Sabtu, Juli 03, 2021

Sejarah Peradaban Kuno (61): Tou Minahasa dan Orang Manado; Kota Binanga hingga Kota Amurang di Semenanjung Sulawesi

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Peradaban Kuno di blog ini Klik Disini 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Sidempuan di blog ini Klik Disini

Seperti halnya di pulau-pulau di Filipina terutama di pulau Luzon, tanda-tanda pengaruh navigasi pelayaran perdagangan Kerajaan Aru juga terlihat di pulau Sulawesi. Untuk membuat pemahaman lebih detail, dibagi ke dalam dua wilayah pengaruh (bagian utara dan bagian selatan). Deskripsi bagian selatan akan dibuat artikel sendiri, Pengaruh navigasi pelayaran perdagangan Kerajaan Aru di pulau Sulawesi bermula di Semenanjung Sulawesi yang berdekatan dengan Filipina. Seperi halnya di Filipina (prasasti Laguna 900 M), dalam hal ini di wilayah Semenanjung Sulawesi dapat diperhatikan pada prasasti Watu Rerumeran yang ditemukan di desa Pinawetengan atau Pinabetengan (kecamatan Tompaso Barat, kabupaten Minahasa, provinsi Sulawesi Utara).

Hingga pada masa ini banyak penulis yang masih memperdebatkan asal-usul etnik (bangsa) Minahasa di Semenanjung Sulawesi. Namun sumber tua tentang penduduk Minahasa dipercaya adalah prasasti Watu Rerumeran yang bahasa setempat juga disebut Watu Pinawetengan (Batu Pembagian). Pada prasasti tersebut ditafsirkan adanya di zaman kuno kesepakatan diantara para pemimpin kelompok penduduk tentang wilayah-wilayah di dalam satu federasi. Pada batu prasasti itu ada yang membaca teks sebagai Min Nan Tou yang diartikan ada asosiasinya dengan Orang dari (dinasti) Min[g]. Tentu saja ada yang membantah karena faktanya tidak ada unsur (kebudayaan) Tiongkok dalam elemen budaya Minahasa yang mencolok (seperti bahasa, aksara, seni dan religi). Tentu saja dengan alasan-alasan itu tidak pula dapat disebut tidak ada hubungan asal-usul orang Minahasa yang terkait dengan ras mongoloid (berkulit lebih terang). Boleh jadi di dalam perjalanan sejarah Minahasa ada sejarah yang tumpang tindih yang dalam hal ini diperlukan penyelidikan yang lebih menyeluruh (ruang dan waktu).

Lantas bagaimana sejarah asal usul orang Minahasa di Semenanjung Sulawesi? Tentu saja pertanyaan haruslah dihubungkan dengan pertanyaan yang terpisah soal asal-usul orang Manado dan sub etnik lainnya di Semenanjung Sulawesi seperti Bolaang Mengondowa dan Gorontalo. Lalu yang perlu dipertanyakan apakah ada pengaruh navigasi pelayaran perdagangan Kerajaan Aru di wilayah Semenanjung Sulawesi. Minanga atau Binanga adalah ibu kota Kerajaan Aru di muara sungai Barumun di pantai timur Sumatra (kini Tapanuli Selatan) dan kota pelabuhan Amurang sebagai kota tua yang menjadi begitu penting pada era Portugis. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Prasasti Watu Rerumeran: Navigasi Pelayaran Perdagangan Kerajaan Aru

Ada peneliti bahasa dan aksara Tiongkok Kuno, 1997 menyimpulkan teks yang terdapat pada Watu Pinawetengan sebagai Min Nan Tou yang diartikannya sebagai Tou Minhasa yang artinya orang turunan raja Ming. Itu boleh-boleh saja sebab namanya penafsiran sendiri. Namun perlu disadari satu aspek (dalam hal itu aspek linguistik) tidak cukup untuk menjelaskan sejarah yang luas dan sejarah yang panjang hingga di zaman kuno. Pendapat ahli linguistik itu harus dihormati, tetapi belum tentu bisa diadopsi karena masih ada (mungkin banyak) argumen lainnya.

Deskripsi prasasti Watu Pinawetengan yang pada era kolonial Belanda disebut Watu Rerumaren, suatu batu yang memiliki guratan pada permukaan batu yang mana disebut peneliti aksara dan bahasa di atas tertulis Min Nan Tou. Pada permukaan batu itu juga ada motif gambar manusia, lingga dan yoni serta gambar daun dan garis-garis. Kapan batu tersebut digurat tentulah sulit diketahui, kecuali isi prasastinya diperbandingkan dengan berbagai aspek di tempat lain, yng tidak hanya bahasa dan aksara juga makna yang tersirat di dalam prasasti.

Ada berbagai legenda yang (mungkin) dapat dihubungkan dengan pembuatan atau keberadaan prasasti Watu Minahasa ini. Disebut beberapa kelompok penduduk berbeda bahasa zaman kuno bertemu (musyawarah) untuk bersatu (menjadi semacam federasi) dengan berikrar satu keturunan Toar dan Lumimuut dimana semua Pakasa’an menyebut dirinya Mahasa asal kata Esa artinya satu. Dalam perjalanan waktu terbentuk pakasa’an baru yakni Toundanou dan Tounsea. Dengan demikian Minahasa menjadi empat pakasa’an: Toungkimbut (berubah menjadi Toumpakewa), Toumbuluk, Tonsea dan Toundanou. Pakasa’an terdiri dari walak. Walak sendiri dalam bahasa lokal adalah kelompok penduduk seketurunan. Kepala walak artinya pemimpin penduduk yang satu cabang keturunan, Tu’ur Imbalak diartikan sebagai wilayah asal sebelum terbentuk cabang-cabang keturuan baru. Sistem ini kurang lebih serupa dengan di Tanah Batak yang penduduknya berkelompok berdasarkan seketurunan (marga) yang kemudian membentuk federasi dengan marga lain.

Disebutkan penduduk Minahasa berawal dari dua pakasa’an dan kemudian menjadi empat pakasa’an. Ini juga mirip dengan prasasti yang ditemukan di Seko (Toraja). Kata walak dalam bahasa Minahasa Tontemboan adalah kelompok seketurunan yang dapat diangap satu marga. Kata walak mirip kata halak dalan bahasa Batak yang diartikan sekelompok penduduk (yang seketurunan) yang membentuk federasi (luhat). Pengertian tu’ur imbalak mirip dengan bahasa Batak Angkola Mandailing sebagai hombar balok, wilayah baru yang bertetangga dari kampong asal (huta panusunan bulung). Empat kelompok penduduk yang berada di Seko yang ditunjukkan adanya prasasti empat batu musyawarah disebut daliang. Di dalam bahasa Batak disebut dalihan (tungku) yang tiga bermusyawarah (dalihan na tolu).

Jika diperhartikan lebih lanjut banyak hal yang mirip dengan di Tanah Batak. Penduduk Minahasai di Tanah Melesung, seperti halnya penduduk Batak sebagai pemuja leluhur yang mereka sebut para tonaas. Watu Pinawetengan sendiri berada di bukit Tonderukan tidak jauh daru gunung Empung. Hal itu mengapa Watu Pinawetengan disebut Watu Rerumeran ne Empung yang diartikan sebagai batu batu tempat para leluhur Tou Malesung berunding berikrar untuk menjadi satu yakni satu Tou Minahasa. Dalam bahasa Batak Angkola Mandailing Watu Rerumeran ne Empung dapat dibaca sebagai Batu Rerumeran ni Ompung (Batu Rerumeran dari Para Kekek Leluhur). Lalu apakah nama Minahasa yang dipilih merupakan singkatan dari Minanga Esa (Minanga Besatu). Bukankah Minangan pada zaman kuno adalah ibu kota Kerajaan Aru (yang kini kota kecamatan di kabupaten Padang Lawas).

Di wilayah dimana ditemukan Watu Rerumeran ne Empung terdapat nama wilayah Ratahan dan Pasan Pada masa lampau pelabuhan Ratahan ini disebut Mandolang (kini disebut Belang). Tiga nama Ratahan dan Mandolang ini mirip dengan nama daerah di Angkola Mandailing (Tapanuli Selatan) yakni Mandailing dengan pelabuhan kampernya zaman dulu di Batahan (dekat kota Natal yang sekarang). Nama Ratahan juga disebut Pelolongan (nama yang mirip Parlampungan dekat Batahan). Nama Pasan seakan korupsi dari Pasaman.

Pada masa ini nama Minahasa sesungguhnya bukanlah nama suatu etnik (bangsa) tetapi lebih pada nama wilayah atau seperti disebut di atas sebagai nam suatu federasi dari para pemimpin walak (halak). Faktanya antara satu pakasa’an dengan pakasa’an lainnya terdapat perbedaan (Toumpakewa), Toumbuluk, Tonsea dan Toundanou). Meski demikian, diantara pakasa’an yang ada dalam aspek linguistik ada persamaan. Persamaan dalam bahasa Minahasa ini mirip kosa kata elementer yang terdapat dalam bahasa Batak Angkola Mandailing.

Kosa kata elementer yang mirip bahasa Batak Angkola Mandailing dengan bahasa Minahasa adalah sebagai beikut: amang, ama (ayah), inang, ina (ibu), ate (hati), bale (rumah), baba (mulut), bakbak (mengalahkan), bangi atau borngin (malam), buni (sembunyi), banua (kampung), dalan (jalan), dila (lidah), dou atau dao (jauh), dukut atau duhut (rumput), nabu atau dabu (jatuh), empung atau ompung (kakek, leluhur), garot atau garut (garuk), ipan atau ipon (gigi), kali (gali), lua (muntah), matou atau matua (hidup), manje atau manjae (pergi), pate atau mate (mati), para (kering), rongit (nyamuk), sei atau ise (siapa), taon (tahun), taktak (potong), tuama atau ama-ama (laki-laki), babene atau babere (perempuan), udan (hujan), ulu (kepala). Siou atau sia (sembilan). Yang juga perlu ditambahkan dalam hal linguistik ini adalah awalan ma atau mar yang mirip penggunaannya di Angkola Mandailing.

Dalam kekerabatan bahasa antara bahasa Minahasa dan bahasa Batak (Angkola Mandailing) tentu saja sangat jauh, karena menurut linguistatistik persamaann diatas 60 persen dapat dikatakan berkerabat dekat. Namun yang menjadi perhatian dalam hal ini adalah mengapa begitu banyak kosa kata elementer yang sama, kosa kata elementer ini justru bersifat khas, bukan kosa kata yang umum seperti rua, toloe opat dan sebagainya.

Selain itu masih banyak persamaan antara Minahasa dan Batak Angkola Mnadailing selain struktur pemerintahan tradisional (federasi) bahasa dan nama-nama geografi. Persamaan lainnya adalah kemiripan dalam aksara (yang berbeda dengan aksara Jawa). Warna dasar juga memiliki pola yang sama hitam, putih dan merah. Tentu saja pola aristektur atap rumah yang masih terkesan mirip serta pemujaan terhadap leluhur. Satu hal lagi soal nama geografi bahwa di wilayah Minahasa begitu banyak ditemukan nama Minanga. Minanga atau Binanga adalah ibu kota Kerajaan Aru pada zaman kuno (lihat prasasti Kedukan Bukit 682 M dan prasasti Laguna 900 M). Nama-nama Minanga tidak hanya di Minahasa, juga ditemukan di Manado, Bolangan Mongdow, Gorontalo, Mamasa dan Filipina.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Penduduk Minahasa dari Masa ke Masa: Wilayah Strategis dan Mix Population

Penduduk yang terbilang awal di pulau-pulau di Hindia Timur adalah orang negrito (berkulit gelap). Pada era VOC disebut masih ditemukan di Jawa dan Semenanjung tetapi tidak ditemukan lagi di Sumatrra (kecuali di pulau Andaman). Pada era Pemerintah Hindia Belanda ras negrito ini masih ditemukan di beberapa pulau di Nusa Tengara dan salah satu pulau di Kepulauan Maluku. Orang-orang negrito semakin tergusur dengan golongan ras campuran (Alifoeroen). Ras penduduk Alifoeroen pada awal VOC ini di wilayah pulau Sulawesi umumya berada di pedalaman termasuk di pedalaman wilayah Semenanjung Sulawesi (Minahasa). Ras Alifoeroen di Minahasa ini lambat laun semakin tergusur (disebabkan populasinya yang sedikit dan telah terjadi perkawinan campuran dengan pendatang baru). Ras Alifoeroen ini menjadi jembatan antara generasi ras Alifoeroen dengan ras yang sekarang (Melayu atau Austro-polinesian). Ras Alifoeroen inilah diduga kuat yang membuat prasasti Watu Rerumeran dan pengguna bahasa Minahasa Kuno). Sisa-sisa bahasa Minahasa Kuno masih banyak terdapat dalam bahasa Minahasa moderen (masa kini) seperti inang, ina, amang, ama dan tou.

Catatan tentang nusantara sudah ada ribuan tahun, Ptolomeus pada abad ke-2 sudah mencatat pulau Sumatra bagian utara sebagai sentra produksi kamper. Dalam catatan Ptolomeus di dalam bukunya Geografi yang terbit tahun 150 M juga menyebut nama Kattigara yang banyak para ahli pada era kolonial Belanda sepakat lokasinya berada di Kamboja. Sementara itu, sejarah Tiongkok sudah dicatat dalam Ssu-ma Ch'ien (86 SM) dan Pan Ku (92 M). Namun dalam catatan-catatan tersebut belum ada indikasi tentang yang terkait di wilayah laut selatan (Laut China Selatan). Baru pada catatan Hou-Han Shu (Bab 6 halaman 3b) atau Sejarah dari Dinasti Han disebutkan bahwa pada tahun 132 M. pesisir wilayah di timur laut Jih-an sudah menjadi titik terminal untuk navigasi pelayaran dari Laut Selatan. Disebutkan pada tahun itu raja Yeh-tiao dari luar perbatasan Jih-nan mengirim seorang duta besar untuk memberikan upeti kepada Kaisar (Tiongkok) dan Kaisar telah memberikan jaminan kepada Tiao Pien, raja Yeh-tiao berupa segel (cap) emas dan ungu.

Dalam catatan Tiongkok nama Jih-nan dicatat untuk merujuk pada Annam (kelak disebut Champa; provinsi An di Vietnam yang sekarang). Dalam catatan Tiongkok itu disebut raja Yeh-tiao yang berada dari luar Annam, Besar dugaan raja Yeh-tiao telah mencapai navigasi pelayaran perdagangan hingga Annam. Tidak ada yang mampu menjelaskan Yeh-tiao ini dimana, Namun dengan merujuk pada catatan Ptolomeus 150 M bahwa bagian utara Sumatra adalah sentra produksi kamper, diduga kuat bahwa raja Yeh-tiao (diucapkan dalam bahasa Tiongkok) kelak dikenal sebagai Kerajaan Aru di muara sungai Barumun. Sebab hal ini didukung literatur Eropa pada abad ke-5 bahwa produk kamper diekspor melalui pelabuhan yang disebut Barus (di pantai barat Sumatra). Sementara pelabuhan Kerajaan Aru di pantai timur Sumatra berada di Binanga (pertemuan sungai Pane dan sungai Barumun).

Memang ada yang coba menghubungkan nama Yeh-tiao dengan Jawa (Yawadwipa), tetapi itu terkesan mengada-ada, sebab kerajaan pertama di Jawa baru muncul pada abad ke-4 (Kerajaan Taruma).  Sementara catatan Eropa maupun Tiongkok berbicara tentang abad ke-2. Dalam konteks inilah Kerajaan Aru telah melakukan navigasi pelayaran perdagangan hingga Jih-nan untuk bertukar mata dangan kamper, emas dan kemenyan dengan produk-produk Tiongkok (porselin, paralatan dan perlengkapan, manik-manik dan sebagainya).

Lantas muncul pertanyaan. Apakah yang dimaksud orang Tiongkok dengan raja Tiao Pien dari kerajaan Yeh-tiao? Apakah itu terkait dengan Kerajaan Aru dengan pelabuhannya Barus dan Binanga? Nama Yeh-poti dalam bahsa Tiongkok ada yang mengartikan nama Sumatra. Namun apa pun maksudnya dengan Tiao Pien, Yeh Tiao dan Yeh Poti, jika diterjemahkan nama raja Tiao Pien dalam bahasa Tiongkok akan diartikan Sejuta Pinus. Lalu apakah gelar raja Yeh Tiao adalah Sejuta Pinus. Bukankah pinus hanya ditemukan di Sumatra di Angkola (Sipirok)? Lepas daripada itu bukankah Tiao mirip Aru dalam pelafalan orang Tiongkok. Namun sekali lagi, masih sulit dipahami. Kecuali yang mudah dipahami bahwa raja Tiao Pien itu berasal dari  luar Jih-nan (Kerajaan RU) DI Yeh-tiao atau Yeh-poti (Sumatra). Singkatnya ada kerajaan pada abad ke-2 yang berada jauh dari Tiongkok di luar Jih-nan.

Kerajaan Aru tentulah masih sangat kecil jika dibandingkan dengan Kerajaan Tiongkok. Dalam rangka perdagangan ke Annam, raja Yeh-tiao dari Kerajaan Aru di pantai timur Sumatra membutuhkan proteksi karena banyaknya ancaman bajak laut di seputar Laut China Selatan, Raja Aru tentu masih lebih murah membayar upeti daripada kapal-kapal dagangnya dirampok oleh para bajak laut.

Bagaimana posisi raja dari Kerajaan Aru di seputar Laut China Selatan dapat dibaca pada prasasti Vo Cahn abad ke-3. Prasasti Vo Cahn ini pada masa ini ditemukan di Vo Cahn, Vietnam yang lokasinya tidak jauh dari Annam atau Champa zaman kuno.

Dalam prasasti ini disebutkan bahwa raja termasyhur telah mendoakan orang tua pangeran (di Annam) yang belum lama meninggal dan sang pangeran yang baru naik tahta. Istri sang pangeran ini adalah putri raja yang masyhur tersebut. Raja termasyhur ini besar dugaan raja dari Kerajaan Aru di Sumatra yang pernah meminta proteksi pada kerajaan Tiongkok untuk mendirikan kedutaan di Annam. Dalam konteks inilah yang bermula dalam hubungan perdagangan Kerajaan Aru dengan Annam menjadi hubungan perkawinan. Sudah barang tentu dalam pembuatan prasasti diperlukan biaya besar dan keahlian yang tinggi. Dalam hal ini raja Kerajaan Aru yang membangun prasasti untuk dirinya sendiri dan juga untuk putrinya yang menjadi bagian dari keluarga kerajaan di Annam.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

 

Tidak ada komentar: