Kantor Controleur Afdeeling Padang Lawas di Goenoengtoea |
***
Peta militer pembebasan Padang Lawas (pusat di Portibie) |
Lalu
setelah Daloe-Daloe berhasil dilumpuhkan (Tambusai telah melarikan diri (ke
pulau), maka situasi dan kondisi keamanan menjadi terkendali. Pemerintah
Belanda melihat pencapaian itu tidak sekadar hanya melumpuhkan Tambusai tetapi
juga (sekali mendayung tiga pulau terlampaui): 1. Telah membuka pantai timur
(coast to coast) melalui muara sungai Baroemoen; 2. Riaou yang masih
independent dianggap dengan sendirinya melemah, karena sumber ekonomi utama
juga dari daerah Batak (kamper, benzoin) dan Minangkabau (lada); 3. Sumatra’s
Oostkust terpecah, hubungan Siak dan lanskap-lanskap di utara (utamanya Deli)
‘terputus’ dan posisi Riaou terjepit setelah sebelumnya Jambi di bawah
colonial.
Dengan situasi
dan kondisi baru ini di satu pihak, pengaruh Inggris atas lanskap-lanskap
Sumatra’s Oostkut akan drastis menyusut setelah perjanjian tukar guling antara
Malaka (Belanda) dengan Bengkulu (Inggris) pada tahun 1824. Sedangkan di pihak
lain, Belanda melihat Riaou akan segera menyerah dan juga Batoebara dan Deli
yang sudah jelas tidak akan mengeluarkan biaya yang besar (sebagaimana di
Bonjol dan Padang Lawas).
Benar
apa yang diperkirakan, mantan Resident Tapanoeli, Netscher yang kini menjadi
Resident Riau dan berkedudukan di Pulau Bintan melakukan perjanjian dengan Sultan
Siak tahun 1855. Pada tahun 1858 perjanjian diperbaiki dan semua lanskap-lanskap
Sumatra’s Ooskust yang sebelumnya di bawah supremasi Siak menjadi kesatuan
wilayah dimana Asisten Residen berkedudukan di Siak Indrapoera, sementara di Bengkalis,
Laboehan Batoe, Asahan, Batoebara dan Deli masing-masing ditempatkan seorang controleur
pada tahun 1862.
Pada tahun 1862,
Willem Iskander membuka sekolah guru (kweekschool) di Tanobato, setahun setelah
kedatangannya dari Belanda. Sati (Nasoetion) gelar Sutan Iskander berangkat
studi ke Belanda untuk mendapatkan akte guru tahun 1857. Di Belanda namanya
berubah menjadi Willem Iskander. Pada tahun 1870 ibukota Afdeeling Mandheling
en Ankola dipindahkan dari Panyabungan ke Padang Sidempuan. Oleh karena tahun
1879 akan dibuka kweekschool yang lebih besar di Padang Sidempuan, maka sekolah
asuhan Willem Iskander di Tanobato ditutup dan tahun 1875 Willem Iskander
diminta studi lagi untuk mendapatkan akte kepala sekolah di Belanda agar menjadi
direktur Kweekschool Padang Sidempuan. Namun disayangkan Willem Iskander
meninggal dunia di Belanda tahun 1876. Kweekschool Padang Sidempuan tahun 1879
tetap dibuka sesuai yang direncanakan.
Sementara
Sumatra’s Ooskust terus berkembang, perkembangan yang terjadi khususnya di Deli
malah sangat pesat, lebih cepat dari semua lanskap-lanskap yang ada di
Nederlandsch Indie. Akibatnya, Siak dan Bengkalis mulai tertinggal dibanding rekan-rekannya
di sebelah utara. Pada tahun 1870 Siak dipisah lalu Residentie Sumatra’s
Oostkust dibentuk dengan ibukota di Bengkalis. Lalu kemudian tahun 1879 ibukota
Residentie Sumatra’s Oostkust dipindahkan ke Medan (Afdeeling Deli) dan
afdeeling Bengkalis dikeluarkan dan kembali masuk Residentie Riaou.
Di
Residentie Tapanoeli sendiri tingkat perkembangannya sangat berbeda-beda. Hal
ini karena masing-masing lanskap (afdeeling) memiliki karakteristik wilayah yang
beragam dan situasi dan kondisi yang dihadapi berbeda-beda. Pembangunan di
Afdeeling Natal dan Afdeeling Mandheling en Ankola sudah dimulai sejak 1841.
Pembangunan berikutnya terjadi di afdeeling Sibolga, lalu disusul afdeeling
Baros dan pada berikutnya afdeeling Singkel. Di Afdeeling Silindoeng en Toba (khususnya
di lembah Silindoeng) sudah dimulai tahun 1875 namun masih terkendala karena
adanya perlawanan dari Sisingamangaradja. Sebaliknya, di Afdeeling Padang Lawas
tetap tidak ada perubahan yang berarti hingga pada akhirnya pemerintah colonial
mulai membentuk pemerintahan tahun 1879.
Akses menuju
Padang Lawas, suatu dilemma
Di masa lampau, Padang Bolak (kemudian menjadi Padang Lawas) merupakan satu-satunya wilayah di Tanah Batak yang paling mudah diakses dari luar. Keberadaan sungai Panai (kemudian Baroemoen) masih dimungkinkan dilayari hingga ke Gunung Tua dan Batang Onang. Moda transportasi seiring dengan peradaban biaro (candi), tetapi pada saat invasi Belanda (setelah beberapa abad kemudian) situasi dan kondisi yang ada telah berubah. Meski masih bisa dilayari dengan sampan-sampan hingga ke muara Batang Pane di Sungai Baroemoen namun moda transportasi sudah lebih praktis dengan menggunakan kuda.
Ketika
militer Belanda membebaskan penduduk Padang Bolak (atas tekanan padri), akses
yang digunakan adalah melalui jalan akses melalui Kotanopan, Siabu dan
Pijorkoling (karena Belanda memulai invasi di Tanah Batak dari Natal melalui
afdeeling Mandheling en Ankola). Akses ini tidak mudah, bahkan jika dengan kuda
sekalipun masih terlalu tinggi risiko. Bukit-bukit yang curam, berliku-liku
menembus hutan belantara menjadi faktor pembatas antara Padang Lawas dengan
Angkola dan Mandailing. Kondisi inilah yang menghalangi kedekatan geografis
Padang Lawas dengan Mandailing dan Angkola selama ini di dalam situasi perkembangan
baru (perkembangan social dan ekonomi di era Belanda). Sementara jalur dari
Natal, Mandailing, Angkola berlanjut ke Sipirok hingga Silindoeng terus
mengalami perkembangan.
Pada tahun 1860 adanya pembangunan jalan dan jembatan telah menghubungkan Muara Sipongi, Kotanopan, Natal, Panyabungan, Padang Sidempuan. Lalu diikuti jalur ke Batangtoru hingga Sibolga di sebelah barat dan ke Sipirok di sebelah utara. Ke arah timur (di Padang Lawas) tetap tidak memiliki akses. Perkembangan yang pesat di Sipirok telah menyebabkan terjadinya pembentukan pemerintahan di Sipirok (pemekaran dari onderafdeeling Angkola en Sipirok). Alibat pemekaran ini, Sipirok menjadi lebih dekat dengan Padang Lawas. Controleur Sipirok secara defacto juga menjadi perwakilan pemerintah (Asisten Residen di Padang Sidempuan). Meski demikian, faktor akses tetap menjadi kendala. Satu-satunya moda transportasi yang dapat digunakan hanya dengan kuda. Suatu tempat (yang kini menjadi Huta Tabusira) merupakan jalur lalu lintas (check point) dari Padang Sidempuan dan Huta Goenoeng Manoengkap (Tiangaras belum ada) merupakan jalur dari Sipirok. Lalu lambat laun jalur lama (Goenoengmanoengkap dan 'Tabusira') bergeser dari Pargaroetan melalui Kotta (Huta) Morang menuju Saroematinggi (kini Pasar Matanggor). Di Saroematinggi ke arah utara via Siunggam ke Padang Bolak Djoeloe dan ke arah timur ke Binanga dan DAS Baroemoen.
Nama
sebelumnya Padang Lawas adalah Padang Bolak. Pada awal tahun 1840an (pasca
Perang Pertibie) jumlah penduduk Padang Lawas diperkirakan sebanyak 28.000 jiwa
(berdasarkan laporan Willer di dalam Jurnal Hindia Belanda, 1846: lihat artikel
Bag-1. Sejarah Padang Lawas). Secara geografi terdiri dari enam lanskap: Padang
Lawas (4 distrik 23 kampung. 805 keluarga); Dollok
(4 distrik, 44 kampung, 1.235 keluarga); Boeroemon (3 distrik, 16 kampung, 620
keluarga); Tamboeseij (3 distrik, 32 kampung, 1.660 keluarga); Paneh (hampir
seluruhnya berpenghuni oleh emigrasi); Biela (di mulut Batang Paneh di sebelah
timur). Ibukota Padang Lawas adalah Portibie (setidaknya merujuk pada Portibie
sebagai pusat atau benteng utama dalam fase pembebasan Padang Lawas dari
pengaruh Padri). Populasi penduduk dan jumlah kampong di Padang Lawas ini
tampaknya telah jauh bekurang: akibat perang dan migrasi.
Gelombang
penduduk yang masuk ke Padang Lawas pada fase berikutnya karena situasi yang
baru di Mandailing dan Angkola (koffiecultuur). Sebagian penduduk tidak senang
dengan Koffiestelsel lalu migrasi ke Padang Lawas dan Semenanjung. Penduduk
masuk juga diduga karena tekanan perang di Silindoeng dan Toba menyebabkan
sebagian penduduk yang berada di selatan Silindoeng (termasuk Sibolga) dan di
Sipirok juga terindikasi melakukan migrasi ke Padang Lawas.
Berdasarkan
peta marga yang diterbitkan oleh Topographisch Bureau (1886), lanskap marga terluas
(marga dominan) ada tiga: Harahap, Hasibuan dan Nasution. Marga Harahap Padang
Lawas secara territorial masih terhubung dengan marga Harahap di Angkola.
Sementara marga Nasution berada di sekitar
muara sungai Baromoen yang mana asalnya (marga dominan) berada di Mandailing
Godang (Groote Mandheling). Marga Nasution ini diduga migrasi pada fase padri dan
kemudian disusul pada fase koffiestelsel (Belanda). Sedangkan Hasibuan secara
genealogis disebutkan berasal dari Silindoeng.
Dalam buku Het
rechtsleven der Toba-Bataks,1933 menyebut marga Hoeta Galoeng juga menyebar ke
Padang Lawas, yaitu di daerah sungai Baroemoen dan Sosa di mana daerah ini berada
dibawah nama Hasiboean, subdivisi Harajan dan Botoeng. Hasiboean-Handang Kopo,
terletak di lanskap Hoeristak, dari Hoeta Galoeng atau Hoeta Barat. Dalam
silsilah marga Hasibuan di Huristak (Oristak=Orissa di India?) ditemukan nama
Kali Umar. Nama Kali Umar mirip dengan nama Hali Bonar yang dilaporkan oleh Ida
Pheiffer yang pernah berkunjung ke Silindoeng tahun 1852. Pada masa itu di
Silindoeng dan Toba kerap terjadi perang antar huta (dan misionaris Nommensen belum
ada). Ida Pheiffer melaporkan ia dicegat oleh pasukan bersenjata dan dibawa
kepada pimpinannya bernama Hali Bonar. Oleh karena Ida Pheiffer beritikad baik
lalu diterima dan diberi penghormatan dengan menyembelih kerbau dan malamnya diadakan
hiburan tradisi. Lokasi kejadian ini setelah wilayah Sipirok tetapi masih jauh
dari Silindoeng. Laporan Ida Pheiffer ini terbilang laporan terawal secara public
tentang Silindoeng. Joustra dalam bukunya Batak Spiegel (1926) berdasarkan
bukti yang dimilikinya manganggap bahwa marga Hasiboean di Padang Lawas
terbilang marga yang relatif muda dibanding marga-marga utama lainnya.
Di masa lampau, Padang Bolak (kemudian menjadi Padang Lawas) merupakan satu-satunya wilayah di Tanah Batak yang paling mudah diakses dari luar. Keberadaan sungai Panai (kemudian Baroemoen) masih dimungkinkan dilayari hingga ke Gunung Tua dan Batang Onang. Moda transportasi seiring dengan peradaban biaro (candi), tetapi pada saat invasi Belanda (setelah beberapa abad kemudian) situasi dan kondisi yang ada telah berubah. Meski masih bisa dilayari dengan sampan-sampan hingga ke muara Batang Pane di Sungai Baroemoen namun moda transportasi sudah lebih praktis dengan menggunakan kuda.
Sebuah perkampungan di Padang Lawas 1867 |
Pada tahun 1860 adanya pembangunan jalan dan jembatan telah menghubungkan Muara Sipongi, Kotanopan, Natal, Panyabungan, Padang Sidempuan. Lalu diikuti jalur ke Batangtoru hingga Sibolga di sebelah barat dan ke Sipirok di sebelah utara. Ke arah timur (di Padang Lawas) tetap tidak memiliki akses. Perkembangan yang pesat di Sipirok telah menyebabkan terjadinya pembentukan pemerintahan di Sipirok (pemekaran dari onderafdeeling Angkola en Sipirok). Alibat pemekaran ini, Sipirok menjadi lebih dekat dengan Padang Lawas. Controleur Sipirok secara defacto juga menjadi perwakilan pemerintah (Asisten Residen di Padang Sidempuan). Meski demikian, faktor akses tetap menjadi kendala. Satu-satunya moda transportasi yang dapat digunakan hanya dengan kuda. Suatu tempat (yang kini menjadi Huta Tabusira) merupakan jalur lalu lintas (check point) dari Padang Sidempuan dan Huta Goenoeng Manoengkap (Tiangaras belum ada) merupakan jalur dari Sipirok. Lalu lambat laun jalur lama (Goenoengmanoengkap dan 'Tabusira') bergeser dari Pargaroetan melalui Kotta (Huta) Morang menuju Saroematinggi (kini Pasar Matanggor). Di Saroematinggi ke arah utara via Siunggam ke Padang Bolak Djoeloe dan ke arah timur ke Binanga dan DAS Baroemoen.
Nama-nama tempat di Angkola dan Padang Lawas, cukup banyak yang epistomologi dikaitkan dengan kehadiran orang-orang Ceilon dan India (Ankola, Orissa, dan sebagainya). Nama-nama tersebut antara lain: sungai Batang Pane (Panai), sungai Beroemoen, Siunggam, Portibi, Binanga, Oristak, Sosa, Saroematinggi dan sebagainya. Demikian juga di Angkola seperti sungai Batang Angkola, Saroematinggi, Pijorkolonging, gunung Malea, dolok Simardona dan sebagainya..
Dinamika populasi
Padang Lawas: marga dominan dan persebaran marga
Paneh yang dulunya dihuni banyak orang Batak dari Tambuse dan Padang Bolak (laporan Anderson, 1824) kini
hampir seluruhnya berpenghuni oleh emigrasi dari Minangkabau. Ketika tekanan
Padri meningkat, banyak penduduk Padang Bolak migrasi menuju tempat yang lebih
aman di Mandailing dan Angkola.
Persebaran marga menurut Topographisch Bureau (1886) |
Struktur marga Hasibuan (Het
rechtsleven der Toba-Bataks,1933)
|
Selama
ketidakhadiran Belanda di Padang Lawas, pasca perjanjian tahun 1840 antara
pemerintah Belanda (Willer) dengan para pemimpin penduduk (kepala loehat)
hingga awal pembentukan pemerintahan di Belanda (1879) telah banyak yang
terjadi di Padang Lawas. Selama proses pembentukan pemerintahan di Padang Lawas
antara tahun 1879 hingga 1905, jumlah penduduk Padang Lawas diperkirakan
sebanyak 64.800 jiwa. Selama ketidakhadiran Belanda tersebut, perwira
JC Vergouwen terus meneliti hokum adat yang berlaku di Padang Lawas. Laporan
ini menjadi sumber utama dalam laporan Haga yang dimuat dalam Mededeelingen vd
dept. Bestuursverz. Serie B, No. 6.Berikut ringkasan berita seputar Padang Lawas
antara 1843-1879:
Nederlandsche staatscourant, 01-05-1855: ‘..kabar
terakhir berjalan sampai tanggal 12 Februari tahun ini. Sisanya tetap tidak
terganggu. Hanya kampong-kampong antara Padang Lawas dan Sossak, milik Battaklanden,
punya gangguan tempat...’
Nieuwe Rotterdamsche courant : staats-, handels-, nieuws-en
advertentieblad, 27-02-1860: ‘…di afdeling pedalaman Padang Lawas dilaporkan
tidak ada perubahan nyata…’
Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 12-12-1863: ‘lebih
utara terletak lanskap Padang Lawas, Å osák en Adjoran…. mendekati perbatasan..sangat
dekat kampung indah Oetannopan (Kotanopan) di lanskap district Broemoen…(tidak
jelas dan tidak terbaca teksnya, pen)’.
Java-bode: nieuws, handels-en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 19-10-1867: ‘…garam melalui Singapoera dan Pulu Pinang…didatangkan
dari Siam, Chocin China, Madras dan Bombay.. garam dari Madras dan Bombay yang
lebih gelap umumnya dibeli oleh Battaks… Di Panei, Bila dan Kotta Pinang garam adalah
monopoli perdagangan para pangeran, yang dipasok oleh pedagang asing dan
kemudian diperdagangkan...transit Kota Pinang ke Padang Lawas dengan harga relative
lebih rendah.. di dalam Assahan perdagangan garam sepenuhnya di tangan seorang
Cina yang harus membayar uang sewa kepada Yang di Pertoean.. transportasi ke pedalaman,
di mana Battaks Toba itu sendiri dengan harga garam sangat mahal..
Pembentukan
pemerintahan
Pada
saat Belanda memulai kembali pemerintahan 1879 penduduk Padang Lawas semuanya
beragama Islam. Lanskap ini pernah ditata pada 1839-1843 lalu ditinggalkan oleh
pemerintah kolonial selama 36 tahun. Kini dalam pembentukan pemerintahan lokal di
Padang Lawas sebagaimana di lanskap lain didasarkan pada basis marga yang
disebut loehat (bahasa lokal: loeat). Sistem harajaon yang lama tidak diakui
lagi dan diganti dengan sistem yang baru berdasarkan pangkat (dan diberi gaji),
yang dalam hal ini pangkat tertinggi koeriahoofd atau loehathoofd.
Pembentukan
pemerintahan lokal sejauh ini pemerintah kolonial tetap mengacu pada konsep
haradjaon tetapi fungsi haradjaon sendiri telah dihilangkan. Dalam konsep
haradjaon dibentuk dari konsep huta dalam konteks marga. Setiap huta dikepalai
oleh seorang radja huta. Tingkatan tertinggi dari radja-radja huta ini adalah
radja panoesoenan (pamungka huta). Tingkatan di bawahnya disebut radja
pamoesoek yakni radja dari huta-huta turunannya dan yang paling rendah disebut
ripe. Setiap huta adalah sebuah komunitas hokum yang kecil. Namun di dalam
suatu huta, tidak hanya pamungka huta dan turunannya yang ada tetapi juga
kahanggi dan juga dimungkinkan bayo-bayo atau anakboru dan bahkan mora. Juga
terdapat hatobangon yakni dari marga yang sama tetapi pertaliannya sudah sangat
jauh, Dapat ditambahkan keluarga yang tinggal juga dari orang lain yang dan
keluarga budak. Namun dalam situasi tertentu dimungkinkan terjadinya
perselisihan dari marga lain, maka federasi huta-huta semarga terbentuk yang
dikepalai oleh radja panoesoenan. Federasi huta-huta yang bersifat genealogis ini adakalanya diartikulasikan sebagai haradjaon (kerajaan).
Kesultanan-kesultanan
yang muncul kemudian di hilir sungai Baroemoen besar kemungkinan adalah haradjaon-haradjaon
di masa lampau. Namun karena sudah berinteraksi dengan dunia luar, konsep
haradjaon mengalami modifikasi. Dalam era kolonial Belanda, haradjaon-haradjaon
ini dimasukkan dalam kesatuan wilayah ekonomi yang dekat dengan
kesultanan-kesultanan Melayu sehingga dalam perkembangannya haradjaon yang
berubah kesultanan itu seakan ciri-cirinya menjadi kerajaan Melayu.
Perkembangan industri perkebenunan di Sumatra’s Oostkust kesultanan-kesultanan
ini menjadi lebih kaya dari berkah hasil konsesi-konsesi perkebunan yang
memungkinkan kesultanan-kesultanan ini mampu membangun istana-istana yang
megah, termasuk kesultanan eks haradjaon di Kota Pinang, Panai, Bila, dan
Koealoe (dan Merbau).
Di Mandheling en
Ankola sendiri tidak mempergunakan loeat tetapi diperkenalkan istilah baru yang
disebut koeria. Untuk Silindoeng en Toba disebut negeri (sebelumnya
hoendoelan). Sedikit lebih mudah pembentukan pemerintahan lokal di Mandailing
dan Angkola. Bahkan tidak hanya penerapannya pada level koeria, tetapi juga
pada level yang lebih tinggi (federasi koeria) masing-masing di Angkola, Mandailing
dan Sipirok. Federasi dibedakan antara federasi tunggal dan federasi campuran.
Sebagai contoh: federasi Siregar di Sipirok dan federasi Harahap di Angkola
(dan juga ada federasi campuran di Angkola). Federasi ini juga disebut sebagai
loehat (bedakan dengan penerapan terminologi loehat di Padang Lawas).
Loehat
yang pertama dibentuk di Padang Lawas sebanyak lima loehat, yakni: Tanah Rambei en Oeloe Bila, 2. Dollok, 3. Padang Bolak, 4. Baroemoen, 5. Sosa (lihat De
locomotief: Samarangsch handels-en advertentie-blad, 05-07-1880). Dalam perkembangan selanjutnya, di Padang
Lawas tidak mudah menyusun, membentuk dan menyepakati loehat baru karena sudah berbeda
situasinya jika dibanding dulu sebelum bertambahnya huta-huta yang sekarang (lihat Haga, 1930. Mededeelingen Serie B No. 6). Suatu
loehat pada prinsipnya dibentuk dari satu huta induk (pamungka huta) ditambah
beberapa huta kahanggi dan ditambah satu huta atau lebih dari huta marga
tradisi (bayo-bayo atau mora-mora) lalu ditambah satu huta atau lebih huta
pendatang (imigran) muda. Susunan ini bersifat proporsional misalnya pembagian
‘toulan’. Proses ini sedikit terkendala karena banyak huta-huta yang ditinggal
sejak adanya padri. Sebagai contoh Pinarik, dimana penguasa marga hanya satu
huta kecil sebagai loehathoofd sementara semua huta-huta lainnya belum lama ada
migrasi dari Mandailing.
Proses
serupa ini agak longgar di Padang Bolak Djulu, karena banyak huta-huta tidak
terhubung dalam pengertian hubungan kekerabatan (ada sebanyak 43 huta) sehingga
tidak bisa dibentuk loeat (namun masih dimungkinkan dengan pendekatan lain:
lingkungan alam). Jumlah penduduk huta yang relatif kecil juga menjadi masalah,
seperti pembentukan loeat Hadjoran sehingga huta mereka harus diperintah oleh
salah satu dari huta orang asing. Hal ini juga terjadi pada huta Haroeaja (loeat
Hasahatan) dan huta Sipangaboe (loeat Aek Nabara, marga Lubis). Hal yang khusus
adalah loehat Sosa Julu. Dan lain sebagainya seperti penggabungan dua marga
yang berbeda dan penggabungan satu marga yang sama tetapi berbeda asal-usul
setelah 300 tahun berpisah.
Pengaturan
loehat di Padang Lawas merupakan hal sedikit rumit, namun pengaturan ini harus
dilakukan dengan perjanjian baru yang dengan demikian akan mengakhiri
perselisihan. Untuk rapat antar kepala loehat, pemerintah menunjuk Huristak dan
diperlakukan sebagai tempat rapat besar
(groote rapat). Oleh karenanya Huristak berhak mendapat toelan yang lebih besar
(seperti halnya di Mandailing).
Makan radja-radja di Siaboe (1846) |
Bagas godang (istana) Hutaimbaroe di Angkola, 1888 |
Haradjaon
ini cukup banyak di Mandailing, Angkola dan Padang Lawas. Dalam pemerintahan
lokal bentukan pemerintahan kolonial ini umumnya radja panoesoenan juga menjadi
koeriahoofd atau loehathoofd. Federasi huta yang besar dalam pembentukan
pemerintahan lokal ada juga yang dibagi menjadi beberapa koeria, seperti di
Mandailing, Angkola dan Sipirok. Juga terjadi kemungkinan huta bayo-bayo karena
berkembang dalam populasi besar konsep haradjaon muncul yakni radja
panoesoenan, radja pamoesoek dan kepala ripe. Dari pihak bayo-bayo ini juga ada
yang dijadikan sebagai koeria. Sebab konsep koeria pada dasarnya mengacu pada
kepangkatan (bukan haradjaon) dimana setiap koeria atau loehat dibentuk selalu
mempertimbangkan besarnya populasi dan sumberdaya lainnya. Ini semua
dimaksudkan agar pengeluaran dan pendapatan beriringan dalam satu kesatuan pemerintahan
lokal.
Federasi
besar seakan radja panoesoenan terkesan sebagai radja besar seperti halnya dalam
tradisi Islam (khususnya Melayu) yang disebut Sultan. Terbentuknya
kesultanan-kesultanan di Sumatra’s Oostkust seperti di Siak, Bengkalis,
Laboehanbatoe, Asahaan, Batoebara dan Deli sesungguhnya kurang lebih sama
dengan konsep haradjaon di Tanah Batak. Sebagaimana antar haradjaon terjadi
persaingan dan bahkan perselisihan juga terjadi antar kesultanan. Pemerintah colonial
dalam membentuk pemerintahan local juga memiliki prinsip yang sama dengan pembentukan
koeria atau loehat. Hanya saja prinsip pembentukan pemerintahan di kesultanan
tidak mengacu pada marga (karena Melayu memang tidak memiliki konsep marga). Pemerintah
kolonial cenderung memperkuat satu kesultanan di suatu lanskap dibandingkan
dengan pemerataan koeria atau loehat. Akibatnya merger kesultanan dimungkinkan
tetapi juga menghilangkan kesultanan yang lemah juga dimungkinkan.
Istana Kota Pinang, 1934 |
.
Introduksi
terminologi demang
Penerapan koeria dan loehat dalam pemerintahan lokal yang dibentuk berdasarkan marga adalah strategi awal yang digunakan pemerintah colonial. Ini sangat sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi; di satu sisi ingin merangkul penduduk melalui para pemimpinnya (dengan memberi gaji) dan di sisi lain penduduk agar bisa diberdayakan untuk produksi dan mendukung tujuan colonial dalam pendapatan kas pemerintah (pajak dan retribusi) dan manfaat perdagangan ekspor.
Para
demang terbukti sebagai petugas lebih baik daripada semua pemimpin yang bersifat
turun-temurun. Bahkan para demang ini banyak yang muda-muda dan sebagian masih
canggung. Namun hal itu masih bisa dikendalikan dengan cara memindahkan
(mutasi) ke daerah lain yang sesuai. Sebaliknya dengan demang ini para koeria
atau loehat menganggap posisi mereka telah dirampas dan dianggap tidak menghargai
adat yang turun temurun. Ada perlawanan dari pihak koeria atau loehat bahkan
secara frontal terjadi di Jambi. Konsekuensinya para demang tidak bisa bekerja
dan pembangunan tidak berjalan lancar (lihat De Sumatra post, 08-01-1920: De
Bataksche volksbeweging).
Di satu sisi peran
para kepala koeria atau loehat semakin disingkirkan dan muncul kamponghoofd dan
di sisi lain peran demang juga diterima sebagian masyarakat karena lebih
demokratis. Situasi dan kondisi cepat berubah, para koeriahoofd dan loehathoofd
tiba-tiba melihat demang sebagai wajah-wajah baru, mereka sekan dipermalukan padahal
mereka sendiri menganggap dirinya ‘Raja’.
Dari sisi pemerintah colonial dapat menilai para demang, jika tidak cocok dapat
dipindahkan. Warga kebanyakan yang bukan turunan radja malah lebih membela para
demang. Dalam fase transisi ini di Tapanoeli khususnya seakan kepemimpinan
bersifat dua partai. Dua media yang terbit di Padang Sidempuan, Poestaha dan
Sinar Merdeka malahan membela para demang. Para kaum ‘bangsawan’ membela bahwa
koeriaschap dan loehatschap adalah martabat nenek moyang dan menjadi warisan
nasional. Kepala koeria tahu bahwa adat dan dasanya memerintah selalu berdasarkan
adat, sementara kontras dengan demang yang asing baginya adat dan memang tidak
peduli apa yang diatur adat, para demang hanya mengikuti perintah dari Controleur
atau Asisten Residen. De Sumatra post, 08-01-1920 juga bertanya belum tentu
semua koeriahoofd atau loehathoofd buruk tetapi mengapa harus demangstelsel
menghukum semua. Lantas apakah para demang tidak ada yang buruk? Bukankah
koeriahoofd dan loehathoofd adalah volkshoofd yang nyata sementara demang
adalah orang-orang yang dipaksa sebagai ambtenaar. Akan tetapi masyarakat umum
lebih melihat bahwa demangstelsel lebih mencerminkan kebebasan dan menganggap Batakvolks
sudah usang dan kesadaran berdemokrasi lebih penting untuk kemajuan bersama.
Masa
transisi demangstelsel cepat berlalu. Ternyata kemudian dalam tempo yang
singkat pemerintah kolonial justru menemukan banyak sekali kandidat demang di
afdeeling Mandheling en Ankola. Para demang dari dua lanskap ini tidak hanya
mengisi kebutuhan demang di seluruh Tapanoeli tetapi juga di Sumatra’s Oostkust
dan Jambi. Ini ibarat pepatah ‘membuang kambing dapat sapi’ bagi putra-putra
terbaik dari Tapanoeli khususnya dari Mandailing dan Angkola.
Sebaliknya
introduksi Demangstelsel haruslah dipandang sebagai kearifan yang baru. Sebab
kenyataannya sistem pemerintahan local berdasarkan aristocrat radja-radja lebih
banyak pengeluaran dari pada pendapatan, Para radja-radja tampaknya cenderung
lebih mempraktekkan pesta atau hordja adat yang membutuhkan biaya yang sangat besar
dan kerbau-kerbau yang potensial untuk angkutan dan pertanian harus dikorbankan
dalam banyak horja. Para ‘bangsawan’ Tapanoeli sesungguhnya melepaskan
jabatannya adalah berkorban untuk kemajuan bangsanya sendiri. Memang
modernisasi pemerintahan local telah menggilas habis kearifan local tapi itulah
pilihan yang harus dibuat ketika era sudah berubah.
Memulai baru pemerintahan di Padang Lawas
Setelah
pembebasan Padang Lawas (1837/1838) pemerintah sipil sudah langsung mulai
bekerja pada tahun 1840. Pada tahun ini (1840) dibentuk Residentie Tapanoeli
dengan ibukota di Sibolga dan pada saat yang bersamaan Afdeeling Mandheling en
Ankola dipisahkan dari Residentie Airjer Bangies dimana ibukota dipindahkan
dari Kotanopan ke Panyaboengan (Afdeeling Natal baru menyusul kemudian). Lanskap
Padang Lawas saat itu dijadikan satu afdeeling dengan nama Afdeeling Pertibie
dengan ibukota di Pertibie.
Residen
Tapanoeli adalah Happe. Di Tapanoeli ditempatkan satu asisten residen di
afdeeling Mandheling en Ankola, TJ Willer. Asisten residen dibantu dua
controleur, satu ditempatkan di Pijorkoling (Angkola) dan satu lagi di Pakantan
(Mandheling). Di Afdeeling Pertibie diangkat seorang petugas pemerintah.
Petugas tersebut bernama Jung Huhn, yang secara defacto tugas utamanya untuk
pemetaan geologi di Tapanoeli dan kebetulan Jung Huhn tengah bekerja di Padang
Lawas. Oleh karenanya Jung Huhn mendapat tugas rangkap (di satu sisi tugas yang
diberikan Gubernur Jenderal di Batavia untuk pemetaan dan di satu sisi lain
tugas yang diberikan oleh Gubernur Michiel di Padang). Jung Huhn secara defacto
dibantu oleh Asisten Residen afdeeling Mandheling en Ankola, Willer. Ini
berarti Jung Huhn dan Willer adalah dua orang pertama yang melakukan fungsi
pemerintahan di Afdeeling Pertibie. Namun pemerintahan ini hanya berumur
singkat (1841-1843).
Besar dugaan
pemerintahan sipil ini mundur dari lanskap Padang Lawas karena masih ada
beberapa gangguan keamanan di sejumlah titik (memang tokoh Tambusei tidak
pernah disebut lagi, tetapi diduga para pengikut padri/Tambusei belum
sepenuhnya hilang dan kerap melakukan gangguan keamanan terutama terhadap
daerah-daerah yang bersinggungan dengan daerah Rokan di Riaou (Rioau pada saat
itu masih wilayah independent). Untuk menuntaskan keamanaan di Padang Lawas,
status pemerintahan Tapanoeli tahun 1845 diubah menjadi civiel en militaire
dengan mengangkat Alexander van der Hart (pangkatnya dinaikkan dari Luit. Col menjadi
Kolonel) menjadi Resident Tapanoeli. A. van der Hart adalah anak buah
kesayangan Gubernur Michiel ketika melumpuhkan benteng Bonjol. Alexander van
der Hart adalah tentara yang tiada takutnya yang waktu itu masih berpangkat
kapten merupakan satu-satu perwira muda yang berani menyusup langsung memasuki
benteng Bonjol di perbukitan. Ini berarti van der Hart pahlawan Belanda di
Bonjol harus mengambil seragam kembali untuk memasuki benteng Tambusei.
Alexander van der Harta adalah sosok tentara yang aneh dan jarang:
sangat-sangat pemberani, tidak ada takutnya namun berperilaku baik, tidak
pernbah minum, judi dan perempuan tetapi sangat hormat terhadap perempuan dan
penduduk (bertolak belakang terhadap musuh-musuhnya di pertempuran). Alexander
van der Hart adalah tokoh penting di awal pembangunan pertanian di Tapanoeli.
Setelah
tahun 1843 tidak ada fungsi pemerintahan colonial di Afdeeling Pertibie
(kemudian berubah namanya menjadi afdeeling Padang Lawas). Dan sejak ekspedisi
militer yang dipimpin langsung oleh Alexander van der Hart ke Padang Lawas
tidak ada lagi informasi yang bersifat jalannya pemerintahan di Padang Lawas.
Namun masih ditemukan beberapa informasi, informasi terkait pemerintahan baru
muncul menjelang babak kedua pembentukan pemerintahan di afdeeling Padang Lawas.
Pada
tahun 1879 Afdeeling Padang Lawas (berubah dari Afdeeling Pertibie) terdiri
dari lima wilayah: Tana Rambei en Oeloe Bila, Dollok, Padang Bolak, Baroemoen
dan Sosa, Controleur beribukota di Portibie. Langkah pertama yang dilakukan
oleh controleur adalah pembangunan sawas dan merintis jalan ke pantai timur
Sumatra melalui Padang Sidempuan dari pantai barat Sumatra. Hal lain yang
diprioritaskan adalah mengkalibrasi pemerintahan local yang sudah lama
ditinggalkan, Controleur sebagai wakil pemerintah colonial mendapat tugas berat
untuk mengejar ketertinggalan dari afdeeling Padang Lawas dibanding dengan
lanskap-lanskap sekitarnya (Afdeling Mandheling en Ankola di barat dan
afdeeling Laboehan Batoe di timur (lihat De locomotief : Samarangsch handels-
en advertentie-blad, 05-07-1880: correspondentie uit Padang Sidempoean).
Ibukota Padang Lawas pindah dari Portibi ke Gunung Tua |
Masih
pada tahun 1886, Sumatra-courant : nieuws- en advertentieblad, 17-06-1886
melaporkan seorang pejabat Mahkamah Agung dari Batavia melakukan perjalanan ke
Padang Sidempuan dan Padang Lawas untuk tugas penilai dewan. Pejabat ini pulang
ke Batavia melalui timur lalu berlayar ke Singapore dan seterus ke Batavia. Juga
di dalam koran yang terbit di Padang ini melaporkan Rapat dari para pimpinan
(Rapat der hoofden) di Padang Lawas telah melalukan rapat untuk memutuskan
perkara yang dijatuhkan kepada Dja Manoesoen alias Dja Badoar (tetapi tidak
disebutkan dalam kasus apa, pen). Sementara itu, Bataviaasch nieuwsblad, 23-06-1886
melaporkan bahwa CE van Kerckhoff ditunjuk oleh Gubernur sebagai contoleur di
Padang Lawas untuk menggantikan pejabat sebelumnya. Ini berarti Padang Lawas
sejauh ini sejak 1879 sudah tiga controleur yang bertugas. Kemudian pada tahun
1889 dilakukan lagi penggantian controleur yang baru WD Helderman (Java-bode :
nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 28-03-1889). Kerckhoff
sendiri diberikan cuti karena sakit dan kini sedang di Moearasipongi dan akan
diberangkat ke Eropa (Bataviaasch nieuwsblad, 17-04-1889).
.
.
Controleur Padang Lawas menulis di surat kabar |
CE van Kerckhoff,
mantan controleur Padang Lawas cuti karena sakit pulang ke Eropa (dan tidak
kembali lagi) tetapi masih berhasil menemukan tulisannya tentang perbudakan yang
dimuat dalam Indisch Gid yang dikutip Sumatra-courant : nieuws- en
advertentieblad, 16-10-1891. Kerckhoff dalam tulisannya menceritakan seluk
beluk perbudakan di Padang Lawas yang dikaitkan dengan padri dan kepemilikan
budak oleh para radja-radja di Padang Lawas. Selama padre di Minangkabau dan
Tanah Batak banyak yang dijadikan budak karena tidak mau tunduk. Para budak ini
setelah padri banyak dimiliki oleh para radja-radja dan sebagai diperdagangkan
ke Sumatra Timr. Ketika Belanda menebus para budak ini. Radja Djanji Lobi di
Oeloe Baroemoen dalam pembebasan memberikan gratis terhadap budak-budaknya. Dari
total 1630 budak yang dibebaskan di Padang Lawas, sebagian besar pindah ke
Sumatra Timur (lihat Sumatra-courant : nieuws- en advertentieblad, 16-10-1891).
Jumlah budak di Padang Lawas juga sesuai laporan pemerintah bahwa tahun 1892
hanya tinggal 979 budak dari 1221 pada tahun 1820. Jumlah ini berkurang
signifikan karena banyak yang melarikan diri (De locomotief: Samarangsch
handels- en advertentie-blad, 30-11-1892).
Tugas
para controleur di Padang Lawas tentu tidak mudah. Batas-batas geografi yang
sangat luas juga menyulitkan mereka dalam menjalankan tugas. Sejak tahun 1892
controleur Padang Lawas mendapat insentif biaya perjalanan dinas sebesar f 100
per bulan yang sudah tidak sesuai berdasarkan Staatsblad No. 226 tanggal 14
Desember 1872 (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 13-01-1892). Juga terjadi kenaikan remunerasi bagi Inlandschen
Schryver di kantor Controlur di Padang Lawas dari f20 menjadi f30 (Java-bode:
nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 21-01-1893).
Beberapa pegawai pribumi yang diangkat diantaranya adalah Si Sati (Willem Iskander) ketika ibukota afdeeling Mandheling en Ankola masih di Pajaboengan (1854), kemudian Si Ephraim (Soetan Goenoeng Toea) di Padang Sidempoean (kakek dari Amir Sjarifoedin dan Soetan Goenoeng Moelia). Siapa nama petugas pribumi di Padang Lawas ini tidak diketahui. Inlandschen Schryver adalah jabatan pribum tertinggi waktu itu di kantor pemerintah.
Controleur
RC van den Bor yang ditempatkan di Padang Lawas sejak 1891 terbilang cukup lama
berada di Padang Lawas (dibanding dengan rekan-rekannya sebelumnya). Pada awal
tahun 1896 van den Bor diberi cuti oleh pemerintah selama dua bulan ke Patjet
di Preanger (Bataviaasch nieuwsblad, 24-01-1896). Rupanya cuti ini dapat
dianggap reses untuk mengakhir tugas van der Bor yang telah lima tahun bertugas
di Padang Lawas. Penggantinya adalah Controleur Klein Mnadheling, Oeloe en
Pakanten RH van Lannoij. Nama controleur baru ini semarga dengan controleur
pertama Padang Lawas, VL de Lannoij (1879-1883).
De locomotief :
Samarangsch handels- en advertentie-blad, 08-10-1897: ‘pekerjaan perbaikan dua
bagian di jalan Padang Sidempoean ke Si Boehoewan, afd. Padang Lawas, Res.
Tapanoeli, Gov. Sumatra’s Westkust meliputi biaya diperkirakan f1058 untuk membangun
jembatan batu lengkung di atas jurang’. Siapa buruh yang dipekerjakan untuk
pembangunan ini diduga pemerintah colonial mempekerjakan paksa narapidana.
Asisten Residen mengatakan narapidana yang banyak ditahan di Sibolga umumnya
dari Jawa dan sebagian telah dipekerjakan dibeberapa tempat seperti Silindoeng,
Mandailing, Sipirok dan Padang Lawas (Sumatra-courant: nieuws- en
advertentieblad, 13-04-1898).
RC
van den Bor menggantikan kembali Lannoij sebagai controleur Padang Lawas. Pada awal
tahun 1900 RC van den Bor kembali mendapat cuti dua bulan. Dalam tahun ini terjadi
mutasi di Padang Lawas sebagaimana dilaporkan Sumatra-courant: nieuws- en
advertentieblad edisi 06-02-1900. Diangkat sebagai inlandschen schrijver (penulis
pribumi) di Kantor Pengawas Keuangan Padang Lawas, Si Rochoem gelar Dja Hamsah,
sekarang sebagai pengawas penjara di Siboga. Diangkat mantri kelas 3 ditempatkan
di Sajocrmatinggi (Padang I.awas), Si Bangoen gelar Soetan Brahim, sekarang sebagai penulis peribumi
di Kantor Pengawas Keuangan Padang Lawas. Ditransfer dari Sajoermatinggie, afd.
Padang Lawas untuk Si Galangan onderafd. Angkola, mantrie kelas 3, Si Moetiha gelar
Dja Dibata. Juga terjadi mutasi vaccinaters yang mana ditransfer dari Siboga ke
Goenoeng Toea, afd. Padang Lawas, Si Soeal gelar Sutan Koemala dan sebaliknya,
Si Tmbang gelar Sutan Saidi (tukar tempat). J. Stin, pengawas jalan Siboehoean,
afd. Padang Lawas ditugaskan untuk pengawasan
antara 8 Juni - 7 Agustus 1900 yang bersama-sama dengan fungsi-fungsinya
berkaitan dengan controleur (Algemeen Handelsblad, 13-06-1902).
RC van den Bor adalah controleur terlama di Padang Lawas. Biasanya seorang pejabat kolonial Belanda cukup lama di suatu lanskap karena tingkat penerimaan masyarakat cukup baik dan juga karena alasan prestasinya masih sangat dibutuhkan oleh pemerintah untuk memimpin daerah itu. Hal ini juga pernah dialami oleh AP Godon sebagai Asisten Residen Mandheling en Ankola di Panjaboengan selama delapan tahun (1849-1857). Demikian juga yang pernah dialami oleh controleur WA Hennij di Angkola (1860an). Mr. Hennij yang seorang sarjana ini uniknya mulai sebagai pangkat controleur terendah (kelas-3). Prestasi terbaiknya adalah berhasil mengubah Ankola menjadi sentra utama kopi di Angkola. Atas prestasi ini Hennij dipromosikan menjadi Asisten Residen Mandheling en Ankola. Karirnya terus naik, dari Padang Sidempuan diangkat menjadi sekretaris gubernur di Padang.
Pada
tahun 1903 Controller Afd. Sipirok, LR
Wentholt dibebankan dengan administrasi untuk afd. Padang Lawas bersama-sama
dengan fungsi sendiri (Bataviaasch nieuwsblad,
01-04-1903). Kekosongan ini karena controleur baru, Hoedt mendapat ketidaksetujuan
oleh penduduk dan segera ditempatkan di tempat lain (Bataviaasch nieuwsblad, 28-04-1903).
Kejadian ini bukan yang pertama, penolakan penduduk juga pernah terjadi
sebelumnya di Angkola. Kekosongan
jabatan ini lalu di isi oleh Ypes. Pada tahun 1904 controleur Ypes dipindahkan
ke Singkel dan penggantinya adalah seorang aspiran controleur di Loeboek
Sikaping, Stap (Soerabaijasch handelsblad, 19-07-1904).
Padang Lawas
menjadi bagian dari Afdeeling Padang Sidempuan
Pada
tahun 1905 Residentie Tapanoeli dipisahkan dengan Province Sumatra’s Westkust.
Pemisahan ini dimaksudkan untuk lebih memungkinkan pembangunan berjalan lebih
efektif dan pengaturannya langsung dari Batavia. Dengan demikian, status
residentie Tapanoeli ditingkatkan menjadi setingkat province. Dalam hubungan
penataan administrasi juga dengan sendirinya terjadi. Oleh karena keamanan
sudah mulai kondusif (meski masih ada perlawanan Sisingamagaradja dan Singamangaraja
XII sendiri gugur pada 17 Juni 1907 dan system transportasi sudah lebih memadai
maka residentie Tapanoeli diringkas menjadi empat afdeeling: Padang Sidempuan, Sibolga en
Batangtoru, Bataklanden dan Nias eiland.
Lanskap Padang Lawas |
Afdeeling
Padang Sidempuan dalam perkembangannya juga mengalami perubahan (pemisahan dan pengintegrasian) yang kemudian dibagi
menjadi empat onderafdeeling, yakni: Angkola en Sipirok, Padang Lawas
dan Mandailing en Natal. Asisten Residen
berkedudukan di Padang Sidempuan, tiga controleur masing-masing berkedudukan di
Goenoengtoea, Panyabungan dan Padang Sidempuan.
Dalam penataan baru ini lanskap Batangtoru masih menjadi bagian dari afdeeling Sibolga. Ketika awal pembentukan pemerintahan di Angkola (1840an) Angkola bahkan sampai batas sungai Lumut. Ibukota Angkola yang awalnya di Pijorkoling lalu pindah ke Padang Sidempuan. Kemudian ibukota Angkola sempat beberapa tahun berada di Lumut (waktu itu masih pelabuhan kopi sebelum pindah pelabuhan kopi ke Djaga-Djaga). Dalam perkembangan selanjutnya luas Angkola dikurangi dan Batangtoru menjadi bagian dari afd. Sibolga. Kelak, Batangtoru kembali menjadi bagian dari Angkola.Demikian juga, pada awal pembentukan pemerintahan di Padang Lawas (1840an), Bila dan Kota Pinang masuk dalam afd. Padang Lawas, tetapi dalam perkembangannya Bila dan Kota Pinang serta Tambusei dikeluarkan dari Afd. Padang Lawas.
Binanga: pertemuan suangai Pane dan sungai Baroemoen |
Het nieuws van
den dag voor Nederlandsch-Indie, 12-11-1908: ‘Beberapa sengketa perbatasan
muncul antara penduduk Padang Lawas dengan penduduk Kota Pinang (Laboean Batoe).
Hal ini harus ditangani oleh Civiel Gezaghebber van Padang Lawas agar tidak
muncul bentrokan lebih lanjut. Hal yang sama juga terjadi di lanskap Sosa Djae
(Padang Lawas) terutama sengketa perbatasan dengan Daloe-Daloe van Rokan’.
Berita lainnya terdapat di Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 13-11-1908
terjadi kasus demam dan perut di distrik Oloe Baroemoen, onderafdeeling Padang Lawas,
Afdeeling Padang Sidempoean. Koran ini juga melaporkan adanya hama babi di
distrik Hasahatan, onderafd. Padang Lawas, afd. Padang Sidempuan’.
Situasi
politik di Residentie Tapanoeli khususnya di Afdeeling Padang Sidempuan
terbilang kondusif. Namun masih ditemukan masalah di onderfad. Padang Lawas
dimana penduduk menentan pajak baru yang diterapkan oleh pemerintah. Hal ini
juga ditemukan di beberapa distrik di Afdeeling Sibolga en Batangtoru (Algemeen
Handelsblad, 15-03-1909). Petugas kesehatan di Padang Sidempoean berangkat ke
Padang Lawas dan telah mencatat penyakit menular, yang membuat banyak korban di
kalangan anak-anak (Bataviaasch nieuwsblad, 25-07-1913).
Controleur
Padang Lawas C Poortman dipindahkan ke daerah lain. Untuk mengisi kekosongan
itu diangkat adspirant controleur W. Middendorp dan akan bertanggung jawab atas
administrasi di onderafd. Padang Lawas (Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 24-04-1911). Kemudian Controleur AM Ballot dibebankan untuk
tugas administrasi di Padang Lawas (De Sumatra post, 01-05-1912). Selanjutnya
pada tahun 1914 civiel gezaghebber APH van der Beek akan bertanggung jawab
untuk administrasi di onderafd. Padang Lawas (Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 21-01-1914).
Sisi
lain perkembangan pemerintahan di Padang Lawas yang kini telah menjadi bagian
dari afdeeling Padang Sidempuan, tampaknya masih ada suatu lanskap yang tersisa
dan independent yang berada di muara sungai sungai Bila (tetangga lanskap
Padang Lawas).
Lanskap ini
menjadi bersifat marginal yang mana sudah tertutup ke utara (Asahan) ke timur
(Laboehan Batoe) sebagai sultanslandschap, ke barat (Bataklanden) negerischap dan
ke selatan (afd. Padang Sidempuan) sebagai loehatschap. Dua federasi kerajaan
ini adalah Kerajaan X dan Kerajaan IX yang keduanya berada di lanskap Bila
(lihat De Sumatra post, 12-05-1915). Wakil dari kedua federasi kerajaan yang
jumlahnya kerajaan berkeinginan menempatkan diri di bawah pemerintah. Persoalan
muncul ketika dilakukan pembentukan pemerintahan dari dua federasi ini dimana
pemerintah menganggap radja tidak berbeda dengan kepala kampong (kamponghoofd).
Proses yang agak sedikit rumit di lanskap ini sudah pernah terjadi di beberapa
loehat di Padang Lawas. Dalam kasus ini, pemerintah melalui Gubernur Sumatra’s
Oostkust, AJ Pels Rijeken diharapkan akan melakukan penilaian hubungan antara
penduduk dengan para pemimpimpinya dan mengajukan proposal. Gubernur telah
bertemu dengan semua Batakhoofden dari dua federasi tersebut. Lanskap ini telah
memiliki sawah-sawah yang baik yang sebagian diusahakan oleh orang-orang yang
migrasi dari tetangga mereka di Padang Lawas (lihat kembali De Sumatra post, 12-05-1915:
Onderwerping van Batakkers)
Jika
diperhatikan kembali ke awal (1840an) lanskap Bila, seperti dilaporkan oleh
Willer bahwa penduduk yang mendiami umumnya adalah orang-orang emigrasi Mangedar
Alam dari Minangkabaoe (eksodus pada fase padri?). Lanskap ini menurut laporan
Anderson (1823) terdiri dari orang-orang Batak. Lalu dalam perkembangannya
lanskap ini boleh jadi penghuni awal kembali lagi dan kemudian munculnya dua
federasi tersebut yang secara fedactoe merupakan lanskap yang terdiri dari
kerajaan-kerajaan Batak. Lantas, di satu sisi apa alasan dua federasi ini tidak
dimasukkan ke afdeeling Padang Lawas tidak diketahui sementara di sisi lain mengapa dua federasi ini telat bergabung
dengan Sumatra’s Oostkust juga tidak diketahui (sebagaimana nantinya lanskap
dua federasi ini menjadi bagian dari afdeeling Laboehan Batoe).
Algemeen
Handelsblad, 02-11-1918: ‘Dalam rangka untuk melindungi peninggalam peradaban Hindu di onderafd. Padang
Lawas agar jangan muncul vandalisme dan pencurian lebih lanjut asisten residen
dari Padang Sidempoean, diperintahkan, jika mungkin, menyusun program yang
dipusatkan di Goenoeng Toea (kantor administrasi) untuk melakukan registrasi agar
lebih terencana dengan baik’. Berita
lainnya dalam De Sumatra post, 17-07-1920 harga beras turun di onderdislrict
Dolok, onderafd. Padang Lawas. Sawah di loehat-loehat Sipiongot, Tapoeas dan
Tolang cukup menggembirakan’.
Pada
tahun 1919 controleur Fanoy akan mengakhiri tugasnya di Padang Lawas dan akan
menjadi aspirant-controleur di Baligé (De Sumatra post, 08-11-1919).
De Sumatra post,
23-07-1923: ‘…ditemukan di dinding di sana-sini angka dan garis dalam warna
merah terpasang, tetapi mereka tidak membuat kesan menulis, bukan orang modern,
yang sulit dijangkau dan tempat tinggal hampir tidak bisa dilacak di sini …terletak
di selatan seperti halnya dengan Biara di Padang Lawas dan baru ditemukan controleur
de Velde kehancuran candi di Sintang di sungai Rokan. Rumah diukir ke dalam
massa batuan sangat curam di tepi kiri sungai, saya 15 kaki di atas permukaan
air ini, benar-benar tak terlihat dari sisi lain (kebun karet) oleh pohon-pohon
lebat dan semak-semak. Temuan ini tidak bisa tidak memperkuat keyakinan bahwa
kita memang lakukan di sini dengan tempat tinggal tebing umat manusia pada masa
berabad-abad lampau dan diharapkan penemuan lebih lanjut membawa titik terang dalam
investigasi…’.
Setelah
akses menuju Padang Lawas dari Padang Sidempuan dan Sipirok terbuka sejak awal
pemerintahan (1879) pada tahap berikutnya adalah membuka akses dari Padang
Lawas ke daerah-daerah lain di sebelah utara (Kota Pinang) dan timur (Pasir
Pangaraijan). Pada tahun 1925 diperoleh kabar bahwa telah mulai terhubung
antara Padang Lawas dengan lanskap Rokan (Riaou). Memang sejak dari doeloe
sudah ada rute Fort de Kock, Rao ke Pasir Pangaraiyan dan rute dari
Pijorkoling, Batang Onang ke Sosa hingga Pasir Pangaraiyan. Dua rute ini pada
awalnya berpusat di Daloe-Daloe di hulu dan Pasir Pangaraiyan di hilir (tempat
para pedagang-pedagang bertransaksi yang datang dari Malaka atau Singapoera.
Lokasi ini juga diduga menjadi check point lalu lintas di era peradaban Hindu
antara tempat-tempat candi Padang Lawas dengan tempat dimana candi Muara Takus
berada.
Namun
sekarang akses menuju Pasir Pangaraiyan di Rokan dari Padang Lawas sudah lebih
popular dari akses dari Rao. Pembangunan jalan dari Padang Sidempoean ke Pasir
Pengarajan (tempat dimana controleur Rokan, afd, Bengkalis berada) sudah
beberapa decade sebelum ini telah dirintis melalui Sosopan dan Siboehoean. Akses
baru ini juga memunginkan terhubungnya Goenoeng Toea (Padang Lawas), Namun,
bagian terakhir dari masing-masing arah hal yang luar biasa adalah bahwa
seluruh jalan dibangun oleh penduduk sendiri dan dengan biaya sendiri Pasir
Pangaraijan (Rokan) dengan Kota Pinang (Laboehan Batoe). Kini rute ini sudah
sibuk. Memang moda trasportasi mobil belum memungkinkan tetapi paling tidak
dengan gerobak sapi atau pedati (kerbau). Sebagaimana dilaporkan De Sumatra
post, 14-10-1925, pedati pertama sudah tiba di Pasir Pangarajan, jumlah
tersebut telah berkembang menjadi sekitar 30 per minggu.
De Sumatra post,
19-02-1924: ‘..Pasir Pangaraiyan berada di tepi sungai Rokankanan yang menjadi
ibukota Rokanlanden tempat dimana controleur berada. Hanya melalui akses sungai
dari ibukota Residentie di Bengkalis. Pasir Pangarajan adalah sebuah kota kecil
dengan 500 penduduk dan terletak di sungai Rokankanan. Ini adalah ibukota dari
lanskap Rambah. Rokanlanden, salah satu dari lima onderafd. Dari afd. Bengkalis,
dibatasi di utara oleh Tapanoeli (Padang Lawas), di barat dan selatan Loeboek
Sikaping dan di Timur oleh Afd. Siak. Onder afd. Ini luas sekitar 6-7000
kilometer persedi dengan populasi 20.000 jiwa dan dibentuk oleh lima
pemerintahan sendiri: lanskap Rambah, Kepanoehan, Tamboesai, Kanto Dar es
Salaam dan Kota Rokan IV. Lanskap Rambah lokasi pusat dan ada populasi sekitar 8.500
jiwa...’
Mobil menyeberangi sungai Batang Pane, 1935 |
De Sumatra post, 01-08-1924 (Kots Pinang uit de isolatie): ‘Pada 22 Juli di Laboehan Bilik di kantor Controller Laboehan Batoe diadakan pertemuan pengurus perusahaan yang tertarik dalam pembangunan jalan baru (landschapsweg) ke Kota Pinang. Asisten Residen Asahan, Mr. Hammer Star yang memimpin pertemuan itu dibantu oleh Controller Laboean Batu, Mr. Deijs. Hasil pertemuan ini bahwa semua perusahaan telah berjanji mendukung untuk mengeluarkan dana pembangunan jalan baru yang akan dibangun sekitar 25 Km. Semua kegiatan itu sudah benar-benar selesai dalam empat bulan agar bisa dilalui untuk mobil Ford, sehingga ke Kota Pinang dari Kota Tanjungbalai dapat dicapai dalam beberapa jam. Kota Pinang akan dengan sendirinya keluar dari isolasi. Jalan ini pada tahap berikutnya akan diaspal sehubungan dengan daerah itu cukup tersedia pasir dan kerikil. Bersamaan dengan pembangunan jalan tersebut perusahaan diminta dukungannya untuk membantu pengerjaan pembuatan jaringan telepon. Pemerintah akan membangun benar-benar baru kota Kota Pinang di tepi sungai Baroemoen dan menyediakan berbagai fasilitas sehingga sesuai dengan pembentukan klub dengan ketersediaan fasiltas olahraga. Pemerintah juga sudah menyediakan lahan untuk pembangunan rumah sakit yang diperlukan’.
Jalan di Padang Lawas, 1935 |
Penduduk Padang Lawas telah meningkat dalam tiga tahun
terakhir dari 60.000 sampai 80.000 orang (De Sumatra post, 24-08-1935). Gezaghebber
Padang Lawas, Mr. Drenth menginforpmasikan bahwa sudah waktunya Padang Lawas
memiliki dokter sendiri, juga sudah waktunya memiliki dokter hewan mengingat
populasi ternak yang banyak. Padang Lawas sudah tidak terisolasi lagi. Saat ini
hasil-hasil bumi seperti karet sudah diangkut ke pantai timur. Dalam hubungan perdagangan tersebut KPM telah merintis pengadaan kapal kargo yang bisa memasuki pedalaman sungai Bila dan Bareomoen (sejauh ini masih terbatas di Laboehan Bilik, ibukota afd. Laboehan Batoe). Juga BPM sudah
melakukan eksplorasi tambang minyak di Aek Nabara dan Sibuhoean. Hal karena
menurut penduduk terindikasi air sungai berbau minyak. Sementara itu
perkembangan politik praktis juga pesat akhir-akhir ini di Padang Lawas
terutama di Goenoeng Toea Batang Onang dan Siboehoean yang cenderung menentang
otoritas pemerintah (De Sumatra post, 09-09-1935).
Bersambung:
Bag-4. Sejarah PADANG LAWAS: Perkembangan Sosial, Ekonomi dan Politik di Padang
Lawas
*Dikompilasi
oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe.
3 komentar:
Penulisan sejarah Padang Lawas terutama pd.zaman Hindia Belanda sangat bermanfaat.Namun dlm kesempatan ini saya mohon bantuan bung penulis ( pak Harahap ) yi.tt.info atau foto Oppung kami bernama Si Pangaloan glr.Dja Borajun (Rambe) yg bertugas sbg. Polisi Bersenjata ( thn 1879-1914 )dgn pangkat akir yi. Sergeant Politie (Gewapende Politie ) di onder/Afdeeling Padang Lawas , Gunung Tua.sbg data penunjang bersama ini turut saya lampirkan al.besluit dari Residen Tapanoeli ( Sibolga) TT pengangkatan SBG Pegawai / Polisi PD Pemerintah Hindia Belanda.
Dapatkah saya memperoleh info / foto Oppung / kaKek! Bernama Si Pangaloan glr Dja Borajun ( Rambe)yg menjabat sbg.pegawai polisi Bersenjata (Gewapende Politie , pangkat terakhir Sergeant Politie) yg bertugas pd. pemerintah Hindia Belanda / di controleur afd.Padang Lawas, Goenoeng Toea ; 1879-1914. Trims Ats bantuannya.
Saya sudah coba telusuri berbagai sumber tidak ketemu. Saya baru menemukan satu berita pada tahun 1914 yang mana, nama Si Pangaloan gelar Dja Boerajoen, atas permintaan sendiri dan dengan hormat pensiun sebagai Sersan di Kepolisian di Divisi Tapanoeli (sergeant bij het korps gewapende politie der divirie Tapanoeli). Berita ini dapat dilihat pada Bataviaasche nieuwsblad, 29-05-1914). Jika Pak Rambe membutuhkan potongan berita itu, meski hanya satu kalimat namun boleh jadi berarti, silahkan dikirim alamat email biar saya kirim melalui email. Alamat email saya ada di laman di atas. Jika ketemu akan saya kabari. Horas be. Akhir MH
Posting Komentar