Selasa, Juli 08, 2014

Bag-7: Radjamin Nasoetion, Walikota Surabaya Pertama: Bekerja Hanya Untuk Rakyat, Dimakamkan Bersama Rakyat, Tidak Diakui Pemkot Sebagai Walikota Surabaya Pertama

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Sidempuan dalam blog ini Klik Disini
(bagian ketujuh)

Radjamin Nasution (foto 1941)
Radjamin Nasoetion tidak menganggap penting kedudukannya sebagai Kepala Bea dan Cukai di era Belanda di Surabaya, ketika aspirasi rakyat Surabaya mengakumulasi memintanya untuk menjadi anggota dewan kota (Gemeenteraad). Radjamin siap. Kemudian tokoh-tokoh adat Surabaya melihat profil Radjamin lantas justru merekomendasikan dan mendukung penuh Radjamin duduk di dewan. Inilah awal mula mengapa Radjamin tiba-tiba ‘ngetop’ di Surabaya tahun 1931.

Radjamin Nasution hanya bekerja untuk rakyat Surabaya

Gebrakan pertama Radjamin ketika hari pertama duduk di dewan adalah mengajukan proposal yang pro rakyat. Ini sangat jarang terjadi, ketika di era itu, seseorang yang sudah berkedudukan tinggi dan berkecukupan justru bergelora mengangkat harkat rakyat. Pada masa itu, kekuasaan Belanda penuh ketidakadilan dimana-mana, termasuk di Surabaya. Hal ini tentu sudah diketahuinya juga bahwa di kampungnya di Tapanuli Selatan, penindasan kaum Belanda juga tiadataranya (bahkan sejak era Edward Douwes Dekker/Multatuli yang membangkang kebijakan pemerintah Belanda yang pada waktu itu Edwarr sebagai controleur di Natal, Mandheling en Ankola tahun 1842), Radjamin yang seorang dokter, mantan aktivis Stovia dan pernah menggagas bersama dr. Soetomo mendirikan ‘Boedi Oetomo’ yang bergerak di bidang pendidikan. Kala itu, anak-anak Stovia menyadari hanya lewat pendidikanlah ketidakadilan kaum Belanda dapat dientaskan.

Di Surabaya, Radjamin Nasoetion termasuk diantara pribumi yang berpendidikan. Naluri dan jalan pikirannya bangkit. Apalagi ia menyadari kini, tinggal dan berkeluarga di tempat kelahiran sobatnya, Dr. Soetomo. Radjamin mulai menyingsingkan lengan baju, memulai babak baru bertarung dengan kaum Belanda di parlemen Kota Surabaya. Karir Radjamin di parlemen makin menguat hingga terpilih menjadi wakil Jawa Timur mewakili Kota Surabaya ke parlemen pusat (Volksraad) dari Partai Parindra tahun 1938. Posisi Radjamin menjadi ‘double gardan’, di satu tangan anggota senior (wethouder) dewan kota Surabaya, dan di tangan lain sebagai anggota Volksraad.

Fuchter 'seteru' Radjamin Nasution
Pada masa itulah Radjamin memperkenalkan gaya blusukan. Dari kampong ke kampong melihat rakyatnya dan menampung aspirasi rakyatnya. Dalam hal tertentu, Radjamin tidak segan-segan menegor dan menggertak walikota Fuchter yang bangsa Belanda, jika pembangunan yang dijalankan jauh menyimpang dari kebutuhan rakyat. Figur Radjamin galak terhadap Belanda, sebaliknya santun terhadap rakyatnya. Karakter yang lengkap ini juga disukai pasukan Jepang, ketika datang pertamakali ke Surabaya. Militer Jepang lalu mengangkatnya sebagai walikota, menggantikan kedudukan Fuchter yang saat ini sibuk mengurusi soal deportasi bangsa Eropa dari Surabaya.

Radjamin memandang orang asing sangat berbeda dengan pribumi. Radjamin menganggap Belanda dan Jepang sama saja—sama-sama bangsa asing yang ingin mengendalikan rakyat pribumi. Radjamin tidak bisa dikendalikan bangsa asing. Jepang yang lebih agresif dari Belanda, justru membuat rakyat lebih sengsara. Jepang lebih menginginkan komunikasi satu arah dengan rakyat dan tidak suka gaya blusukan ala Radjamin terjadi. Tapi Radjamin mengikuti nalurinya sendiri, di luar area balai kota, Radjamin tetap blusukan mengunjungi rakyatnya. Radjamin konsisten dalam urusan rakyat.

Ketika Jepang takluk atas sekutu, pimpinan republik di Jakarta mengangkatnya menjadi walikota. Konon, pengangkatan Radjamin yang menjadi walikota incumbent itu atas penilaian Ir. Soekorno sendiri. Soekarno adalah putra daerah Surabaya (lahir dan dibesarkan di Surabaya). Ini berarti, Radjamin tidak memerlukan rekomendasi Amir Sjarifoeddin dan M. Hatta untuk menunjuk Radjamin, karena Soekarno sendiri telah merekomendasikan.  Soekarno, Hatta dan Amir adalah tiga founding father negara Republik Indonesia. Amir Sjarifoeddin (Harahap) adalah adik sekampung halaman Radjamin Nasoetion di Afdeeling Mandheling en Ankola (kini Tapanuli Selatan).
Kunjungan PMI Internasional di Tulungagung, 1948

Namun tidak lama menjabat sebagai walikota republic di Surabaya, Radjamin sudah menghadapi perang kembali. Radjamin benci Jepang, juga Radjamin benci Belanda yang membonceng ikut ke Surabaya. Saat pertempuran pasukan/laskar republik dengan pihak sekutu/Belanda, Radjamin dan semua pejabat-pejabatnya mengungsi ke luar kota. Di pengungsian, korps Radjamin mendukung perjuangan anak-anak republik. Radjamin yang setia terhadap pejabat dan karyawannya dan tentu rakyatnya bekerja keras di pengungsian. Radjamin yang seorang dokter mengambil posisi Kepala Dinas Kesehatan Surabaya dan mengkoordinasikan save and rescue terhadap pejuang-pejuang yang terluka dari medan perang. Radjamin juga berinisiatif mengumpulkan pakaian bekas untuk bahan pakaian para pejuang di Surabaya. Radjamin mondar-mandir antara markas pemerintahan Kota Surabaya di pengungsian (Mojokerto dan Tulungagung) dan front pertempuran di Kota Surabaya.

Namun setelah pengakuan kedaulatan RI, Radjamin yang bertindak sebagai walikota di pengungsian dan belum pernah dipecat, tak dinyana haknya diambilalih alias dirampas. Soal ini sempat berlarut-larut dan tidak jelas ujung pangkalnya. Radjamin tidak mau berpolemik berlama-lama untuk urusan itu. Radjamin lebih memilih berjuang kembali lewat parlemen untuk bisa tetap dekat dengan rakyatnya. Dul Arnowo yang ditunjuk menjadi walikota, Radjamin sendiri menolak diajukan menjadi ketua dewan (DPRD). Radjamin memilih lebih fokus pada proposalnya yang pro rakyat. Kepemimpinan Dul Arnowo sangat lemah, di dewan mendapat kritikan bertubi-tubi sampai menjadi mosi tidak percaya. Dul Arnowo akhirnya lengser sebagai walikota, sedangkan karir Radjamin Nasution semakin melejit hingga menjadi anggota dewan di Perlemen Pusat di Jakarta. Ini untuk kedua kali Radjamin Nasution wakil rakyat di pusat, sebelumnya di era Belanda tahun 1938) .

Radjamin dimakamkan bersama rakyat di Surabaya

Radjamin Nasoetion gelar Sutan Kumala Pontas jauh sebelumnya sudah dinobatkan rakyat Surabaya sebagai ‘arek soerabaia’. Radjamin menganggap Kota Surabaya sebagai kampungnya juga. Selama di Jakarta sebagai anggota DPR Pusat masih tetap bertempat tinggal di Surabaya. Proposal Radjamin yang disodorkan sejak era Belanda semuanya sudah dijalankan oleh eksekutif Kota Surabaya. Perjuangannya sejak gemeenteraad, walikota era Jepang, berjuang di pengungsian selama perang  dan anggota DPRD Kota Surabaya (plus DPRD Provinsi Jawa Timur dan DPR Pusat) sudah lengkap baginya. Delapan anaknya semuanya juga mencintai Kota Surabaya. Radjamin ingin beristirahat di Kota Surabaya, Kota Pahlawan. Salah satu anaknya adalah Irsan Radjamin, suami dari wanita pejuang Surabaya, Hj.Lukitaningsih Irsan Radjamin yang pernah menjabat Ketua Umum Wirawati Catur Panca (Ibu-ibu Kelasyakaran Pejuang Eksponen Angkatan 45).

Tugu Pahlawan di Surabya (foto 1960)
Radjamin meninggal dunia 10 Februari 1957 dan dimakamkan di Kota Surabaya. Menurut warga Rangkah, saat jenazah disemayamkan di rumah duka ada yang mengusulkan almarhum dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Bangsa. Sebab, dalam kegiatannya menjelang dan setelah Kemerdekaan RI, selalu berada di garis perjuangan. Namun atas “wasiat” almarhum Radjamin, kata anak-anaknya, ia ingin dimakamkan di tengah-tengah warga Surabaya. Radjamin Nasution, dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Rangkah, di Jalan Kenjeran—tempat dimana Pahlawan Nasional, pencipta lagu Indonesia Raya, Wage Rudolf Soepratman dimakamkan. 
Untuk sekadar diketahui: WR Soepratman adalah sahabat Parada Harahap (The King of Java Press). Parada Harahap adalah pendiri dan pemilik kantor berita Alpena sedangkan Soepratman sebagai editornya. Parada Harahap dan Radjamin Nasoetion berkawan akrab, teman sekampung di Padang Sidempuan/Tapanuli Selatan. Anak-anak mereka kebetulan sama-sama studi hukum di Universitas Indonesia. Anak Radjamin Nasoetion bernama Nona Sheherazade Radjamin Nasution lulus tahun 1955, sedangkan anak Parada Harahap bernama Nona Aida Dalkit Harahap lulus Februari 1956. Aida Dalkit Harahap adalah hakim perempuan pertama di Sumatra (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 25-05-1956). Aida Dalkit Harahap menikah dengan Datu Porkas Daulay (kakak kelasnya lulus tahun 1952). Datu Porkas adalah anak dari Dr. Mohamad Daulay (kakak kelas Dr. Radjamin Nasution di docter djawa school/STOVIA).Untuk sekadar diketahui lagi: Lagu Indonesia Raya adalah hasil perlombaan yang mana pemenangnya adalah WR Soepratman dan sebagai runner-up Nahum Situmorang. Dua komponis kawakan di jamannya. Nahum Situmorang, lahir di Sipirok 1908, tidak jauh dari kampung Parada Harahap di Pargarutan. Parada Harahap yang lahir 1898 adalah ketua Jong Batak, sekretaris Jong Sumatra. Pada tahun 1927 Parada Harahap menjadi sekretaris PPPKI (himpunan organisasi-organisasi) yang kantornya di Gang Kenari yang mana ketuanya MH Thamrin (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 26-09-1927). PPPKI (Permoefakatan Perhimpoenan-perhimpoenan Politiek Kebangsaan Indonesia dengan motto:Hidoeplah Persatoean Indonesia) adalah penyelenggara Kongres Pemuda (Oktober 1928), dimana lagu Indonesia Raya diperdengarkan kali pertama (lihat De Indische courant, 01-09-1928). Untuk sekadar diketahui juga: Parada Harahap adalah mentor para anak muda founding father RI (Soekarno, Hatta dan Amir). Parada Harahap sendiri yang memajang tiga foto anak muda tersebut di kantor PPPKI. Ketiganya adalah idola dan juga 'digadang-gadang' oleh Parada Harahap (lihat De Indische courant, 27-11-1931).
Sinar Merdeka, surat kabar paling militan di Indonesia (1919)
Catatan: Pada waktu itu, Parada Harahap adalah pemilik dan editor surat kabar Bintang Timoer, koran pribumi yang memiliki tiras terbesar dan terluas (juga memiliki edisi daerah di Semarang untuk Jawa Tengah dan di Surabaya untuk Jawa Timur). Bintang Timoer didirikan tahun 1926 sebagai suksesi koran Bintang Hindia (milik Parada Harahap bersama Dr. Abdul Rivai); Ir. Soekarno kerap mengirim tulisannya ke Bintang Timoer, tahun 1932 Parada Harahap di dalam korannya meminta Soekarno keluar dan 'turun ke jalan' yang dijawab Soekarno dalam surat pembaca yang diakhiri kata-kata: 'tunggu tindakan saya Bang'. Pada tahun 1932 Parada Harahap tidak menggubris larangan pemerintah Belanda dan berkekuatan hati untuk memimpin tujuh orang pertama pribumi yang terdiri dari guru, wartawan dan pengusaha ke Jepang, termasuk di dalamnya M. Hatta yang baru lulus kuliah di Belanda--Parada Harahap sendiri adalah jurnalis paling militan, menulis pertama kali di Benih Mardeka di Medan, 1917, mendirikan koran Sinar Merdeka di Padang Sidempuan tahun 1919 dan hijrah ke Batavia 1923 yang selama hidupnya di dunia jurnalistik 101 kali dimejahijaukan, 12 kali diantaranya harus dibui-sepak terjang Parada Harahap lihat pada artikel ini ]..
Radjamin tidak diakui Pemkot sebagai Walikota Surabaya pertama

Yousri Nur Raja Agam mengutip pesan tokoh Surabaya, bahwa generasi muda sekarang memang layak mempertanyakan, mengapa foto yang dipajang di balai kota Surabaya, hanya mulai dari Walikota Doel Arnowo? Padahal kenyataannya, Radjamin yang menjadi walikota Surabaya pertama. Radjamin adalah salah satu walikota cerdas yang pro rakyat, bersih, jujur apa adanya, diangkat oleh pemerintah republik pasca proklamasi dan tidak pernah dipecat. Radjamin Nasution telah berbuat banyak untuk Kota Surabaya, dicintai rakyatnya hingga di akhir masa hidupnya.

Ini seolah-olah telah terjadi diskriminasi dan ‘pembohongan publik’ di Kota Surabaya, Selama ini, seolah-olah walikota pertama Surabaya itu adalah Doel Arnowo, padahal kenyataannnya adalah Radjamin Nasution. Tetapi, kemudian untuk sekadar berkelit, maka disebutkanlah bahwa Doel Arnowo adalah walikota Surabaya pertama setelah ‘Penyerahan Kedaulatan’. Apakah memang ketentuannya demikian? Menurut Yousri Nur Raja Agam, penduduk pendatang yang menetap di Surabaya, sejarah harus diluruskan dan terbuka secara jujur. Yousri Nur Raja Agam bertanya kembali, mengapa harus berat mengatakan bahwa walikota Surabaya yang pertama itu adalah “orang Batak” yang bernama Radjamin Nasution gelar Sutan Komala Pontas.

***
Panjaboengan 1890 (kota terdekat dari Barbaran Joeloe)
Radjamin Nasution yang lahir di kampung Barbaran Julu, Panyabungan, Mandailing, Tapanuli Bagian Selatan, Sumatera Utara tanggal 15 Agustus 1892 kemungkinan adalah generasi pertama orang Tapanuli di Surabaya dan Jawa Timur. Jika Radjamin Nasution disebut Opung, maka penduduk Jawa Timur asal Mandheling en Ankola (Padang Sidempuan) yang ada sekarang merupakan generasi keempat. Berdasarkan Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk Jawa Timur yang berasal dari Tapanuli Selatan (subetnik Angkola dan subetnik Mandailing) terhitung sebanyak 30.904 jiwa. Jumlah ini memang tidak ada artinya dibandingkan dengan etnik Jawa sebanyak 29.824.950 jiwa dan etnik Madura sebanyak 6.568.438 jiwa. Akan tetapi jika dibandingkan dengan etnik non Jawa/Madura (pendatang), maka penduduk asal Tapanuli Selatan di Jawa Timur adalah nomor tiga terbanyak setelah etnik Tionghoa  (236.124 jiwa) dan etnik Sunda (45.262 jiwa). Penduduk Jawa Timur yang berasal dari etnik Bali sendiri hanya 19.316 jiwa,

_______
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber utama tempo doeloe. Sumber pendukung: Yousri Nur Raja Agam M.H, ‘Radjamin Nasution, Walikota Pertama Surabaya’








 
 
 

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Saya mahasiswa sejarah , saya ingin menulis biografi radjamin nasution. Apakah anda bisa membantu ? Ini nmr hp saya 081331155096