*Suatu sketsa Kota Padang Sidempuan
Ini adalah suatu sketsa (analisis sederhana)
berdasarkan fakta-fakta sejarah yang ada. Mungkin para generasi yang lebih muda
tidak menyadari bahkan mungkin tidak mengetahui, bahwa Kota Padang Sidempuan
masa kini, ternyata di jaman doeloe memiliki dinamikanya sendiri. Bagaimana
Kota Padang Sidempuan tumbuh di masa doeloe? Mari kita lacak!
***
Dimana ada jalan di situ ada penduduk,
sebaliknya dimana ada penduduk di situ ada jalan. Bagaimana lanskap Ankola,
Mandheling dan Pertibie (kemudian menjadi Padang Lawas) muncul dan terhubung di
masa doeloe kita hanya bisa merujuk pada era Hindu/Budha. Namun itu masih tetap
sebuah pertanyaan besar alias misteri. Situs Siaboe di Sungai Batang Ankola dan
Situs Batang Pane/Batang Baroemoen diduga memiliki peran dalam masa-masa awal
dalam eskplorasi emas era Hindu/Budha. Pertibie-Ankola terhubung di Pitjar Kolling
dan Baroemoen-Mandheling terhubung di Siaboe. Namun di era ekspedisi militer
Belanda, posisi Pitjar Kolling (kini Pijor Koling) kemudian menjadi pilihan
utama untuk menghubungkan Mandheling, Ankola dan Pertibie karena posisi Siboga
sebagai entry point.
Oleh karenanya, jauh sebelum Kampong Si
Dimpoean ditemukan oleh orang Belanda untuk mereka bangun menjadi sebuah kota
yang kini dikenal sebagai Kota Padang Sidempuan, lalu lintas orang dan barang di
Tanah Batak (kemudian menjadi Tapanoeli) sesungguhnya tidak pernah melewati
Kampong Si Dimpoean. Akan tetapi jalur militer Belanda Pitjar Koling (Ankola
Djai) dan Tobing dekat Oeta Rimbaroe (Ankola Djoeloe) via Siondop (hulu Sungai
Batang Ankola). Jalur militer Belanda ini besar kemungkinan adalah jalur lama
yang digunakan oleh padri yang sudah lama dirintis oleh penduduk Ankola,
Mandheling dan Pertibie pada era perdagangan garam. Sementara jalur perdagangan
awal lainnya adalah Sipirok ke Pertibie via gunung (Manoengkap) dan
Sipirok-Siboga via daerah aliran Sungai Batang Toru. Relasi yang kuat antara
Ankola-Sipirok dihubungkan oleh jalur via lereng gunung Loeboek Raja (termasuk
Batoea na doewa dan Pagaroetang.
***
Era Belanda semua jalur-jalur tradisional
tadi dalam perkembanganya kemudian diubah untuk membuat sinergi antara strategi
pertahanan (militair) dan ekonomi (civiel). Pertama benteng militer di
Pitjarkoling dipindahkan ke Kampong Si Dimpoean untuk membangun sebuah garnisun
(markas militer). Ibukota Controleur Ankola yang awalnya direncanakan di Pitjar
Koling pada tahun 1839 berubah dan mengikuti lokasi garnisun yang sudah lebih
dulu berada di Kampong Sidimpoean.
.
.
Sungai Batang Ankola di Sihitang tempo doeloe |
Pemerintah di Batavia kemudian mengikuti rute
ini dalam penyusunan jalan poros di Sumatra’s Weskust. Tentu saja yang dimaksud
jalan poros dalam hal ini baru berupa jalan setapak yang hanya bisa dilalui
oleh pengendara kuda dan pejalan kaki. Dalam Keputusan Gubernur Jenderal
Hindia-Belanda No. 22, tanggal 21 November I862 yang dimuat dalam lembaran
pemerintah (Staatsblad) No. 141, jalan poros (jalan Negara) ruas Tapanuli
merupakan bagian dari dari jalan poros Sumatra’s Westkust dari Padang ke Fort
de Kock, lalu Kotanopan, Padang Sidempoean dan Sibolga. Dalam keputusan ini,
diantaranya dinyatakan, jalan poros (utama) di wilayah hukum Gouvernement
Sumatra’s Westkust adalah sebagai berikut:
·
dari Kotta Nopan ke Laroe (½ etappe)
·
dari Laroe ke Fort Elout (Penjaboengan) (1
etappe)
·
dari Fort Elout (Penjaboengan) ke Siaboe (1
etappe)
·
dari Siaboe ke Soeroematingi (1 etappe)
·
dari Soeroematingi ke Sigalangan (1 etappe)
·
dari Sigalangan ke Padang Sidempoean (1
etappe)
·
dari Padang Sidempoean ke Panabassan (1
etappe)
·
dari Panabassan ke Batang Taro (1 etappe)
·
dari Batang Taro ke Loemoet (1 etappe)
·
dari Loemoet ke Parbirahan (1 etappe)
·
dari Parbirahan ke Toeka (½ etappe)
·
dari Toeka ke Sibogha (½ etappe)
***
Lukisan jembatan rotan di atas Batang Toroe 1840-1845 |
Ketika Controleur Ankola memulai tugas baru
di Padang Sidempoen (1842), rute yang ditempuh Contoleur adalah Natal,
Panyaboengan, Soeroemantigi dan Pitjar Koling. Hal ini karena Asisten Residen
berada di Kota Nopan. Dari arah Siboga meski sudah ada akses menuju Ankola
sejak doeloe, namun belum sepenuhnya dianggap aman. Sekitar tahun 1840-1845 Franz
Wilhelm Junghuhn coba menelusuri rute ini dalam eskpedisinya di selatan Tapanoeli.
Junghuhn sempat mengabadikan dalam sebuah lukisan tentang satu-satunya jembatan
akses menuju Ankola di atas Sungai Batang Toru. Jembatan gantung ini dibuat oleh
penduduk dari rotan (lihat gambar).
Jembatan terbuat kabel telegraf di Batang Toroe 1860-an |
Dalam perkembangannya ketika arus pengiriman
kopi dari Padang Sidempoean ke palabuhan di Loemoet dan Djaga-Djaga semakin
meningkat, jembatan gantung rotan ini diganti dengan jembatan gantung
(suspensi) yang lebih kuat yang terbuat dari kabel telegraf. Perbaikan jembatan
suspensi ini dilakukan (awal tahun 1860-an) setelah beberapa tahun jembatan
suspensi di Sihitang, Siborang dan Sigiring-giring dibuat. Dengan demikian,
rute dari Panyabungan maupun rute dari Siboga menjadi kualitasnya kurang lebih
sama. Kini, menuju Padang Sidempuan yang selama ini dari Panyabungan sudah
mulai ramai dari Siboga.
Jalan poros tersebut diperluas untuk mencakup
wilayah-wilayah baru. Ini dapat dilihat pada Keputusan Pemerintah Sumatra’s
Westkust tanggal 24 September 1864. Isinya antara lain, bahwa jalan poros
(Negara) Padang-Sibolga di wilayah Tapanoeli dari Rau, Kotta Nopan,
Penjaboengan, Padang Sidempoean, Batang-taro, Loemoet, Toeka tot Siboga.
Sedangkan jalan provinsi disebutkan diantaranya Padang Sidempuan ke Sipirok.
Selanjutnya diuraikan dari Padang Sidempoean, Tamian, Aik Simirik, Pageroetan,
Si Toemba, Aik Mandoerana, Sipirok. Sekali lagi, jalan poros ini masih sekadar
jalan setapak untuk pejalan kaki dan penunggang kuda.
***
Sekitar tahun 1870 jalan poros dikembangkan
dari jalan-jalan yang dulunya sebagai jalan setapak/jalan padati. Di sekitar Kota
Padang Sidempoean, saat pengembangan jalan poros ini dibangun jembatan baru
yang lebih kuat dari kayu di atas Sungai Batang Ayumi (jembatan Siborang),
Sungai Aek Sibontar (jembatan Sigiring-Giring), dan Sungai Batang Angkola di Sihitang.
Ketiga jembatan ini menggantikan jembatan sebelumnya yang menggunakan sistem suspensi (rambin)
yang terbuat dari kawat telegraf. Lalu kemudian jalan poros baru dikembangkan
ke arah Sipirok dengan membuka akses dari Siborang via Batunadua. Untuk akses
ke Batunadua sendiri dari Pasar Siborang melalui pasar lama Sitamiang via
Bakaran Batu (lewat bukit) diubah melalui Kampung Tanggal dengan cara membuka
jalan baru sepanjang sisi Sungai Batang Ayumi dan lereng bukit yang agak
terjal.
Dengan semakin ditingkatkannya kualitas jalan
darat poros Padang, Fort de Kock, Panyabungan, Padang Sidempuan dan Siboga,
maka akses dari dan ke Padang Sidempuan semakin mudah. Jalan yang ada semakin
lebar dan kendaraan padati dikembangkan untuk alat angkutan jarak jauh untuk
barang (komoditi pertanian dan perkebunan, barang industri dan lainnya). Tentu
saja alat transportasi kuda masih diperlukan terutama untuk membawa orang dan
surat-surat yang memerlukan waktu yang segera, Masalah yang tersisa adalah
bagaimana meningkatkan jembatan suspensi Batang Toroe menjadi jembatan yang
permanen mengingat dari sisi sungai ke sisi lainnya sangatlah lebar.
Kebutuhan jembatan yang besar dan kuat di
atas Sungai Batang Toroe semakin dirasakan. Hal ini karena sejak tahun 1875,
positioning Kota Padang Sidempuan semakin menguat di Tapanoeli. Kota Padang
Sidempuan tidak hanya strategis dalam hankam dan ekuin, tetapi juga secara
sosbud. Ekonomi kopi di Mandheling en Ankola yang semakin bagus dan
pengembangan sekolah guru (kweekschool) yang berkapasitas lebih besar di Padang
Sidempoean mendorong perlunya percepatan moda transportasi darat antara Padang
Sidempoean dan Siboga atau sebaliknya.
***
Di Batavia, sejumlah insinyur ditantang untuk
bersedia menantang ganasnya Sungai Batang Toroe untuk membangun sebuah jembatan
permanen di atasnya. Seorang yang bernama Werken A. Eisses bersedia mengambil
risiko itu. Sebelum pembangunan dimulai, selama perencanaan mulai dari merancang
master plan hingga penyediaan bahan, Eisses beberapa kali datang ke Batang
Toroe untuk mempelajari struktur tanah dan perilaku air ditempat dimana ia akan
rencanakan jembatan akan dibangun. Lokasi posisi jembatan yang dipilih Eisses
adalah agak jauh ke selatan jembatan gantung (rambin), justru ke tempat dimana
sungai makin melebar. Sedangkan posisi rambin berada dimana lebar sungai sangat
sempit. Tentu saja teori penduduk asli yang membangun rambin dengan teori Mr.
Eisses yang akan membangun jembatan permanen memiliki pertimbangan
masing-masing. Lokasi dimana Eisses menemukan sebuah pulau di tengah sungai
yang akan dimanfaatkannya dengan perhitungan matematis dan fisika yang cermat.
Pada masa itu (pertengahan 1870-an), proyek unik
ini tentu saja sangat ambisius dan gila apalagi di Nederlansche Indie.
Pembangunan jembatan ini tidak hanya berisiko karena teknologi jembatan masih
sederhana tetapi juga akan membutuhkan biaya yang besar dan masa pembangunan
yang cukup lama. Gubernur Jenderal di Batavia menganggap ini sebagai sebuah
prestasi jika berhasil dibangun. Suatu prestasi besar membutuhkan investasi
besar, dan investasi besar akan mendatangkan keuntungan yang besar. Gubernur
Jenderal melihat posisi ekonomi dan perdagangan komersil dari Mandheling en
Ankola sangat mendukung proyek jembatan ini.
Pembangunan jembatan ini lalu dimulai pada
tahun 1879. Seluruh panjang jembatan adalah 110, 25 M dengan lebar antar pagar 5.54
M. Konstruksinya dibuat dengan dua pilar batu penopang jembatan yang berada di
pulau dimana jarak antar dua pilar ini 27,63 M, sementara satu sisi sungai dengan
pilar berjarak 44,00 M dan sisi yang lainnya 38,62 M. Antar dua pilar di pulau akan
menggunakan bahan lokal balok kayu kamper terbaik berukuran 45 cm, sementara dua
bentang di lengan sungai dibuat sesuai dengan sistem Howe dan kisi-kisi. Rel
atas terhubung ke bantalan batang besi padat. Pagar atas dan di bawah berbaring
menggunakan plat besi cor yang masing-masing terhubung balok besar dan empat
kisi-kisi yang dibentuk oleh serangkaian balok dengan ukuran yang berbeda
dengan satu sama lain yang akan membentuk sebuah array segitiga.
Landhoofden dan pilar dibangun dari
puing-puing yang dibangun di atas batu-batu yang membentuk tepi sungai dan yang
enam kaki tebalnya. Selain itu, penutup jembatan oleh atap terbuat dari kamferhoat
yang dimaksudkan untuk melawan pengaruh dari cuaca dan pegangan terbuat dari besi
galvanis. Sementara itu di atas terdapat dua kanopi melindungi pengaruh hujan
dan panas terik. Upaya yang lain diperlukan adalah dengan ketinggian tertentu
untuk menghindari bahaya banjir setinggi 10 meter di atas permukaan air.
Pembangunan jembatan Batang Toroe, 1879-1883 |
Jika ada yang layak hadiah di Nerderlansche
Indie, itu harus dialamatkan kepada seorang yang berada di belakang sebuah penciptaan
arsitektur yang indah ini. Anda bisa bayangkan jembatan ini telah menelan biaya
sebesar f 140.000 dan telah lulus uji kemampuan. Pada tanggal 23 April lalu,
pagi antara 09:00 dan 09:30, kejutan gempa yang sangat keras dan begitu hebat dari
arah selatan ke utara. Semua orang takut akan bahaya jembatan jatuh, namun
nyatanya hanya mengalami pergeseran dengan variasi paling panjang 20 cm. Untuk
materi batu maupun kayu tidak seberapa kerusakan yang ditimbulkan. Beberapa
personil yang masih ada dari sisa pekerjaan menjadi kesal karena dinding kisi
agak kendur namun masih bisa dikencangkan. Cobaan Tuhan ini ternyata tetap membuktikan
bahwa karya insinyur ini tergolong sangat baik. Saya sendiri hanya melihat
hanya terdapat defleksi selebar 20 cm pada tegangan jembatan sisi yang 44 M
namun kemudian dapat diatasi.
***
Werken A. Eisses hanyalah arsitek kelas-2
yang bekerja pada Waterstaats en Lands Burgerlijke Openbare, tetapi berani
menantang yang seharusnya menjadi pekerjaannya. Dia berhasil membangun jembatan
raksasa dan terpanjang di Nederlansche Indie. Atas keberhasilnnya dan kepuasan
pemerintah atas karyanya diberikan cuti berlibur ke Negeri Belanda.
***
Renovasi jembatan Batang Toroe, 1915 |
***
Pengerjaan jembatan Batang Toroe pertengahan 1930-an |
Wujud jembatan Batang Toroe 1930-an (samping) |
Wujud jembatan Batang Toroe 1930-an (depan) |
***
Jembatan Batang Toru masa kini |
Setelah era kemerdekaan, kembali jembatan Batang
Toroe ini ditingkatkan dengan mutu yang lebih baik dan lebih lebar yang masih berfungsi sampai sekarang.
(bersambung)
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber
utama, antara lain:
- Topographisch Bureau, Batavia, Batavia: Kaart van Padang Si Dimpoewan en Omstreken (1880).
- Kaart van het Gouvernement Sumatra's Westkust : opgenomen en zamengesteld in de jaren 1843 tot 1847 / door L.W. Beijerink met medehulp van C. Wilsen... et al. Beijerink, L.W., Topographisch Bureau, Batavia, 1852.
- Peta 1830
- Peta 1908
- Peta 1943
- Etappekaart Sumatra's West Kust, 1845
- Almanak Pemerintahan Belanda
- Koran-koran Belanda
- Laporan Tahunan Pemerintahan Belanda
- Observasi pribadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar