Selasa, Juli 06, 2021

Sejarah Peradaban Kuno (64): Sumatra dan Awal Eropa di Tapanuli; William Marsden, Radermacher hingga Dja Endar Moeda, 1903

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Peradaban Kuno di blog ini Klik Disini 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Sidempuan di blog ini Klik Disini

Sebelum Sejarah Jawa ditulis (oleh Raffles, 1813), sudah lebih dahulu Sejarah Sumatra ditulis (William Marsden, 1781). Lantas mengapa begitu penting sejarah Sumatra ditulis dan bahkan lebih awal dari Jawa? Tentu saja itu karena faktor Inggris. Orang-orang Inggris yang berpusat di India, memiliki kepentingan tidak hanya soal Sumatra tetapi juga soal Australia. Ini bermula sejak orang-orang Inggris mulai terusir dari Amerika Serikat (yang memproklamirkan kemerdekaan pada tahun 1774).

Menyadari bahwa kekuatan Inggris tidak lama lagi bertahan di Amerika Serikat (karena munculnya revolusi), Perdana Menteri Inggris meminta James Cook menyelidiki Australia dan Pasifik tahun 1771 dan mengutus Charles Miller ke Tapanoeli tahun 1772 (di Angkola). Tidak lama setelah Amerika Serikat memproklamirkan kemerdekaaan (4 Juli 1774) James Cook menerbitkan buku pada tahun 1775 yang didalamnya terdapat rekomendasi agar pemerintah Inggris menjadikan Asutralia sebagai koloni (baru). Rekomendasi ini sebenarnya membuat orang-orang Belanda meradang (karena Australia sudah menjadi bagian koloni Belanda sejak Abel Tasman memetakan Australia pada tahun 1643). Saat Inggris mulai berkoloni di Australia, William Marsden membuat risalah pulau Sumatra yang diterbitkan pada tahun 1781. Sebab dua tahun sebelumnya (1779) Inggris telah melakukan invasi ke Sumatra yang berpusat di Bengkoelen. Orang-orang Belanda tidak hanya terusir dari Australia, juga dengan kehadiran militer Inggris di Bengkoelen telah menyebabkan orang-orang Belanda terusir dari pantai barat Sumatra. Belanda semakin terjepit di Jawa dan terjadilah pendudukan Jawa oleh Prancis pada tahun 1795.

Lantas bagaimana sejarah awal Eropa di (wilayah) Tapanoeli? Itu bermula ketika Inggris memulai kebijakan baru untuk menjadikan penduduk sebagai subjek dengan mengutus Charles Miller ke Tapanoeli hingga pedalaman Sumatra di Angkola tahun 1772. Lalu mengapa harus ke Angkol lebih dahulu dibanding ke wilayah lainnya di Sumatra. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Pulau Sumatra: Memudarnya Kerajaan Aru

Catatan sejarah Sumatra sejatinya, secara akumulatif baru terjadi sejak kehadiran Eropa. Sebelum pelaut-pelaut Portugis menyerang dan menduduki Malaka 1511. Pedagang-pedagang Portugis sudah berkunjung ke Atjeh pada tahun 1506. Pelaut-pelaut Belanda pertama di bawah pimpinan Cornelis de Houtman baru menyusul tahun 1595 dan tiba di pulau Enggano sebelum berlabuh di Banten 1596 dan di Bali 1597). Baru pada 1599 dalam pelayaran yang juga dipimpin oleh Cornelis de Houtman berlabuh di Atjeh (namun terjadi bentrok dan Cornelis de Houtman terbunuh). Salah satu yang ditahan adalah adiknya Frederik de Houtman (dan baru dibebaskan pada tahun 1602). Selama kehadiran Portugis, ada beberapa laporan Portugis yang terkait dengan (pulau) Sumatra,

Keterangan kehadiran Portugis di Atjeh tahun 1506 dapat dibaca dalam buku JCM Radermacher berjudul Beschrijving van het Eiland Sumatra, In zooo verre hetzelve tot nog toe bekend. Buku ini diduga kuat ditulis diantara tahun-tahun sejak Radermacher mendirikan Bataviaach Genootschp der Kunsten en Wateenschappen 1778 dan kematiannya pada tanggal 1783. Pada tahun meninggalnya Radermacher terbit buku yang juga berjudul Sumatra yang ditulis oleh seorang Inggris bernama William Marsden. Buku berjudul Sumatra berikutnya terbit tahun 1903 yang ditulis oleh Dja Endar Moeda dengan judul  Riwajat Poelu Sumatra.

Salah satu penulis Portugis yang pernah bekunjung ke pedalaman Sumatra adalah Mendes Pinto pada tahun 1537. Dalam laporan Mendes Pinto ini diketahui tentang keberadaan Kerajaan Aru yang tengah berperang dengan Kerajaan Atjeh. Kerajaan Aru disebut Mendes Pinto beribukota di Panaju. Kota ini diduga kuat adalah Panai atau Pane di daerah aliran sungai Barumun, dimana sungai (Batang) Pane bermuara. Kerajaan Aru pada akhirnya memudar dan Kerajaan (Kesultanan) Aceh mulai berkibar.

Kerajaan Aru setelah berusia 1.000 tahun mulai mendapat tekanan. Tekanan ini datang luar. Kerajaan Turki dengan kekuatan militer menganeksasi Kerajaan Lamuri, salah satu dari federasi Kerajaan Aru. Lalu terbentuk Kersultanan Atjeh tahun 1496. Hal itulah mengepa bendera Kerajaan Aceh mirip bendera Kerajaan Turki tetapi ditambah dengan gambar pedagang. Ibu kota kerajaan relokasi dari Lamuri ke muara sungai Kroeng. Dalam perkembangannya kota pelabuhan Kerajaan Aru di pedalaman di dekat Daru dan Indrapoeri diinvasi oleh Kesultanan Atjeh dan kemudian ibu kota relokasi ke pedalaman, di pusat kota Banda Aceh yang sekarang. Kesultanan Aceh kemudian melakukan invasi lagi dengan menyerang Kerajaan Pedir dan juga Kerajaan Pasai serta Kerajaan Daya (di pantai barat). Kesultanan Aceh terus melakukan invasi ke selatan, tetapi mendapat perlawanan dari Kerajaan Aru. Tiga putra Raja Aru terbunuh di Lingua dan Nagur sebagaimana disebut Mendes Pinto. Lingun adalah Kerajaan Lingga (sekarang Karo) dan Nagur adalah Kerajaan Raya (sekarang Simalungun). Pada saat Kerajaan Aru sedang bersiap-siap untuk membalas dendam, Mendes Pinto berkunjung ke Kerajaan Aru di ibukota Panaju (Panai). Dalam perang itu turun hadir Mendes Pinto. Perang itu dimenangkan oleh Kerajaan Aru, tetapi ketika pasukan Kesultanan Aceh terdesak ke dalam kraton, pasukan Kerajaan Aru yang dipimpin oleh Raja Aru coba mengepung namun tidak disangka pasukannya dibombardir dari dalam kraton pada jarak yang sangat dekat. Kesultanan Aru telah memiliki meriam yang menjadi faktor banyak pasukan Kerajaan Aru terbunuh. Dalam posisi dengan persenjataan yang berbeda teknologi inilah kekuatan Kerajaaaan Aru tidak sebanding lagi dengan teknologi baru. Pasuk Kerajaan Aru yang tersisa mengundurkan diri kembali ke Panaju. Untuk mencoba bertahan, Kerajaan Aru membentengi diri dengan membangun tembok dan barier air. Seperti ditulis Mendes Pinto, ketika pasukan Kesultanan Aceh datang menyerang ibu kota Kerajaan Aru, pasukan Kerajaan Aru mampu mempertahankan diri, tetapi celaka, salah satu komandannya dari Malabar berkhianat dan memberi jalan kepada pasukan  Kesultanan Aceh menjebol pertahanan dan Ibu kota Panaju hancur dengan meriam. Raja Kerajaan Aru ternunuh. Pasukan dan para pemimpin Kerajaan Aru melarikan diri ke pedalaman. Lalu jandi (permaisuri) Raja Aru dengan pengawalnya melalui sungai Rokan berangkat ke Malaka untuk meminta bantuan untuk mengusir pasukan Kesulatan Aceh dari ibu kota. Namun permintaan ini ditolak Kapten Malaka tanpa alasan yang jelas. Dengan putus asa permaisuru mendapat dukungan dari Kerajaan Malaka (yang rajanya melarikan diri ke pulau Bintan saat terjadi pendudukan Portugis di Malakan).  Pasukan Kerajaan Malaka dari Bintan dan bersama dengan pasukan Kerajaan Aru berhasil menghancurkan pasukan Kerajaan Aceh di ibu kota. Kerajaan Aru terbebaskan lagi. Dalam perkembangannya diketahui bahwa Kerajaan Barus salah satu anggota federasi Kerajaabn Aru di pantai barat di invasi. Sejak itulah Kerajaan Aru mulai memudar karena sudah kalah bersaing dalam navigasi pelayaran dan persenjataan. Teknologi sejanta Eropa sudah mulai masuk di selat Malaka (Turki dan Portugis). Kerajaan Aru secara defacto hanya bisa bertahan dan kembali ke bentuk awal sebagai kerajaan-kerajaan kecil di pedalaman (Angkola. Mandailing, Silindoeng, Simamora, Boetar, Raja dan Lingga). Federasi Kerajaan Aru tamat. Catatan: Struktur Kerajaan Aru bersifat unik (sebagai federasi) dan bukan monarki seperti Kerajaan Pagaroejoeng, Kerajaan Malaka dan Kerajaan Padjadjaran atau oligarki seperti Kesultanan Atjeh.

Pada tahun 1613 dua eks anggota federasi Kerajaan Aru mulai bangkit dengan membentuk aliansi (federasi) Kerajaan Raja dan Kerajaan Lingga dengan mendirikan ibu kota di hulu sungai Deli. Kerajaan ini kemudian dikenal sebagai Kerajaan Deli (di Deli Tua yang sekarang). Kerajaan Deli sempat diklaim Kersultanan Aceh karena wilayah itu merasa pernah ditaklukkannya (yang mana tiga putra Radja Aru terbunuh). Tentu saja Kerajaan Aceh bukan tnadingan Kerajaan Deli. Lalu Kerajaan Deli bangkit kembali karena mendapat sokongan dari Portugis di Malaka pada tahun 1630. Kerajaan Deli ini kemudian diserang Kerajaan Johor (suksesi Kerajaan Malaka di Bintan).

Kerajaan Raja dan Kerajaan Lingga kembali ke pedalaman. Sejak itulah muncul kerajaan bentukan baru Kewrajaan Johor di muara sungai Deli. Kerajaan baru ini kembali dianeksasi oleh Kerajaan Atjeh. Lalu terakhir Kerajaan Siak mengusir Atjeh dari muara sungai Deli dan terbentuk Kesultanan Deli (Lalu yang terakhir Kesultanan Atjeh menduduknya hingga kelak dibebaskan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1863).

Sementara itu Kesultanan Atjeh melakukan invasi lagi setelah menjadikan Kerajaan Barus sebagai vassalnya. Kerajaan-kerajaan yang diinvasi oleh Kesultanan Atjeh termasuk Kerajaan di Padang dan Indrapoera (yang notabane selama ini berada di bawah yusrisdiksi Kerajaan Pagaroejoeng. Pada tahun 1665 para pemimpin kerajaan-kerajaan di sekitar Indrapoera dan Padang berkolaborasi dengan VOC (Belanda) di Batavia dan berhasil mengusir para hulubalang Kesultanan Atjeh (termasuk membebaskan Kerajaan Barus). Sejak itulah di Barus terdapat dua Radja (perwakilan Pagoeroejong di hilir dan kerajaan Batak Barus di hulu). Pada fase inilah muncul kerajaan-kerajaan Silindoeng, Boetar dan Simamora. Kerajaan Simamora mulai terhubung dengan kerajaan-kerajaan di Barus. Salah satu anggota federasi Kerajaan Simamora yang menonjol kelak dikenal sebagai dinasti Sisingamangardja dari Bakkara.

Kerajaan-kerajaan kecil di wilayah (luhat) Angkola, Mandailing dan Padang Bolak tidak pernah bangkit lagi dan tidak pernah membentuk federasi lagi. Kerajaan-kerajaan di Angkola, Mandailing dan Padang Bolak tidak terlibat lagi dalam percaturan dunia politik, hidup dengan caranya sendiri di pedalaman,

Situasi dan kondisi di pedalaman Angkola dapat dibaca pada laporan seorang Cina yang bermukim selama 10 tahun di wilayah Angkola yang dicatat dalam Daghregister, 01-03-1701. Orang Cina tersebut berada di Angkola paling tidak sejak 1691. Dalam laporannya disebutkan dia sangat diperlakukan baik oleh raja-raja. Dia menikah dengan gadis Angkola. Pada tahun 1701 setelah 10 tahun di Angkola kembali ke Batavia dengan istri dan seorang putrinya yang sidah berusia 3 tahun melalui pelabuhan Barus ke Padang dan kemudian dilanjutkan dengan kapal yang lebih besar ke Batavia.

Sementara itu bagaiman situasi dan kondisi di pedalaman di Kerajaan Pagaroejoeng dapat dibaca pada laporan Thomas Diaz yang pernah berkunjung ke ibu kota Kerajaan Pagaroejoeng pada tahun 1684. Dalam laporan ini Kerajaan Pagaroejoeng masih eksis. Thomas Diaz dalam laporannya menyebut Kerajaan Pagaroejoeng dan Kerajaan Johor mulai timbul perselisihan soal wilayah pantai timur Sumatra (terutama di daerah aliran sungai Siak dan sungai Kampar).

Situasi dan kondisi di wilayah Angkola 70 tahun berikutnya setelah laporan seorang Cina yang pernah di Angkola, dapat dibaca pada laporan kunjungan Charles Miller, seorang Inggris yang berkunjung ke Angkola hingga Padang Lawas pada tahun 1772. Charles Miller melakukan kontrak perdagangan dengan raja di Batang Onang dalam hal memasok hulim (kulit manis). Sebelum ke Batang Onang, Padang Lawas, Charles Miller dijamu oleh Radja Hoetaimbaroe dan Radja Simasom.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Sejarah Sumatra:  Radermacher, William Marsden hingga Dja Endar Moeda

Ada dua laporan yang dapat dikatakan cukup komprehensif tentang situasi dan kondisi di pulau Sumatra, termasuk di Tanah Batak khususntya di wilayah Angkola Mandailing. Seperti disebut di atas, dua laporan tersebut ditulis dalam bentuk buku oleh JCM Radermacher dan William Marsden. Buku William Marsden berjudul The History of Sumatra terbit pada tahun 1783, sedangkan buku Radermacher yang berjudul Het Eiland Sumatra diduga kuat terbut sebelum tahun 1783. Di dalam buku William Marsden inilah ditemukan catatan perjalanan Charles Miller ke pedalaman Tanah Batak di Angkola pada tahun 1772.

Ada yang menarik dari laporan seorang Cina yang pernah di Angkola selama 10 tahun (1691-1701). Disebutnya sudah lama menurut penduduk pernah kehadiran orang Eropa. Jika mengacu pada laporan Thomas Diaz yang pernah ke pedalaman di Pagaroejoeng (1684), besar dugaan orang Eropa yang datang ke Angkola sebelum kehadiran pedagang Cina tersebut terjadi sebelum VOC (Belanda) menaklukkan Portugis di (benteng) Malaka pada tahun 1642. Sebab dengan bertitik tolak dari laporan Mendes Pinto yang pernah berkunjung ke Panaju (Panai) ibu kota Kerajaan Aru tahun 1537, orang-orang Portugis di Malaka dengan penduduk Tanah Batak di Padang Lawas (Angkola dan Mandailing) terdapat hubungan politik yang baik yang di dalamnya terjadi kerjasama perdsgangan, terutama untuk suplai daging dan beras (dan boleh jadi hasil-hasil hutan seperti kamper, kulit manis) dari daerah aliran sungai Barumun ke (benteng) Malaka. Gambaran inilah yang diduga dari sumber penduduk masuk ke dalam laporan pedagang Cina di Angkola (1691-1701). Posisi wilayah Angkola dalam hal ini terbilang sangat strageis diantara wilayah-wilayah lain di Tanah Batak yang menghubungkan pantai timur dan pantai barat Sumatra (pelabuhan Panai di pantai timur dan pelabuhan Barus di pantai barat). Hal itulah di masa lampau penulis-penulis Portugis seperti Tome Pires dan Barros sulit membedakan tiga nama Baroes, Bata dan Aru yang saling tertukar. Faktanya tiga nama ini merujuk pada wilayah yang sama yakni penduduknya disebut Batak, kerajaannya adalah Kerajaan Aru dan pelabuhannya (di pantai barat )adalah Baroes. Jadi jelas bagi kita sekarang bahwa Angkola Mandailing sudah terbuka sejak zaman kuno dan mungkin satu-satunya wilayah di Sumatra uang terhubung antara pantai barat dan pantai timur. Ingat dengan bukti adanya candi di Simangambat dan candi-candi di Padang Lawas.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

 

Tidak ada komentar: