Het
nieuwsblad voor Sumatra, 03-11-1954
|
Siapa Madong
Lubis?
Madong
Lubis adalah guru di Sabang. Pada tahun 1911 Madong Lubis pindah ke Langsa (De
Sumatra post, 11-11-1911). Pada tahun 1918 guru Madong Lubis mengikuti ujian
akta guru Belanda di Medan. Madong Lubis termasuk diantaranya yang lulus dan
mendapat akta mengajar, akta Belanda. Sebelumnya, untuk mendapat akta serupa
ini harus melanjutkan studi perguruan tinggi ke Belanda, seperti Radjioen
Harahap gelar Soetan Casajangan (1905), Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng
Moelia (1911), GB Josua (1930). Dalam perkembangannya untuk mendapat akta
serupa itu dapat dilakukan di Nederlandch Indie, tetapi harus guru yang berpengalaman
dengan syarat dan ketentuan serta lulus ujian di depan komisi.
De Sumatra post,
26-07-1918 (Ujian Akta Belanda): ‘Komisi ujian terdiri dari: I. van Iterson,
adj. Inspektur. ketika H. I. Onderwijz, sebagai ketua, J. R. Bakker, kepala sekolah
Europeech School dan H. Goen, kepala sekolah HIS sebagai anggota. Dari tujuh
kandidat, empat dinyatakan lulus: Madong Lubis di Langsa. Abdul Hamid di Medan.
Ismail di Medan dan Jansen Nasoetion di Padang Sidempuan’.
Setelah
mendapat akta Belanda (1918), Madong Lubis ditempatkan sebagai pengajar di sekolah
guru, Normaal School di Pematang Siantar. Di sekolah ini, pribumi yang menjadi guru
adalah Soetan Martoewa Radja (alumni Kweekschool Padang Sidempuan, 1893). Soetan
Martoewa Radja, kelak dikenal sebagai ayah dari MO Parlindungan, pengarang buku
kontroversi Tuangku Rao.
Soetan Martoewa
Radja adalah alumni terakhir Kweekschool Padang Sidempuan. Guru terkenal dari
sekolah ini adalah Charles Adriaan van Ophuijsen (dari delapan tahun di Padang
Sidempuan, lima tahun terakhir sebagai direktur). Setelah lulus sekolah guru
tahun 1893 Soetan Martoewa Radja mengajar di Pargaroetan, kemudian menjadi
kepala sekolah di Sipirok, kemudian dipindahkan menjadi kepala sekolah di
Taroetoeng. Setelah lama mengajar di Taroetoeng (terakhir guru HIS), Soetan
Martoewa Radja diangkat menjadi sekolah Normaal School yang baru dibuka di
Pematang Siantar. Sementara itu, Madong Loebis yang jauh lebih muda dari Soetan
Martoewa Radja, besar kemungkinan adalah alumni Kweekschool Fort de Kock.
Pada
tahun 1920 Madong Loebis diangkat menjadi anggota dewan (gementeeraad) Pematang
Siantar (De Sumatra post, 02-11-1920). Madong Lubis bersama Dr. Mohamad Hamzah adalah
wakil pribumi dari total sembilan anggota dewan kota Pematang
Siantar. Dr. Mohamad Hamzah Harahap
(alumni Docter Djawa School, 1901), saudara sepupu guru Soetan Casajangan,
adalah anggota dewan untuk periode kedua. Pada periode berikutnya, Madong
Loebis diangkat kembali menjadi anggota dewan kota. Jumlah pribumi bertambah
satu lagi sehingga ada tiga pribumi anggota dewan kota Pematang Siantar: Dr.
Mohamad Hamzah, Madong Lubis dan Soetan Martoewa Radja (ketiganya berasal dari
Padang Sidempuan). Mereka bertiga tidak tergantikan hingga tahun
1930 (De Sumatra post, 22-08-1930).
Pada tahun 1921 hanya terdapat 53 kota/daerah yang
memiliki anggota dewan. Sebagaimana dilaporkan Preanger-bode, 01-02-1921,
terdapat sebanyak 767 anggota non-Eropa. Di Tapanoeli hanya satu daerah (gewest)
yang memiliki dewan, yakni Onder afdeeling Angkola en Sipirok sebanyak 23 orang
anggota Non Eropa dan di Sumatra’Oostkust terdapat lima kota (gementee) dan
satu kabupaten (gewest), yakni: Kota Pematang Siantar (8), Kota Tandjong Balai
(6), Kota Medan (6), Kota Bindjei (6), Kota Tebing Tinggi (9) dan Kabupaten Oostkust
Sumatra (21).
Pada
tahun 1931 Madong Lubis mendapat cuti besar ke Jawa (De Sumatra post, 25-02-1931).
Setelah aktif kembali, Madong Lubis diangkat sebagai peniliki sekolah di
afdeeling Padang Lawas di Goenoeng Toea. Pada tahun 1933, Madong Lubis dipindahkan sebagai penilik
sekolah ke Medan (De Sumatra post, 31-07-1933).
De Sumatra post, 12-06-1934: ‘Ditunjuk Inlandsen
Schoolppziener (1) Achmad gelar Soetan Koemala Parlindoengan yang ditempatkan
di Tapa'toean (meliputi Atjeh dan sekitranya), (2) Madong Lubis, yang
ditempatkan di Medan.
Pada tahun 1934 Madong Lubis ikut pemilihan anggota dewan kota Medan (De Sumatra post, 28-06-1934). Madong Lubis kalah dalam pilkada Medan.
Dari daftar
calon untuk pribumi ada sebanyak 15 orang. Dari daftar ini terdapat enam anak
Padang Sidempoen, yakni: Abdullah Lubis, Aboe Bakar, Abdul Hakim, GB Joshua,
Madong Lubis dan Soeleiman Hasiboean. Dari lima calon pribumi, terdapat tiga
yang terpilih asal Padang Sidempuan: Soeleiman Hasiboean, Abdul Hakim
(incumbent) dan GB Josua. Abdul Hakim pada berikutnya terpilih kembali dan pada
tahun 1937 jabatannya di Medan dipindahkan ke kemeterian keuangan di Batavia.
Abdul Hakim Harahap kelak (1951) menjadi Gubernur Sumatera Utara.
Madong
Lubis meski tidak terpilih, jabatan sebagai pengawas sekolah di Medan masih
diteruskan. Tunggu deskripsi lebih lanjut.Dalam
kehidaupan masyarakat Madong Loebis banyak terlibat dalam berbagai kegiatan
seperti kegiatan amal, pasar malam dan lainnya untuk mengumpulkan dana yang
dialokasikan untuk pembangunan sekolah swasta, penanggulangan TBC, krisis
pengangguran dan lainnya (De Sumatra post, 01-05-1935). Madong Lubis adalah
sekretaris organisasi social Taman Persahabatan yang mana kedua adalah Dr.
Pirngadi dan wakil ketua Abdullah Lubis (De Sumatra post, 22-07-1935). Dr.
Pirngadi adalah dokter di rumah sakit umum, Abdullah Lubis adalah direktur
Pewarta Deli.
De Sumatra post,
21-10-1936 (buku lagu-lagu Melayu ‘Goebagan Poespa’): ‘Kami menerima bagian
pertama dari ‘Goebahan Poespa’, buku lagu Melayu yang disusun oleh Bapak Madong
Loebie, pengawas sekolah, dan Abdul Chalik. guru di sebuah sekolah lanjutan di
sini. Bapal Madong Loebis dan Abdul Chalik dikenal di dunia pendidikan sebagai
guru menyanyi, Mr. Madong Lubis di sini juga pemimpin dari persatuan guru menyanyi.
Buku ini merupakan data yang baik yang digunakan oleh rakyat dan siswa sekolah
lanjutan’.
Madong
Lubis dicalonkan kembali untuk pilkada tahun 1937 (De Sumatra post, 02-04-1937).
Abdul Hakim tidak mencalonkan lagi karena tugasnya dipindahkan ke Batavia.
Abdul Hakim dalam tujuh tahun terakhir duduk sebagai anggota dewan. Beberapa
calon lain diantaranya GB Josua (sebagai incumbent), Dr. Djabangoen Harahap,
Mr. Loeat Siregar, A. Siregar dan Siagian. Dari lima kursi, dua pemenang
diantaranya adalah Soleiman Hasiboean dan Dr. Gindo Siregar. Ini untuk kali
yang kedua Madong Lubis dicalonkan di Medan tetapi belum pernah terpilih.
Dalam
kepengurusan organisasi social Taman Persahabatan di Medan, Madong Lubis tetap
sebagai sekretaris demikian juga Dr. Pirngadi sebagai ketua. Yang berubah
adalah posisi wakil ketua ditempati oleh Dr. Gindo Siregar (De Sumatra post, 28-06-1937).
Pada pengurusan sebelumnya wakil ketua adalah Abdullah Lubis.
Madong
Lubis dicalonkan kembali untuk pilkada tahun 1937 (De Sumatra post, 30-07-1938).
Madong Lubis tampaknya kalah popular di Medan. Tokoh-tokoh lainnya masih
mengungguli Madong Lubis, seperti Abdul Hakim dan GB Josua, Soeleiman Hasiboean
dan Gindo Siregar. Namun demikian, Madong Lubis tetap focus pada kompetensinya
sebagai guru, pengawas sekolah dan penulis buku-buku pelajaran sekolah.
Diantara
kandidat lainnya adalah Abdul Wahab Siregar (schoolopziener); Djabangoen
(Indisch-arts); GB Josua (schoolhoofd); Madong Loebis (schoolopziener); Pamasoek
(particulier); Gindo Siregar (arts, zittend wethouder voor Inlandsche Zaken);
Mr. Loeat Siregar (advocaat en procureur); Soeleiman Hasiboean (particulier);
Taralam Nasoetion (particulier); dan Zakaria Loebis (Schatkist-ambtenaar).
Pemenang mutlak putaran pertama adalah Soeleiman Hasiboean (De Sumatra post, 13-08-1938).
Calon yang terpilih lainnya adalah Dr. Gindo Siregar (De Sumatra post, 22-08-1938).
Sebagaimana
tokoh-tokoh yang lain, kiprah Madong Lubis juga tidak terdeteksi selama
penduduk Jepang (sejak 1942). Nama-nama mereka baru mucul kembali jelang
pengakuan kedaulatan RI. Madong Lubis muncul sebagai wakil dari Badan Petjinta
Bahasa dalam pertemuan yang dilakukan atas inisiatif Front Medan. Ini
mengindikasikan bahwa Madong Lubis tetap konsisten dalam kompetensinya sebagai
ahli bahasa yang merupakan wakil dari para guru-guru. Front Medan (republiken) sendiri
selama perang (yang berada di daerah federalis Negara Sumatera Timur yang dikusai
Belanda) diketuai oleh Dr. Djabangoen Harahap. Madong Lubis tampaknya adalah
republiken.
Het nieuwsblad
voor Sumatra, 03-09-1949 (Panitia penerimaan bagi pengunjung di Medan): ‘Atas
inisiatif Front Nasional Sumatera Timur di Medan membentuk sebuah komite untuk
menerima orang Indonesia terkemuka tiba di sini. Itu dimaksudkan untuk penerimaan
yang tepat untuk banyak tamu-tamu terhormat (baik republiken dan federalis) yang
datang sejak adanya gencatan senjata di Medan. Dalam pertemuan yang diadakan
kemarin, perwakilan dari tiga puluh organisasi Medan dibentuk panitia sebagaimana
dilaporlan surat kabar Mimbar Umum yang antara lain Penjabat Walikota, Datuk
Hafiz Haberham (Parnest), St. Elias Pangeran (Front Nasional), Tengku Ismail
(Taman Persahabatan) Sugondo (Taman Siswa), Mrs. Fatimah Dasuki (Persatuan
Wanita Indonesia) Suwoto (Pandu Rakyat) dan Madong Lubis (Badan Pentjinta.
Bahasa)’.
Madong
Lubis juga aktif dalam proses likuidasi Negara Sumatera Timur. Madong Lubis
bersama Ani Idrus (istri M. Said) diangkat sebagai sekretaris oleh Kongres
Rakyat se-Sumatera Timur untuk melaksanakan keputusan. Het nieuwsblad voor
Sumatra, 02-05-1950 melaporkan bahwa Kongres Rakyat mendesak RIS untuk
melikuidasi Negara Sumatera Timur dengan mengirim utusan ke Jakarta. Salah satu
keputusan Kongres Rakyat yang akan diperjuangkan utusan adalah selain
melikuidasi Negara Sumatera Timur juga agar segera memasukkannya ke Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Yang dimaksud Negara Sumatera Timur dalam hal ini
adalah Simalungun, Asahan, Langkat,
Asahan Selatan / Labuhan Batu, Karolanden, Deli/ Serdang dan Kota Medan.
Usulan ini
terjadi pro-kontra. Kongres Rakyat mengharapkan segera keputusan diadopsi,
namun pimpinan Republik Indonesia di Jakarta ogah-ogahan. Akibatnya beberapa tokoh
perwakilan Kongres mulai pecah: ada yang pro dan ada yang kontra.Dari 10 orang
anggota eksekutif lima pro dan lima kontra. Resistensi ini bertentangan dengan
keputusan Kongres Rakyat. Yang menentang langkah mundur ini terdapat lima orang
(pro) adalah Mohd. Said, Mr. M. Jusuf, Sugondo Kartoprodjo, Madong Lubis dan Rendjong
Bangoen (Het nieuwsblad voor Sumatra, 23-06-1950).
Setelah
masa transisi dapat diselesaikan, Negara Sumatera Timur dilikuidasi dan
dimasukkan ke Negara Kesatuan Republik Indonesia, pemerintahan Sumatera Utara
dibentuk. Abdul Hakim Harahap (mantan Residen Tapenoeli) diangkat menjadi Gubernur.
Untuk mengisi kegiatan pembangunan di dalam unifikasi Sumatera Utara, Madong
Lubis termasuk salah satu anggota Jajasan Universitas Sumatera Utara untuk
mendirikan universitas yang diketuai oleh Gubernur Abdul Hakim (Het nieuwsblad voor
Sumatra, 05-06-1952).
Madong Lubis
tetap menjadi anggota Jajasan Universitas Sumatera Utara yang mana Ketua adalah
Gubernur SM Amin Nasoetion dan wakil ketua adalah Soetan Pane Paroehoem (Het
nieuwsblad voor Sumatra, 19-01-1954). Abdul Hasan Harahap gelar Soetan Pane
Paroehoem adalah notaries pertama di Sumatera Utara (1927) yang menyusun dan
menandatangani akte pendirian Jajasan Universitas Sumatera Utara.
Madong
Lubis menjadi peserta aktif dalam Kongres Bahasa Indonesia di Medan (Het
nieuwsblad voor Sumatra, 30-10-1954). Salah satu keputusan dalam kongres ini
adalah soal Bahasa Indonesia sendiri. Sebab dalam konstitusi belum dijelaskan
apa yang dimaksud dengan Bahasa Indonesia, karena sejak dari Kongres Pemuda
1928, Bahasa Indonesia adalah Bahasa Melayu. Dalam kongres ini usul ini muncul
dari Madong Lubis. Het nieuwsblad voor Sumatra, 03-11-1954 menyebutkan bahwa
Madong Lubis, guru senior dalam kongres ini banyak memberikan masukan. Dalam pidatonya
menyarank tujuh poin, diantaranya: pengajaran bahasa daerah di sekolah harus
dibatasi, guru harus memastikan penggunaan yang tepat bahasa Indonesia kepada
murid-muridnya dan kualitas guru dalam berbahasa Indonesia harus ditingkatkan.
Madong Lubis (dan
Amir Hamzah Nasoetion) protes usulan bahwa pers dan radio memiliki kebebasan
dalam berbahasa (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 05-11-1954). Hal ini menanggapi makalah yang berjudul Pers
dan radio karakter legislatif tata bahasa ini tidak mutlak (Voor de pers en
radio is het normatieve karakter van de grammatica niet absoluut). Menurut Madong
Lubis pemberian kebebasan kepada wartawan menyimpang dari tata bahasa’.
Guru Madong
Lubis Penerus Guru van Ophuijsen dari Padang Sidempuan
Madong
Lubis adalah seorang guru, guru yang terus konsisten tidak hanya dalam
perjuangan tetapi juga di dalam kompetensinya sebagai guru bahasa (tatabahasa
dan sastra) tetap konsisten bahwa bahasa Indonesia harus dijalankan dengan
baik. Meski Madong Lubis tidak pernah bertemu dengan Charles Adrian van
Ophuijsen, tetapi pendekatan dan cara berpikir keduanya sama:
Tunggu
deskripsi lebih lanjut
*Dikompilasi
oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe
1 komentar:
Terimakasih banyak pak, dari tulisan bapak saya banyak belajar dan dan mengetahui lebih dalam mengenai bapak Madong Lubis. Saat ini saya sedang meneliti madong lubis, bolehkan saya tau dari sumber mana bapak dapat mengetahui biografi madong lubis?. Dan apakah menurut bapak dia sebagai pendidik atau ahli bahasa Indonesia? Mohon arahannya pak🙏
Posting Komentar