Jumat, Juli 02, 2021

Sejarah Peradaban Kuno (60): Brunai, Sabah dan Sarawak; Kerajaan Aru di Borneo Utara, Kerajaan Majapahit di Kalimantan Selatan

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Peradaban Kuno di blog ini Klik Disini 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Sidempuan di blog ini Klik Disini

Sejak kapan munculnya navigasi pelayaran perdagangan di pulau Kalimanan, belum banyak informasi yang dapat ditunjukkan sebagai bukti-bukti awal. Perdebatan peta Ptolomeus tentang Taprobana masih begitu jelas alias masih samar. Prasasti yang ditemukan di Muara Kaman, Kutai di pantai timur Kalimantan tidak ada perkembangan selain bahwa hanya sekadar ditemukan prasasti. Dalam artikel sebelumnya disimpulkan bahwa prasasti Muara Kaman bertarih abad ke-4 diduga dipindahkan dari Jawa (kerajaan Taruma) pada saat serangan Sriwijaya ke Jawa pada abad ke-7. Tidak ada bukti-bukti lain sejarah zaman kuno di pulau Kalimantan (pulau Borneo).

Lepas dari prasasti Muara Kaman (Kalimantan Timur), bukti-bukti tertua di pulau Kalimantan sejauh ini hanya ditemukan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat. Candi Agung ditemukan berada di daerah aliran sungai Negara yang masuk wilayah kelurahan Sungai Malang, kecamatan Amuntai Tengah, Kabupaten Hulu Sungai Utara, provinsi Kalimantan Selatan. Candi Agung atau candi Negara disebutkan terkait dengan pendapat yang menyatakan bahwa kerajaan Hindu Negara Dipa dibangun pada tahun 1438 yang sejaman dengan Kerajaan Majapahit di Jawa. Sementara itu, candi Negeri terletak di desa Negeri Baru, kecamatn Benua Kayon, kabupaten Ketapang, provinsi Kalimantan Barat. Berdasarkan hasil pengamatan para ahlu ada kesamaan ciri bentuk, bahan, glasir dan hiasan yang diproduksi pada masa Dinasti Yuan akhir abad ke-14. Ini mengindikasikan bahwa dua lokasi candi di pulau Kalimantan pada abad yang sama sekitar abad ke-14,

Lantas bagaimana sejarah asal usul Brunai, Sabah dan Sarawak di pantai utara Borneo? Yang jelas nama Borneo sebagai nama pulau baru muncul pada era Portugis (merujuk pada nama pelabuhan Broenai. Namun seperti disebut di atas, untuk memahami sejarah di pantai utara Borneo haruslah dapat disandingkan dengan sejarah yang terjadi di pantai selatan dan pantai barat pulau Kalimantan tempat ditemukan candi.  Lalu bagaimana sejarah asal usul Brunai, Sabah dan Sarawak di pantai utara Borneo? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Nama Broenai dan Nama Broenai Era Portugis: Kerajaan Aru

Mendes Pinto, seorang utusan dari Kapten Portugis di Malaka pernah mengunjungi Kerajaan Aru pada tahun 1437,  Mendes Pinto menyebut ibu kota berada di Panaju (Panai). Mendes Pinto menyebut bahwa Kerajaan Aru tengah berperang dengan Kerajaan Aceh. Mendes Pinto mencatat kekuatan Kerajaan Aru sebanyak 15.000 tentara, yang mana diantaranya sebanyak 7.000 didatangkan dari Minangkabau, Indragiri, Jambi, Brunai dan Luzon. Nama-nama yang disebut Mendes Pinto ini diduga kuat kerajaan-kerajaan yang menjadi aliansi Kerajaan Aru. Dalam hal ini, bagaimana sejarah hubungan Kerajaan Aru di muara sungai Barumun di pantai timur Sumatra dengan Kerajaan Brunai di pantai utara (pulau) Borneo?

Pelabuhan Boernai kali pertama dikunjungi oleh orang Portugis pada tahun 1521 di bawah pimpinan George Menesez (lihat Journal de La Haye, 19-12-1846). Oleh karena itu nama Boernai paling tidak sudah diidentifikasi sebagai Borneo pada tahun 1537.  Besar dugaan nama Borneo yang merujuik pada nama Broenai muncul antara 1521 dan 1539. Broenai adalah nama asli, sedangkan Boernai adalah nama yang dicatat oleh Portugis, seperti halnya Malaka nama asli dan dicatat Portugis sebagai Malacca. Celakanya, nama Boernai yang kemudian bergeser menjadi Borneo menjadi nama yang selalu diidentifikasi pada peta-peta selanjutnya.

Sebelum pedagang-pedagang Portugis mengunjungi Boernai tahun 1521, pelaut-pelaut Portugis sudah mengunjungi banyak tempat. Ini bermula ketika Portugis menduduki Malaka tahun 1511, tiga kapalnya langsung melakukan ekspedisi ke wilayah pantai timur selatan Sumatra terus ke pantai utara Jawa. Lalu ekspedisi ini meneruskan perjalanan ke arah timur hingga mencapai (kepulauan) Maluku. Kunjungan pelaut-pelaut Portugis ke Tiongkok dimulai pada tahun 1514.

Kunjungan Portugis ke Tiongkok dengan tiga kapal dipimpin oleh Fernao Peres (bukan Tome Pires). Kunjungan ini semacam muhibah yang membawa hadiah dari raja Portugis untuk Kaisar Tiongkok. Sebelum diizinkan memasuki kota Canton, karena otoritas Tiongkok mengutus utusan ke Kaisar untuk persetujuan, pelaut-pelaut Portugis berlabuh di pulau Tunmen (sekitar muara sungai yang menuju ke kota Canton). Kunjungan kedua dilakukan pada tahun berikutnya 1515-1516. Sejak itu tidak ada lagi kunjungan ke Tiongkok hingga tahun 1520. Namun kunjungan ini bermasalah karena komandan ekspedisi memerintahkan anak buahnya membangun benteng di pulau Tunmen karena alasan untuk melindungi dari serangan bajak laut, sementara pemerintah Tiongkok tidak memberi perlindungan. Tindakan komandan ekspedisi Portugis ini dianggap orang-orang Tiongkok melebihi batas tanpa persertujuan dari Kerajaan. Pada akhirnya muncul ketengangan yang mengakibatkan terjadi pertempuran tahun 1521, dan pelaut-pelaut Portugis yang tersisa sedikit melarikan diri dan kembali ke Malaka dengan selamat. Saat terusirnya Portugis dari pulau Tunmen (dekat Makao yang sekarang), pedagang-pedagang Portugis diduga telah mengarahkan perdagangannya ke Boernai dan Manila.

Orang-orang Portugis di Malaka, menganggap Kerajaan Aru adalah kerajaan yang bisa dianggap melakukan kerjasama. Hal itu boleh jadi karena sebelum kehadiran Portugis pada tahun 1510 di Malaka, pelaut-pelaut Portugis mengetahui Kerajaan Malaka sedang berselisih dengan Kerajaan Aru (Kerajaan Aru sebelumnya pernah menyerang Malaka). Sementara itu pedagang-pedagang Tiongkok di Malaka didzalimi oleh raja Malaka yang dzalim. Oleh karena tujuan Portugis yang sebenarnya ke Tiongkok, maka situasi dan kondisi di Malaka menyebabkan pelaut-pelaut Portugis menyerang dan menduduki Malaka (raja Malaka melarikan diri ke pulau Bintan). Dengan terbebasnya pedagang-pedagang Tiongkok di Malaka, menjadi password bagi pelaut Portugis mengunjungi Tiongkok pada tahun 1515. Tampaknya setelah Portugis terusir dari Tiongkok pada tahun 1521, pedagang-pedagang Portugis mengunjungi Boernai dan Manila yang lalu kemudian Kaptein Malaka mengutus Mendes Pinto pada tahun 1537 untuk mengunjungi raja Kerajaan Aru di ibukotanya.

Sebelum Mendes Pinto mengunjungi Kerajaan Aru tahun 1537 diduga kuat pedagang-pedagang Portugis sudah mengetahui kerajaan-kerajaan yang beraliansi dengan Kerajaan Aru. Adanya tentara (kerajaan) lain yang memperkuat Kerajaan Aru seperti yang dilaporkan Mendes Pinto mengindikasikan bahwa pedagang-pedagang Portugis sudah mengetahuinya di Indragiri, Jambi, Boernai dan Manila (Luzon) sebelum Kaptein Malaka mengutus Mendes Pinto ke Kerajaan Aru.

Lantas yang menjadi pertanyaan sejak kapan Kerajaan Aru memiliki hubungan (politik) yang baik dengan Kerajaan Aru? Sampai sejauh ini tidak ada informasi yang menjelaskan kecuali dari hasil yang dilaporkan oleh Mendes Pinto pada tahun 1537. Namun tentunya hubungan dua kerajaan berbeda pulau ini sudah sejak lama berlangsung, tetapi pertanyaannya sejak kapan?

Hubungan Kerajaan Aru dengan kerajaan-kerajaan di (teluk) Manila sudah sejak lama ada. Keterangan terawal hubungan itu dijelaskan oleh prasasti Laguna 900 M. Itu berarti sudah berlangsung selama enam abad. Dalam prasasti Laguna disebutkan raja yang termasyhur di Binwangan telah mengampuni hutan dagang raja Nayanan di teluk Manila yang disaksikan oleh raja Tondo. Raja Pila dan raja Pilalan.  Binwangan dalam prasasti Laguna tersebut dapat diartikan sebagai Binanga yang menjadi ibu kota Kerajaan Aru di pertemuan sungai Batang Pane dan sungai Barumun, Pada saat kunjungan Mendes Pinto ke Kerajaan Aru pada tahun 1537 ibukota berada di Panaju. Ini mengindikasikan ibu kota lama di Binanga telah relokasi beberapa kilometer ke Panai di daerah aliran sungai Batang Pane. Binanga adalah kota pelabuhan, sebelum menjadi ibu kota Kerajaan Aru (prasasti L:aguna) ibukota diduga (masih) berada di pedalaman. Ini dapat dijelaskan oleh prasasti Kedukan Bukit (682 M).

Satu-satunya keterangan yang menyatakan eksistensi Broenai adalah catatan Tiongkok (Sung Shih). Disebutkan pada bagian akhir abad ke-10, Tiongkok berdagang dengan Semenanjung Malaya, Jawa, Champa, Borneo, beberapa pulau di Kepulauan Filipina, Sumatra dan lain-lain. Seperti disebut di atas Kerajaan Aru sudah memiliki hubungan dagang di teluk Manila (prasasti Laguna 900 M).

Ini bermula dari kebijakan Tiongkok untuk meningkatkan porsi pendapatan pemerintah, karena selama ini banyak dicurangi oleh pedagang-pedagang luar negeri di pelabuhan-pelabuhan Tiongkok. Untuk tujuan itu untuk untuk mempromosikannya antara 984 dan 987 M delapan pejabat kerajaan dikirim oleh Kaisar T'ai-tsung dengan kredensial di bawah segel Kekaisaran dan dengan persediaan emas dan barang-barang sutera untuk mendorong para pedagang Laut Selatan dan para saudagar Tiongkok yang pergi ke luar negeri. Kebijakan ini berhasil, suatu kebijakan yang menyebabkan kali pertama pedagang-pedagang Tiongkok keluar kandang (melaut). Selama ini perdagangan Tiongkok hanya di daratan, ke barat sampai ke Persia dan di timur hanya sampai di kota-kota pelabuhan di pantai timur Tiongkok.

Wilayah Kerajaan Aru bukanlah wilayah yang kaya (volume transaksi perdagangan) dalam perdagangan seperti Tiongkok. Chou Ch'ü-fei menulis pada tahun 1178 menyatakan sebagai berikut: ‘Semua negara asing yang kaya dan makmur, tidak ada yang bisa dibandingkan dengan tanah Ta-shih (Arab); di sebelah mereka adalah Chê-p'o (Jawa) yang ketiga adalah San-fo-ts'i (Palembang), Disebutkan bahwa Palembang menjadi penting dalam perdagangan, karena kapal-kapal dari Jawa selalu melalui Palembang untuk mendapatkan manfaat angin dalam navigasi pelayaran ke Tiongkok. Wilayah Kerajaan Aru tampaknya berdagang hanya sekadar memperdagangkan hasil produk ekspor seperti emas, gading, kamper dan kemenyan untuk dipertukarkan dengan kebutuhan sendiri seperti besi, garam, kain, manik-manik dan beras dari Jawa.

Pedagang-pedagang Kerajaan Aru tampaknya bukan pedagang besar seperti Arab, Tiongkok, Jawa (Kadiri) dan Palembang (Sriwijaya), hannya pedagang-pedagang lebih pada sebagai feeder tetapi memiliki daya jelajah yang sangat jauh, tidak hanya Filipiua, tetapi juga Sulawesi. Pengaruh perdagangan Kerajaan Aru di Sulawesi besar dugaan sebagai perluasan dari Filipina. Indikasi adanya perdagangan Kerajaan Aru di pulau Sulawesi dapat diperhatikan pada prasasti Tomohon (Minahasa) sebagai gambaran di Sulawesi bagian utara dan prasasti Seko (Toraja) sebagai gambaran di Sulawesi bagian selatan.

Perdagangan Kerajaan Aru yang sudah berkembang sejak lama, harus menerima dampak yang besar dari invasi Kerajaan Chola yang dimulai pada tahun 1022 (lihat prasasti Tanjore 1030). Selama pendudukan Chola para pemimpin Kerajaan Aru banyak yang melarikan diri seperti ke Khmer (Kamboja) dan ke hulu sungai Batanghari (mendirikan Kerajaan Mauli). Sementara Kerajaan Sriwijaya yang masih beribukota di muara sungai Batanghari yang juga diinvasi Chola, para pemimpinnya melarikan diri ke daerah aliran sungai Musi (Palembang). Pasca pendudukan Chola Kerajaan Aru bangkit lagi, tetapi kebangkitan Kerajaan Sriwijaya lebih kencang karena di daerah aliran sungai Musi berhasil mengembangkan perdagangannya. Hal itulah boleh jadi berdasarkan catatan Tiongkok 1174 Kerajaan Sriwijaya masuk daftar big four dalam volume perdagangan (setelag Arab, Tiongkok dan Jawa). Meski demikian Kerajaan Aru dapat tumbuh kembali.

Pasca pendudukan Chola, penduduk Kerajaan Aru menghianati Hindoe dan kembali ke agama Boedha tetapi dengan agama Boedha sekte Bhairawa (agama Boedha Batak yang mencampurkan dengan kepercayaan terhadap leluhur). Selain sekte Bhairawa ini berkembang pesat di wilayah Kerajaan Aru, juga diadopsi di kerajaan bentukan orang-orang Aru di hulu sungai Batanghari (Kerajaan Mauli) dan juga diadopsi di wilayah Khmer (Kamboja).

Saat Kerajaan Aru mulai berkembang kembali, situasi dan kondisi di Jawa memburuk karena Kerajaan Kadiri dilanda masalah yang mana Kerajaan Tumapel menyerang Kerajaan Kadiri yang lalu kemudian terbentuk Kerajaan Singhasari pada tahun 1222,  Pada saat Kertanegara naik tahta di Kerajaan Singhasari, mulai mengembangkan navigasi pelayaran perdagangan dan menjalin hubungan perdagangan dengan Kerajaan Aru. Raja Kertanegara tertarik dan mengadopsi agama Biedha Batak sekte Bhairawa. Dalam perkembangannya Kerajaan Singhasari yang makmur mulai membuat iri Kerajaan Singhasari. Raja Kertanegara menjalin hubungan baik dengan Kerajaan Mauli dengan mengirimkan patung sekte Bhairawa, Raja Kertanegara menjadi pendukung fanatik sekte Boedha ini. Dalam posisi kerjasama dengan Kerajaan Mauli di hulu sungai Batanghari, Kerajaan Singhasari menyerang Kerajaan Sriwijaya. Sebagai dampanya perdagangan Sriwijaya menurun dan perdagangan luar negerinya macet. Serangan terhadap Kerajaan Sriwijaya mencapai puncaknya pada era Kerajaan Majapahit (tamat Kerajaan Sriwijaya).

Raja Kertanegara di Singahasari terbunuh tahun 1292 karena berselisih dengan kerajaan lain di hilir. Kerajaan Singhasari memudar dan terbentuk Kerajaan Majapahit. Navigasi pelayaran perdagangan Kerajaan Singhasari diteruskan oleh Kerajaan Majapahit. Kerajaan Majapahit sangat berkembang pada era Raja Hayam Wuruk dengan patihnya yang terkenal Gajah Mada. Hubungan perdagangan Kerajaan Majapahit menjadi begitu luas. Peta perdagangan Kerajaan Majapahit ini didaftarkan oleh Mpu Prapanca dalam narasi Negarakertagama tahun 1365 (seteahun setelah kematian Gajah Mada). Raja Hayam Wuruk meninggal tahun 1392 dan setelah itu Kerajaan Majapahir mulai memudar dan tidak lagi terlibat banyak dalam navigasi pelayaran perdagangan.

Sementara Kerajaan Sriwijaya tamat, Kerajaan Aru terus berkembang. Pedagang-pedagang Moor yang beragama Islam dari Afrika Utara semakin memperkuat posisi perdagangan Kerajaan Aru. Pada fase inilah terjadi kunjungan Ibnu Batutah seorang Moor asal Tunisia berkunjung ke Kerajaan Aru dan seterusnya ke Tiongkok. Navigasi pelayaran perdagangan Kerajaan Aru yang sebelumnnya hanya sampai Laut China Selatan (Tiongkok, Broenai, Champa dan Khemer serta Filipina) dan pulau Sulawesi semakin meluas hingga Maluku. Hanya tinggal satu-satunya Kerajaan Aru sebagai kerajaan besar di Nusantara. Hubungan manis Kerajaan Aru dengan Kerajaan Tiongkok terjadi pada era navigasi pelayaran Tiongkok (1405-1433) yang dipimpin oleh Cheng Ho (yang muslim) sebagaimana para pemimpin Kerajaan Aru yang sudah Islam (dengan kahadiran pedagang-pedagang Moor). Pengaruh perdagangan Kerajaan Arua semakin jauh hingga selat Torres dan bahkan hingga Maori (Selandia Baru). Dalam posisi inilah Kerajaan Aru memiliki pengaruh yang kuat di Indragiri, Jambi, Brunai dan Luzon.

Kerajaan Mauli yang kemudian dikenal sebagai Kerajaan Dharmasyraha, ketika Adityawarman naik tahta tahun 1347, memproklamirkan sebagai Kerajaan Melayu Baru (setelah hancurnya Kerajaan Sriwijaya yang diserang Singhasari dan Majapahit). Raja Adtyawarman kemudian merelokasi ibu kota dari hulu sungai Batanghari ke hulu sungaI Indragiri (yang kelak dikenal sebagai Kerajaan Pagaroejoeng). Hal itulah mengapa terbentuk alianasi Kerajaan Aru dengan Indragiri dan Jambi. Raja Adityawarman, seperti Raja Kertanegara, adalah pendukung fanatik agama Boedha Batak sekte Bhairawa. Kerajaan Aru sendiri sudah meninggalkan sekte Bhairawa dan telah menjadi Islam, Kerajaan Aru semakin jauh keluar, sebaliknya Kerajaan Mauli (Dharmasyraya) yang menjadi kerajaan Malayu (Pagaroejoeng) semakin ke pedalaman. Kerajaan-kerajaan aliansi Kerajaan Aru juga menjads Islam (Indragiri, Jambi, Brunai dan Manila).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Kerajaan Aru dan Kerajaan Majapahit: Candi Negara dan Candi Negeri di Kalimantan

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar: