Selasa, September 27, 2016

Mr. Arifin Harahap (6): Tokoh Ekonomi Tapanuli Selatan; dari ‘Trio Lama’ (Sukarno, Hatta, Amir) hingga ‘Trio Baru’ (Suharto, Sultan, Adam)

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Mr. Arifin Harahap dalam blog ini Klik Disini


Trio baru Indonesia
Drs. M. Hatta memang seorang ekonom (sarjana ekonomi) lulusan Belanda. Akan tetapi, pelaku-pelaku ekonomi pribumi di era Belanda sesungguhnya adalah orang-orang Tapanuli: Tidak hanya di Padang, Sibolga dan Medan tetapi juga di Batavia. Di daerah Tapanoeli dan di daerah Padangsche setiap penduduk bisa berdagang, tetapi di era Belanda pedagang skala besar (antar kota, antar pulau) sebagian besar berasal dari Tapanuli. Pedagang-pedagang besar asal Tapanuli juga sangat piawai memahami sistem ekonomi (perdagangan, keuangan dan sistem kelembagaannya). Karenanya, lembaga-lembaga ekonomi yang kuat di Padang, Sibolga, Medan dan Batavia selalu dipelopori oleh orang-orang Tapanuli.

Pedagang-Pedagang Asal Tapanuli di Padang dan Medan

Di Padang, selain Belanda, yang menguasai media adalah orang-orang Tionghoa dan orang-orang Tapanuli. Media (surat kabar dan majalah) adalah instrument utama dalam perdagangan. Perusahaan perdagangan (jasa) pertama di Padang dimiliki oleh Dja Endar Moeda. Mantan guru, alumni Kweekschool Padang Sidempuan (1884) ini awalnya mendirikan sekolah swasta (pertama) di Padang, kemudian menjadi editor surat kabar Pertja Barat tahun 1897. Editor pribumi pertama ini lalu mengakuisisi surat kabar Pertja Barat beserta percetakannya pada tahun 1900 (dan menerbirkan majalah Insulinde dan surat kabar Tapian Na Oeli. Tiga media utama pribumi di pantai barat milik Dja Endar Moeda ini menjadi pusat pertukaran informasi perdagangan. Sejak itu pedagang-pedagang Tapanuli membanjiri Padang dan Sibolga. Dengan media pribumi ini, di Padang dan Sibolga pedagang-pedagang asal Tapanuli tidak tengah berhadapan dengan padagang-pedagang asal Minangkabau, tetapi berhadapan dengan pedagang-pedagang Tionghoa yang telah memiliki media sendiri.

Sumatra-courant, 08-04-1874
Bahkan sebelum adanya media (surat kabar Pertja Barat) berbahasa Melayu di Padang, para pedagang Tapanuli di Padang Sidempoean memasang iklan (awal 1870an) di surat kabar berbahasa Belanda Sumatra Courant yang terbit di Padang. Uniknya iklan-iklan yang di pasang para pedagang asal Tapanuli ini dibuat dalam bahasa Melayu. Tentu saja iklan itu ditujukan untuk para pedagang pribumi atau para pedagang Tionghoa. Pemasang iklan yang dimaksud tersebut berdomisili di Padang Sidempuan. Paket-paket yang diperdagangkan sangat beragam, seperti hasil peternakan (sapi, kerbau, kuda, dan kambing), hasil hutan (kulit manis, rotan), hasil budidaya pertanian seperti beras, kopi, gula aren serta hasil industry kerajinan.

Ketika Residentie Tapanoeli dipisahkan dari Province Sumatra’s Westkust tahun 1905, pedagang-pedagang asal Tapanuli di Padang sebagian mulai hijrah ke Medan. Di Medan, pedagang-pedagang asal Tapanuli menghadapi pedagang-pedagang kuat Tionghoa. Para pedagang Tionghoa memasang iklan dan mendapat informasi perdagangan dari dua surat kabar di Medan: Sumatra Post (berbahasa Belanda) dan Pertja Timor (berbahasa Melayu). Kekuatan pedagang-pedagang Tionghoa di Medan sangat sulit diimbangi oleh pedagang-pedagang asal Tapanuli.

Pada tahun 1905 pedagang-pedagang asal Tapanuli yang telah lama maupun yang baru datang bergabung dalam Sarikat Tapanoeli. Sarikat ini kemudian mendirikan perusahaan surat kabar bernama NV. Sjarikat Tapanoeli pimpinan Dja Endar Moeda dan Sjech Ibrahim. NV. Sjarikat Tapanoeli kemudian menerbitkan surat kabar bernama Pewarta Deli tahun 1909. Sejak adanya surat kabar Pewarta Deli, pedagang-pedagang Tionghoa mulai mendapat pesaing baru. Padagang-pedagang Tionghoa memperkuat jalur Medan dan Semenanjung Malaya dan Singapore, sedangkan pedagang-pedagang asal Tapanuli memperkuat jalur perdagangan ke pantai barat dan ke pedalaman. Ketika pedagang-pedagang Tionghoa mendirikan Bank Kesawan (di Medan), pedagang-pedagang Tapanuli mendirikan Bataksch Bank (di Pematang Siantar) pada tahun 1920.

Pedagang-Pedagang Asal Tapanuli Hijrah ke Batavia

Ketika Parada Harahap datang ke Medan 1917, pedagang-pedagang asal Minangkabau sudah menyusul pedagang-pedagang Tapanuli di Medan. Para pedagang asal Minangkabau ini menganggap Medan sebagai pusat perdagangan utama di Sumatra, sebagaimana satu dasa warsa sebelumnya pedagang-pedagang asal Tapanuli di Padang hijrah ke Medan.

Pedagang-pedagang asal Tapanuli yang terkabung dalam Sjarikat Tapanuli, ketika berasaing dengan pedagang-pedagang Tionghoa di Medan, pedagang-pedagang asal Minangkabau belum terlalu menonjol. Pedagang-pedagang asal Tapanuli sangat kuat di bawah bendera NV Sjarikat Tapanuli yang menerbitkan surat kabar Pewarta Deli.

Lambat-laun, pedagang-pedagang asal Minangkabau mulai bisa menguntit eksistensi pedagang-pedagang asal Tapanuli di Medan. Persaingan pun mulai terbuka. Pada titik-titik tertentu sudah mulai persaingan panas. Ketika, Parada Harahap menjadi editor surat kabar Benih Mardika, coba meredam persaingan antara pedagang-pedagang asal Tapanuli dengan pedagang-pedagang asal Minangkabau. Ditulis oleh Parada Harahap di dalam editorial Benih Mardeka: ‘antara pebisnis Tapanuli dan Minangkabau harus menghilangkan perasaan ‘semua untuk saya’ menjadi kerjasama yang menguntungkan, karena tujuan perjuangan kita adalah untuk membangun ‘kesatuan dan persatuan’ bagi anak negeri. Persaingan ‘semua untuk saya’ di bidang bisnis harus dihilangkan. Perjuangan kita masih jauh dan banyak tantangan’.

Pedagang-pedagang asal Minangkabau di Medan bukanlah tandingan bagi pedagang-pedagang asal Tapanuli. Pedagang-pedagang asal Tapanuli sudah begitu kuat, baik dari segi volume perdagangan, sjarikat maupun media promosi (surat kabar Pewarta Deli). Pedagang-pedagang Tionghoa di Medan begitu kuat sehingga sulit dilampau tetapi terus dikuntit sebagaimana pedagang-pedagang asal Minangkabau terus menguntit pedagang-pedagang asal Tapanuli. Dalam perkembangan lebih lanjut, untuk meningkatkan kinerja pedagang-pedagang asal Minangkabau, mereka menjalin aliansi dengan media Tionghoa di Medan, utamanya Warta Sumatra yang notabene juga bersaing dengan Pewarta Deli. Kebetulan, orang-orang Tionghoa pemilik media di Medan yang menjadi partner pedagang-pedagang asal Minangkabau adalah pers Tionghoa di Padang yang hijrah ke Medan.

Parada Harahap, Ketua Kadin Pribumi di Batavia

Sukses membangun bisnis media di Padang Sidempuan hijrah (1919-1923), Parada Harahap hijrah ke Batavia tahun 1923 untuk meneruskan bisnis media. Kepindahan Parada Harahap ke Batavia juga didorong oleh keinginan untuk mengembangkan karir di bidang politik yang telah dimulainya di Sibolga (Sumantranen Bond dan Bataksch Bond).

Sumatranen Bond didirikan oleh Sorip Tagor Harahap di Belanda pada tahun 1917. Sorip Tagor Harahap adalah alumni pertama Sekolah Kedokteran Hewan di Bogor yang melanjutkan studi veteriner di Utrech. Pendirian Sumatranen Bond ini didasarkan karena pengurus Indisch Vereeniging (VI) sudah mulai loyo sepeninggal Sutan Casajangan yang pulang ke tanah air tahun 1914. Perhimpunan Pelajar Hindia (VI) yang bersifat nasional diprakarsai oleh Sutan Casajangan tahun 1908 karena didirikannya Boedi Oetomo yang bersifat kedaerahan. Namun dalam perkembangannya di tubuh Sumatranen Bond terjadi kegamangan karena resistensi sejumlah anggota terhadap orang-orang Tapanuli yang beragama Kristen. Pada tahun 1919, Dr. Abdul Rasjid Siregar (alumni STOVIA) mendirikan Bataksch Bond untuk mengakomodir orang Tapanuli beragama Kristen dengan tetap menjalin hubungan baik dengan Sumatranen Bond.

Di Batavia, Parada Harahap menerbitkan Bintang Hindia (1923). Surat kabar Parada Harahap ini mengambil nama majalah yang pernah terbit di Belanda tahun 1903-1909 (yang mana editornya pernah dilakukan oleh Radjioun Harahap gelar Sutan Casangan. Surat kabar ini terbilang sukses. Kemudian Parada Harahap menutup Bintang Hindia dan menerbitkan surat kabar Bintang Timur tahun 1926). Bintang Timur menjadi surat kabar berpengaruh di Batavia dengan oplah terbesar di era itu.

Sejak didirikan Bintang Timur, dimana Parada Harahap juga bertindak sebagai editor, telah banyak menerima tulisan-tulisan Sukarno tentang politik. Sejak itu pula hubungan Parada Harahap semakin intens dengan Sukarno (yang baru lulus kuliah di Bandung). Parada Harahap tidak hanya berdiam di Batavia, kesadaran nasionalnya mulai diperluas dan mulai melakukan pemetaan (mapping) tentang wilayah-wilayah Indonesia. Pada tahun 1925 Parada Harahap melakukan perjalanan jurnalistik ke seluruh Sumatra. Hasil liputan dan penyelidikannya dibukukan dan dicetak dan didistribusi tahun 1926. Buku itu diberi judul Perjalanan Jurnalistik dari Pantai ke Pantai. Catatan: Parada Harahap melakukan hal yang serupa ke seluruh wilayah di Jawa pada tahun 1929. Isi laporan itu berisi situasi dan kondisi penduduk setempat, mata pencaharian, pendidikan, kesehatan, perekonomian dan perdagangan serta lainnya. Boleh jadi misi Parada Harahap ini terinspirasi dari dua orang pendahulunya: pertama, Sutan Casajangan yang telah menulis buku dan diterbitkan di Eropa tahun 1913 berjudul ‘Hindia Belanda Dilihat dari Sisi Penduduk Pribumi’ yang berisi tentang tinjauan situasi dan kondisi penduduk, pendidikan, perdagangan, pembangunan pertanian. Kedua, Dja Endar Moeda yang pernah menulis buku berjudul Riwayat Pulau Sumatra yang bercerita tentang adat istiadat, kehidupan sehari-hari penduduk di beberapa tempat termasuk di dalamnya pertanian, perdagangan dan kelembagaan-kelembagaannya. Kelak pola serupa ini yang ditiru Sukarno sekitar tahun 1930an yang kerap mengunjungi berbagai daerah di Jawa dan Sumatra.

Trio macan parlemen di Pedjambon
Pada tahun 1926 Parada Harahap mendirikan Kadin pribumi dimana Parada Harahap menjadi ketuanya (sekretaris Harun Harahap). Parada Harahap tidak hanya menguasai media, juga percetakan dan perdagangan umum termasuk toko buku (persis yang dilakukan Dja Endar Moeda sebelumnya di Padang). Pada tahun 1927, Parada Harahap menyatukan semua organisasi-organisasi pribumi (seperti Boedi Oetomo, Kaum Betawi, Pasundan, dlll). Parada Harahap berkoordinasi dengan tiga ‘macan’ Pejambon, yakni: Mr. Mangaradja Soangkoepon, MH. Thamrin dan Dr. Abdul Rasjid. Atas bujukan Dr. Radjamin Nasution kepada Dr. Sutomo, akhirnya Boedi Oetomo yang dipimpin Sutomo bersedia menyatukan diri. Pada tanggal yang ditentukan semua pimpinan organisasi dan para anggota Volksraad di Pedjambon bertemu dan berdiskusi di rumah Mr. Husein Djajadiningrat (yang didampingi Sutan Casajangan) yang hasilnya membentuk PPPKI (Permoefakatan Perhimpoenan-perhimpoenan Politiek Kebangsaan Indonesia) dimana duduk sebagai ketua MH Thamrin dan Parada Harahap sebagai sekretaris. Catatan: Abdul Rasjid Siregar adalah adik kandung Mangaradja Soangkoepon..

Trio Founding Father RI
PPPKI adalah yang menginisiasi diadakannya pertemuan besar para pemuda (yang menghasilkan Sumpah Pemuda, tahun 1928). Panitia Kongres Pemuda 1928 ini ketuanya anak Medan dan bendaharanya adalah Amir Sjarifoeddin. Tentu saja kongres yang hampir bersamaan pertemuan besar PPPKI dan Kongres Pemuda membutuhkan biaya besar. Penempatan Amir Sjarifoeddin sebagai bendahara tentu saja ada maksudnya. Kedua kongres itu di belakangnya adalah Parada Harahap (sekretaris PPPKI dan yang juga Ketua Kadin Batavia). Dalam perhelatan besar itu, Parada Harahap mengundang Sukarno dan Hatta berpidato. Namun Sukarno yang bisa hadir dari Bandung, sementara Hatta (PPI Belanda) hanya diwakili oleh Ali Sastroamidjojo.

Parada Harahap semakin gerah dengan perlakuan pemerintah colonial Belanda terhdap rakyat. Parada Harahap mulai melirik Jepang sebagai mitra dagang dan industri untuk menumbuhkan ekonomi rakyat. Lalu kemudian tahun 1933 Parada Harahap memimpin misi dagang pribumi Indonesia ke Jepang. Di dalam rombongan ini terdapat M. Hatta yang baru lulus sarjana ekonomi di Belanda. Aksi pribumi di bawah pimpinan Parada Harahap ini membuat Belanda semakin gerah.

Dua tokoh pemikir ekonomi rakyat Indonesia sebelum Parada Harahap adalah Dja Endar Moeda dan Sutan Casajangan. Dja Endar Moeda di surat kabar Pertja Barat yang terbit di Padang pada tahun 1898 berulang kali di editorial menulis agar penduduk bangkit, mengusahakan lahan-lahan yang kosong agar penduduk tidak serba kekurangan, penduduk juga diajak untuk meningkatkan pengetahuannya dengan membaca teknik-teknik budidaya dan cara-cara perdagangan. Kampanye Dja Endar Moeda melalui media ini dapat dikatakan sebagai awal dari kesadaran berbangsa di bidang ekonomi. Tokoh yang kedua adalah Sutan Casajangan di Belanda yang menulis sebuah buku yang ditulis dalam bahasa Belanda dan diterbitkan di Barn, Belanda yang diperjual belikan di Eropa. Judul buku itu diterjemahkan sebagai ‘Hindia Belanda Dilihat Dari Sudut Pandang Pribumi’. Buku ini antara lain berisi perlunya pemberdayaan ekonomi penduduk baik di bidang pembangunan pertanian, industry dan perdagangan. Hanya dengan cara begitu penduduk bisa hidup layak tanpa tergantung dari upah yang rendah dari pengusaha Belanda/Eropa di Nusantara.

Dja Endar Moeda tidak hanya berjuang di bidang pendidikan dan pers, tetapi juga berjuang di bidang ekonomi. Demikian juga Sutan Casajangan tidak hanya berjuang di bidang pendidikan tetapi juga di bidang media dan juga di bidang ekonomi. Dja Endar Moeda dan Sutan Casajangan, keduanya alumni sekolah guru di Padang Sidempuan, dua pejuang bidang ekonomi di fase awal pembangunan ekonomi, industry dan keuangan penduduk pribumi.

Abdul Hakim Harahap, Pejabat Ekonomi di Era Belanda

Ketika Parada Harahap mulai berkibar di Batavia, Abdul Hakim Harahap lulusan sekolah menengah perdagangan di Batavia memulai karir sebagai pegawai bea da cukai (pabean) di beberapa tempat dan akhirnya ditempatkan di Medan (1927). Tahun 1930 Abdul Hakim Harahap terpilih menjadi anggota Dewan Kota (Gementeeraad) Kota Medan. Langkah pertama yang dipeloporinya adalah pembangunan pasar sentral Medan.

Pasar sentral ini kemudian menjadi pusat perdagangan umum. Selama ini pasar yang menjadi cikal bakal pasar sentral tersebut dikuasai ole swasta, Tjong A Fie. Setelah selesai dibangun pasar itu dikelola pemerintah dan retribusi yang di bayar tidak mahal lagi.

Pada tahun 1937 Abdul Hakim Harahap dipindahkan ke Batavia untuk menjabat kepala kantor  cabang ekonomi (semacam kepala dinas) di Bandung yang sebelumnya di Pontianak. Dari Bandung dipindahkan lagi menjadi menjadi Kepala Kantor Ekonomi di wilayah Indonesia Timur yang ditempatkan di Makassar (hingga tahun 1942, termasuk era pendudukan Jepang).

Trio Pelopor Kebangkitan Ekonomi Indonesia
Pada tahun 1942 Abdul Hakim Harahap pulang kampong di Padang Sidempuan karena ayahnya meninggal dunia. Abdul Hakim Harahap tidak kembali, tetapi direkrut militer Jepang untuk menjadi sekretaris dalam pembentukan dewan Tapanuli. Selama fase agresi militer Belanda, Abdul Hakim Harahap berjuang melawan Belanda dan kemudian diangkat menjadi Residen Tapanuli. Pada fase gencatan senjata (KMB) Abdul Hakim Harahap menjadi penasehat ekonomi delegasi Indonesia ke Den Haag. Delegasi Indonesia dipimpin oleh M. Hatta. Keutamaan Abdul Hakim Harahap karena selain ahli ekonomi (mantan pejabat ekonomi di era Belanda) juga karena menguasai tiga bahasa asing: Belanda, Inggris dan Perancis. Pasca pengakuan kedaulatan Abdul Hakim Harahap menjadi Wakil Perdana Menteri (Kabinet Halim, cabinet terakhir di Jogjakarta). Setelah itu, Abdul Hakim Harahap diangkat menjadi Gubernur Sumatera Utara pertama secara definitive pasca pengakuan kedaulatan RI.

Di Medan, sebagai Gubernur Sumatera Utara, Abdul Hakim Harahap memprioritaskan pembangunan ekonomi (setelah porak poranda selama perang).

Rezim Sukarno, Abdul Haris Nasution dan Mr. Arifin Harahap Digantikan oleh Rezim Suharto, Adam Malik Batubara dan Hamengkubuwono

Ir. Sukarno, Jenderal Abdul Haris Nasution dan Mr. Arifin Harahap, tiga orang yang terbilang lama berada di kabinet (orde lama) lenyap. Satu orang lagi tokoh berpengaruh dengan dengan Sukarno adalah Zainul Arifin Pohan (yang tertembak di sisi Sukarno). Kini, muncul tiga tokoh baru yang akan cukup lama berada di kabinet (orde baru) yakni: Suharto, Adam Malik Batubara dan Hamengkubuwono. Kabinet Ampera I, berakhir 11 Oktober 1967.

Dalam perkembangan kabinet Suharto akan muncul figur baru: Mayjen Maraden Panggabean (dalam Kabinet Pembangunan I, 10 Juni 1968-28 Maret 1973) sebagai Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban. Jabatan ini lalu dilepas 9 September 1971 untuk mengisi posisi Menteri Pertahanan  yang dilepas Suharto. The Big Four lama (Sukarno, Zainul Arifin Pohan, Abdul Haris Nasution dan Mr. Arifin Harahap) digantikan oleh The Big Four baru (Suharto, Adam Malik Batubara, Hamengkubuwono dan Maraden Panggabean). Kelak wakil presiden dijabat oleh Hamengkubuwono (Kabinet Pembangunan II) dan Adam Malik Batubara (Kabinet Pembangunan III).

Mungkin banyak yang bertanya-tanya: Mengapa Sukarno cukup setia terhadap orang Tapanuli? Demikian juga, mengapa Suharto cukup setiap terhadap orang Tapanuli? Jawabnya, karena orang Tapanuli termasuk yang setia terhadap Republik Indonesia. Pada saat RIS, hanya dua daerah yang masih setiap terhadap Republik Indonesia yakni Jawa Tengah (termasuk Jogjakarta) dan Tapanuli. Inilah dua sisa wilayah Republik Indonesia sebelum muncul istilah NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) sebagai harga mati. Sukarno dan Suharto tidak hanya menjunjung tinggi NKRI tetapi juga bagaimana mempertahankannya dari kaum penjajah. Sukarno merebut Irian Barat (komando Jenderal Abdul Haris Nasution) dan Suharto merebut Timor Timur (komando Mayjen Maraden Panggabean).

Abdul Haris Nasution adalah orang sangat setia kepada Ir. Soekarno. Sejak era Jenderal Sudirman adalah Abdul Haris Nasution yang tidak tergantikan di seputar Sukarno. Pesain utama Abdul Haris Nasution kemudian baru muncul yakni Suharto. Dalam peristiwa G 30 S PKI, Jenderal Abdul Haris Nasution yang menjadi sasaran tembak utama. Abdul Haris Nasution selamat dari peristiwa pembunuhan para jenderal. Ketika, pamor Suharto naik pasca G 30 S PKI, Abdul Haris Nasution mulai mundur ke belakang.

Trio Pejuang Pers Indonesia
Mengapa Abdul Haris Nasution begitu sentral di era Sukarno. Siapa yang mempererat hubungan Sukarno dengan Abdul Haris Nasution?. Dia adalah Parada Harahap, mentor politik Sukarno dan M. Hatta. Mengapa pula Abdul Haris Nasution di era Suharto (orde baru) disegani dan dihormati? Siapa yang mempererat hubungan Suharno dengan Abdul Haris Nasution?. Dia adalah Adam Malik Batubara. Parada Harahap adalah mentor dari Adam Malik Batubara di bidang pers dan politik. Diantara Parada Harahap, Abdul Haris Nasution dan Adam Malik terdapat satu kawan yang memiliki karakter keras yang cenderung berlawanan dengan penguasa, baik Sukarno maupun Suharto, yakni: Mochtar Lubis. Mentor pers Mochtar Lubis adalah Parada Harahap, dan mentor Parada Harahap di bidang pers adalah Dja Endar Moeda. Ketiga tokoh pers tiga era yang berbeda ini tidak ada yang menandingi pada era masing-masing. Dja Endar Moeda adalah Radja Persuratkabaran Sumatra, Parada Harahap adalah The King of Java Press, dan Mochtar Lubis The Musketeer of Internasional Pers. 


Parada Harahap di mata Sukarno bagaikan abang kandung, seperti halnya Sukarno menganggap Mr. Arifi Harahap bagaikan adik kandung. Parada Harahap adalah mentor politik dari Sukarno dan Hatta. Di kantor PPPKI di Jalan Kenari dimana Parada Harahap sebagai sekretaris hanya ada dua foto yang terpampang, yakni foto Sukarno dan foto M. Hatta (dua anak muda yang revolusioner). Parada Harahap sejak di Medan 1917 adalah pemuda revolusioner yang menjadi editor surat kabar Benih Mardeka. Pada tahun 1919 Parada Harahap di Padang Sidempuan mendirikan surat kabar bernama Sinar Merdeka. Ini artinya ketika Sukarno dan Hatta masih kanak-kanak (remaja) Parada Harahap sudah berjuang dengan gayanya sendiri: merdeka atau mati.

Pada saat Ir. Sukarno dan Drs. M. Hatta menjadi Presiden dan Wakil Presiden, senior Parada Harahap diserahi tugas besar untuk memimpin misi ekonomi ke 14 negara di Eropa untuk studi dan menyusun formulasi rancangan pembangunan ekonomi Indonesia. Inilah untuk kali kedua Parada Harahap memimpin misi ekonomi pribumi ke luar negeri (yang pertama tahun 1933 ke Jepang dengan mengikutsertakan M. Hatta yang baru lulus sarjana ekonomi di Belanda). Hasil kunjungan misi ekonomi yang dipimpimpin Parada Harahap pada tahun 1954 kemudian dirumuskan Parada Harahap dan dibukukan. Judul buku yang dicetak oleh percetakan Parada Harahap ini diberi judul Rencana Pembangunan Indonesia Lima Tahun yang diterbitkan tahun 1955. Buku ini dapat dikatakan sebagai buku Repelita pertama di Indonesia.

Trio Panglima Revolusioner Indonesia
Ketika Sukarno menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda (1952), Parada Harahap mengakuisisi satu perusahaan Belanda yang menerbitkan surat kabar legendaries: Java Bode. Surat kabar berbahasa Belanda yang kepemilikannya sudah di tangan pribumi sejak 1953 banyak memberitakan sepak terjang Sukarno. Inilah bukti persahabatan yang manis antara Parada Harahap dan Sukarno. Parada Harahap meninggal tahu 1959 yang bersamaan dengan diankatnya Mr. Arifin Harahap sebagai Menteri Perdagangan.

Parada Harahap adalah seorang negarawan. Musuhnya hanya satu: Belanda. Jelang kemerdekaan, Parada Harahap duduk sebagai anggota BPUPKI. Ketika Presiden Sukarno berseberangan dengan Mayjen AH Nasution yang menengahi adalah Kol. Zulkifli Lubis (1954). Sebaliknya, ketika Presiden berseberangan dengan Zulkifli Lubis, yang menengahi adalah AH Nasution (1957). Anehnya, pada saat kedua kejadian itu terjadi, dua tokoh penting tidak memihak, yakni: Zainul Arifin Pohan dan Parada Harahap. Zainul Arifin Pohan adalah Panglima Hizbullah, sayap kanan Jenderal Sudirman di masa perang kemerdekaan (1946-1949) dan yang menjadi pemimpin politik NU berteman akrab dengan Sukarno sejak pasca pengakuan kedaulatan RI (1950). Sedangkan Parada Harahap jauh sebelumnya sudah berteman akrab dengan Sukarno sejak 1926. Sebagaimana diketahui Parada Harahap adalah mentor politik dari Sukarno dan M.Hatta.

Trio Pendiri Organisasi Mahasiswa
Lantas siapa mentor Parada Harahap? Dia adalah Radjioen Harahap gelar Sutan Casajangan, pendiri perhimpunan pelajar Indonesia (Indisch Vereeniging) di Belanda tahun 1908. Indisch Vereeniging kemudian tahun 1924 menjadi Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) yang diketuai oleh M. Hatta. Sutan Casajangan pulang ke tanah air 1914, pada saat menjadi guru di sekolah raja di Bukittinggi, Sutan Casajangan mendirikan surat kabar Poestaha di Padang Sidempuan. Surat kabar ini kemudian diasuh oleh Parada Harahap bersama surat kabar yang baru, Sinar Merdeka.

Sebagaimana diketahui, mentor politik dari Lafran Pane dan Ida Nasution adalah Parada Harahap. Lafran Pane pada bulan Januari 1947 di Jogjakarta mendidirkan persatuan mahasiswa di luar kampus yang dikenal sebagai Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Semenetara pada bulan November 1947 di Jakarta juga didirikan persatuan mahasiswa di dalam kampus yang diberi nama Persatuan Mahasiswa Universiteit Indonesia (PMUI) oleh Ida Nasution dan G. Harahap. Ini berarti, tiga organisasi mahasiswa Indonesia pertama didirikan oleh anak-anak Padang Sidempuan. Merekalah pionir-pionir pergerakan mahasiswa di jamannya baik untuk merebut kemerdekaan maupun untuk mempertahankannya.
 
Dari Mr. Arifin Harahap ke Dr. Arifin Siregar

Mr. Arifin Harahap sangat terkenal di Negara tetangga di Australia, Singapura dan Malaysia. Mr. Arifin Harahap sangat dihormati di tiga Negara tersebut, karena sangat piawai dalam urusan pemulihan ekonomi dan perdagangan dan menjalin kerjsama yang saling menguntungkan. Di Singapura namanya selalu disebut His Excellency M. Arifin Harahap.

Adam Malik Batubara sebagai Menteri Perdagangan juga sangat dikenal di Singapura dan Malaysia. Nama Adam Malik Batubara tidak hanya dikenal di Singapura dan Malaysia tetapi juga namanya sangat dikenal di seluruh dunia ketika menjabat sebagai Menteri Luar Negeri. Adam Malik Batubara tidak hanya menggagas dibentuknya ASEAN tetapi juga pernah menjadi Ketua Sidang PBB di New York.

Menteri Perdagangan: Arifin Harahap, Adam Malik, Arifin Siregar
Dr. Arifin Siregar adalah Menteri Perdagangan di Era Suharto. Dr. Arifin Siregar adalah seorang professional di bidang ekonomi, perdagangan dan keuangan, seperti BJ Habibie yang dipanggil pulang oleh Suharto. Dr. Arifin Siregar adalah alumni Belanda yang mendapat gelar doktor (PhD) seperti Dr. BJ Habibie. Setelah menjadi Gubernur Bank Sentral (Bank Indonesia), Dr. Arifin Siregar diangkat manjadi Menteri Perdagangan.

Adam Malik Batubara adalah tokoh penting Indonesia sejak era Sukarno (orde lama)  hingga era Suharto (orde baru). Adam Malik Batubara adalah garis penghubung antara Mr. Arifin Harahap dan Dr. Arifin Siregar. Di era Sukarno, Adam Malik Batubara menggantikan Mr. Arifin Harahap sebagai Menteri Perdagangan dan keduanya cukup lama berada di kabinet. Pada era Suharto, Adam Malik Batubara juga cukup lama dan cukup lama pula bersama Dr. Arifin Siregar duduk di kabinet. Adam Malik Batubara tidak tergantikan posisinya sebagai Menteri Luar Negeri baik di era Sukarno dan era Suharto. Jabatan prestise Adam Malik adalah pernah menjadi Wakil Presiden di era Suharto. Di era Sukarno, yang pernah menjabat Perdana Menteri adalah Amir Sjarifuddin Harahap dan Burhanuddin Harahap.

Riwayat jabatan Arifin Harahap
Indonesia di masa awal hanya terbagi dua era: Era Sukarno dan Era Suharto. Era Sukarno adalah masa merebut kemerdekaan. Tiga tokoh utama yang merupakan the founding father adalah Ir. Sukarno, Drs. M. Hatta dan Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap (yang juga disebut trio lama). Selanjutnya era Suharto, sebagai masa mengisi kemerdekaan, tiga tokoh utama yang memulai era pembangunan adalah Suharto, Hamengkubowono dan Adam Malik Batubara (sebagai trio baru). Ini berarti antara dua era: Sukarno digantikan Suharto, M. Hatta digantikan Hamengkubuwono dan Amir Sjarifoeddin Harahap digantikan Adam Malik Batubara. Sebagaimana diketahui Mr. Arifin Harahap adalah adik kandung dari Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap.


Ketika Medan masih kampung, Padang Sidempuan sudah kota
Dari uraian di atas, Mr. Arifin Harahap tidaklah sendiri. Mr. Arifin Harahap hanyalah satu dari ratusan tokoh-tokoh nasional yang berpengaruh yang berasal dari Tapanuli Selatan. Tokoh-tokoh nasional itu tidak hanya di bidang politik, militer, pers tetapi juga di bidang pendidikan, kesusastraan, kedokteran, pemerintahan, olahraga dan lain sebagainya yang tidak hanya terdapat di Batavia atau Jakarta, tetapi juga terdapat di Medan, Padang, Palembang, Lampung, Bandung, Jogjakarta, Surabaya dan tempat-tempat lainnya termasuk di luar negeri. Deretan tokoh nasional ini sudah ada sejak 1854 (hingga ini hari). Meski mereka berasal dari kabupaten kecil, Tapanuli Selatan (ibukota Padang Sidempuan) di bagian selatan Sumatera Utara dan sejauh yang bisa ditelusuri banyaknya cukup fantastis: 121 orang tokoh nasional sejak 1854 hingga tahun 1954. Uniknya, sebagian dari mereka ini adalah pionir atau pelopor.


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap dari berbagai sumber tempo doeloe.

Tidak ada komentar: