Sabtu, September 10, 2016

Zainul Arifin Pohan (6): Tokoh Penting Penyelenggaraan Pemilu 1955; Bersih, Aman dan NU Masuk Tiga Besar

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Zainul Arifin Pohan dalam blog ini Klik Disini



Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1955 adalah pemilu kali pertama diselenggarakan di Indonesia. Sebagai pemilu pertama, tentu saja tidak mudah untuk melaksanakannya. Berbagai hal dipersoalkan, mulai dari persyaratan pemilih hingga penentuan lambang partai. Meski Indonesia untuk pertama kali dan tidak memiliki pengalaman, ternyata penyelenggaraannya terbilang berhasil. Zainul Arifin Pohan berada di balik suksesnya penyelenggaraaan Pemilu 1955. Apa rahasianya?

Lambang Partai

Belum diketahui secara pasti berapa jumlah partai yang ikut Pemilu 1955, namun yang jelas partai-partai besar seperti PNI, Masyumi, NU dan Partai Komunis Indonesia (PKI) sudah sangat siap. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah mulai bekerja. Satu hal yang tengah diperbicangkan publik adalah soal lambang Partai PKI yakni palu-arit. Ada yang mengatakan lambang Partai PKI telah melanggar Undang-Undang Pemilihan. Wakil Perdana Menteri Zainal Arifin akan meneliti kebenaran daripadanya

Sumber: internet
De nieuwsgier, 12-06-1954: Wakil Perdana Menteri II, Zainul Arifin, anggota dari Nahdlatul Ulama, atas permintaan, mengatakan kepada pers bahwa para menteri NU dari partai mereka bermaksud untuk menyelidiki apakah simbol palu dan arit dan teks yang digunakan untuk tujuan ini oleh PKI dalam pemilu tidak melanggar undang-undang pemilihan. Jika hasil penyelidikan, bahwa ini adalah bertentangan dengan undang-undang pemilihan, para menteri NU akan mengangkat isu ini di dalam Kabinet. Ketika ditanya apa pendapatnya mengenai laporan beberapa anggota Komisi Pemilihan Umum Indonesia pusat, bahwa penggunaan simbol palu dan arit untuk PKI tidak bertentangan dengan UU Pemilu, wakil perdana menteri menyatakan, bahwa hanya dengan melihat pasal yang relevan dari UU pemilu’.

Tidak hanya soal lambang, hal lain yang diperdebatkan adalah soal kriteria calon pemilih. Untuk pemilih tidak hanya dari sisi umur tetapi juga dari status kawin (meski umur belum memenuhi).

De nieuwsgier, 12-06-1954: ‘Wakil Perdana Menteri II, Zainal Arifin sebagai contoh ke depan, bahwa menurut hukum, individu yang menikah - tanpa memandang usia - dapat berpartisipasi dalam pemilu. Zainal Arifin melihat daerah itu berbeda-beda, yang mana Banten misalnya ada anak-anak umur tujuh atau delapan tahun yang disenut ‘kawin gantung’ (pernikahan adat secara tentatif- red.). Apakah terhubung dalam aturan yang berlaku menurut ajaran Islam, Komisi Pemilihan umum telah menafsirkan hubungan ini, bagian yang relevan dari hukum yakni orang-orang yang sudah menikah dan juga hidup bersama, kata Wakil Perdana Menteri II, Zainal Arifin’.

Organisasi mahasiswa Islam, HMI juga tidak setuju dengan lambang Partai PKI palu dan arit. Selain itu juga terdapat penolakan terhadap Partai Murba dengan partai pembela proklamasi. Sebab, tidak hanya Murba yang membela proklamasi.

Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 12-06-1954: ‘Pernyataan HMI. Dalam sebuah pernyataan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada 11 Juni 1954 mengeluarkan pernyataan mengenai penolakan menggunakan simbol palu dan arit untuk PKI dalam pemilihan umum, juga adalah menunjukkan bahwa mahasiswa Islam sepenuhnya berada di balik pernyataan Kijai Dachlan dari dewan Nahldatul-Ulama (NU) pada tanggal 10 Juni 1954. Ketua HMI juga berpendapat bahwa penggunaan kata-kata Murba (partai Pembela Proklamasi), pembela proklamasi kemerdekaan) tidak tepat, seperti Kijai Dachlan telah menyatakan itu, pihak-pihak lain juga untuk mempertahankan proklamasi kemerdekaan’.

Di kalangan internal partai-partai Islam juga terjadi koreksi. Partai Islam ada tiga partai utama Masyumi, PSII dan NU. Klaim sebagai parati Islam tidak hanya dapat dilakukan oleh satu partai saja. Semua umat muslim bisa memilih salah satu diantaranya.

Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 29-06-1954: ‘Masyumi mendesak toleransi depan Islam terhadap agama-agama lain. NU pada dasarnya, bukan musuh dari Masyumi atau sebaliknya. Juga tidak PSII musuh dari Masyumi atau sebaliknya, atau GP Anasor dari GPII. Kata Kiai Anshary, anggota dari partai Masyumi pada pertemuan massa di Aloon-aloon ke Lamongan, yang dihadiri oleh kerumunan, laki-laki dan perempuan. Selain itu, Kiai Isa Anshary bahwa semua Muslim melayani di Indonesia sebagai saudara satu sama lain sesuai menurut ajaran Al-Quran. Pada pemilu yang akan datang Isa Anshary, menyatakan bahwa, seperti yang kita tahu, pemerintah memiliki karakter sementara. Pantja Sila adalah hanya bentuk awal negara. Presiden, Wakil Presiden, parlemen dll semua memiliki karakter sementara. Kami umat Islam perlu menyediakan dalam pemilihan umum, misalnya, bahwa konstituen kita, parlemen kita dan kita dimiliki pemerintah- adalah perwakilan dari Islam, Kata Isa Anshary. tentang nama "Partai Islam" dibentuk oleh Masyumi, NU dan PSII. Jadi semua partai-partai Islam, yang didasarkan pada Al-Quran. Isa Ansihary memerintahkan yang semua Muslim dalam pemilu hanya memilih orang Islam baik Masyumi, NU atau PSII. Islam bukanlah milik Masyumi saja, tapi dari semua umat Islam Indonesia’.

Masih dari kalangan Islam bahwa tentang pemilu itu sendir masih ada yang berbeda penafsiran. Ada yang menganggap pemilu adalah praktek kotor (tidak islami). Wakil Perdana Menteri II berpandangan pemilu di Indonesia harus dibedakan dengan pemilu di Barat. Di Indonsia, pemilu harus didasarkan pada moralitas oriental (ketimuran).

Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 29-06-1954: ‘Wakil Perdana Menteri II dan anggota dewan dari Nahdatul Ulama (NU), Zainal Arifin, mengatakan dalam sebuah pidato pada sesi penutupan konferensi NU di Sumatera Tengah, yang hari ini di Bukittinggi diadakan,  bahwa penarikan NU dari Masyumi tidak berarti vakum di dalam perjuangan Islam. Mengomentari pandangan bahwa politik adalah kotor, kata Wakil Perdana Menteri II, bahwa pemilu sebagai praktek kotor harus dikaitkan kepada orang Barat. Zainul Arifin mengatakan kita akan menyampaikan setiap propaganda yang akan tampil untuk pemilihan umum yang akan datang harus didasarkan pada moralitas Oriental’.

Menteri Agama Ad Interim

Figur Wakil Perdana Menteri II, Zainul Arifin Pohan adalah figur pemimpin yang unik pada masa itu. Zainul Arifin Pohan tidak hanya mantan panglima di era perang tetapi juga di parlemen adalah mantan ketua komisi pertahanan. Karenanya, sejak menajdi wakil perdana menteri Zainul Arifin Pohan kerap diserahi tugas-tugas pertahanan terutama dalam menangani sejumlah pemberontakan di daerah. Untuk urusan agama (Islam) kapasitas Zainul Arifin Pohan tidak perlu diragukan. Karenanya, selama Menteri Agama berhalangan, Zainul Arifin Pohan yang mengambil alih.

De nieuwsgier, 09-07-1954: ‘Menteri Agama, Kiai hadji Masjkur, sehubungan dengan ziarah ke Mekkah diserahkan tugasnya kepada Wakil Perdana Menteri II, Zainul Arifin. Dengan kata lain, Wakil Perdana Menteri II Zainul Arifin sepanjang tidak ada Menteri Kijai Hadji Masjkur akan menangani urusan agama sebagai Menteri. Transfer tersebut dihadiri oleh Sekretaris Jenderal Kementerian, Mohammad R. Kafrawi.

Politik NU: Tidak mewakili semua Islam, meski tidak puas masih tetap mendukung pemerintah

NU dan PSII adalah partai Islam pendukung pemerintah. Sebaliknya dua partai Islam lainnya, Masyumi dan Perti oposisi terhadap pemerintah. Pernyataan ini dikemukan oleh Zainul Arifin Pohan sebagai Wakil Perdana Menteri dan juga sebagai Ketua Parlemen.

Het nieuwsblad voor Sumatra, 16-07-1954: ‘Sumatera Tengah (Padang) muncul surat kabar Haluan. Koran ini dalam enam editorial dalam enam hari, Wakil Perdana Menteri II, Zainul Arifin, pada kunjungan baru-baru ini diwawancarai Padang, di mana ia menyatakan bahwa partainya, Nahdlatul Ulama, yang tidak mewakili komunitas Islam seluruh tetapi hanya sebagian daripadanya, pada dasarnya belum puas dengan kinerja pemerintah saat ini. Dalam konteks ini Haluan melihat keputusan yang diambil pada konferensi baru-baru ini Nahdlatul Ulama untuk terus mendukung pemerintah’.

Presiden Sukarno menyatakan bahwa pemilu adalah realisasi cita-cita revolusi nasional. Pernyataan ini dikemukakan sehubungan dengan penyelenggaraan pemilu pertama yang mana secara nasional belum konsudif sepenuhnya dari sisi keamanan. Untuk mengikat perbedaan dan keberagaman penduduk Indonesia Soekarno perlunya menjaga pesatuan dan kesatuan atas dasar Pancasila.

Het nieuwsblad voor Sumatra, 18-08-1954: ‘Presiden Sukarno kemarin di Istana Merdeka di Jakarta diadakan pidato pada kesempatan ulang tahun kesembilan dari proklamasi kemerdekaan Indonesia. Presiden mengimbau masyarakat untuk menjaga persatuan atas dasar Pancasila dari Sabang sampai Merauke, membangun organisasi ekonomi nasional, dalam rangka menjaga kesatuan tentara berdasarkan proklamasi 17 Agustus 1945 untuk mendidik orang-orang muda yang menyadari tanggung jawab mereka. Pada pemilihan umum, Soekarno mengatakan bahwa pelaksanaannya akan berarti realisasi cita-cita revolusi nasional. Tidak hanya menjaga masyarakat Indonesia dalam pemilihan ini, tetapi seluruh dunia sebagai perhatian terbesar, karena ini adalah pemilu pertama yang diadakan di Indonesia. Presiden mengatakan bahwa ada beberapa orang luar yang mempertanyakan Indonesia apakah dapat mengadakan pemilihan umum karena mereka tidak ingin melihat munculnya stabilisasi politik di Indonesia. Ada pemilihan tersebut, ada juga membutuhkan hasil tertentu dan bekerja secara rahasia untuk memastikan bahwa banyak mereka sedang sulit. Presiden ingat juga, bahwa ia telah mengunjungi hampir semua tempat di Indonesia. Dia telah demikian menjadi baik Islam sebagai daerah Protestan, Katolik dan Budistische dan sampai pada kesimpulan bahwa satu-satunya dasar bagi masyarakat Indonesia adalah Pancasila’.

Namun demikian realisasi cita-cita revolusi nasional belum sepenuhnya tercapai. Pemilu pertama ini baru hanya untuk pemilihan anggota dewan nasional meski RUU dewan lokal sudah selesai. Hal ini diungkapkan oleh Wakil Perdana Menteri II, Zainul Arifin Pohan.

De waarheid, 19-08-1954 Wakil Perdana Menteri II,  Zainul Arifin mengatakan bahwa pemerintah sebenarnya telah selesai dengan persiapan RUU untuk pemilihan anggota dewan lokal, tetapi mengingat kondisi anggaran harus ditunda dulu’.

De vrije pers: ochtendbulletin, 08-09-1954: ‘Wakil Perdana Menteri II, Zainul Arifin. dan Menteri Agama, Kiai Masdjkur di Surabaya tiba untuk hari ini  pada penerimaan pembukaan Kongres Nahdlatul Ulama’.

Kebijakan keamanan

Selama ini masalah pertahanan telah diperankan Zainul Arifin. Tuntutan agar kebijakan keamanan ditransfer ke Zainul Arifin tentu saja bukan kewenangannya. Namun Zainul Arifin tidak bodoh. Untuk mengantisipasi kekhawatiran umum, Zainul Arifin mensyaratkan semua penduduk dewasa (termasuk yang sudah kawin) dan tentara diikutkan dalam pemilihan umum.

Het nieuwsblad voor Sumatra, 18-09-1954: ‘Dalam lingkaran politik dinyatakan bahwa terjadi memorandum permintaan dari PIR, yang Kelompok Wongsonegoro et al mungkin keberatan, yaitu persyaratan bahwa kebijakan keamanan yang saat ini dipegang oleh Wakil Perdana Menteri I, Wongsonegoro harus ditransfer ke Wakil Perdana Menteri II,  Zainul Arifin, dari NU. Hal ini karena menurut NU yang dalam kebijakan keamanan Mr. Wongsonegoro, mendukung kelompok sayap kiri. Di koran Keng Po yang terbit di Jakarta menulis catatan politik bahwa Nahdlaul Ulama di kalangan politik di pusat menjadi perhatian karena mereka bisa membahayakan kehidupan Kabinet dan merugikan Muslim. Pihak Islam menyatakan bahwa Mr Wongsonegoro telah gagal dalam usahanya menciptakan sebuah korps relawan oleh oposisi utama pada bagian dari para veteran Islam. Sekarang kelompok kiri mendesak Mr Wongsonegoro untuk membentuk anggota MMC dan kelompok Bambu Runtjing dengan melegalkan mereka untuk mengatasi korps untuk mengatakan pada konferensi keamanan nasional, yang akan diselenggarakan oleh mereka. Untuk tujuan ini, Mr. Wongsonegoro telah memberikan dana. Ketika rencana ini akan segera menjadi kenyataan, jelas bahwa korps akan berpartisipasi aktif dalam pemilihan umum’.

Penyertaan tentara ikut pemilu adalah cara halus untuk mengantisipasi kemungkinan munculnya masalah keamaan pada saat pemilu. Zainul Arifin Pohan dalam hal ini dianggap telah sukses menahan setiap gejolak. Hasilnya pemilu jitu, penyelenggaraan pemilu aman dan terkendali. Para tentara yang bertugas secara bergantian mendatangi bilik suara. Keamanan yang dikendalikan oleh polisi dan pembentukan korps relawan keamanan dari sayap kiri telah dapat diredam oleh hadirnya para tentara di TPS.

Rahasia lainnya adalah bahwa tender pengadaan perlengkapan pemilu seperti surat suara dilakukan oleh asing. Dengan begitu segala tindakan yang merugikan pihak lain yang akan bermain curang dapat dihindari mulai dari desain surat suara, distribusi dan sebagainya. Zainul Arifin Pohan tahu persis apa yang sebaiknya harus dilakukan dalam penyelenggaraan pemilu. Zainul Arifin Pohan tidak hanya panglima perang, tetapi juga tokoh politik dan tokoh agama serta pengusaha yang sukses.

Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 5-10-1954. ‘Wakil Perdana Menteri II, Zainul Arifin, dalam menanggapi pertanyaan dari Anggota Parlemen Abdullah Jusuf tentang pengadaan oleh asing menyatakan bahwa setiap lelang hanya untuk perusahaan bonafid perusahaan Negara yang ditawarkan. Jika ternyata tidak ada perusahaan nasional dalam posisi untuk mengeksekusi perintah, mereka menawarkan untuk perusahaan asing. Namun menyesal harus, bahwa pengalaman yang sampai sekarang telah menunjukkan bahwa pelaksanaan karya-karya besar oleh perusahaan nasional dalam banyak kasus jauh dari memuaskan lagi, baik dari segi batas waktu maupun kualitas pekerjaan yang dilakukan sehingga untuk mencegah kerugian negara, dalam kasus-kasus tertentu lebih pas didasarkan pada pertimbangan komersial, sehingga mampu dalam jawaban di atas’.


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.

Tidak ada komentar: