Sabtu, September 17, 2016

Sejarah Kota Medan (40): Sejarah PON III, Secara Defacto Pekan Olahraga Nasional Kedua; Pertama di Luar Jawa



PON III di Medan adalah Pekan Olahraga Nasional yang pertama diselenggarakan di luar Jawa yang berlangsung dari tanggal 20 September hingga  27 September 1953. Tanpa mengurangi nilai historis PON I, sesungguhnya Pekan Olahraga Nasional baru dilaksanakan dua kali. Pertama di Jakarta (PON II, 1951) dan kedua di Medan (PON III, 1953).

PON I di Solo sesungguhnya tidak dapat dikatakan sebagai Pekan Olah Raga Nasional. PON I ini diselenggarakan selama empat hari dari tanggal 9 hingga 12 September 1948 hanya diikuti oleh kota-kota (13 kota) di Jawa Tengah dan Jawa Timur plus Jakarta. Kota-kota di Jawa Barat tidak satu pun yang terwakili, bahkan Kota Bandung sendiri tidak ikut serta.

Penunjukkan Kota Medan sebagai tempat penyelenggaraan PON III (pertama di luar Jawa) karena di Medan sendiri telah terjadi proses politik yang dinamik yang dimenangkan oleh RI. Sementara itu, dari sudut pandang pusat (Yogyakarta/Jakarta) Medan adalah kota kedua (setelah Jakarta) yang memiliki gengsi dimana RI berada, baik keluar (terhadap penjajah Belanda) maupun di dalam negeri (terhadap orang/kelompok yang tidak menginginkan kesatuan dan persatuan RI).


Penunjukkan pusat (Presiden Sukarno dan KONI) mendapat respon positif di Medan karena dua tokoh penting di Medan sangat siap. Dua Tokoh penting ini adalah Gubernur Abdul Hakim Harahap, Residen Sumatera Timur, Muda Siregar dan Ketua Front Nasional Medan, GB Josua. Ketiga tokoh politik ini (sejak era colonial Belanda) sangat intens membina olahraga khususnya sepakbola. Dalam perang kemerdekaan (angresi miter Belanda) tiga tokoh olahraga ini berjuang habis-habisan mengusir Belanda dalam posisi: Abdul Hakim Harahap sebagai Residen Tapanuli, Muda Siregar, Bupati Tapanuli Selatan, dan GB Josua Batubara sebagai Ketua Front Nasional Medan.

Kota Medan pada Masa Perang

Kota Medan adalah kota internasional yang di level penduduk pribumi memiliki karakteristik yang berbeda dibanding kota-kota lain di Indonesia. Kota Medan memiliki dua faksi penduduk yang berimbang: pro kemerdekaan dan anti kemerdekaan. Pada masa pendudukan Jepang, kota Medan tenang-tenang saja, tetapi ketika Belanda kembali, penduduk pro kemerdekaan bereaksi keras: puncaknya terjadi perang Medan Area. Beberapa tokoh muda dalam perang ini, antara lain: Martinus Lubis dan Marah Halim Harahap.

Namun kekuatan senjata asing (Inggris/Belanda) dengan senjata modern bukan tandingan pejuang pro kemerdekaan yang menggunakan sisa-sisa persenjataan Jepang, lalu lambat laun terdesak ke luar Kota Medan, kemudian bergeser ke Pematang Siantar dan akhirnya ke Tapanuli, terutama di Tapanuli Selatan. Lalu semua kekuatan pejuang pro kemerdekaan (laskar dan tentara) konsentrasi di Padang Sidempuan dan sekitarnya. Sementara di Kota Medan sendiri elemen laskar dan tentara terkikis habis oleh kekuatan Belanda yang semakin terus menguat. Penduduk Kota Medan anti kemerdekaan mulai berbunga-bunga. Namun demikian, masih ada dua tokoh sipil pejuang Republik yang tersisa di Medan yang berjuang di bidangnya, yakni: Dr. Djabangun Harahap dan Mr. GB Josua Batubara.

Dr. Djabangoen Harahap adalah alumni STOVIA (seangkatan dengan Dr. Mansur). Setelah lulus, Djabangoen Harahap ditempatkan di laboratorium RS Batavia (kini RS Tjipto) lalu ditempatkan di beberapa tempat sebelum ditempatkan di kampong halamannya di Padang Sidempuan. Ketika di Kabanjahe tahun 1930 dibangun sanatorium, Dr. Djabangoen diangkat sebagai asisten dokter Belanda yang mengepalai sanatorium. Lembaga ini telah berhasil menyelamatkan penduduk Karo dan Simalungun dari endemic penyakit TBC. Pada tahun 1933, Dr. Djabangoen Harahap dipindahkan ke Medan untuk mengatasi TBC di Medan dan Sumatera Timur. Karena itu dibuka biro penanganan TBC di RS Medan (kini RS Pirngadi). Sementara itu di Medan, GB Josua Batubara belum lama pulang studi dari Belanda dan telah mendirikan sekolah swasta (HIS dan MULO) yang dikenal sebagai Joshua Institute (kini perguruan ini masih ada). Sekolah ini dalam tempo singkat dapat mengimbangi kualitas sekolah-sekolah negeri (binaan pemerintah colonial Belanda). GB Josua sebelumnya alumni sekolah guru di Bukitinggi, kemudian sekolah guru yang lebih tinggi di Poerworejo lalu setelah lulus pulang kampong di Sipirok untuk mengajar di HIS Sipirok. Pemerintah colonial mengangkatnya sebagai guru pemerintah dan dipindahkan ke Medan 1924. GB Josua tidak nyaman mengajar di sekolah pemerintah di Medan, lalu para pengusaha Balige yang ada di Medan memintanya untuk merekonstruksi sekolah HIS yang ada di Tapanuli Utara. Ternyata berhasil dan berita ini diketahui pemerintah dan memberinya beasiswa untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi ke Belanda. Setelah lulus di Belanda dan pulang ke tanah air di Medan, GB Josua tidak bekerja untuk pemerintah tetapi lebih memilih untuk mendirikan sekolah swasta (karena menurut GB Josua sekolah negeri tidak cukup untuk semua siswa yang ingin bersekolah).      

Selama kekosongan pemimpin politik dan tentara republic di Medan kedua tokoh ini (Djabangoen dan GB Josua) mengambil peran yang strategis dan signifikan. Dr. Djabangoen Harahap, siang malam berkeliling untuk mengatasi penduduk republic di Medan dan Sumatera Timur yang kesehatannya telah jauh menurun karena kekurangan pangan. Semuanya dapat teratasi dan penduduk republik dapat diminimalkan tingkat morbiditas dan tingkat mortalitasnya.

Sedangkan GB Josua Batubara juga sangat sibuk, untuk tetap menyelamatkan pendidikan anak-anak dari penduduk republic, sekolahnya dan lingkungan sekolahnya menjadi pusat pendidikan satu-satunya bagi peduduk republik di Medan dan Sumatera Timur. Sekolah ini di masa pendudukan Jepang disita untuk dijadikan markas militer Jepang. Setelah Jepang takluk dan Indonesia merdeka, sekolah ini dikembalikan kepada GB Josua dan meneruskan lembaga ini sebagai pusat pendidikan. Tetapi belum lama Jepang hengkang, Belanda kembali ke Medan. GB Josua Batubara tetap tekun menjadi guru dan membina Josua Institute.

Sementara kawan-kawan Dr.Djabangoen Harahap dan Mr. GB Josua terus berjuang di Tapanuli (Selatan) mempertahankan kemerdekaan, mereka berdua bahu-membahu di Medan dan Sumatera Timur untuk menyelamatkan generasi anak-anak republic (yang umumnya berasal dari Tapanuli). Mereka berdua tidak peduli meski aktivitas mereka kerap dihalangi oleh pemerintah/militer kolonial maupun pemimpin politik pribumi yang anti kemerdekaan. Lambat laun, dua guru dan dokter itu menggulung lengan baju dan mulai ikut memegang senjata.. Atas jiwa patriotic GB Joshua di bidang pendidikan lalu GB Josua didapuk menjadi Ketua Front Nasional Medan (di belakangnya berdiri Dr. Djabangoen Harahap).

Kota Medan Pasca Pengakuan Kedaulatan RI

Setelah adanya pengumuman pemerintah pusat bahwa situasi menjadi genjatan senjata. Di Tapanuli Selatan perang harus diakhiri (satu-satunya daerah di Sumatera Utara yang tidak sepenuhnya dikuasai oleh militer Belanda). Di Medan dan Sumatera Timur, kesehatan dan pendidikan penduduk pribumi tetap terjaga. Lalu persiapan untuk konferensi di Belanda (KMB di Den Haag) dimulai. Kekosongan pemerintahan di Sumatera Utara kemudian dipersiapkan ketika penduduk anti kemerdekaan RI telah membentuk Negara Sumatera Timur (NST). Pemerintah pusat lalu melikuidasi NST (yang mana dalam proses likuidasi ini GB Josua salah satu anggota panitia yang ditunjuk pusat).

Untuk delegasi RI Sumatera Utara ke KMB salah satu tokoh penting adalah Abdul Hakim Harahap (Residen Tapanuli). Abdul Hakim Harahap menjadi penasehat delegasi RI ke Den Haag yang dipimpin M. Hatta. Keutamaan Abdul Hakim Harahap dalam delegasi ini adalah seorang ekonom, mantan pejabat ekonomi di era Belanda di Indonesia Timur (di Makassar) yang menguasai tiga bahasa asing: Belanda, Inggris dan Perancis.  

Setelah pengakuan RI (akhir 1949) di Sumatera Utara terjadi kekosongan pemerintahan. Pemerintah pusat menunjuk Sarimin Reksodihardo (pekabat di Kementerian Dalam Negeri) sebagai pejabat gubernur Sumatera Utara untuk mempersiapkan pemerintahan di seluruh kabupaten kota di Sumatera Utara (Tapanuli, Aceh dan Sumatera Timur). Dalam persiapan ini, Sarimin dibantu oleh Binanga Siregar (mantan Wakil Residen Tapanuli).

Peringatan kemerdekaan secara spontan dimulai tanpa menunggu perintah siap-siapa. GB Josua bertindak sebagai Ketua Panitia Peringatan 17 Agustus 1945. Ini berbeda dengan tahun 1945, orang yang ditunjuk untuk menyampaikan kemerdekaan RI sudah diproklamirkan  memain-mainkannya (menunda-nudanya). Atas desakan masyarakat baru proklamasi diumumkan bulan Oktober 1945. Pada tahun 1950 ini (pasca pengakuan kedaulatan RI) GB Josua tidak tanggung-tanggung menggerakkan massa untuk datang ke Lapangan Merdeka pada hari tanggal 17 Agustus 1950.

Het nieuwsblad voor Sumatra, 03-08-1950: ‘Di Medan telah dibentuk untuk perayaan 17 Agustus 1945. Komite ini diketuai oleh GB Josua’. Het nieuwsblad voor Sumatra, 16-08-1950 memberitahukan kronoligis acara perayaan hari 17 Agustus sebagai berikut:

Pagi pada pukul setengah enam, warga Medan dikumpulkan di Lapangan Merdeka (ex Esplanade). Pukul enam akan terdengar selama lima menit lonceng gereja, surine dan klakson lokomotif. Pada saat yang sama para prajurit akan meniup trompet. Lalu kemudian menggerek bendera dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. disertai dengan band militer. Lalu kemudian hening cipta satu menit untuk menghormati para pahlawan, kemudian pukul tujuh lewat lima menit mendengarkan relay radio dari Jakarta untuk mendengar pidato presiden pertama Soekarno di parlemen atas nama seluruh bangsa Indonesia. Bunyi lonceng gereja dan sirine meraung selama dua menit, dimana semua lalulintas dihentikan, selama pembacaan proklamasi 17 Agustus 1945 dan doa bagi keselamatan negara. Pada pukul sembilan setelah relay dari Radio Jakarta, pidato akan disampaikan di Espalanade oleh Bapak GB Josua, ketua komite perayaan untuk Sumatera. Timur, lalu Kolonel M. Simbolon, Gubernur Militer, dan Mr. Sarimin Reksodihardjo, ketua panitia persiapan negara bersatu untuk Sumatera Timur. Akhirnya, menanam pohon di Esplanade pukul sepuluh. Pada 11:30 dilakukan pawai mulai sepanjang rute berikut: Esplanade, Kesawan. Dj. Istana, Dj. Tukang Besi. Dj. Kapten, Dj. Sutomo, Dj. Serdang, Dj. Balai Kota, Dj. Rumah Bola Esplanade. Pada pukul satu siang akan mengunjungi pahlawan yang cacat. Pada pukul tiga dimulai parade. Setelah ini berbaris pasukan dengan rute. Dj Merdeka, Dj. Wali Kota, Dj Sulthan Maamun Alrasjid, Dj Tukang Besi, Dj Kapten, Dj Sutomo, Dj Serdang, Dj Balai Kota Kesawan, Sukamulia, Dj Jakarta, Dj Merdeka. Pukul 5 sore, akan dilakukan final turnamen sepakbola antara Medan Putera dan Sahata yang akan berlangsung di lokasi Kebun Bunga sementara pukul lima sore juga diadakan pertunjukan musik di Esplanade, yang kemudian disusul mulai pukul enam pertunjukan teater. Untuk Radio Medan (Gelombang 60,85 m). Pada pukul enam tigapuluh di Esplanade akan ada pidato oleh Mr GB Joshua, Kolonel M. Simbolon dan Bapak Sarimin Reksodihardjo. Di malam hari akan dilanjutkan upacara keagamaan di masjid-masjid dan gereja.

Het nieuwsblad voor Sumatra, 18-08-1950: ‘Kemerdekaan dirayakan di Medan. Empat pembicara pada pertemuan massa. Diperkirakan 55.000 orang menghadiri pertemuan massa pagi di Esplanade. Pada sore dilakukan parade militer besar dan di malam hari otoritas sipil dan militer tertinggi melakukan resepsi hari bersejarah ini. Keempat pembicara pada pertemuan massa di Esplanade: Mr. GB Josua, Sugondo, Kolonel M. Simbolon dan Sarimin Reksodihardjo’.

Setelah selesai pembentukan pemerintahan (eksekutif dan legislative) tugas Sarimin selesai dan kemudian diangkat Gubernur Sumatera Utara secara definitif, yakni Abdul Hakim Harahap. Pengangkatan Abdul Hakim Harahap ini sangat tepat, Abdul Hakim Harahap banyak pengalaman di beberapa tempat di Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. Abdul Hakim Harahap tidak hanya mantan Residen Tapanuli dan penasehat delegasi RI ke KMB, Abdul Hakim Harahap juga pernah selama tujuh tahun sebagai anggota dewan kota (gementeeraad) selama kehadirannya sepuluh tahun di Medan (1927-1937). Dengan demikian, saat itu kandidat utama Gubernur Sumatera Utara hanyalah Abdul Hakim Harahap, karena dia yang memiliki portofolio tertinggi. Gubernur Sumatera Utara, Abdul Hakim Harahap adalah gubernur pertama Sumatera Utara secara definitive (pasca pengakuan kedaulatan RI).

Abdul Hakim dan GB Josua Satu Panggung

Abdul Hakim dan GB Josua, dua anak Padang Sidempoean pernah sama-sama duduk di Gementeeraad Medan (lihat De Sumatra post, 04-04-1936). Kini, kedua tokoh ini berbeda posisi. GB Josua tahun ini tetap menjadi ketua komite perayaan 17 Agustus, seperti tahun lalu. Yang membacakan proklamasi di Medan dalam perayaan tahun lalu adala Ir. Soekarno melalui radio. Perayaan yang kedua kali ini, yang membacakan teks proklamasi adalah Gubernur Sumatra Utara, Abdul Hakim—teman GB Josua yang sama-sama berjuang di Dewan Kota Medan.

Sebagaiman dilaporkan Het nieuwsblad voor Sumatra, 18-08-1951, GB Josua sebagai ketua panitia juga berpidato dalam acara peraayaan ini. Isinya adalah menunjuk bahaya yang mengancam sekarang masyarakat dalam bentuk korupsi, dll, dan mengimbau masyarakat sendiri bersatu untuk memberantasnya. ‘Jika terus seperti ini, kita menyebut diri kita imperialisme kembali’ sebagaimana Mr Joshua memperingatkan

Persiapan PON III Medan

GB Josua ditunjuk sebagai Ketua Panitia penyelenggara Pekan Olahraga Nasional (PON) yang ketiga di Medan. Dalam kepantiaan ini termasuk Abdoel Wahab Siregar (Kepala Dinas Informasi di Medan) dan Mustafa Pane (Kepala Kepolisian di Medan). Mr GB Joshua berterima kepada Gubernur atas amanah ini dan akan menunjukkan dan meyakinkan bahwa anggota komite akan mengerahkan upaya terbaik untuk PON III sukses (Het nieuwsblad voor Sumatra, 24-01-1952).

Setelah perang, PON pertamakali dilaksanakan di Djakarta (PON II) yang berlangsung antarta (21 October - 28 October 1951. PON III di Medan, kedua setelah perang dan pertama di luar Djawa dilangsungkan antara 20 September - 27 September 1953. PON I dilaksanakan di Solo sebelum perang (8 September - 12 September 1948).

Dalam masa persiapan PON III ini, Ketua Komite Olimpiade Indonesia, Sultan Hamengku Buwono IX (Sultan Djogja) berkunjung di Medan. Di bandara pagi ini (Het nieuwsblad voor Sumatra, 30-01-1952) HB IX disambut Residen Sumatra Timur, Muda Siregar mewalili Gubernue dan Ketua Panitia PON III, GB Josua. Tujuan kedatangan untuk melakukan pembicaraan dengan Gubernur Sumatra Utara, Abdul Hakim Harahap tentang pembangunan stadion, perumahan atlet dan pembiayaan. Jumlah peserta dalam kompetisi multi sport event ini akan diharapkan, bahkan lebih besar daripada di Jakarta, di mana 2.500 atlet ambil bagian di PON II.

Het nieuwsblad voor Sumatra, 15-04-1952: ‘PON III kemungkinan akan diselenggarakan di Medan pada bulan Juni atau Juli 1953 yang ditetapkan di Stadion Jalan Radja. Rencana lokasi stadion ini berada di selatan dari pemakaman di jalan Radja (sebelah kiri ke arah Tandjong Morawa) yang akan membangun stadion permanen, yang diproyeksikan menelan biaya sekitar Rp 5 juta. Hal ini diumumkan oleh Mr GB Joshua, ketua panitia PON, kemarin sore pada konferensi pers sehabis pembicaraan dengan delegasi Komite Olimpiade Indonesia (KOI) dengan panitia PON. Azis Saleh (bertindak sekretaris Komite Olimpiade Indonesia) menjelaskan bahwa organisasi PON III sepenuhnya keputusan panitia. KOI hanya menyediakan pedoman, semua keputusan akan diambil oleh Bapak Joshua c.s. Bulan September 1953 adalah target untuk PON III (seperti yang terjadi dengan PON I dan PON II), tetapi karena hujan di Sumatra Timur, mereka berharap untuk menjaga festival olahraga di sini dua atau tiga bulan sebelumnya. Sekretaris KOI ini menekankan tujuan PON melampaui olahraga itu sendiri, yakni meningkatkan persatuan nasional merupakan faktor yang tidak kalah penting. Dengan PON ribuan orang muda dari seluruh bagian negara akan bersama-sama dan mereka melihat wilayah Indonesia, di mana mereka mungkin sebelumnya tidak pernah datang. Di Jakarta sekitar 2500 atlet ambil bagian dalam PON II; jumlah peserta dalam PON III mungkin akan melebihi 3.000. Mr GB Joshua menyatakan bahwa mereka diharapkan 50.000 orang, dan lebih dari 4.000 tamu dari tempat lain (atlet, pejabat, dll) yang membutuhkan perumahan selama di Medan. Bagaimana cara di mana menyelesaikan masalah perumahan, Mr. Joshua masih belum bisa memberikan informasi yang pasti. Juga tentang anggaran dan cara bagaimana untuk mendapatkan dana yang diperlukan, tidak ada rincian yang dapat diberitahu. Agaknya, secara total diperlukan sebanyak Rp 7 juta. Pemerintah hanya menyediakan sebanyak Rp 750.000.

GB Josua adalah orang yang sangat bersahaja dan datang dari keluarga biasa di Sipirok, Afdeeling Padang Sidempoean. Lahir di Hoetapadang, selolah rakyat di Sipirok, sekolah guru (kweekschhol) di Fort de Kock, Hogere Kweekschhol di Poeworedjo, dan mendapat akte Lager Onderwijs di Groningen. GB Josua tidak hanya cerdas, tetapi juga konsisten sebagai republic. Seorang guru, mantan anggota Dewan Kota Medan, sekretaris PMI, pemilik Josua Instituut dan kini tengah menjabat sebagai Ketua PON III. Itu ternyata tidak cukup, atas dedikasinya sebagai pejuang pendidikan di Sumatra Utara, GB Josua diangkat pemerintah sebagai Kepala Dinas Pendidikan Sumatra Utara.

De nieuwsgier, 29-04-1952: ‘Dengan keputusan Gubernur Sumatra Utara, GB Josua, direktur SMP Josua Instituut di Medan terhitung sejak Mei tahun 1952, diangkat sebagai Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Noord Sumatra

GB Josua adalah kepala dinas pendidikan yang kedua di Sumatra Utara. Inilah jabatan paling tinggi bagi seorang guru. GB Josua telah mendapatkannnya dan layak untuk memperoleh itu. GB Josua sebagai Ketua PON III tidak menghalangi GB Josua rangkap jabatan. GB Josua adalah tipikal anak-anak Padang Sidempoean. GB Josua mendapatkan hak ini tidak karena Abdul Hakim (Harahap) sebagai Gubernur Sumatra Utara, tetapi kedua orang bersahabat ini memang sudah sama-sama berjuang di Dewan Kota Medan tahun 1934-1938.

Het nieuwsblad voor Sumatra, 06-05-1952: ‘Kemarin, Mr GB Yosua diangkat sebagai Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Sumatera Utara, menggantikan Mr. Ismail Daulay, yang menjalani studi ke Amerika. Banyak pihak berwenang menghadiri upacara tersebut, diantaranya: Gubernur Abdul Hakim, Residen Binanga Siregar, Kepala Informasi Abdul Wahab Siregar, Bupati Wan Umaruddin Barus, Walikota. Djaidin Poerba, Mr GB Joshua menyatakan pengangkatannya diadakan pertimbangan yang lama, karena alasan sulit baginya meninggalkan sekolah yang ia didirikan dan memimpinnya bertahun-tahun untuk mengucapkan selamat tinggal. GB Josua lalu kemudian membahas kesulitan pengajaran di Sumatera Utara. Di provinsi ini sekarang ada sekitar 3.000 sekolah dengan 650.000 siswa dan tingkatnya jauh di bawah sebelum perang. Sekarang puasa dan dengan demikian pendekatan awal program baru, perhatian tentang masalah ini, bahwa perbaikan yang dibuat, ada kekurangan guru dan jumlah besar, serta kualitas. Mr Joshua juga menekankan kelemahan perawatan. M. Siregar, Inspektur Pendidikan di Sumatera Utara, mewakili teman-teman yang lain diminta memberikan sambutan. Akhirnya, Pak Joshua disumpah di hadapan Residen sumpah jabatan’.

Sangat berat bagi GB Josua melepaskan fungsinya di Josua Instituut. Akan tetapi masalah dan tantangan pendidikan Sumatra Utara juga tidak mudah dilakukan setiap orang. Hanya GB Josua yang pantas untuk itu. Inilah saatnya kembali bagi GB Josua berjuang kembali di bidang pendidikan pasca perang (pengakuan kedaulatan Republik Indonesia).

Het nieuwsblad voor Sumatra, 03-07-1952: ‘Dalam rangka persiapan PON III di Medan tahun depan (1953) diadakan pasar malam dari tanggal 9 sampai 24 Agustus di Tanah Lapang Merdeka (Esplanade). Komite pasar malam ini diketuai oleh GB Josua.

Pembangunan Stadion Teladan Medan

Gubernur Abdul Hakim dan GB Josua bahu membahu menyukseskan PON III di Medan. Duo anak Padang Sidempoean ini sudah sangat akrab sejak era Belanda ketika duduk bersama sebagai angota Gementeeraad Medan. Orang-orang Eropa khususnya Belanda masih banyak yang berdiam di Medan untuk mengurusi perkebunan. Abdul Hakim dan GB Josua ingin lapangan sepakbola di Medan dibuat dengan konsep stadion internasional. Tujuannya untuk melengkapi tradisi sepakbola di Deli dan Oost Sumatra dan juga untuk menunjukkan harkat bangsa di mata para eskpatriat di Medan. Untuk mewujudkan itu, Abdul Hakim dan GB Josua meminta arsitek terkenal di Batavia untuk membangun stadion mewah di Medan.

Het nieuwsblad voor Sumatra, 18-08-1952 (Gubernur meletakkan batu pertama untuk stadion): ‘Kemarin sore selama satu jam, Gubernur Abdul Hakim dalam upacara singkat, meletakkan batu pertama untuk fondasi stadion PON yang akan dibangun di tempat di Jalan Raja Medan yang bertempat di kampung Teladan. Walikota Djalaluddin mengucapkan terima kasih kepada warga Kampung Teladan untuk kesediaan mereka untuk pindah ke tempat lain untuk memungkinkan pembangunan stadion layak bagi pecan olahraga nasional tahun depan di Medan. Setelah itu ia meminta gubernur Abdul Hakim meletakkan batu pertama. Akhirnya, Mr GB Josua, ketua komite PON menyampaikan beberapa pernyataan tentang stadion baru. Desainnya dibuat oleh Ir. Bwan Tjie Lim, yang juga merancang stadion Ikada di Jakarta (venue PON II). Persiapan pembangunan sudah dilaksanakan oleh Dinas Pekerjaan Umum Sumatera Utara bekerjasama dengan otoritas yang relevan dan dengan bantuan badan resmi dan pribadi. Biaya konstruksi diperkirakan sekitar Rp 5 juta. Stadion ini akan memiliki kapasitas tempat duduk sebanyak 30.000 penonton’.

Penggalangan Dana PON III

Banyak cara yang dilakukan oleh Panitia PON untuk mengumpulkan uang untuk dana PON. Selain sumbangan awal pemerintah, juga menjajaki dari pengusaha dan melakukan kegiatan-kegiatan lainnya seperti pasar malam, fashion show.

Ketua Panitia PON, GB Josua telah menerima cek sebesar 20 718,95. Uang ini merupakan penghasilan dari bulan sebelumnya diadakan untuk kepentingan pekan olahraga nasional ketiga di Medan kegiatan fashion show’.

Het nieuwsblad voor Sumatra, 06-08-1953: ‘Komite untuk perayaan 17 Agustus adalah sebagai berikut: Gubernur Abdul Hakim Sumatera Utara, Presiden: komandan teritorial, Kolonel Simbolon; ketua eksekutif, Mr Amir Jusuf (PNJ.) Anwar Darma (PKI); Sekretaris-1 Hindun Rashid (PWR) Sekretaris-2 N. Pane (DSU.); bendahara-1 J. Pohan (DEIP); bendahara-2 MD Harahap; Anggota: Dr. Sahar (Masyumi). GB Josua (PPKSU); SM Tarigan (Org. Tani); S. Darsono (Pemuda Rakyat) dan Amir (P1R)’.

Akhirnya stadion yang dicita-citakan Abdul Hakim menjadi terwujud. Penyerahan stadion dilakukan ke Panitia PON.

Het nieuwsblad voor Sumatra, 18-08-1953 (Overdracht van PON-stadion): ‘Setelah upacara di pemakaman, pihak berwenang melanjutkan kemarin ke stadion untuk serah terima resmi oleh yayasan kepada panitia PON. Lalu diadakan pidato oleh pengembang, bahwa tepat setahun lalu, yaitu, pada tanggal 17 Agustus 1952 batu pondasi untuk stadion PON diletakkan oleh gubernur. Sekarang kami berada di sini bersama lagi untuk kekhidmatan mortaring dokumen dan mentransfer stadion untuk panitia PON. Untuk stadion ini adalah 300.000 batu bata. 14.000 kantong semen, 6.000 m3 pasir, 300.000 kg baja dengan total panjang 40 km yang digunakan. Setelah gubernur memberikan gambaran tentang sejarah stadion, dokumen itu disampaikan dan diserahkan kepada Bapak Abdul Hakim. Lalu berturut-turut pidato Pak Damanik, Kolonel Simbolon, dan Mr. GB Joshua. Setelah upacara ini serah terima resmi stadion disampaikan Residen kepada Ketua Panitia PON, Mr. GB Josua.  Setelah Mr GB Josua beberapa kata diucapkan, upacara berakhir’.

Het nieuwsblad voor Sumatra, 21-08-1953: ‘Sabtu diadakan diskusi komite PON Medan dengan Ketua Komite Olimpiade Indonesia, Sultan Hamengku Buwono IX Sultan Yogyakarta tiba di sini. Dalam pertemuan ini, yang dipimpin oleh Mr GB Josua, ketua panitia PON, dilaporkan pada persiapan untuk PON. Adapun perumahan tidak mengalami kesulitan, telah ada kebutuhan bertemu saat tambahan diadakan beberapa gedung sekolah di cadangan. Setiap bangunan, di mana atlet ditampung, akan berada di bawah pengawasan medis. Untuk olahraga sendiri telah membuat beberapa perubahan kecil, seperti tata letak ruang ganti. penjualan tiket masuk untuk pembukaan (seperti Minggu) sudah akan dimulai Sabtu di stadion’.

Het nieuwsblad voor Sumatra, 19-09-1953: ‘Pagi ini pukul sebelas Presiden dan Ibu Soekarno di Medan tiba untuk kunjungan dari satu hari ke kota ini pada kesempatan pembukaan PON III. Di Bandara Presiden disambut oleh perwakilan dan perwakilan dari berbagai organisasi. The band militer mengumandangkan Indonesia Raya dan kemudian Presiden secara resmi disambut oleh Gubernur Abdul Hakim, Walikota Djalaluddin walikota dan Kolonel Simbolon. Untuk Ibu Soekarno ditawarkan bunga oleh Mrs. Djalaluddin. Setelah Presiden Sukarno memeriksa penjaga kehormatan, Presiden disambut otoritas lain yang telah berbaris di panggung. Bagi mereka, antara lain termasuk Sultan Yogyakarta (Ketua Komite Olimpiade Indonesia), Mr GB Josua, ketua komite PON, beberapa pejabat pemerintah, anggota korps konsuler Negara sahabat. Setelah Vort bersama di rumah gubernur, tamu sekitar pukul dua belas dibawa ke tempat peristirahatn mereka (di rumah Gubernur). Kita diberitahu Presiden Soekarno besok (Minggu) akan kembali pukul setengah satu dari Medan ke Jakarta’.

Het nieuwsblad voor Sumatra, 21-09-1953 (Malam untuk PON): ‘Perayaan benar-benar dimulai sebelum hari Sabtu, dan bahwa pertemuan semua delegasi dan pejabat di rumah gubernur, dimana Presiden dan Ibu Soekarno telah tinggal, dan dimana semua anggota partai presiden dan banyak tamu-tamu terhormat lainnya Medan, serta pemerintah daerah, diundang. Taman rumah gubernur sebagai arena festively diterangi, dan atlet dari Indonesia berada di sekitar deck besar, dimana penyanyi dan penari dari berbagai daerah akan ambil bagian. Pak Jusuf A. Puar, kepala publisitas PON tak kenal lelah berdiri untuk memberikan penjelasan tentang program untuk malam ini, mulai pukul tujuh tiba-tiba  hujan. Tiga ribu atlet, pejabat dan penonton lari ke aula besar dimana, beberapa otoritas tinggi dan anggota partai presiden yang dipertahankan, dalam sekejap begitu penuh, tidak ada langkah bisa berbuat lebih banyak. Bersorak antusias naik ketika Presiden dan Ibu Soekarno memasuki ruangan. Dia duduk di sofa, dimana telah ditinggikan setengah meter dari tanah. Itu dimaksudkan untuk melihat Presiden dalam suasana yang sangat santai dan sangat dihargai dari perwakilan olahraga Indonesia dengan menyebut "Bung" sekarang benar-benar berada di tengah-tengah mereka. Kepala publitas Mr. Puar berbicara berbicara bahwa selama bertahun program ini di belakang meja untuk membuat lebih dikenal, kini program ini, sejauh ini bisa dilakukan. Kemudian berpidato Mr. GB Yosua, Ketua Umum Panitia PON, Presiden kemudian naik ke ke podium. Dia menunjukkan hadirin tentang betapa pentingnya kenyataan bahwa sekarang wakil olahraga dari seluruh wilayah Indonesia - kecuali Irian Barat - berkumpul untuk menguji kekuatan mereka. Dia menekankan ukuran negara: peta Indonesia, mereka tersebar di Eropa, membentang dari barat pantai Irlandia ke Kaukasus. Dan dia sangat bersikeras mempertahankan dan memperkuat satu kesatuan nasional, dimana Presiden dalam pidatonya masih beberapa kali menyentuh masalah Irian. Setelah Presiden Sukarno kemudian, lagu-lagu rakyat yang dimainkan oleh perwakilan dari berbagai program daerah. Dalam suasana nyaman, riang, suasana hati, mereka tinggal selama beberapa waktu bersama-sama’.

Pembukaan PON

Het nieuwsblad voor Sumatra, 21-09-1953 (Di dalam stadion): ‘Kondisi cuaca hampir ideal, sebuah awan tinggi memberinya kesempatan matahari bersinar terlalu terang untuk fokus pada atlet dan penonton yang hadir terbesar pada Minggu pagi dalam upacara di stadion baru yang indah, pekan olahraga nasional ketiga dibuka. Bahkan sebelum fajar, puluhan ribu warga Medan datang dengan jalan kaki atau dengan sepeda ke stadion, dimana pada pukul enam gerbang dibuka. Ketika Presiden Soekarno dan otoritas tinggi lainnya - tiga menteri, kepala staf dari Wehrmacht dan kepala staf dari tiga senjata menghadiri upacara termasuk delapan pintu masuk tribun, empat puluh atau lima puluh ribu penonton hadir.

Di tepi lapangan sepakbola, di seberang pintu masuk utama, berdiri podium, dan juga mengatur diri mereka sendiri presiden bagian dari panitia PON dan para pemimpin dari tiga belas tim yang berpartisipasi. Staf memainkan musik Indonesia Raja atas kedatangan Presiden, yang kemudian oleh Bapak GB Joshua, ketua komite PON dan Sultan Hamengku Buwono IX, Ketua Olimpiade Komite Indonesia, dan pemimpin tim. Sekali lagi Presiden telah mengambil tempat duduknya di tribun, prosesi besar peserta mulai. Mereka masuk melalui pintu gerbang maraton.

Pawai dibuka oleh perwakilan dari daerah, dimana diadakan pertama PON tahun 1948: Jawa Tengah. Di depan adalah pramuka dengan tanda ‘Djawa-Tengah’, kemudian datang bendera daerah ini, diapit oleh dua pengintai, dan kemudian tim dengan 350 atrlit (yang terbesar dari semua daerah) The hijau dan putih menyeberangi Central Jawa - topi hijau, jaket hijau dan celana putih atau rok -. membuat kesan yang sangat baik dan hangat bertepuk tangan. Kemudian datang 215 peserta Djakartanen, semua putih, tim Jawa Barat (dengan 347 pria dan wanita, terbesar kedua) dan Jawa Timur. Tim jauh lebih kecil dari Borneo Kalimantan Barat (resp. 68 wanita dan 66 laki-laki) menarik perhatian dengan topi besar, baik dibentuk variasi, lalu 116 pria dan wanita dari Maluku tampak sangat rapi dengan dasi biru dan topi rapi, sementara perjalanan mereka dalam melewati tribune. Tim dari Sulawesi Utara dan diiukuti Sulawesi Selatan dan kemudian datang pertama Sumatera: Sumatera Selatan di baju olahraga putih, seperti Jawa Tengah adalah Sumatra Tengah di jaket olahraga berwarna hijau dan putih dan hijau di atas celana putih atau rok. Tim terkecil dari Kepulauan Nusateggara yang terdiri dari 43 laki-laki dengan topi besar, yang kedua berlangsung. Dan kemudian akhirnya muncul, termasuk sorakan menggelegar, 155 atlet Sumut, yang pemimpinnya Mr Yahya Jacoeb dengan baju olahraga putih.

Soekarno, buka PON III di Medan

Setelah semua tim berlalu di lapangan sepakbola tampak berada barisan membawakan alunan lagu kebangsaan, dinyanyikan oleh paduan suara, bendera merah-putih dinaikkan perlahan di salah satu dari dua menara besar di sisi selatan stadion. Pada saat yang sama, bendera itu sudah berada di atas, matahari menembus awan. Mr GB Yosua memasuki mimbar lalu memberi sambutan kepada Presiden Sukarno Ibu, menteri, kepala staf, gubernur dan tamu terhormat lainnya. Dia menyebutnya sebagai kehormatan besar bagi Sumatera Utara telah menyelenggarakan PON ketiga ini, berbicara tentang kerjasama dalam persiapan dan mengucapkan terima kasih kepada orang-orang dan organisasi yang telah bekerja sama. GB Josua berakhir untuk meminta Presiden untuk secara resmi membuka PON III.

Lalu Presiden Sukarno berpidato singkat, setelah mencatat bahwa stadion siap dan semua persiapan telah selesai: ‘Ini saya menyatakan pecan olahraga nasional ketiga di Medan dibuka’. Kemudian datang bendera PON ke stadion. Di pintu gerbang maraton muncul delegasi kecil atlet, dikawal oleh pramuka, dengan kotak kayu yang indah menyandang senjata PON. Kotak itu sungguh-sungguh diserahkan kepada Mr Joshua, yang mengambil bendera di sana dan memberikan pramuka. Bendera ditempatkan, dan menghabiskan delapan pramuka perlahan ke tiang besar kedua. Di sana mereka perlahan-lahan di antara acara puncak PON hymne dimainkan oleh staf yang jumlah besar dan musik yang dinyanyikan oleh paduan suara. Begitu suara terakhir meninggal diri, di sisi lain stadion, beberapa ratusan merpati dilepaskan. Sementara tiga balon besar (masing-masing umbul dengan kata-kata PON III Medan dan puluhan balon kecil naik di udara saat yang sama menembakkan baterai artileri, yang merupakan pintu masuk utama kota 13 gun salut. Balon-balon mengungguli merpati, banyak merpati menolak untuk terbang jauh, sementara yang lain canggung beterbangan di sekitar, mendarat di tribun.

Sementara itu, program dilanjutkan dengan sumpah. Seorang atlet dari Sumatera Utara memasuki mimbar, dengan satu tangan pada bendera atas nama semua peserta sungguh-sungguh berjanji adil untuk bersaing untuk kehormatan negara dan kebesaran olahraga untuk menjunjung tinggi. Dia menjelaskan sumpah ini melawan. latar belakang bendera dari semua tim yang berpartisipasi. Para atlet kemudian meninggalkan lapangan untuk memberikan ruang bagi siswa dari Medan, yang akan memberikan demonstrasi. Hal ini dilakukan pertama kali oleh ribuan anak laki-laki dari sekolah dasar. Setelah itu ribuan perempuan dari sekolah menengah dengan musik waltz mereka memberi demonstrasi yang sangat baik, mereka dihargai dengan tepuk tangan meriah. Dan ini adalah pembukaan seremonial PON, yang tentu saja dari semua sisi difoto dan difilmkan antara lain dari perusahaan Pipercub Inggris Deli.

Penutupan PON

Het nieuwsblad voor Sumatra, 28-09-1953 (PON III ditutup dan PON IV akan diadakan 1957 di Makassar): ‘Dalam stadion menghadiri upacara penutupan PON III berakhir, lebih dari dua ribu atlet, yang pekan lalu telah mengukur kekuatan mereka di dua puluh olahraga, kembali ke rumah-rumah mereka kembali, dan pemuda Indonesia dapat bekerja untuk pecan olahraga nasional keempat, yang tidak diragukan lagi lagi akan menghasilkan kinerja yang lebih baik. Perlu empat tahun di mana untuk mempersiapkan PON IV, karena Sultan Hamengku Buwono IX, ketua Komite Olimpiade Indonesia, membuat sore kemarin mengumumkan bahwa mereka hanya akan diadakan pada tahun 1957, yaitu di Makassar. Pengumuman ini adalah salah satu highlights dari upacara penutupan di stadion Medanse. Bahwa kemarin adalah lebih lengkap dari sebelumnya di lapangan untuk tribun dari orang penonton dan pejabat, pramuka, polisi dan militer untuk sepakbola. Lalu. wasit bersiul akhir pertandingan sepakbola, penonton dari semua sudut tumpah lapangan mengalir berharap keberuntungan Sumut, dan butuh beberapa waktu untuk situs dibersihkan lagi. Setelah Sultan Hamengku Buwono memberikan emas, perak dan perunggu kepada masing-masing pemain Sumatera Utara, Jakarta Raya dan Jawa Timur, upacara penutupan dimulai hanya enam gerbang berbaris tiga belas bendera tersampir di lapangan, masing-masing disertai dengan laki-laki dan perempuan dari athleeit di daerah adalah. Pertama 'adalah bendera Jawa Tengah, Daerah PON I. Bendera terbungkus gers menempatkan diri dalam formasi tapal kuda di sekitar panggung, di mana ketua Komite Olimpiade Indonesia, Sultan Hamengku Buwono, Walikota Medan, AM Djalaluddin dan Ketua Komite PON, Mr. GB Yosua juga mengambil tempat. Berikutnya, mereka pergi di atas meja untuk menandatangani bendera dari daerahs mana PON akan diadakan, dan orang-orang di mana PON IV akan berlangsung. Sultan Hamengku Buwono memasuki pengeras suara untuk menjelaskan PON III secara resmi ditutup. Dia mengucapkan terima kasih Sumatera Utara untuk keramahan, dan kemudian secara resmi mengumumkan bahwa PON IV tahun 1957 akan digelar di Sulawesi Selatan (Makassar). Bendera PON bendera, yang selama delapan hari di stadion telah dikibarkan, secara resmi diturunkan dan dilipat dan artileri menembakkan lima hormat senjata. Kemudian staf musik dari territorum Bukit Barisan memainkan hymme PON - seperti upacara pembukaan - dinyanyikan oleh paduan suara campuran. Pramuka membawa bendera ke podium di mana presiden Komite Olimpiade menyerahkan sungguh-sungguh kepada Walikota Medan. Bendera ini akan disimpan di Medan sampai tiba waktunya akan dibawa ke Makassar pada tahun 1957. Nada dari mars PON dan tiga belas bendera berbaris diturunkan dan akhirnya semua hadirin keluar dari stadion. PON III telah berakhir’.

GB Josua Ketua Komite Perayaan Pahlawan Sisingamangaradja

GB Josua adalah seorang guru, benar-benar guru. GB Josua berjuang dengan caranya sendiri—di bidang pendidikan. GB Josua jelas tidak lupa jasa para pahlawan. GB Josua ingin semua pribumi menghormati pahlawannya. GB Josua menggagas untuk perayaan pertama kali memperingati Si Singamangaradja dan bertindak sebagai Ketua Panitia.

Het nieuwsblad voor Sumatra, 11-06-1957 (GB Josua Presiden Komite Perayaan 50 tahun): ‘Mr GB Yosua adalah presiden herdenkingscomité untuk memperingati dari kematian pahlawan Batak, Si Singarmangaradja XII. Seperti diketahui, kematian Si Singamangaradja jatuh pada tanggal 17 Juni. Dia pada 17 Juni 1907 meninggal karena luka-lukanya setelah bertempur dengan pasukan Belanda. Dalam konteks ini akan bergemuruh Raja di Medan–sebuah peringatan kehidupan almarhum Si Singamangaradja diberikan dengan warga Batak tarian rakyat tor-tor, dan perayaan lainnya’.

Het nieuwsblad voor Sumatra, 01-07-1957: ‘Si Singamangaradja diperingati di Medan. Peringatan 50 tahun pahlawan Batak, Si Singamangaradja diperingati Sabtu di Balai Polisi di Jalan Bali. Seperti diketahui, komite perayaan ini dibentuk dibawah pimpinan Mr. GB Joshua, Pengawas Pendidikan Sumatera Utara. Setelah Mr Joshua memberikan gambaran singkat tentang kehidupan mendiang Si Singamangaradja XII lalu diikuti oleh kata sambutan oleh Panglima territorial, Djamin Gintings Komandan teritorial mengatakan bahwa semangat kegarangan dan heldhafiigheid Si Singamangaradja harus menjadi contoh bagi kita. Atas nama gubernur berbicara Tengku Ubaidillah. Setelah pidato resmi diberi tarian Batak. Upacara peringatan juga sudah diadakan di Jakarta pada 16 Juni. Dalam Soposoroeng dibuat sebuah monumen untuk menghormati pahlawan Si Singamangaradja di tempat dimana jenazahnya pada tanggal 17 Juni tahun 1953 dipindahkan ke Balige. Si Singamangaradja XII meninggal pada tanggal 17 Juni 1907 karena luka setelah ia lama menolak otoritas Belanda’.

***
GB Josua pension tahun 1961 sebagai pegawai pemerintah (kini PNS) dan kembali mengurus Institut Josua yang telah ditinggalkannya sejak Mei 1952. Haji Gading Moeda Batoebara alias GB Josua meninggal di Medan pada tanggal 20 November 1970 (lahir di Hutapadang, Sipirok 10-10-01).

GB Josua adalah anak seorang petani di Sipirok. Semangatnya yang luar biasa telah mengantarkannya ke cita-citanya yang paling tinggi. Nama baiknya sulit hilang di Sumatra Utara. Kosua Instituut (kini disebut Perguruan Josua) yang dirintisnya dengan tekun sejak era Belanda hingga ini hari masih eksis sebagai Yayasan Perguruan Yosua yang tetap menyelenggarakan pendidikan untuk anak-anak bangsa di Medan. Salut!

Di bidang olahraga, khususnya sepakbola di Sumatra Utara tiada duanya. GB Josua adalah pemain sepakbola sejak masih kanak-kanak di Sipirok, kemudian dilanjutkan ketika sekolah di Fort de Kock dan di Poerworedjo. Ketika GB Josua ditempatkan di Medan tahun 1928, GB Josua aktif sebagai pemain sepakbola Tapanoeli Voetbal Club. Setelah pulang dari Belanda studi lebih lanjut, GB Josua masih sempat bermain sepakbola. Namun karena kesibukannya yang luar biasa, GB Josua mulai membatasi diri bermain sepakbola. Akan tetapi kepeduliannya terhadap sepakbola tidak pernah luntur sebagaimana kepeduliannya terhadap bidang pendidikan. GB Josua adalah orang yang sangat langka.

GB Josua tidak hanya mendirikan sekolah untuk rakyat Medan (Josua Instituut), GB Josua juga mendirikan klub sepakbola buat anak-anak muda Medan (Sahata Voetbal Club). GB Josua tidak hanya berjuang di parlemen, juga berjuang melawan ketidakadilan Belanda dan menolak pendudukan Jepang. GB Josua tetap setia terhadap republik sebagaimana kesetiaannya terhadap pengembangan pendidikan anak-anak negeri. Atas dedikasinya dalam pendidikan, pemerintah mengangkat GB Josua menjadi Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Sumatra Utara. Di bidang kemasyarakatan GB Josua lekat dengan berbagai jabatan. Jabatan terpenting adalah Ketua Panitia PON III dan Ketua Panitia Perayaan Pahlawan Sisingamangaradja XII. Haji Gading Batoebara telah turut mencerdaskan warga Medan dan berpartisipasi aktif dalam pembangunan sepakbola Medan dan sekitarnya. Horas!


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap dari berbagai sumber tempo doeloe.

Tidak ada komentar: