisme Belanda (1938) malah
Parada Harahap menjadi Wakil Ketua Perdi. Kevakuman Perdi selama pendudukan
Jepang dan agresi militer Belanda, muncul kembali membangkitkan Perdi dengan
nama baru PWI.
Adinegoro adalah anak buah
Parada Harahap di surat kabar Bintang Timoer pada tahun 1930. Sejak Kongres
PPPKI dan Kongres Pemuda 1928, Parada Harhap sangat sibuk dalam urusan
kebangsaan. Pada awal tahun 1930 Adinegoro baru pulang studi pers di Eropa,
lalu Adinegoro direkrut Parada Harahap untuk posisi editor (menggantikan Parada
Harahap). Namun di akhir tahun 1930 Abdullah Lubis (pimpinan Pewarta Deli)
datang ke Jakarta untuk mencari editor baru, karena baru kehilangan dua editor
(salah satu kapala editor Mangaradja Ihoetan). Parada Harahap meminta Adinegoro
ke Medan untuk membantu Pewarta Deli (Parada Harahap kembali mengisi pos kepala
editor Bintang Timoer).
Kepengurusan pertama PWI (jelang pengakuan kedaulatan RI), seperti
Adinegoro, Mochtar Lubis, Adam Malik dan Sakti Alamsjah adalah terbilang
wartawan-wartawan ‘binaan’ dan sangat dekat dengan Parada Harahap. Kantor
berita Antara (1937) yang didirikan oleh Adam Malik dan kawan-kawan adalah
kelanjutan dari kantor berita pribumi pertama, Alpena yang didirikan Parada
Harahap tahun 1925 (yang mana editornya adalah WR Supratman). Kantor berita
Antara tetap diasuh Adam Malik dengan menggandeng Mochtar Lubis. Dalam
perkembangannya, Mochtar Lubis kemudian mandiri dengan mendirikan surat kabar
Indonesia Raya (nama lagu kebangsaan dan nama kongres tahun 1938). Sakti
Alamsjah Siregar mendirikan surat kabar Pikiran Rakyat Bandung. Kedekatan
Mochtar Lubis dan Sakti Alamsjah adalah motto kedua surat kabar mereka itu
sama: ‘Dari Rakyat, Oleh Rakyat dan Untuk Rakyat’.
Adam Malik, Mochtar Lubis, Adinegoro (dan Rosihan Anwar) adalah
wartawan-wartawan pribumi jempolan. Mereka juga berdedikasi dalam pers
Internasional. Oleh karenanya pers Indonesia juga semakin mendunia
(internasionalisasi).
Java-bode: nieuws, handels-
en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 05-01-1950: ‘Adam Malik dan Mochtar
Lubis, masing-masing direktur dan kepala departemen internasional Antara segera
meninggalkan (tanah air) ke beberapa negara di Asia Tenggara seperti Thailand
dan Burma untuk mempelajari situasi di sana dan untuk bertukar berita dengan
beberapa kantor berita di negara-negara tersebut’.
Mochtar Lubis kini tidak hanya di kantor berita Antara tetapi juga telah
menjadi editor di koran Indonesia Raya yang terbit di Jakarta. Ada perbedaan
antara editor sebuah kantor berita dengan editor sebuah koran. Mochtar Lubis
menjadi Editor koran Indonesia Raya yang berdiri pada tanggal 29 Desember 1949.
Algemeen Indisch dagblad: de
Preangerbode, 22-11-1950: ‘Editor "Indonesia Raya" (Jakarta), Mr.
Mochtar Lubis, yang berada di Korea, dalam editorialnya memberikan kesan sehubungan dengan situasi di
Korea’
Kini (1951) giliran anak Padang Sidempoean kembali mendapat apresiasi
dari sesama sebangsa. Adalah Mohctar Lubis yang pertama mendapat apresiasi di
era kemerdekaan. Oleh karena pers asing nyaris tidak ada lagi, maka yang
memberikan sekarang adalah pers nasional. Di masa era Belanda wartawan terbaik
adalah Parada Harahap (versi pers asing/Belanda, 1925). Setelah 25 tahun
wartawan terbaik muncul kembali, yakni Mochtar Lubis (versi pers nasional
Indonesia).
Java-bode: nieuws, handels-
en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 19-02-1951: ‘Pada jamuan makan
malam Persatuan Wartawan Indonesia lingkaran Jakarta, sebesar Rp. 1000, kepada kepala redaksi Indonesia Raya, Mochtar
Lubis, diberikan sebagai pengakuan atas artikel berjudul "Kemiskinan di
Korea". Penilaian ini atas dasar pendapat para juri, yang terdiri dari Mr.
Maria Ulfah Santoso, Sjamsuddin Sutan Makmur dan Mr. Andi Zainal Abidin.
Persatuan wartawan menyelenggarakan
PWI-Prijs 1950 untuk tulisan yang terbaik dalam pencapaian jurnalistik
pada tahun 1950’.
Mochtar Lubis Menjadi
Numero Uno; Parada Harahap Beralih ke Pendidikan Pers
Pasca pengakuan kedaulatan RI, Parada Harahap mulai bergeser dari
jurnalistik ke pendidikan pers. Parada Harahap sudah mulai menua dan mulai
membatasi diri tentang perjuangan pers. Parada Harahap tidak lagi mau terlibat
dalam pers politik. Parada Harahap telah melihat pengganti sosok dirinya
(Mochtar Lubis). Parada Harahap kini coba mendidik wartawan sebanyak mungkin
melalui pendirian Akademi Wartawan. Meski demikian, Parada Harahap masih
terlibat dalam media, kepemilikan Java Bode dan perusahaan percetakan.
De nieuwsgier, 17-01-1953:
‘di Djakarta, penerbitan dan percetakan perusahaan baru yang didirikan dengan
nama. Bintang Timur. Modal saham ditetapkan sebesar Rp. 1.000.000.- yang
disetor Rp. 500.000.-. Sebagai CEO adalah Mr Parada Harahap, yang saat ini
difungsikan di Departemen Pendidikan. Yang menjadi komisaris adalah Mr. MT
Hutagalung (Komisaris Utama), serta Mr. JK Panggabean (CEO NV Piola
Handelsmaatschappij), Tuan Andjar Asmara dan MT Djody Gondokusumo sebagai
anggota komisaris. Perusahaan baru ini akan menerbitkan koran dan majalah
non-politik yang obyektif. Sebagai langkah pertama, pada awal Januari isu
percobaan majalah Lukisan Dunia yang dikeluarkan yang dimulai, pada Februari
akan muncul secara teratur, sekarang sedang mempersiapkan edisi baru koran
dengan nama Bintang Timur, yang akan muncul pada Maret atau April. Selanjutnya,
NV juga akan menerbitkan The Times of lndonesia. Staf editorial adalah Pak
Mochtar Lubis dan Hafner Jr. Semua terbitan akan dicetak di percetakan The
Union. Kantor akan berlokasi di gedung Uni’.
Mochtar Lubis telah menggantikan posisi Parada Harahap di bidang pers
poltik. Parada Harahap tidak pernah tergantikan sejak 1923. Inilah suksesi
insan pers dari Padang Sidempuan. Garis continuum pers pribumi (Indonesia)
tidak pernah putus. Pejuang pers pertama adalah Dja Endar Moeda (1897-1918)
yang kemudian dilanjutkan oleh Parada Harahap sejak 1918. Sejak Parada Harahap
hijrah ke Batavia 1923, pejuang pers berada di pundak Parada Harahap.
Parada Harahap pada usianya
yang tidak muda lagi (52 tahun) lalu mendirikan Akademi Wartawan, tanggal 2
Maret 1951, Ali Mochtar Hoetasoehoet mendaftar sebagai mahasiswa untuk
meningkatkan kemampuan jurnalistiknya. Ali Mochtar Hoeta Soehoet (AM Hoeta
Soehoet) adalah seorang mantan tentara pelajar di Afdeeling Padang Sidempuan
(Mandheling en Ankola) pada masa agresi militer Belanda. Ketika Parada Harahap
memimpin majalah Detik di Bukittinggi (September 1947) berkesempatan pulang
kampong halaman di Padang Sidempuan, merekrut
Ali Mochtar Hoeta Soehoet untuk membantu Detik. Pada masa agresi militer
kedua, Padang Sidempuan yang telah diduduki pasukan militer Belanda, Ali
Mochtar Hoeta Soehoet pulang kampong untuk turut bergerilya melawan pasukan
militer Belanda. Setelah pengakuan kedaulatan RI, Ali Mochtar Hoeta Soehoet
hijrah ke Jakarta dan bekerja sebagai wartawan. Ali Mochtar Hoeta Soehoet
kemudian menjadi tangan kanan Mochtar Lubis.
Setelah Mochtar Lubis dikenakan sanksi kemudian terjadi peristiwa penting
pada tanggal 17 Oktober 1952. Di depan istana terjadi demonstrasi mahasiswa
(setelah sebelumnya demonstrasi di halaman parlemen). Anehnya dalam demonstrasi
tersebut juga terdapat militer yang mana pada saat itu yang menjadi KASAD
adalah AH Nasution. Para petinggi militer menuntut parlemen (sementara)
dibubarkan.
Para militer gerah karena
campur tangan pemerintah yang sangat jauh dalam urusan teknis militer. Pada
saat itu Menteri Pertahanan juga dijabat oleh Perdana Menteri. Menteri
Pertahanan juga mengurusi urusan teknis militer (tupoksinya belum dipisahkan).
Pemerintahan (kabinet) sendiri juga tergantung kekuatan di parlemen. Partai
yang berkuasa adalah pemimpin pemerintahan. Uniknya, yang meredakan ketegangan
tersebut, yang turun dari istana adalah Kolonel Zulkifli Lubis [catatan:
Beberapa versi yang turun dari istana menyebut Sukarno. Namun itu jauh dari
kemungkinan, Sukarno tidak terlalu kuat menghadapi serangan, apalagi serangan
mahasiswa dan serangan militer; Zulkifli Lubis memiliki kapabilitas untuk itu,
sebagai pimpinan militer dan menguasai intelijen].
Atas peristiwa itu AH Nasution sebagai KASAD dipecat dari jabatannya dan
digantikan oleh Bambang Sugeng. Untuk posisi Wakil KASAD diangkat Kolonel
Zulkifli Lubis. Sebagai solidaritas sesama militer yang sama-sama satu visi,
Jenderal TB Simatupang mengundurkan diri sebagai Kepala Staf Angkatan
Perang (Panglima) RI. Bambang Sugeng
lambat laun tidak nyaman [kelak pertengahan 1955 mengundurkan diri dan
digantikan oleh Zulkifli Lubis. Tapi pengangkatan Zulkifli Lubis ditentang
‘lawan-lawan’ politiknya di militer].
Untuk merespon situasi dan kondisi yang mulai tidak kondusdif dalam
bernegara, Mochtar Lubis menginisiasi suatu peringatan (memory recall) untuk
melihat ke belakang tentang perjuangan Multatuli.
Het nieuwsblad voor Sumatra,
19-02-1953: ‘Baru-baru ini, atas inisiatif dari Badan Musjawarat Kebudajaan
Nasional (dewan konsultatif untuk budaya nasional) sebuah komisi
(herdenkingscomité) didirikan di Jakarta dalam rangka memperingati fakta bahwa
66 tahun yang lalu Multatuli sudah meninggal. Komite yang diketuai oleh Bapak
Mochtar Lubis, duduk sebagai komisi, yakni: Mr Joebaar Ajoeb, Armijn Pane, dr.
Ir. S.Udin, Pramoedya Ananta Toer, HB Jasin, Achdiat K.Mihardja, Buyung Saleh
dan RF Sumarto. Menurut program, kemarin pukul 20.00 dilakukan sebuah upacara
peringatan yang akan diadakan di gedung proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur
56, dengan beberapa kutipan dari novel Multatuli akan dibacakan. Hari ini pukul
21:30-22:00, RRI Jakarta akan menyiarkan hasil reportase dari peringatan
tersebut’.
Perayaan ini bersifat simbolis dan mengandung makna yang sangat terkait
dengan kedudukan Sukarno saat ini. Multatuli adalah tokoh rekaan tentang diri
Edward Douwes Dekker dalam membela penduduk Mandailing dan Angkola (1843).
Edward Douwes Dekker kerap diceritakan secara turun temurun di afd. Mandailing
dan Ankola (kemudian menjadi afd. Padang Sidempuan). Kakek Mochtar Lubis
termasuk yang menjadi korban kekejaman pemerintah colonial Belanda. Setelah
kejadian 110 tahun yang lalu, Mochtar Lubis mengangkat tema ini untuk menyentil
Sukarno (yang sudah mulai tidak terkontrol).
Sukarno non coöperatief. Dia
menolak untuk memasuki pelayanan pemerintah Belanda. Sukarno pernah menjadi
seorang guru sejarah dan matematika di sebuah sekolah swasta yang dikelola oleh
dr. Setia Buddhi Danoedirdjo (nama dr Indonesia. EFE Douwes Dekker, sepupu
Multatuli, diadopsi), sebuah lembaga yang pemerintahan Belanda tidak sangat
menyenangkan . Sejak itu, Dia adalah seorang anggota awal Jong Java dan didirikan di Bandung
Kelompok Studi Umum pada tahun 1925, di mana ia menjadi presiden. Pada tanggal
4 Juli 1927, Soekarno mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia, yang berganti
nama setahun kemudian menjadi Partai Nasional Indonesia. Pada 29 Desember 1929
Soekarno ditangkap. Pada 18 Juni 1930 mulai sidang oleh pengadilan negara di
Bandung. Ada sembilan belas sesi dan permohonan Sukarno "Indonesia
menuduh" sepotong terkenal, diterbitkan dalam bahasa Indonesia dan Belanda
di cetak. Vonis empat tahun penjara (lihat Leeuwarder courant : hoofdblad van
Friesland, 22-06-1970).
Namun itu tidak semua cukup buat Mochtar Lubis untuk menyadarkan Sukarno
yang sudah mulai keluar dari rel.
Mochtar Lubis Memimpin
Demonstrasi untuk Kebebasan Pers
Guru kebebasan pers adalah Parada Harahap. Sebagai guru, Parada Harahap
telah menulis buku berjudul Kebebasan Pers. Atas tulisan Mochtar Lubis tahun
1951, Sukarno tampaknya gerah, ketika keinginannya ingin semuanya berjalan
mulus. Sukarno adalah orang pers, tidak pernah mengekang pers. Parada Harahap
dan Sukarno sejalan tentang kebebasan pers yakni pers bertanggungjawab.
Sentilan Mochtar Lubis terhadap Sukarno dengan mengangkat perannya di era
pendudukan Jepang boleh jadi Sukarno menganggap itu berlebihan, apalagi Sukarno
tengah membangun citra (di dalam maupun di luar negeri). Para pembantu Sukarno
(dari pihak kementerian dan militer) menganggap reaksi Sukarno sebagai upaya
pengendalian pers. Karena itu, pers melakukan aksi balik.
Pada tanggal 05-08-1953 terjadi demonstrasi kebebasan pers di Jakarta
dari kalangan wartawan dan para mahasiswa. Pimpinan demonstrasi dari kalangan
mahasiswa adalah Ali Mochtar Hoetasoehoet. Ketua panitia aksi demonstrasi ini
adalah Mochtar Lubis.
Kedekatan Ali Mochtar Hoeta
Soehoet yang sebelumnya ‘di tangan’ Parada Harahap telah berpindah ‘ke tangan’
Mochtar Lubis. Parada Harahap yang merekrut Ali Moctar Hoetasoehoet dan Mochtar
Lubis yang membesarkan Ali Mochtar Hoetasoehoet. Setelah lulus, kemampuan Ali
Mochtar Hoetasoehoet semakin meningkat dan mulai bekerja sebagai reporter di
harian Indonesia Raya pimpinan Mochtar Lubis. Inilah awal karir Ali Mochtar
Hoeta Soehoet di bidang jurnalistik hingga menjadi Rektor IISIP Jakarta (yang
juga sebagai pendiri IISIP).
Di era Belanda, sesungguhnya pers sangat bebas. Akan tetapi pers yang
melanggar akan dituntut dengan dalih delik pers, Sang penguasa memanipulasi
undang-undang yang ada untuk membungkam seorang wartawan maupun medianya.
Wartawan yang paling banyak terkena jaring delik pers ini adalah Parada
Harahap, lebih dari seratus kali dipanggil ke meja hijau dan belasan kali
dijebloskan ke penjara. Rupanya di era kemerdekaan ini, kebebasa pers juga
mulai diganggu oleh pemerintah. Dalih pemerintah adalah melindungi hak-hak
azasi manusia. Lantas para jurnalistik bereaksi dan melakukan demonstrasi.
Java-bode: nieuws, handels-
en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 06-08-1953: ‘Para wartawan
memprotes, soal kebebasan pers dan perlindungan hak asasi manusia. Pada
demonstrasi, seperti yang sudah dilaporkan kemarin, wartawan Indonesia yang
diadakan dalam aksi mereka untuk perlindungan sumber berita. Dalam demo ini
yang berpartisipasi dalam PWI adalah reporter, klub, SPS dan organisasi
mahasiswa akademi untuk jurnalisme. Ketua panitia aksi demonstrasi adalah Mochtar Lubis. Dalam dialog dengan pemerintah
saat demo ini, Mochtar Lubis kemudian mengucapkan terima kasih kepada Jaksa
Agung yang telah mendengar aspirasi mereka’. Foto: Mochtar Lubis memimpin demo
untuk Kebebasan Pers.
Parada Harahap:
Diantara Sukarno dan Mochtar Lubis
Pada waktu itu, organisasi kepemudaan mulai kendor dan tidak begitu
penting lagi. Yang menonjol adalah organisasi mahasiswa. Artinya karakter
kepemudaan telah bergeser dari perjuangan melawan penjajah ke perjuangan
hak-hak azasi manusia. Salah satu organisasi mahasiswa yang cukup kuat adalah
HMI (sedangkan PMUI sudah lama tidak terdengar).
HMI (Himpunan Mahasiswa
Islam) didirikan oleh Lafran Pane (adik Sanusi Pane) di Jogjakarta pada bulan
Januari 1947. Pada bulan November 1947 Ida Nasution dan G. Harahap mendirikan
PMUI (Perstuan Mahasiswa Universiteit Indonesia). HMI berada di luar kampus dan
PMUI berada di dalam kampus yang meliputi mahasiswa-mahasiswa di bawah
Universiteit Indonesia di Jakarta (menjadi UI), Bogor (menjadi IPB), Bandung
(menjadi ITB), Surabaya (menjadi Unair) dan Makassar (menjadi Unhas). Namun
pada bulan Maret 1948 Ida Nasution menghilang selamanya diduga keras dibunuh
intelijen/militer Belanda. Sejak itu, organisasi mahasiswa di dalam kampus
menghilang, tetapi HMI tetap eksis.
Dengan situasi dan kondisi yang ada Parada Harahap mulai ambil bagian.
Parada Harahap melihat Sukarno mulai diusik dari kiri dan kanan, tidak hanya
politisi, militer tetapi juga mahasiswa. Lantas Parada Harahap mulai
mengkonsolidasi mahasiswa untuk bersatu kembali, berjuang kembali agar NKRI
tidak bubar dan tetap menjaga agar kehidupan mahasiswa kondusif untuk belajar
dan kebebasan pers yang bertanggungjawab terwujud.
Parada Harahap dulu berada
di belakang Kongres Pemuda tahun 1928. Kini Parada Harahap berada di belakang
rencana Kongres Pemuda tahun 1953. Saat ini Parada Harahap adalah Direktur
Akademi Wartawan Indonesia. Parada Harahap juga adalah Ketua Kopertis
(Koordinator Perguruan Tinggi Swasta). Parada Harahap juga adalah pemilik surat
kabar Bintang Timoer (yang terbit kembali) dan juga pemilik surat kabar
berbahasa Belanda Java Bode. Parada Harahap, mentor politik Sukarno dan Hatta
di masa muda, sejauh ini hubungannya masih baik-baik saja.
Hari Sumpah Pemuda, Para Pemuda Indonesia Memperbarui
Kesetiaan
Komite Eksekutif dari Front Pemuda Indonesia akan melakukan kongres di
Jakarta pada malam tanggal 27 Oktober 1953 dan dalam kongres ini akan mengambil
keputusan. Dalam kongres ini para pemuda akan melakukan sumpah kesetiaan dan
memutuskan untuk melakukan peringatan Hari Sumpah Pemuda pada esok harinya
tanggal 28 Oktober 1953.
De nieuwsgier, 21-10-1953 |
Isi Sumpah Pemuda diambil dari Putusan Kongres Pemuda 1928. Peringatan
Hari Sumpah Pemuda dilakukan di stadion IKADA, Dua agenda adalah Upacara
Perayaan Memuliakan Lagu Indonesia Raya Berusia 25 Tahun dan 25 Tahun Sumpah
Pemuda (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 28-10-1953). Sejak tanggal 28 Oktober 1953 peringatan Hari
Sumpah Pemuda dilakukan (tiap tahun).
Pada masa ini yang muncul sebagai perdebatan adalah seakan bahwa kata
Sumpah Pemuda sudah muncul pada tahun 1928 (dianggap manipulasi) udul teks
Putusan Kongres menjadi judul teks Sumpah Pemuda. Memang kenyataannya, judul
teks 1953 dibuat menjadi Sumpah Pemuda. Artinya, Putusan Kongres (1928) diperbarui
menjadi Sumpah Pemuda (1953). Dengan kata lain, Kongres Pemuda tahun 1928 dan
Kongres Pemuda 1953 adalah dua hal yang berbeda. Kongres Pemuda 1928 memberi
judul Putusan Kongres, sedangkan Kongres Pemuda 1953 mengubah judul menjadi Sumpah
Pemuda. Hal tersebut berarti semangat isi Putusan Kongres 1928 diperbarui
dengan mengganti judul dengan Sumpah Pemuda. Sedangkan isinya tidak berubah,
yakni: Pertama: KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA, MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH
JANG SATOE, TANAH INDONESIA. Kedoea: KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE
BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA. Ketiga: KAMI POETRA DAN POETRI
INDONESIA MENDJOENDJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA.
Hal lain yang muncul pada masa ini seakan Presiden Sukarno turut campur
dalam Kongres Pemuda. Padahal, kenyataannya, baik pada Kongres Pemuda 1928
maupun Kongres Pemuda 1953 Sukarno tidak terkait dan bahkan tidak ikut hadir.
Pada Kongres Pemuda 1928, seharusnya yang hadir Hatta (karena kesibukan kuliah
di Belanda) tetapi harus mengutus Ali Sastroamidjojo ke Kongres Pemuda 1928.
Sukarno justru hadir dalam Kongres PPPKI (dan ikut berpidato). Sebagaimana
diketahui kegiatan kongres yang dilakukan pada waktu yang bersamaan terdapat
tiga kongres: Kongres PPPKI, Kongres Pemuda dan Kongres Perempuan. Pada Kongres
Pemuda 1953 juga tidak terdeteksi Presiden Sukarno turut campur. Lantas siapa tokoh
yang berperan di balik Kongres Pemuda 1953. Tokoh yang berperan itu adalah
Parada Harahap.
Sejak Kongres Pemuda 1953, dan sejak dilakukan Peringatan Hari Sumpah
Pemuda 28 Oktober 1953 pemerintah mensosialisasikannya baik presiden sendiri
(Presiden Sukarno), Wakil Presiden (M. Hatta) maupun para menteri-menterinya.
Sosialisasi yang mengadopsi keputusan Kongres Pemuda 1953 (memperbarui
kesetiaan dengan sumpah pemuda) ini bahkan berubah seakan menjadi kampanye
Sumpah Pemuda dalam meredakan berbagai kisruh yang muncul. Hal ini karena
penataan negeri (pasca poengakuan kedaulatan RI) yang baru seumur jagung sudah
ada perbedaan-perbedaan opini di antara para pemimpin, munculnya ketegangan
baru seperti pemberontakan (Jawa Barat, Atjeh dan Sulawesi Selatan),
meningkatnya tekanan pers (karena ada indikasi korupsi) terutama dari Mochtar
Lubis dan kawan-kawan.
Di Jakarta, Presiden Sukarno mangadopsi hasil Kongres Pemuda 1953 dan
mengaitkannya setiap ada kesempatan berpidato. Kesetiaan pemuda dalam wujud Sumpah
Pemuda adalah semacam amunis baru bagi Sukarno ketika dirinya sudah mulai
ditekan dari kiri kanan (parlemen, militer dan mahasiswa serta pemda)
Ali Mochtar Hoeta Soehoet yang
menjadi pentolan demonstrasi kebebasan pers (bersama Mochtar Lubis) dan menjadi
panitia Hari Sumpah Pemuda kemudian di kampusnya berinisitif mendirikan
organisasi mahasiswa. Pada tanggal 5 Desember 1953, Ali Mochtar Hoeta Soehoet
menjadi Ketua Perhimpunan Mahasiswa di kampusnya yang berlokasi di Decapark,
Jakarta.
Di Jambi, Wakil Presiden M. Hatta menghimbau agar pemuda menjaga persatuan
dan kesetiaan kepada Sumpah Pemuda.
De vrije pers:
ochtendbulletin, 23-04-1954: ‘Hatta: persatuan di kalangan pemuda meskipun
perbedaan pendapat di kalangan orang tua… dari Jambi, Wakil Presiden Moh. Hatta
diadakan pidato untuk semua siswa sekolah lanjutan di teater Murai…menjaga
pemuda disarankan rasa taruhan persatuan dan kesetiaan kepada "Sumpah
Pemuda". "Wapres memberikan gambaran dari onderwas di Indonesia, dan
mengatakan bahwa sekarang banyak ajaran. …Kemudian Wakil presiden, ada
digunakan pepatah Belanda mengatakan: Mdluku adalah masa lalu, Java sekarang
dan masa depan Sumatera, yang berarti, menurut vice.president…bahwa Java
sekarang banyak sekolah..Sumatera masih memiliki kekurangan ahli yang oleh
karena itu harus datang dari gundukan Djambl. Presiden memutuskan untuk
mengatakan pidatonya bahwa rasa persatuan harus dipertahankan. Pemuda kita juga
harus melakukan banyak olahraga, karena dalam tubuh yang sehat adalah jiwa
sehat
Di Padang Ketua Badan Pertimbangan Kebudajaan, Mangunsarkoro memberikan
kuliah di Auditorium Sekolah Tinggi Hukum. Isi cermahnya tentang kesetiaan
pemuda.
De vrije pers :
ochtendbulletin, 07-05-1954: ‘Indonesia merupakan pusat budaya bangsa terletak
di tengah-tengah masyarakat itu sendiri. Di Auditorium Sekolah Tinggi Hukum di
kuliah Padang diadakan oleh Ketua Badan Pertimbangan Kebudajaan untuk siswa dan
S. Mangunsarkoro, presiden Dewan Kebudayaan, memberikan kuliah…kita harus
menunjukkan bahwa kita memiliki budaya
yang kuat .. Sumpah Pemuda (Sumpah Pemuda adalah kehormatan satu nusa, satu
bangsa dan satu bahasa. Hubungan antara budaya daerah dengan budaya natiorale
ditentukan oleh semangat budaya… Namun, jika budaya nasional oleh semangat
nasional, dan menyebar ke seluruh Indoresia….’
Di Medan, Menteri Pendidikan M. Yamin (dalam kongres Bahasa)
mensosialisasikan hasil Kongres Pemuda 19523.
Sosialisasi dan kampanye Sumpah Pemuda yang dilakukan oleh Sukarno, M.
Hatta dan M. Yamin adalah untuk kepentingan pemerintahan mereka sendiri yang
tengah banyak gangguan. Sedangkan Sedangkan Sumpah Pemuda itu sendiri adalah produk
pemikiran dari tokoh-tokoh lain yang bukan pejabat pemerintah tetapi sangat
peduli terhadap kesatuan dan persatuan. Mereka adalah Parada Harahap dan AM
Hutasuhut.
Mochtar Lubis sudah dikawal Parada Harahap dan M. Yamin. Pada saat itu
Menteri Pendidikan dijabat M. Yamin, tokoh pemuda 1928 yang menyusun konsep
Putusan Kongres 1928. M. Yamin sendiri adalah wakil Parada Harahap dari
Sumatranen Bond di Kongres Pemuda 1928.
De nieuwsgier, 21-05-1954:
‘Jenewa, 19 Mei (Reuters). Tiga editor surat kabar Indonesia: BM Diah
(Merdeka), Tasrif (Abadi) dan Mochtar Lubis (Indonesia Raya), didampingi dua
pejabat dari kementerian pendidikan tiba Selasa di Jenewa. Mereka mengambil
bagian dalam konferensi International Press Institute di Wina dan akan tetap
selama beberapa hari di Jenewa sehubungan dengan akan diadakannya konferensi.
Mereka akan ke Korea sebelum kembali ke Jakarta’.
Parada Harahap sendiri selain di media sudah difungsikan oleh juniornya
M. Yamin di Kementerian Pendidikan sebagai penasehat. Saat itu, Parada Harahap
tidak hanya pemilik media, juga pemilik Akademi Wartawan dan Ketua Kopertis.
De nieuwsgier, 17-01-1953:
‘di Djakarta, penerbitan dan percetakan perusahaan baru yang didirikan dengan
nama. Bintang Timur. Modal saham ditetapkan sebesar Rp. 1.000.000.- yang
disetor Rp. 500.000.-. Sebagai CEO adalah Mr Parada Harahap, yang saat ini
difungsikan di Departemen Pendidikan. Yang menjadi komisaris adalah Mr. MT
Hutagalung (Komisaris Utama), serta Mr. JK Panggabean (CEO NV Piola Handelsmaatschappij),
Tuan Andjar Asmara dan MT Djody Gondokusumo sebagai anggota komisaris. Perusahaan
baru ini akan menerbitkan koran dan majalah non-politik yang obyektif.
Parada Harahap dengan sendirinya telah menjadi negarawan. Setelah
berjuang dalam kebangkitan bangsa, kemudian meraih kemerdekaan lalu
mempertahankan kemerdekaan serta tetap menjaga kesatuan dan persatuan.
Riak-riak politik, perseteruan antar para pemimpin politik, antara pemerintah
dengan pers dan antara pusat dan daerah dalam disintegrasi bangsa, Parada
Harahap memformulasikan kembali semangat pemuda ke dalam kesetiaan pemuda yang
diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda.
Untuk kali kedua, Parada
Harahap di saat yang tepat berada pada posisi portofolio tertinggi untuk
menyatukan pemimpin bangsa (senior maupun junior). Pada saat Kongres Pemuda
1953, Parada Harahap adalah pemimpin media, penulis buku Kebebasan Pers,
pemilik Akdemi Wartawan, Ketua Kopertis dan Penasehat Menteri Pendidikan.
Sedangkan pada Kongres Pemuda 1928 Parada Harahap adalah pemilik portofolio
tertinggi. Pemimpin media, sekretaris Sumatrnanen Bond, Ketua Kadin pribumi
Batavia. Hanya Parada Harahap yang kapabel untuk penyelenggaraan dua Kongres
Pemuda tersebut.
Bersambung:
Simpang Siur ‘Sumpah Pemuda’, Ini Faktanya (4): Analisis yang Keliru dan
Hasil Analisis yang Seharusnya; Sukarno dan Hatta Menghormati Parada Harahap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar