Rabu, Agustus 06, 2025

Sejarah Budaya (5): Pemburu Harimau Itu Bernama Tongkoe Soetan di Padang Lawas; Pemburu Gajah Soliter di Angkola Pietersz


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Budaya dalam blog ini Klik Disini

Pada masa lampau wilayah Angkola banyak terdapat hewan besar di hutan-hutan seperti gajah, badak, tapir, harimau dan tentu saja termasuk orangutan. Namun yang tersisa pada masa ini hanya harimau dan orangutan. Sisa gajah masih ditemukan di wilayah Padang Lawas. Bagaimana dengan badak dan tapir? Tampaknya sudah punah. Pada masa lalu di Angkola ada pemburu harimau bernama Tongkoe Soetan dan pemburu gajah (orang Belanda) Pietersz.


Pemburu harimau terkenal pada masa lalu di Indonesia, terutama pada masa kolonial Belanda, termasuk Th. Boreel dan keluarga Bartels dari Sukabumi, serta Tuan Ledeboer dari Banyuwangi. Selain itu, ada juga pemburu harimau Sumatera seperti Mawi di Musi Rawas yang dikenal produktif. Th. Boreel dan Keluarga Bartels: Mereka dikenal sebagai pemburu harimau terkemuka di Sukabumi, yang tergabung dalam organisasi perkebunan. Tuan Ledeboer: Seorang pemburu legendaris dari Banyuwangi yang dikenal mampu menangkap puluhan harimau sendirian. Mawi: eorang pemburu harimau Sumatera yang sangat produktif di Musi Rawas, dikenal karena kemampuannya berburu sendirian dalam waktu lama dan menggunakan berbagai macam senjata. Pemburu gajah "tempo dulu merujuk pada orang-orang yang berburu gajah, baik untuk diambil gadingnya maupun untuk kesenangan. Perburuan gajah ini seringkali dilakukan oleh pihak kerajaan atau para bangsawan, seperti yang tercatat dalam sejarah Kesultanan Deli dan Belanda di Sumatera. Selama masa penjajahan, orang Belanda juga terlibat dalam perburuan gajah, baik untuk perdagangan maupun kesenangan. Ada juga catatan tentang bumiputra yang terlibat dalam perburuan gajah, terutama di wilayah Sumatera (AI Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah pemburu harimau itu bernama Tongkoe Soetan di Padang Lawas? Seperti disebut di atas, banyak hewan besar temnpo doeloe di Angkola, tetapi hany yang tersisa kini harimau dan orangutan. Salah satu pemburu harimau terkenal adalah Tongkoe Soetan dan pemburu gajah Bernama Pietersz. Lalu bagaimana sejarah pemburu harimau itu bernama Tongkoe Soetan di Padang Lawas? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Kamis, Juli 31, 2025

Sejarah Budaya (4): Aksara dan Candi di Angkola dan Mandailing; Sejarah Aksara dan Pusat Percandian di Wilayah Padang Lawas


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Budaya dalam blog ini Klik Disini

William Marsden di dalam bukunya The History of Sumatra yang diterbitkan tahun 1812 menyebutkan lebih dari separuh penduduk Batak mampu membaca, suatu angka yang tinggi bahkan jauh lebih tinggi dari semua bangsa-bangsa di Eropa. Dalam apa yang dibaca penduduk Batak? Sudah barang tentu tulisan dengan menggunakan aksara Batak. Hal yang sama juga disebutkan oleh Oscar von Kessel yang mengunjungi pedalaman Batak pada tahun 1844 bahwa menulis dan membaca hampir dikenal secara universal di antara mereka (lihat tulisannya berjudul Reis Oscar von Kessel in Klein Toba yang dimuat di dalam Das Ausland dan kemudian diterjemahkan yang dimuat di dalam Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indie, 1856).


Aksara Angkola, bagian dari aksara Batak, berkembang di wilayah Angkola dan Mandailing, yang merupakan bagian dari Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Aksara ini, bersama dengan aksara Batak lainnya, diperkirakan berasal dari aksara Palawa yang dipengaruhi oleh aksara India dan kemudian diadaptasi untuk bahasa-bahasa lokal. Berikut penjelasan lebih detail mengenai sejarah aksara Angkola: Asal Usul: Aksara Angkola, seperti aksara Batak lainnya, diperkirakan berasal dari India Selatan, kemungkinan dari aksara Palawa yang dibawa melalui jalur perdagangan. Perkembangan Awal: Aksara ini pertama kali berkembang di daerah Angkola dan Mandailing, yang merupakan wilayah awal penyebaran aksara Batak. Adaptasi dan Penyebaran: Aksara ini kemudian menyebar ke utara, mempengaruhi perkembangan aksara Batak di daerah Toba, Simalungun, dan daerah lainnya. Pengaruh Budaya: Wilayah Angkola juga menunjukkan jejak pengaruh budaya Hindu-Buddha, seperti yang terlihat pada peninggalan candi di Padang Lawas (Padang Bolak), yang juga mempengaruhi perkembangan aksara Angkola dan kosakata bahasa Angkola. Perkembangan di Tapanuli Selatan: Aksara Angkola digunakan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam upacara adat, dan bahasa Batak Angkola menjadi bahasa sehari-hari di wilayah tersebut (AI Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah aksara dan candi di Angkola Mandailing? Seperti disebut di atas tingkat literasi penduduk Batak terkait dengan keberadaan aksara Batak, termasuk di wilayah Angkola, wilayah Mandailing dan wilayah Toba. Satu yang penting diduga ada hubungan aksara dan pusat percandian di wilayah Padang Lawas. Lalu bagaimana sejarah aksara dan candi di Angkola Mandailing? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Senin, Juli 28, 2025

Sejarah Budaya (3): Bahasa, Kamus Bahasa Angkola Mandailing; Prasasti dan Riwayat Rumpun Bahasa Batak di Pulau Sumatra


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Budaya dalam blog ini Klik Disini

Bahasa Angkola adalah salah satu bahasa Batak yang dituturkan di wilayah Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Indonesia. Bahasa ini memiliki kemiripan dengan bahasa Batak Toba, namun dengan intonasi yang sedikit lebih lembut. Bahasa Angkola juga sering disebut sebagai Bahasa Batak Angkola. Bahasa Angkola terutama dituturkan di daerah Tapanuli Selatan, meliputi Padang Sidempuan, Batang Toru, Sipirok, dan seluruh bagian Kabupaten Tapanuli Selatan. Bahasa Angkola termasuk dalam rumpun bahasa Batak dan memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengan bahasa Batak Toba. Meskipun mirip, Bahasa Angkola memiliki perbedaan dengan Bahasa Mandailing, terutama dalam beberapa kata dan intonasi.


Bahasa Angkola dan Mandailing adalah dua dialek yang berkerabat dekat dari Bahasa Batak, yang digunakan di Tapanuli (bagian) Selatan, Sumatera Utara. Meskipun mirip, terdapat perbedaan kecil dalam kosakata dan pengucapan antara keduanya. Bahasa Angkola sering disebut sebagai Bahasa Batak Angkola (BBA) dan digunakan dalam percakapan sehari-hari serta upacara adat. Perbedaan Bahasa Angkola dan Mandailing: Perbedaan Kosakata: Beberapa kata mungkin berbeda meskipun maknanya sama. Contohnya, "tangkas" dalam Mandailing berarti "jelas," sedangkan dalam Angkola menjadi "takkas". Perbedaan Pengucapan: Perubahan konsonan dalam beberapa kata juga dapat membedakan kedua dialek ini, meskipun tidak selalu mengubah makna.  Kamus Bahasa Angkola Mandailing: Kamus Angkola Mandailing Indonesia: Terdapat kamus yang memuat kosakata dari kedua dialek ini ke dalam bahasa Indonesia, seperti yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Bahasa Angkola/Mandailing Indonesia: Buku ini juga tersedia dan bisa dicari di repositori.kemendikdasmen.go.id. Kamus Bahasa Angkola Mandailing Indonesia Edisi Kedua 2016: Tersedia di Scribd (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah bahasa dan kamus bahasa Angkola Mandailing? Seperti disebut di atas, bahasa Angkola mirip bahasa Toba, tetapi bahasa Angkola lebih mirip dengan bahasa Mandailing. Bahasa-bahasa subetnik tersebut terkait dengan prasasti dan riwayat rumpun bahasa Batak di pulau Sumatra. Lantas bagaimana sejarah bahasa dan kamus bahasa Angkola Mandailing? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sabtu, Juli 26, 2025

Sejarah Budaya (2): Adat Istiadat di Angkola Mandailing di Wilayah Tapanoeli; Gondang Sabangunan, Mangupa Boru, Marpege-pege


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Budaya dalam blog ini Klik Disini

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adat istiadat adalah tata kelakuan yang turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya sebagai warisan dan sudah menjadi pola perilaku suatu masyarakat. Adat istiadat ini mencakup berbagai kebiasaan, tradisi, dan aturan yang diwariskan secara turun temurun dan menjadi ciri khas suatu daerah atau kelompok masyarakat. Adat berasal dari bahasa Persia yang berarti kebiasaan, cara, penggunaan, upacara, atau observasi. Istiadat berasal dari bahasa Arab yang berarti permintaan kembali atau kebiasaan yang berulang. Adat istiadat memiliki peran penting dalam menjaga nilai-nilai sosial, moral, dan identitas suatu masyarakat.


Adat istiadat Angkola Mandailing mencakup berbagai tradisi dan upacara yang kaya akan nilai budaya dan sosial. Beberapa di antaranya adalah upacara pernikahan, seperti Gondang Sabangunan dan Mangupa Boru, serta berbagai tradisi lisan seperti Marsitogol dan Maronang-onang. Selain itu, ada juga tradisi seperti Manortor dan Marpege-pege yang memiliki makna mendalam dalam kehidupan masyarakat Angkola Mandailing. Beberapa Adat Istiadat Angkola Mandailing yang Penting: Gondang Sabangunan: Upacara pernikahan adat yang dilakukan dalam pernikahan di Mandailing. Mangupa Boru: Upacara khusus bagi pengantin perempuan dalam adat Angkola. Manortor: Tarian adat yang sakral dalam upacara Horja Godang (pesta besar). Marpege-pege: Tradisi gotong royong dalam pernikahan, di mana masyarakat saling membantu secara finansial. Marsitogol: Senandung ratapan yang digunakan dalam berbagai upacara, termasuk pernikahan dan kematian. Maronang-onang: Nyanyian pengiring tari Tor-tor, yang juga digunakan dalam berbagai upacara adat. Tradisi Lisan Lainnya: Seperti Marjeir, Marolok-olok, Marbue-bue, Markobar, dan Marturi yang memiliki fungsi dan makna masing-masing dalam kehidupan sosial masyarakat Angkola.Pakaian Adat: Pakaian adat Batak Angkola mirip dengan Mandailing, didominasi warna hitam dengan perpaduan merah, seringkali menggunakan ulos. Bagas Godang: Rumah adat yang dulu berfungsi sebagai tempat tinggal raja. Mangitaki: Tradisi memercikkan air santan dan kue itak untuk tujuan keselamatan dan rezeki. Pataru Sere Sahatan: Tradisi dalam pernikahan yang melibatkan sanksi bagi pelanggar kesepakatan. Adat istiadat ini mencerminkan nilai-nilai kekeluargaan, gotong royong, dan penghormatan terhadap leluhur yang menjadi ciri khas masyarakat Angkola Mandailing (AI Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah adat istiadat Angkola Mandailing di wilayah Tapanoeli? Seperti disebut di atas, adat istiadat memiliki peran penting dalam menjaga nilai-nilai sosial, moral, dan identitas suatu masyarakat. Adat istiadat di Angkola Mandailing cakupannya banyak seperti gondang Sabangunan, mangupa boru, marpege-pege dan lainnya. Lalu bagaimana sejarah adat istiadat Angkola Mandailing di wilayah Tapanoeli? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Selasa, Juli 22, 2025

Sejarah Budaya (1): Bahasa Daun di Angkola Bahasa Bunga di Eropa; Charles Adrian van Ophuijsen Guru di Padang Sidempoean, 1881


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Budaya dalam blog ini Klik Disini

Katakan dengan bunga. Ini merujuk pada buku berjudul Le Langage des Fleurs oleh Charlotte de Latour (lihat edisi 1820, 1827, 1862 dan 1870); Le langage des fleurs ... oleh Louis-Aimé Martin. 1830; Nouveau langage des fleurs, ou Parterre de flore, 1832 dan 1860. Ini mengindikasikan simbolik (bahasa) bunga di Eropa menjadi bagian dari budaya. Namun, jauh di timur di Angkola di pulau Sumatra sudah dikenal sejak lama simbolik (bahasa) daun.


"Bahasa bunga" atau floriografi adalah praktik memberikan makna simbolis pada bunga untuk menyampaikan pesan atau perasaan tanpa kata-kata. Bunga telah lama digunakan sebagai alat komunikasi untuk mengekspresikan berbagai emosi, mulai dari cinta dan kasih sayang hingga duka cita dan persahabatan. Berikut beberapa contoh bahasa bunga yang umum: Mawar: Simbol cinta, keindahan, dan gairah. Tulip: Melambangkan cinta yang sempurna, kesempurnaan, dan keanggunan. Anggrek: Melambangkan keindahan, kemurnian, keanggunan, dan kekuatan. Lily: Melambangkan kepolosan, kemurnian, dan keindahan yang abadi. Bunga Matahari: Melambangkan kebahagiaan, keceriaan, dan energi positif. Melati: Melambangkan kecantikan, kesuburan, dan kemurnian. Anyelir: Simbol cinta, kasih sayang, dan kekaguman. Bunga Daisy: Melambangkan kebahagiaan, cinta yang tulus, dan kesederhanaan. Tradisi bahasa bunga ini, yang dikenal sebagai floriografi, populer di berbagai budaya, termasuk budaya Eropa, Asia, dan Afrika. Di Jepang, bahasa bunga dikenal sebagai Hanakotoba (AI Wikipedia) 

Lantas bagaimana sejarah bahasa daun di Angkola, bahasa bunga di Eropa? Seperti disebut di atas, bahasa bunga di Eropa, bahasa daun di Angkola. Orang Eropa pertama yang melaporkan keberadaan bahasa daun adalah Charles Adrian van Ophuijsen, guru di sekolah guru (kweekschool) Padang Sidempoean. Lalu bagaimana sejarah bahasa daun di Angkola, bahasa bunga di Eropa? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Minggu, Juli 13, 2025

Sejarah Padang Sidempuan (29): Dr Tarip Siregar Peneliti Terbaik; Sutan Pangurabaan Pane Chairani Siregar Prof Sangkot Marzuki


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Sidempuan dalam blog ini Klik Disini

Nama Dr Tarip sudah pernah ditulis di dalam blog ini (2016). Namun apa marga Dr Tarip saat itu belum diketahui. Pada awal tahun 2021 Prof Sangkot Marzuki Batubara memberitahu bahwa Dr Tarip Siregar adalah ompung beliau. Terjawab sudah siapa dan bagaimana latar belakang keluarga Dr Tarip, dokter hewan yang menjadi peneliti terbaik pada masa Pemerintah Hindia Belanda.


Dr Tarip: Alumni Sekolah Kedokteran Hewan di Bogor (1914); Peneliti Terbaik Indonesia. Minggu, Agustus 21, 2016. Dr. Tarip adalah siswa pada fase awal setelah dibentuk Sekolah Kedokteran Hewan (Veeartsenschool) di Buitenzorg (1907). Tarip memulai pendidikan dasar di sekolah pribumi (Inlandsche school) 2de klasse di Sipirok. Setelah selesai studi (1914), Dr. Tarip diangkat sebagai dokter hewan pemerintah dan ditempatkan di Padang Lawas. Pada tahun 1922 Dr. Tarip dipindahkan dari Medan ke Padang Sidempuan untuk membantu LVM Lobel. Kontribusinya dalam dunia riset, pemerintah mengapresiasi kinerja Dr. Tarip dan memberikannya beasiswa untuk studi lebih lanjut ke Belanda tahun 1927. Tarip lulus ujian akhir dokter hewan tahun 1930 di Veeartsenij Hoogeschool di Utrecht, Belanda. Namun Dr. Tarip tidak berumur panjang dan dikabarkan telah meninggal dunia tahun 1936 di Tarutung. Saat itu Tarip tengah bertugas di kantor cabang Dinas Kedokteran Hewan (Burgerlijken Veeartsenijkundigen) di Taroetoeng yang baru dirintisnya (De Indische courant, 24-08-1936). Catatan: Dr. Tarip belum diketahui marganya (masih dilacak). Apakah ada yang mengetahuinya? (lihat https://akhirmh.blogspot.com/2016/08/dr-tarip-alumni-sekolah-kedokteran.html)

Lantas bagaimana sejarah Dr Tarip Siregar peneliti terbaik? Seperti disebut di atas, Dr Tarip berasal dari Sipirok. Bagaimana relasi Dr Tarip Siregar dengan Soetan Pangoerabaan, Chairani Siregar dan Prof Sangkot Marzuki Batubara? Lalu bagaimana sejarah Dr Tarip Siregar peneliti terbaik? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Rabu, Juli 09, 2025

Sejarah Padang Sidempuan (28): Dr Anwar Nasoetion Mangaradja Pidoli dan Kroeng Raba Nasoetion SM Amin Lahir di Lhok Nga


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Sidempuan dalam blog ini Klik Disini

Anwar Nasoetion gelar Mangaradja Pidoli, kelak dikenal sebagai ayah dari Prof Andi Hakim Nasoetion, rektor IPB 1978-1987. Nama Pidoli merujuk pada nama huta Pidoli di Mandailing. Pada masa lampau nama Pidoli sangat dikenal karena salah satu anak Radja Pidoli bersekolah ke Belanda Si Sati Nasoetion alias Willem Iskander (pribumi pertama studi ke Belanda). Dalam perkembangannya huta Pidoli dimekarkan menjadi Pidoli Lombang dan Pidoli Dolok. Anwar Nasoetion gelar Mangaradja Pidoli dan Kroeng Raba Nasoetion gelar Soetan M Amin sama-sama lahir di Lhok Nga (Atjeh).


Mr Sutan Mohammad Amin Nasution adalah seorang pengacara dan politikus keturunan Batak Mandailing lahir tanggal 22 Februari 1904 di Lhoknga, Aceh Besar, dengan nama Krueng Raba Nasution. Belajar di Europeesche Lagere School (ELS) di Sabang pada tahun 1912. Tiga tahun kemudian, pada tahun 1915, ia pindah ke ELS di Solok, dan pada tahun 1916, ia pindah lagi ke ELS di Sibolga dan ELS di Tanjung Pinang hingga akhirnya lulus pada tahun 1918. Setelah lulus dari sekolah tersebut, ia melanjutkan studi di sekolah kedokteran STOVIA di Batavia pada tahun 1919. Di STOVIA, ia aktif dalam gerakan kemahasiswaan dan bergabung dengan Jong Sumatranen Bond. Di STOVIA selama dua tahun, pada tahun 1921, bersekolah di MULO dan lanjut ke AMS di Jogjakarta. Pada pertengahan 1927, ia lulus dari AMS dan melanjutkan studinya di Rechtschoogeschool di Batavia. Selama masa studinya di Rechtschoogeschool, ia menjadi salah satu pendiri organisasi Pemuda Indonesia. Organisasi tersebut kemudian menggelar Kongres Pemuda Kedua di Batavia. Setelah lulus gelar Mr pada tanggal 16 Juli 1934, memulai kariernya sebagai pengacara di Kutaraja, Aceh (Wikipedia). 

Lantas bagaimana sejarah Anwar Nasoetion gelar Mangaradja Pidoli dan Kroeng Raba Nasoetion gelar Soetan M Amin kelahiran Lhok Nga? Seperti disebut di atas Anwar Nasoetion dari keluarga Willem Iskander. Bagaimana dengan keluarga Kroeng Raba Nasoetion? Lalu bagaimana sejarah Anwar Nasoetion gelar Mangaradja Pidoli dan Kroeng Raba Nasoetion gelar Soetan M Amin kelahiran Lhok Nga? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Senin, Juni 09, 2025

Sejarah Pantai Timur (13): Kerajaan Aru di Pantai Timur Sumatra; Aek Sungai Barumun Antara Sungai Rokan dan Sungai Ambuaru


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Pantai Timur Sumatra di blog ini Klik Disini

Dalam penulisan sejarah, judul mencari data seharusnya data membentuk judul. Sejarah sendiri adalah narasi fakta dan data. Fakta adalah situasi kondisi/peristiwa yang benar-benar ada atau terjadi. Sementara data adalah bukti yang dapat dilihat apakah dalam bentuk benda, kondisi alam, peta yang digambarkan dan catatan yang tertulis semasa. Demikian juga dalam menganalisis dan menginterpretasi sejarah tidak cukup dengan ibarat seorang buta yang memegang gadingnya tidak akan mampu melukiskan gajah yang sebenarnya. Oleh karena itu sajarah bukan imajinasi dan pula bukan angan-angan. Menulis sejarah haruslah menggunakan metodologi sejarah yang sesuai.


Haru adalah sebuah kerajaan pernah berdiri di wilayah pantai timur Sumatera Utara, berkuasa abad ke-13 sampai abad ke-16. Pada masa jayanya kerajaan ini merupakan kekuatan bahari yang cukup hebat, dan mampu mengendalikan kawasan bagian utara Selat Malaka. Pada abad ke-13, Kerajaan Hindu-Buddha ini mulai menganut agama Islam. Ibu kota Aru terletak dekat dengan Kota Medan, dikaitkan dengan negara penerusnya, yakni Kesultanan Deli. Pendapat ini diajukan oleh seorang orientalis Inggris Richard Olaf Winstedt. Akan tetapi, Groenveldt, seorang sejarawan Belanda, berpendapat bahwa pusat ibu kota Kerajaan Aru terletak jauh ke tenggara, yakni dekat muara Sungai Barumun dan Panai, di Kabupaten Labuhanbatu, dan karena itu terkait dengan pendahulunya yaitu Kerajaan Pannai yang bercorak agama Buddha. Gilles berpendapat ibu kotanya terletak dekat Pelabuhan Belawan, sementara sejarawan lain mengajukan pendapat bahwa lokasi pusat kerajaan Aru terletak di dekat muara Sungai Wampu dekat Teluk Haru, Kabupaten Langkat. Situs Kota Cina di kawasan Medan Marelan, dan situs Benteng Putri Hijau di Deli Tua, Namorambe, adalah situs-situs arkeologi di dekat Kota Medan, yang dikaitkan dengan Kerajaan Haru (Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah Kerajaan Aru di pantai timur Sumatra? Seperti disebut di atas sejarah adalah narasi fakta dan data. Banyak yang bertanya dimana lokasi pusat Kerajaan Aru. Tentu saja ada perbedaan pendapat. Fakta bahwa sungai Barumun berada diantara sungai Rokan (di selatan) dan sungai Ambuaru (di utara). Lalu bagaimana sejarah Kerajaan Aru di pantai timur Sumatra? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Minggu, Mei 11, 2025

Sejarah Padang Sidempuan (27): Saroehoem Panoesoenan di Padang Sidempoean BTL ke Semarang; Pers Batavia dan Parada Harahap


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Sidempuan dalam blog ini Klik Disini

Dalam dunia jurnalistik di Indonesia nama Saroehoem Panoesoenan cukup dikenal luas. Namanya juga ditulis sebagai Tengkoe Saroehoem dan juga Sar Panoesoenan. Namanya mulai terkenal di Padang Sidempoean tahun 1929 sebagai pemimpin surat kabar Soeara Sini. Saroehoem dalam urusan jurnalistik juga pernah di Sibolga, Taroetoeng, Fort de Kock, Padang, Semarang, Batavia, Soerabaja, Soerakarta, Djogjakarta, Samarinda, Tasikmalaja, Tjirebon.

Pewarta Borneo merupakan salah satu koran tertua yang terbit di Banjarmasin. Menurut sejumlah sumber, koran ini didirikan pada 1901 dan menggunakan bahasa Melayu. Namun, pelacakan sumber autentik hanya menemukan Pewarta Borneo edisi tahun VU 1938. Pada tahun itu, kantor redaksinya tercatat beralamat di Mahakamstraad, Samarinda. Pemimpin umum sekaligus pemimpin redaksinya adalah Lim Ek Thoen dibantu Saroehoem. Repoeblik adalah surat kabar berbahasa Indonesia yang terbit pertama kali pada 1944. Surat kabar ini diterbitkan oleh Perusahaan Harian Rakjat. Alamat redaksinya berada di Cirebon, sedangkan percetakannya dilakukan di percetakan Repoeblik, Cirebon. Pemimpin redaksi Repoeblik adalah Saroehoem dan wakilnya Rivai Marlaut. (Wikipedia). 

Lantas bagaimana sejarah Saroehoem Panoesoenan dari Padang Sidempoean menuju Semarang? Seperti disebut di atas, nama Saroehoem dalam dunia jurnalistik Indonesia dimulai dari Padang Sidempoean. Saat Saroehoem memulai karir di Semarang, Parada Harahap di Batavia. Lalu bagaimana sejarah Saroehoem Panoesoenan dari Padang Sidempoean menuju Semarang? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Rabu, Mei 07, 2025

Sejarah Padang Sidempuan (26): Soetan Pangoerabaan (Pane) dari Sipirok; Guru, Sastrawan, Politisi, Jurnalis dan Pengusaha


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Sidempuan dalam blog ini Klik Disini

Pada artikel sebelumnya dibicarakan nama Baginda Kali Djoendjoeng (Daoelae), pada artikel ini membicarakan Soetan Pangoerabaan (Pane). Soetan Pangoerabaan dengan nama kecil Panjaboengan marga Pane kelak lebih dikenal sebagai ayah dari Sanoesi Pane dan Armijn Pane (dua sastrawan terkenal di Jawa).


Sutan Pangurabaan Pane, seorang guru, penulis, wartawan dan seniman. Kemampuannya bahasa Batak, Melayu, Arab, dan Belanda, Sutan Pangurabaan pernah menjadi juru tulis Belanda; menjembatani komunikasi antara Belanda dengan Si Singamangaraja XII (Perang Toba II); salah satu pendiri Muhammadiyah di Sipirok. Lulus kweekschool (sekolah guru) di Padang Sidempuan dididik Charles Adrian van Ophuijsen. Setelah lulus ditempatkan di Muara Sipongi, sekolah yang baru didirikan. Tidak setuju penjajahan Belanda di Muara Sipongi memutuskan meninggalkan profesinya sebagai guru, pindah ke Sibolga menjadi wartawan. Sejak tahun 1914, menjadi wartawan untuk surat kabar Poestaha; 1921 mendirikan organisasi Muhammadiyah di Sipirok; 1927 mendirikan surat kabar berbahasa Batak Pardomoean; 1931 mendirikan surat kabar berbahasa Indonesia Surya di Sibolga; 1 Januari 1937 mendirikan perusahaan transportasi bus Sibualbuali melayani rute pulang pergi dari Sipirok menuju Padang Sidempuan, Sibolga, Tarutung, Pematang Siantar, Medan, Pekanbaru, Palembang, Jambi, dan Lampung. Sutan Pangurabaan pernah memimpin Partai Indonesia (Partindo) cabang Tapanuli (1913-1936) dan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) (1937-1942). Karya: Tolbok Haleon, 1916; Roekoen iman dohot roekoen Islam, 1933; Nasotardago, 1940. Soetan Pangoerabaan lahir    sekitar 1885 di Sipirok dan meninggal 11 Januari 1955 di Djakarta (Wikipedia). 

Lantas bagaimana sejarah Panjaboengan gelar Soetan Pangoerabaan Pane? Seperti disebut di atas, anak-anaknya terkenal dan dikenal luas diantaranya Sanoesi Pane dan Armijn Pane. Soetan Pangoerabaan sendiri adalah guru, sastrawan, politisi, jurnalis dan pengusaha. Lalu bagaimana sejarah Panjaboengan gelar Soetan Pangoerabaan Pane? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Selasa, Mei 06, 2025

Sejarah Padang Sidempuan (25): Baginda Kali Djoendjoeng Marga Daoelae; Kepala Koeria Pintoe Padang di Angkola Djae


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Sidempuan dalam blog ini Klik Disini

Kota Padang Sidempoean dapat dikatakan kota yang sudah tua, bahkan lebih tua dari kota Medan. Kota Padang Sidempoean paling tidak sudah terinformasikan pada tahun 1844 sebagai kota baru untuk menggantikan ibu kota distrik (onderafdeeling) Angkola di Pidjor Koling. Kota Padang Sidempoean cepat tumbuh dan berkembang sehinggan pada tahun 1870 dijadikan sebagai ibu kota afdeeling Mandailing en Ankola untuk menggantikan Panjaboengan. Di kota Padang Sidempoean inilah kemudian bermunculan tokoh-tokoh yang cukup terkenal diantaranya Baginda Kali Djoendjoeng (Daoelae) dan Soetan Pangoerabaan (Pane). 


Pada tahun-tahun selanjutnya, tepatnya 1928, di Sipirok terbit sebuah surat kabar bernama Pardomoean di bawah pimpinan Soetan Pangoerabaan. Surat kabar ini terbit satu kali dalam sebulan. Di Padang Sidempuan surat kabar dengan nama Oetoesan terbit tahun 1939 dibawah pimpinan redaksi Baginda Kali Djoendjoeng dan A.H. Daulay. Surat kabar tersebut terbit dalam edisi berbahasa Indonesia dan merupakan surat kabar nasional yang  terbit setiap hari Senin dan Sabtu. Surat kabar lainnya yang terbit di Padang Sidempuan adalah Drukkerij Tapian Na Oeli yang terbit pertamakali tahun 1940 dibawah pimpinan redaksi Maringan Napitupulu. Surat kabar tersebut terbit setiap hari Sabtu saja dalam edisi berbahasa Batak dan juga sewaktu-waktu dalam edisi bahasa Indonesia. Masih di Padang Sidempuan, pada tanggal 10 Oktober 1940, terbit pertamakali Surat Kabar “Boroe Tapanoeli” yang terbit secara berkala, setiap 10 hari sekali. Surat kabar ini dipimpin oleh Srikandi Padang Sidempuan bernama Awan Chatidjah Siregar, dengan anggota redaksi: Soemasari Rangkoeti, Roesni Daulay, Dorom Harahap, Marie Oentoeng Harahap dan Halimah Loebis. Pada bagian administrasi tercantum nama Siti Sjachban Siregar, Lela Rangkoeti dan Intan Nasoetion.( https://akhirmh.blogspot.com). 

Lantas bagaimana sejarah Baginda Kali Djoendjoeng marga Daoelae? Seperti disebut di atas, banyak tokoh yang lahir di kota Padang Sidempoean, termasuk Baginda Kali Djoendjoeng yang juga sebagai Kepala Koeria Pintoe Padang di Angkola Djae. Lalu bagaimana sejarah Baginda Kali Djoendjoeng marga Daoelae? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Kamis, Januari 02, 2025

Sejarah Benteng Huraba (11): Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI);Tapanuli Selatan


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Benteng Huraba di blog ini Klik Disini

Pengakuan kedaulatan Indonesia dalam bentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) diberlakukan sejak 27 Desember 1949. Serikat maksudnya terdiri dari negara-negara sendiri dan negara Republik Indonesia sebagai satu negara sendiri (yang misalnya dibedakan dengan Negara Madura dan Negara Sumatra Timur). Atas kesadaran sendiri atau atas tekanan, negara-negara federal bentukan Belanda membubarkan diri atau dibubarkan. Tanggal 17 Agustus 1950 RIS dibubarkan dan kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Lalu mengapa kemudian muncul Undang-Undang Darurat Nomor 7 tahun 1956 yang menjadi dasar terbentuknya kabupaten Tapanuli Selatan? 


Dalam Undang-Undang Darurat Nomor 7 tahun 1956, Pasal 1 ayat 10 disebutkan bahwa Tapanuli Selatan (Kabupaten) dengan batas-batas yang meliputi wilayah afdeling Padang Sidempuan sesuai Staatsblad tahun 1937 No.563). Satuan wilayah ini tetap dianggap sebagai kesatuan budaya, sosial, dan ekonomi hingga sekarang. Yang berubah adalah konfigurasi pemerintahan, yang dulu satu kesatuan pemerintahan di bawah nama kabupaten Tapanuli Selatan, kini tengah mengalami perubahan yang dinamis menjadi sejumlah kabupaten kota, sejumlah kecamatan dan sejumlah desa kelurahan. Sebelum terjadi pemekaran Kabupaten Tapanuli Selatan (dengan ibukota Padang Sidempuan) terdiri dari 18 kecamatan: 1. Dolok 2. Barumun 3. Barumun Tengah 4. Batang Angkola 5. Batang Natal 6. Batang Toru 7. Kotanopan 8. Muarasipongi 9. Natal 10. Padang Bolak 11. Padang Sidempuan 12. Panyabungan 13. Saipar Dolok Hole 14. Simangambat 15. Siabu 16. Sipirok 17. Sosa 18. Sosopan. 

Lantas bagaimana sejarah Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)? Seperti disebut di atas RIS bentukan Belanda dibubarkan dan kembali ke bentuk NKRI. Dalam hal ini mengapa Undang-Undang Darurat Nomor 7 tahun 1956 dibuat. Lalu bagaimana sejarah Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.