Sabtu, Juli 17, 2021

Sejarah Peradaban Kuno (75): Orang-Orang Angkola Mandailing di Pulo Jawa; Batak dan Jawa Sejak Kerajaan Aru-Kerajaan Singasari

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Peradaban Kuno di blog ini Klik Disini 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Sidempuan di blog ini Klik Disini

Interaksi antara penduduk Batak dan penduduk Jawa sejatinya sudah berlangsung sejak zaman kuno. Hal ini paling tidak dapat diperhatikan sejak era Hindoe Boedha pada candi Simangambat yang dibangun pada abad ke-8 dan candi Padang Lawas yang dibangun pada abad ke-11. Interaksi ini terutama dalam hal perdagangan, yang mana Kerajaan Aru yang beribukota di Binanga (pertemuan sungai Pane dan Barumun) membutuhkan beras dari Jawa dan kamper dan kemenyan dari Tanah Batak Hal ini juga terus berlanjut hingga awal Republik Indonesia. Pada Sensus Penduduk 1920 jumlah orang Batak di Jawa sudah mencapai 868 jiwa yang sebagian besar dari wilayah Angkola Mandailing.

Pada era Hindia Belanda, orang Angkola Mandailing yang pernah ke Jawa yang pertama adalah Willem Iskander di Batavia ketika mempersiapkan keberangkatan studi ke Belanda 1857 dan kepulangannya 1861. Salah satu murid Willem Iskander yang menjadi guru dan penulis adalah Dja Mangantar gelar Baginda Radja wafat di Kemajoran Batavia, pada tahun 1870. Dua muridnya lagi yang pernah di Batavia adalah Maharadja Soetan sebagai wakil kepala distrik di Senen dan Soetan Abdoel Azis sebagai wakil kepala district di Kebajoran tahun 1878. Siswa-siswa asal Angkola Mandailing yang studi ke Jawa maupun Belanda banyak yang tidak kembali ke kampong halaman dan lebih memilih menetap di Jawa. Salah satu yang terkenal adalah Radjamin Nasution yang pernah kuliah di STOVIA menjadi anggota dewan kota (gemeenteraad) di Soerabaja pada tahun 1929. Radjamin Nasution kemudian menjadi wali kota pertama yang berasal dari pribumi di Kota Surabaya. Ini menunjukkan bahwa orang Angkola Mandailing dapat diterima di Jawa. Sebaliknya orang Jawa juga diterima di Angkola Mandailing. Ketika perkebunan karet mulai banyak diusahakan di Angkola (seperti di Batangtoru, Pijor Koling dan Simarpinggan) pada awal tahun 1900, banyak petani asal Jawa yang datang ke Angkola. Dari sinilah asal usul mengapa ada nama kampung Jawa di kota Padang Sidempoean sejak era Hindia Belanda.

Lantas bagaimana sejarah orang Angkola Mandailing di Jawa? Seperti disebut di atas itu sudah berlangsung sejak zaman kuno ketika Kerajaan Aru mulai eksis dan hubungan perdagangan semakin intens sejak Kerajaan Singhasari. Radja Kertanegara dari Kerajaan Singhasari termasuk salah satu pendukung fanatik agama Boedha Batak sekte Bhairawa. Hubungan kerjasama antara orang-orang Angkola Mandailing juga terkesan kuat ketika perang kemerdekaan yang mana ibu kota RI do Jogjakarta. Selama ibu kota RI di Jogja salah satu putra Angkola Mandailing menjabat sebagai Perdana Menteri yakni Mr Amir Sjarifoeddin Harahap. Satu yang unik pada era perang kemerdekaan ini ajudan pribadi Soeltan Jogja (Hamengkoeboewono IXI) berasal dari Angkola Mandailing yakni Kapten (Infantri) M Karim Loebis. Bagaimana semua itu terjadi? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Orang Angkola Mandailing di Jawa: Kerajaan Aru dan Kerajaan Singhasari

Orang Angkola Mandailing pertama ke Jawa adalah Si Angan (onderafdeeling Angkola) dan Si Asta (onderafdeeling Mandailing). Keduanya melanjutkan studi ke Docter Djawa School di Batavia pada tahun 1854. Keduanya merupakan siswa-siswa yang diterima di Docter Djawa School yang berasal dari luar Jawa. Sebelum mereka tidak pernah teridentifikasi orang Angkola Mandailing yang pernah ke Jawa. Lalu pada tahun 1856 dua siswa lagi dari Angkola Mandailing Si Dorie dan Si Napang diterima di Docter Djawa School. Demikian seterusnya secara berkala.

Cabang pemerintahan di Residentie Tapanoeli baru dibentuk pada tahun 1845 yang terfiri dari tiga afdeeeling (Natal, Angkola en Mandailing dan Sibolga). Ibu kota residentie di Sibolga. Ibu kota afdeeling (kabupaten) Angkola Mandailing berada di Panjaboengan. Afdeeling Natal dan Afdeeling Angkola Mandailing sendiri dibentuk tahun 1840 yang tergabung dalam Residentie Air Bangis. Pada tahun 1844 Residentie Air Bangis dibubarkan yang mana Afdeeling Natal dan Afdeeling Angkola Mandailing dengan penambahan Afdeeling Sibolga dibentuk Residentie Tapanoeli.

Sementara siswa-siswa asal Angkola Mandailing di Docter Djawa School, salah satu murid terbaik Willem Iskander lulusan Kweekschool Tanobato bernama Dja Mangantar diperkejakan pemerintah pusat di Batavia sebagai penerjemah, peraturan pemerintah dari bahasa Melayu ke dalam bahasa Batak. Namun Dja Mangantar yang masih muda meninggal dunia di Batavia pada tahun 1874.

Makam Dja Mangantar gelar Baginda Radja disebutkan berada di Kemajoran, Batavia. Disebutkan dalam keterangan foto yang dibuat Petz & Co, Dja Mangantar meninggal di Batavia pada tanggal 8 Oktober 1874 dalam usia 22 tahun dan dimakamkan di Kemajoran (Overleden op 8 Oktober 1874 op 22-jarige leeftijd). Masih muda, namun sudah mendapat penghargaan dari Pemerintah Hindia Belanda.

Ketika dibuka kursus magang kedokteran hewan di Poerwokerto (1875-1880) dua murid Willem Iskander juga disertakan dalam kursus tersebut yang terdiri dari sembilan siswa. Pada tahun 1880 hanya delapan siswa yang dinyatakan lulus. Mereka inilah yang menjadi dokter hewan pribumi pertama di Hindia Belanda. Salah satu dari yang lulus itu adalah Radja Proehoeman yang ditempatkan di Kinari Afdeeeling Lima Poeloe Kota (Residentie Padangsch Bovenlanden). Sedangkan rekannya diduga ditempatkan di Afdeeling Padang Lawas (Residentie Tapanoeli).

Pada tahun 1902 Docter Djawa School diubah menjadi STOVIA yang mana siswa yang diterima harus lulusan ELS. Lulusan Docter Djawa School yang terakhir yang berasal dari Angkola Mandailing antara lain Dr Mohamad Hamzah (lulus 1901) ditempatkan di telok Betong dan Dr Haroen Al Rajid (lulus 1902) ditempatkan di Padang. Dr Abdoel Hakim dan Dr Abdoel Karim (yang lulus bersama Dr Tjipto M) pada tahun 1905. Lalu yang terakhir lulus adalah Dr Mohamad Daulay dan Dr Isa pada tahun 1906. Pada tahun 1906 seorang siswa ELS di Padang Sidempoean diterima di STOVIA yakni Radjamin Nasution (kelak menjadi Wali Kota pribumi pertama di Soerabaja). Sementara itu ketika Sekolah Kedokteran Hewan (Veeartsenschool) di Buitenzorg dibuka tahun 1907 salah satu lulusan ELS Padang Sidempoean diterima bernama Sorip Tagor (kelak menjadi pribumi pertama bergelar dokter hewan setara Eropa, setelag lulus sekolah kedokteran di Utrecht). Setelah Sirip Tagor kemudian pada tahun-tahun berikutnya menyusul Alimoesa Harahap dan Alibosar. Pada tahun 1910 Abdoel Azis Nasution menyusul ke Buitenzorg untuk mengikuti pendidikan di sekolah pertanain (landbouwschool). Pada tahun 1915 seorang siswa asal Angkola Mandailing Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi memasuki sekolah hukum (rechtschool) yang dibuka sejak tahun 1909 (kelak pada tahun 1925 meraih gelar Ph.D bidang hukum di Leiden).   

Hingga tahun 1915 sudah sangat banyak yang tinggal di Jawa (Batavia, Depok, Buitenzorg dan kota-kota besar lainnya) yang berasal dari Angkola Mandailing. Mereka umumnya datang awalnya untuk bersekolah tetapi banyak yang menetap di Jawa. Orang-orang yang berasal dari Sumatra mulai membentuk organisasi termasuk di dalamnya orang Angkola dan Mandailing. Organisasi tersebut disebut Sumatranen Bond di Batavia pada bulan Desember 1917. Salah satu wakil ketua berasal dari Angkola Mandailing adalah Abdoel Moenir Nasution.

Organisasi kebangsaan (bond) ini bermula di kota Padang pada tahun 1900. Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda menggagas pendirian oranganisi pribumi yang disebut Medan Perdamain. Sebagai direktur pertama adalah Dja Endar Moeda (1900-1903). Pada bulan Mei tahun 1908 di Batavia didirikan organisasi kebangsaan Boedi Oetomo oleh para mahasiswa STOVIA asal Jawa seperti Soetomo. Lalu pada bulan Oktober 1908 mahasiswa pribumi di Belanda yang digagas oleh Radjieon Harahap gelar Soetan Casajangan mendirikan organisasi kebangsaan yang disebut Indisch Vereeniging yang mana sebagai presiden Soetan Casajangan sendiri. Namun karena dipandang pembangunan yang khas di Sumatra, mahasiswa-mahasiswa yang tergabung dalam Indisch Vereeniging membentuk sub organisasi yang disebut Organisasi Anak Sumatra dengan nama Sumatra Sepakat pada bulan Januari 1917 yang mana sebagai ketua adalah Sorip Tagor Harahap (mahasiswa kedokteran hewan di Utrevgt) dan sebagai bendahara adalah Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia. Atas inisiatif di Belanda inilah kemudian didirikan juga oraganisasi kebangsaan Sumatra di Batavia pada bulan Desember 1917. Oleh karena semakin banyaknya orang-orang Batak di Batavai terutama yang berasal dari Angkola Mandailing maka dibentuk sub organissi yang kemudian disebut Bataksche Bond. Ketuanya adalah Dr Abdoel Rasjid Siregar. Salah satu pengurus yang namanya terkenal adalah Sanusi Pane. Setelah Sumatranen Bond membuka cabang di Padang pada tahun 1918 dan pada tahun 1919 di Sibolga dan Soerabaja. Ketua Sumatranen Bond di Sibolga diketuai oleh Parada Harahap. Sementara itu sekretaris Sumatranen Bond di Soerabaja adalah Radjamin Nasution (lihat De locomotief, 24-11-1919).

Pada tahun 1920 diadakan sensus penduduk yang pertama. Dari hasil sensus penduduk ini di Jawa diketahui orang Batak sudah berjumlah sebanyak 868 orang. Seperti disebut di atas mereka tersebar di berbagai kota seperti Batavia, Buitenzorg dan Soerabaja.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Orang Angkola Mandailing di Jawa: Hindia Belanda hingga Era Republik Indonesia

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar: