Kamis, Juli 22, 2021

Sejarah Peradaban Kuno (80): Visi Museum Angkola Mandailing; Paradaban Prasasti dan Candi Zaman Kuno hingga Era Kolonial

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Peradaban Kuno di blog ini Klik Disini 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Sidempuan di blog ini Klik Disini

Apakah ada yang berpikir tentang museum di Tapanali bagian selatan? Tampaknya belum, tetapi perlu dipikirkan. Museum dalam hal ini mengoleksi sejarah orang Angkola Mandailing sejak zaman kuno hingga era Hindia Belanda. Soal dimana letak museum tidak terllu penting, bisa di Padang Sidempuan, Panyabungan, Gunung Tua, Sibuhuan atau Sipirok. Yang jelas museum berisi tentang semua hal yang berkaitan dengan peradaban orang Angkola Mandailing di lima kabupaten kota (Tapanuli Bagian Selatan).

Museum adalah institusi permanen, nirlaba, melayani kebutuhan publik, dengan sifat terbuka, dengan cara melakukan usaha pengoleksian, mengkonservasi, meriset, mengomunikasikan, dan memamerkan benda nyata kepada masyarakat untuk kebutuhan studi, pendidikan, dan kesenangan. (Wikipedia). Dalam hal ini dapat ditambahkan museum adalah etalase untuk menunjukkan kebanggaan yang pernah dimiliki penduduk Angkola Mandailing sejak zaman kuno. Di berbagai kota sudah didirikan museum. Namun pendirian museum di Tapanuli Bagian Selatan memiliki persyaratan yang memadai karena akan memuat unsur-unsur kuno dan unsur modern. Di banding berbagai wilayah (daerah) di provinsi Sumatra Utara, hanya wilayah Tapanuli Bagian Selatan yang memenuhi cukup persyaratan untuk didirikan museum.

Lantas bagaimana menyusun materi isi museum? Tentu saja dapat dimulai dari apa yang ada, dan yang telah dimiliki. Dalam bentuk diorama dan foto-foto sudah bisa dimulai, apakah fotot-foto tentang candi, prasasti, atau benda-benda yang bersifat langka yang berasal dari masa lampau seperti rumah adat atau buku-buku yang dianggap penting. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Lalu kemudian baru menyusul hal-hal yang terkait dengan pengumpulan, baik partisipasi masyarakat maupun dengan mengusulkan benda di museum lain yang terkait Tapanuli Bagian Selatan dapat direlokasi ke dalam museum baru. Dengan demikian, tidak hanya segera memiliki museum tetapi juga segera menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional penduduk Angkola Mandailing di Tapanuli Bagian Selatan. Mari kita pikirkan.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Sejarah Museum di Indonesia

Banyak wilayah (daerah), tidak hanya di provinsi Sumatra Utara, tetapi juga di seluruh provinsi di Indonesia yang menginginkan sejarahnya ditulis. Celakanya banyak sejarahnya, yang tidak memiliki data yang kemudian dipaksakan atau bahkan dipalsukan (seakan-akan pernah terjadi). Lalu muncullah terminologi kontroversi sejarah (karena ada penulis lain yang netral yang memiliki data yang lebih akurat dan interpetasi yang lebih jenih). Untuk soal data sejarah Angkola Mandailing (Tapanuli bagian selatan) tidak kekurangan data, bahkan data-datanya dapat diakses publik. Itulah syarat perlu dalam pendirian museum. Syarat cukupnya, tentu saja terbentuknya museum (tempat ruang data sejarah dari zaman peradaban kuno hingga era kolonial dan bahkan hingga era Republik Indonesia).

Seperti di daerah/provinsi lain, banyak klaim sejarah oleh satu daeah dengan daerah yang lain tentang topik atau objek sejarah tertentu. Uniknya banyak sejarah orang Angkola Mandailing, apakah wilayah kejadian sejarah, kisah sang tokoh sejarah an sebagainya diklaim pihak lain atau daerah lain. Itu ibarat musik gondang dan tarian tortor diklaim negara Malaysia (yang menjadi kontroversi). Bahkan situs atau benda sejarah yang tetap (tidak bisa direlokasi) seperti candi, ada daerah lain mengklaim sebagai bagian dari sejarah mereka. Lantas mengapa orang Angkola Mandailing menganggap itu tidak tidak penting. Hal ini karena orang Angkola Mandailing tidak pernah menulis sejarahnya, karena itu tidak mengetahui apakah sejarah yang diklamin miliknya atau bukan. Dalam hal inilah penulisan sejarah menjadi prakondisi untuk pembentukan museum. Namun orang Angkola Mandailing, tanpa menulis sejarahnya lebih dulu, sudah langsung bisa mengisi ruang museum, seperti contoh bukti prasasti dan candi-candi seperti candi Simangambat dan percandian Padang Lawas.  

Dalam soal sejarah wilayah ada bagian sejarah yang memang harus berbagi. Tidak perlu jauh-jauh tentang peran Nommensen dalam soal peradaban dan tentunya perihal agama (misi). Sejarah Nommensen nyaris tidak ditulis di wilayah Angkola Mandailing karena dianggap tidak relevan, tetapi bukankah sejarah adalah narasi fakta dan data? Demikian juga tentang tokoh Multatuli, nyaris tidak ada yang coba mengingatkannya, bagaimana peran Edward Douwes Dekker alias Multatuli di wilayah Angkola Mandailing. Sementara di wilayah Banten, pemerintah dan masyarakatnya bahkan mendukung telah terbentuknya museum Multatuli. Padahal bobot sejarah Multatuli di Angkola Mandailing dan Batenn sama pentingnya. Meski demikian, di Sumatra Utara, nama Multatuli paling tidak masih ditabalkan namanya sebagai nama jalan di Medan.

Orang Angkola Mandailing sejatinya sangat peduli sejarah, tapi tampaknya itu doeloe dan berbeda dengan yang sekarang. Orang-orang Angkola Mandailing di Medan yang mematenkan nama Multatuli dan Willem Iskander sebagai nama jalan di Medan. Mengapa? Karena orang Angkola Mandailing adalah yang mengetahui sejarah mereka. Dalam urusan ini sangat banyak, Bagaimana nama Sisingamangaradja diangkat ke tingkat nasional dan diperingati di Djakarta pada awal NKRI adalah merupakan inisiatif orang Angkola Mandailing. Demikian juga dengan peringatan pertama tentang Multatuli di Djakarta juga inisiatif orang Angkola Mandailing yang dipimpin oleh Mochtar Lubis.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Museum Sumatra Utara dan Museum Angkola Mandailing di Tapanuli Bagian Selatan

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar: