Rabu, Juli 02, 2014

Bag-1: Radjamin Nasoetion, Walikota Surabaya Pertama: Lulusan STOVIA Hingga Menjadi Angota Dewan Kota

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Sidempuan dalam blog ini Klik Disini


Radjamin Nasoetion dikenal luas sebagai walikota pertama Kota Surabaya. Namun tidak banyak yang mengetahui darimana asal usulnya dan bagaimana Radjamin bisa menjadi Walikota. Kisah Radjamin yang berkarir dalam tiga era (Belanda, Jepang dan Republik) sangat berliku. Lantas apa saja perannya selama perang kemerdekaan dalam pertempuran Surabaya. Artikel ini coba menyajikan riwayat Radjamin Nasoetion berdasarkan hasil penelusuran berbagai surat kabar yang terbit sejak 1908. Inilah kisah (bagian pertama) tentang Radjamin Nasoetion.

***
Radjamin Nasution dari kampung via Medan ke Batavia, 1910
Radjamin Nasoetion gelar Soetan Koemala Pontas lahir di Mandailing. Untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu, Radjamin masuk sekolah berbahasa Belanda, ELS di Padang Sidempuan (1899). Setelah menyelesaikan ELS (1904), Radjamin Nasution, seorang anak kepala kuria di Mandailing, melanjutkan pendidikan ke Batavia. Radjamin diterima di STOVIA (School tot Opleiding van Inlandse Artsen) untuk mengikuti pendidikan dokter. Radjamin Nasution, lulus dan mendapat gelar dokter 1912. Sebelum menyelesaikan studinya, Radjamin sempat pulang kampung dan kembali ke Batavia melalui Medan (1910).
Ketika Medan masih kampung, Padang Sidempuan sudah kota
Pada tahun 1901 ada dua anak Padang Sidempuan (afdeeling Mandheling en Ankola) lulus docter djawa school bernama Haroen Al Rasjid (Nasution) dan Mohamad Hamzah (Harahap).Pada tahun itu ada dua anak Padang Sidempuan di tingkat empat STOVIA bernama Abdul Hakim (Harahap) dan Abdul Karim (Harahap) dan keduanya sama-sama lulus tahun 1905 (bersama dengan Dr. Tjipto). Pada tahun 1902 juga, ada satu anak Padang Sidempuan yang masih tingkat dua persiapan di STOVIA bernama Mohamad Daulay (lulus 1908). Radjamin Nasution, anak Padang Sidempuan berikut masuk STOVIA tahun 1904 dan lulus tahun 1912 (Dr. Soetomo lulus 1911). Setelah Radjamin Nasution masuk anak-anak Padang Sidempuan masih terus berdatangan, diantaranya: Amir Hoesin, Aminoedin Pohan, Moerad Lubis, Diapari Siregar, Gindo Siregar, Daliloedin Lubis, Soleman Siregar, Armijn Pane, Munir Nasution, Amir Nasution dan lainnya. Diantara mereka hanya Aminoedin Pohan dan Diapari Siregar yang melanjutkan studinya ke Belanda untuk spesialis.[catatan: siswa yang diterima di STOVIA sejak 1924 harus lulusan sekolah menengah pertama (MULO) dan tahun 1934 yang diterima harus lulus sekolah menengah atas (AMS)].
Radjamin, berfoto bersama mahasiswa dan dosen di STOVIA, 1912
Setelah lulus pendidikan kedokteran, anehnya Radjamin tidak ditempatkan pemerintah di dinas kesehatan melainkan akhirnya diposisikan menjadi pegawai pemerintah di bidang pabean. Ini bermula ketika bulan Juli 1912 untuk sementara Radjamin ditempatkan di kantor Bea dan Cukai di Batavia sebagai partikelir sambil menunggu penempatan. Namun di bulan November apa yang terjadi? Beslit Radjamin keluar, akan tetapi statusnya di kantor Bea dan Cukai di Batavia justru ditingkatkan menjadi pegawai magang (masa kini CPNS). Tugas utamanya adalah pengawas (opziener) untuk bidang pos, telegraf dan telepon.

Pada bulan November, 1913 Radjamin dipindahkan ke Pangkalan Buun (Kalimantan) dengan tugas yang sama sebagaimana di Batavia. Pada bulan Oktober 1914, Radjamin dipindahkan lagi ke Perbaungan (Sumatra Utara). Selanjutnya bulan Juni 1916 Radjamin dari Perbaungan dipindahkan ke Cilacap (Jawa Tengah). Pada bulan Januari 1917 dari Cilacap dipindahkan lagi ke Semarang. Pada bulan Desember 1917 pangkat Radjamin naik menjadi Kelas 4 sebagai Verifier dan ditempatkan kembali ke Batavia (tempat dimana Radjamin sebelumnya memulai karir). Selanjutnya, sebelum dipindahkan ke Surabaya, Radjamin terlebih dahulu berdinas di Medan. Namun tidak lama kemudian, Radjamin dipindahkan lagi ke Sampit pada awal Januari 1921. Tidak lama kemudian Radjamin melakukan dinas kembali di Surabaya. Pada bulan Mei Radjamin dari Surabaya ke Belawan (Sumatra Utara) dan awal Januari 1922 ke Muara Sabak (Jambi) lalu kembali ke Medan.

Selama di Medan, Radjamin aktif membina sepakbola. Koran De Sumatra Post terbitan 13-02-1923 memberitakan Radjamin membentuk Asosiasi Sepakbola Deli (Deli Voetbal Bond). Setelah lama di Medan, akhirnya Radjamin dipindahkan kembali ke Batavia. Pada bulan September 1929, Radjamin dipindahkan kembali ke Surabaya. Tidak lama setelah kembali berdinas di Surabaya, awal November, Radjiman dan kawan-kawan mendirikan Sarikat Pekerja Bea dan Cukai. Radjamin duduk sebagai bendahara, sedangkan ketua dan sekretaris adalah H. W. A. Waleson dan J. K. Lengkong. Dalam rapat tahunan Oktober 1930 komposisi pengurus Sarikat Pekerja berubah dimana ketua dan sekretaris berganti tempat, sedangkan Radjamin tetap sebagai bendahara.

Pada awal Januari 1931, Radjamin pulang kampung. Radjamin menumpang kapal Batavia-Amsterdam berangkat dari Batavia tanggal 21 Januari 1931 dan turun di Belawan. Dari Medan diteruskan ke Mandailing, Tapanuli Selatan. Kepulangan Radjamin ini sehubungan keinginan bertemu dengan orangtuanya. Setelah segala sesuatunya selesai di kampong, Radjamin kembali ke Surabaya.

Di Surabaya, sebagaimana diberitakan koran-koran setempat, bahwa salah satu anggota Dewan Kota yang berasal dari penduduk pribumi, bernama Koesmadi telah berakhir masa jabatan untuk periode pertama.  Untuk menjadi anggota dewan kota berikutnya Koesmasi harus mengikuti pemilihan yang dilakukan oleh anggota dewan yang masih aktif. Diberitakan di koran-koran Surabaya, Koesmadi ternyata mencalonkan diri kembali. Nama Radjamin muncul ke permukaan untuk bersaing dengan Koesmadi. Pada hari terakhir pencalonan ternyata hanya dua orang kandidat yakni Koesmadi dan Radjamin—keduanya terbilang sebagai bangsawan, yang satu dari Jawa Timur, dan satu lagi dari Tapanuli.

Pada keesokan harinya, tanggal 25-02-1931 kedua calon datang ke kantor panitera kota untuk pengesahan calon. Namun anehnya, hari berikutnya, Koesmadi mengundurkan diri sebagai calon dan merekomendasikan dengan tulus dan hangat kepada Radjamin. Koesmadi beralasan bahwa, Radjamin, selain anggota PBI juga adalah tokoh Sumatra yang kuat dan terkemuka di Surabaya dan yakin Radjamin akan lebih mampu untuk meningkatkan aspirasi rakyat di Dewan Kota.

Kampung Sidodadi di Surabaya, 1931 (KITLV)
Meski Koesmadi mengundurkan diri, dan hanya tinggal satu kandidat, pemilihan tetap dilakukan. Pada tanggal 10-03-1931 diperoleh kabar bahwa Radjamin menang mutlak dengan jumlah perolehan suara sebanyak 62 (suara perwakilan penduduk Surabaya). Pada tanggal 7-04-1931 Dewan melakukan sidang, dimana sidang ini merupakan sidang pertama yang diikuti oleh  Radjamin. Koesmadi tidak salah. Dalam rapat dewan itu, Radjamin langsung melakukan gebrakan yang membuat anggota dewan lainnya yang hampir semuanya orang Belanda ternganga. Radjamin mengusulkan empat proposal—proposal yang harus diperjuangkan oleh Radjamin untuk memenuhi aspirasi rakyat.

Dalam sidang Dewan berikutnya, tanggal 28-05-1931 Walikota Bussemaker berbicara di hadapan anggota Dewan. Dalam sidang ini dihadiri oleh 26 anggota dewan, termasuk Radjamin yang baru sembuh dari sakit. Radjamin dalam hal ini mencecar sejumlah pertanyaan kepada walikota, terutama masalah pertanahan, air bersih dan perumahan penduduk (bagian dari proposal Radjamin). Walikota tampaknya hari-hari ke depan akan menghadapi seorang pribumi yang cerdas, berani dan berpengalaman dalam birokrasi pemerintah. Kita tunggu.



*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap dari berbagai sumber utama tempo doeloe

Tidak ada komentar: