Kamis, September 01, 2016

Sejarah Kota Medan (39): Sarimin Reksodihardjo, Gubernur Sumatera Utara Masa Transisi; Tokoh Utama Proses Pembentukan Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara



*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Medan dalam blog ini Klik Disini

Pada saat kapan Sumatera Utara tanpa memiliki Gubernur, Kementerian Dalam Negeri menugaskan Sarimin Reksodiharjo sebagai pejabat Gubernur Sumatera Utara yang mulai bertugas 14 Agustus 1950. Sarimin Reksodiharjo hanya menjabat sebagai Gubernur dalam waktu singkat tetapi tugasnya dapat dianggap begitu sulit. Sarimin Reksodiharjo bertugas untuk menata pemerintahan di Provinsi Sumatera Utara (Tapanuli, Aceh dan Sumatera Timur) selepas perang. Tugas keduanya adalah melikuidasi Negara Sumatera Timur. Tugas ketiga adalah memulai penataan masalah pertanahan yang rumit di Sumatera Utara khususnya di Sumatera Timur. Setelah selesai tugasnya, Gubernur Sumatera Utara secara definitive diangkat. Serah terima jabatan Gubernur Sumatera Utara (25 Januari 1951) menandai berakhirnya tugas Sarimin Reksodiharjo dan dimulainya masa Gubernur Abdul Hakim Harahap.

Dua gubernur Sumatera Utara sebelumnya dibentuk di pengungsian dan diangkat Mr. SM Nasution selama pusat republik berada di Pematang Siantar (Sumatera Timur) dan Dr. FL Tobing selama pusat republik berada di Sibolga (Tapanuli). Sejak pengakuan kedaultan Republik Indonesia (27 Desember 1949) Sumatera Utara tanpa Gubernur hingga ditugaskannya Sarimin Reksodiharjo sebagai pelaksana tugas Gubernur Sumatera Utara.

Sarimin Reksodiharjo Alumni OSVIA dan Reehtshoogeschool

Soerabaijasch handelsblad, 16-05-1941
Sarimin Reksodiharjo adalah alumni sekolah pamong praja (OSVIA) di Bandung. Ketika sekolah hukum (Reehtshoogeschool) di Batavia membuka akademi pemerintahan (Bestuursacademie), salah satu siswa yang diterima adalah Sarimin Reksodiharjo. Pada tahun 1941, Sarimin Reksodiharjo termasuk salah satu dari 14 orang lulusan pertama Bestuursacademie (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 15-05-1941). Foto Soerabaijasch handelsblad, 16-05-1941,

Melikuidasi Sumatera Timur

Ini terjadi pada pertengahan tahun 1950. Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Anak Agung Gde Agung datang ke Medan (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 15-07-1950). Tujuannya untuk melantik tiga. Anggota Panitia Persiapan untuk melikuidasi Negara Sumatera Timur (NST) dalam pembentukan negara kesatuan sesuai perjanjian RIS dan RI. Ketiga anggota panitia tersebut adalah Sarimin Reksodihardjo, Mr. M. Jusuf dan Mr. SM Amin Nasution. Pelantikan dilakukan di ex rumah Residen (Jalan Jakarta/Poloniaweg). Dalam pelantikan ini hadir komandan militer (Gubernur Militer) Kolonel Simbolon, Dr. Mansur dan Kaliamnsjah Sinaga. Anggota komite yang ditunjuk oleh pemerintah pusat di Jakarta setelah berkonsultasi RI dan NST. Wali Negara Sumatera Timur, Dr. Mansur berharap lancar masuknya Sumatera Timur ke dalam Negara kesatuan (NKRI). Menteri berharap proses likuidasi ini akan terwujud pada tanggal 17 Agustus 1950.

Het nieuwsblad voor Sumatra, 15-07-1950
Setelah usai pelantikan (besoknya, 15-07-1950) Menteri RIS, Anak Agung Gde Agung berangkat ke Parapat untuk berlibur beberapa hari sebelum kembali ke Jakarta. Sebagaimana dilaporkan Het nieuwsblad voor Sumatra, 15-07-1950, pada tanggal 16 Juli 1950 adalah berakhirnya bulan puasa dan hari Senin 17 Juli 1950 adalah hari raya Idul Fitri. Tanggal 17 dan 18 adalah libur nasional. Sementara itu, pada saat Menteri ke Parapat, Sarimin Reksodihardjo dengan pesawat ke Jawa untuk menghabiskan Lebaran bersama keluarganya di Yogya, dan selanjutnya berkonsultasi dengan pemerintah RI dan RIS. Ia berharap bisa kembali Rabu di Medan. Sarimin Reksodihardjo adalah Kepala Urusan Pertanian di Republik Indonesia dan saat ini diperbantukan untuk RIS untuk bertindak sebagai koordinator likuidasi NST. Mr. SM Amin Nasution adalah Gubernur Sumatera Utara RI pertama pada masa agresi militer Belanda yang pertama. Mr. Moh Jusuf adalah Walikota Medan (yang kedua) menggantikan posisi Mr. Loeat Siregar (Walikota Medan pertama RI).

Dalam perkembangannya, diantara tiga anggota panitia, kemudian Sarimin Reksodihardjo didaulat menjadi ketua dan yang lain sebagai anggota (Nieuwe courant, 22-07-1950). Dalam berita ini disebutkan, Dr. Mansur ikhlas Negara Sumatera Timur dilikuidasi meski sebagian rakyat NST (Kongres Rakyat) menolaknya menjadi negara kesatuan. Bahkan Dr. Mansur meminta Kaliamsjah Sinaga (NST) keluar dari panitia ketika ada yang mengusulkan. Karenanya panitia tetap semuanya dari RI. Dalam hal ini, mayoritas republiken mendukung negara kesatuan (NKRI).

Langkah-langkah yang dilakukan Sarimin Reksodihardjo meski tetap ada resistensi tetapi Sarimin Reksodihardjo didukung harian Mimbar Umum (yang menjadi corong tidak langsung untuk Sarimin Reksodihardjo dalam mendukung integrasi, Negara kesatuan) (Het nieuwsblad voor Sumatra, 27-07-1950).

Het nieuwsblad voor Sumatra, 28-07-1950: ‘Pagi ini Kaliamsjah Raja Sinaga, Wakil Wali Negara dari NST dan Mr Sarimin Reksodihardjo, ketua komite RIS untuk melikuidasi Negara Sumatera Timur  berangkat dengan pesawat terbang dari Medan ke Jakarta. Kabarnya keduanya akan membawa diskusi dengan pemerintah pusat tentang isu-isu yang berkaitan dengan integrasi Sumatera Timur (NST) dalam negara kesatuan (NKRI)’.

Persiapan Pembentukan Provinsi Sumatera Utara

Tidak mudah untuk melikuidasi Sumatera Timur. Tidak semuanya setuju. Front Nasional (RI) sangat mendukung, Kongres Rakyat (NST) masih enggan. Front Nasional berharap di dalam Panitia Persiapan Pembentukan Provinsi Sumatera Utara juga terdapat dari wakil-wakil Kongres Rakyat. Front Nasional akan berusaha untuk memastikan bahwa "mana mungkin" likuidasi NST menjadi ‘wajib’ sebelum pembentukan negara bersatu (NKRI). Front Nasional menyatakan bahwa akan memberikan semua dukungan dalam likuidasi NST (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 07-08-1950).

Dr. Djabangoen Harahap
Ketua Front Nasional Medan adalah Dr. Djabangoen Harahap dan wakilnya Mr. GB Josua Batubara.  Sementara Wali Negara Sumatra Timur adalah Dr. Mansoer. Djabangoen Harahap dan Mansoer adalah sekelas di STOVIA. Ketika republik mengungsi ke Pematang Siantar dan seterusnya ke Tapanuli Selatan, di Medan hanya tinggal dua tokoh republic. Selama terjadi pertempuran antara TNI, lascar dan penduduk dengan militer Belanda di Tapanuli Selatan, Djabangoen dan GB Josua berjuang di Medan. Negara Sumatra Timur yang didukung Belanda telah mengabaikan warga republic. Dalam hal ini Dr. Djabangoen Harahap menangani kesehatan warga republic mulai dari Langkat hingga Laboehan Batu dan GB Josua menangani pendidikan anak-anak republic di Medan. Semua anak-anak republic sekolah gratis di perguruan milik Josua yakni Josua Instituut (kini masih eksis sebagai Perguruan Josua). Ketika konflik (Belanda vs Republik) makin memanas Dr. Djabangoen didaulat menjadi Ketua Front Nasional Medan (di Surabaya Ketua Front Nasional Doel Arnowo, di Sibolga M Nawi Harahap). Front Nasional adalah suatu front yang dibentuk di kota dimana diperlukan untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda.

Setelah pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda (pasca konferensi KMB di Den Haag) jalan bagi republic semakin terbuka menuju kemenangan (kemerdekaan yang dicita-citakan). Dalam perkembangannya, RIS bubar dan semakin menguat RI dalam wujud NKRI. Dalam fase menuju NKRI inilah Negara Sumatra  Timur (NST) sebagian besar rakyat Sumatra Timur menolak. Dr. Mansur awalnya mengikuti irama rakyat, namun Dr. Mansur bukanlah ‘orang bodoh’. Dr. Mansur juga banyak dapat masukan dari Dr. Ildrem Siregar yang berada di NST tetapi pro republik. Dr. Ildrem, kelahiran Sipirok adalah dokter alumni Belanda. Dr. Ildrem juga mempengaruhi ‘lae’nya itu agar membuka pintu lebar-lebar agar NST kembali ke NKRI. Tentu saja itu tidak sulit karena Djabangoen Harahap dan Mansur adalah dulunya teman baik, bahkan sejak di bangku kuliah.  namun secara politik berseberangan ketika Belanda kembali untuk menjajah.

Mr. Gading Batubara Josua (GB Josua)
Dr. Mansur sebagai Wali Negara Sumatra Timur sadar bahwa jika tetap ngotot mengikuti kehendak rakyat maka hal itu bisa menyulitkan, karena Belanda sudah hengkang dan republic makin menguat (NKR). Dr. Mansur menghadapi buah simalakama. Atas inisiatifnya diantara pentolan-pentolan NST, Dr. Mansur berusaha keras masuk NKRI dan bersedia NST dibubarkan. Inilah kesadaran tertinggi dan pengorbanan Mansur. Orang-orang republic mengapresiasi keputusan Mansur meski pentolan-pentolan NST yang umumnya petinggi-petinggi kesultanan merasa enggan masuk NKRI. Oleh karena itu, di mata republic, terutama eks ‘kawan lamanya’ Dr. Djabangoen Harahap, tindakan Mansur itu ‘dimaafkan’ sebagai bentuk koreksi kesalahan yang dilakukan Dr. Mansur selama ini (selama orang-orang republic tertindas dan menderita selama kehadiran Belanda di dalam Negara Sumatra Timur).

Akhirnya Negara Sumatra Timur melalui Dr. Mansur meminta sendiri untuk  dibubarkan dan difasilitasi masuk ke bagian NKRI. Orang-orang Republik welkom. Dr. Djabangoen, Sugondo, GB Josua, Mr. Ani Manoppo Abbas, Madong Lubis. Demikian juga orang-orang yang berada di dua belah pihak seperti Mr. Mahadi dan Dr. Ildrem Siregar menjadi sumringah. Istri Dr. Ildrem (orang Belanda) juga tidak keberatan dan sukarela menjadi warga Negara Indonesia dan bergegas datang ke Medan dari Amsterdam (untuk berkumpul dengan keluarga yang dicintainya).

Dr. Ildrem Siregar
Ny. Anni Manoppo Abbas adalah istri Mr. Abbas Siregar. Saat perang, dan ketika Dr. Djabangoen dkk berjuang di Medan, Mr. Abbas Siregar juga berjuang atas nama republic sebagai pimpinan dewan republic di Tapanoeli dan tidak mau menjadi ‘boneka Belanda’ seperti di Sumatra Timur. Abbas Siregar kelahiran Medan adalah Residen Pertama Lampung dan sebelumnya adalah salah satu anggota PPPKI (dalam persiapan Kemerdekaaan Indonesia yang diketuai oleh Soekarno). Abbas Siregar dikirim ke Sumatra Utara oleh pemimpin republic di Jogjakarta ketika republic telah terusir dari Medan dan terjadi gelombang pengungsi republic ke Tapanuli dan terkonsentrasi di Tapanuli Selatan (sisa daerah republic yang belum sepenuhnya berhasil dikuasai Belanda hingga berakhirnya Belanda terusir dari Indonesia, pasca KMB). Di Padang Sidempun, kampong halamannya, Abbas Siregar berhasil menjaga Tapanoeli tetap republic (sesuai misi dari Jogja jangan sampai jatuh ke tangan Belanda dan dijadikan Negara Boneka). Jika Tapanoeli jatuh dan menjadi Negara boneka Belanda maka habislah Republik Indonesia. Karena sisa RI yang kemudian beribukota Bukittinggi (di pengasingan) hanya tinggal beberapa daerah lagi: Djogja, Tapanoeli, Aceh dan Lampung.

Saat hiruk pikuk seperti inilah Sarimin Reksodiharjo ‘dikirim’ Kementerian Dalam Negeri untuk menengahi permasalahan yang sulit di Sumatra Utara (Atjeh, Tapanoeli dan Sumatra Timur). Sarimin Reksodiharjo lalu dibantu oleh tokoh kuat Binanga Siregar, mantan residen Tapanuli di era perang (sebelum gencatan senjata jelang KMB) dan Mr. Daudsyah dari Atjeh. Mereka bertigalah yang membidani lahirnya Sumatra Utara yang baru. Setelah semua berhasil dan mulai normal, Sarimin Reksodiharjo ditarik kembali ke Jakarta dan sebagai penggantinya Abdul Hakim Harahap.

Abdul Hakim Harahap
Abdul Hakim Harahap adalah mantan Residen Tapanoeli (wakilnya Binanga Siregar). Saat ke KMB, Abdul Hakim diminta menjadi penasehat republic ke KMB yang dipimpin M. Hatta. Abdul Hakim Harahap adalah ‘pahlawan’perang di Tapanoeli, seorang ekonom yang menguasai tiga bahasa asing (Belanda, Inggris dan Perancis). Ketika, selesai KMB (pengakuan RI oleh Belanda) Abdul Hakim Harahap tidak pulang kampong tetapi menuju Jogjakarta karena diangkat sebagai Wakil Perdana Menteri Kabinet Halim (cabinet terakhir di Djokja). Oleh karenanya untuk menjadi Gubernur Sumatra Utara yang pertama (awal NKRI) yang memiliki portofolio tertinggi adalah Abdul Hakim Harahap, republiken sejati. Abdul Hakim Harahap di era Belanda adalah pejabat ekonomi tertinggi di Indonesia Timur (Makassar). Di era Jepang direkrut militer Jepang untuk bekerja membentuk Dewan Tapanoeli. Abdul Hakim Harahap juga tidak asing dengan Kota Medan, karena antara 1927-1937 menjadi anggota dewan kota (gemeeteraad) Medan yang mengusulkan dibangunnya rumah sakit dan pasar sentral Medan. Abdul Hakim Harahap dan GB Josua Batubara adalah Pembina sepakbola pribumi di Medan dan juga pemilik klub sepakbola. Ketika Abdul Hakim Harahap pindah kembali ke Batavia, Direktur Sahata Voetbal Club diserahkan kepada GB Josua.

Itulah dinamika Sumatra Utara di awal pembentuk NKRI. Itu pula dinamika pejuang-pejuang Republik dari Padang Sidempuan untuk memepertahankan kemerdekaan Indonesia dan membentuk NKRI. Anda ingin menulis sejarah baru; jangan lupa ada sejarah lama. 
Untuk sekadar diketahui: Abdul Hakim Harahap penggagas didirikannya Universitas Sumatra Utara (USU) yang bertiindak sebagai Presiden pertama. Abdul Hakim Harahap dibantu antara lain Dr. Ildrem, Mr. Ani Manoppo Abbas, Mr. Madong Lubis dan Mr. Mahadi. Sementara Dr. Djabangoen Harahap dan Mr. Gb Josua setelah terbentuk NKRI di Sumatra Utara kembali ke fungsi awal masing-masing, Dr. Djabangoen melayani masyarakat di bidang kesehatan dan GB Josua melayani masyarakat di bidang pendidikan di Medan. Binanga Siregar diangkat menjadi Residen Sumatra Timur lalu kemudian diangkat menjadi Residen Tapanoeli tahun1956. Pada tahun 1957 Binanga Siregar menggagas didirikan Universutas Tapanuli (kini menjadi UGN Padang Sidempuan yang tengah proses penegerian). Sedangkan Bupati Tapanuli Selatan yang pertama menjadi Wali Kota Medan (kemudian menjadi Residen Sumatra Timur).

Tidak ada komentar: