*Suatu sketsa Kota Padang Sidempuan
Ini adalah suatu sketsa (analisis sederhana)
berdasarkan fakta-fakta sejarah yang ada.Mungkin para generasi yang lebih muda
tidak menyadari bahkan mungkin tidak mengetahui, bahwa Kota Padang Sidempuan
masa kini, ternyata di jaman doeloe memiliki dinamikanya sendiri.Bagaimana Kota
Padang Sidempuan tumbuh di masa doeloe? Mari kita lacak!
***
Kota Padang Sidempuan pada awal tahun 1870-an
perkembangannya sangat luar biasa. Kota ini
telah menjadi ibukota Afdeeling Mandheling en Ankola, jembatan besar
menuju kota (jembatan Siborang, jembatan Sihitang dan jembatan Sigiring-giring)
sudah selesai dan jalan-jalan di dalam kota sudah terhubung, jalan poros
Padang, Bukit Tinggi, Panyabungan, Padang Sidempuan menuju Sibolga dan menuju
Sipirok sudah dapat dilalui padati. Laju pertumbuhan penduduk (urbanisasi) juga
makin kencang, pemukiman penduduk makin meluas, pasar-pasar semakin ramai
(terutama Pasar Siteleng).Tata ruang wilayah kota kira-kira serupa ini:
- Pusat pemerintahan antara jembatan Siborang dengan Jalan Sitombol yang sekarang dan antara jalan Sudirman dan Jalan Thamrin yang sekarang.
- Pusat perdagangan (bisnis) di sekitar jembatan Siborang (Pasar Siborang) dan di Pasar Siteleng dekat masjid raya lama yang sekarang dan kemudian berkembang ke arah utara masjid di pangkal jalan Merdeka sekarang yang kala itu disebut Pasar Moedik.
- Pusat postel dan keuangan ujung jalan Sitombol.
- Pemukiman penduduk di sekitar Pasar Siborang dan sekitar Pasar Siteleng (Pasar Moedik dan Kampung Bukit).
- Selebihnya adalah pedesaan yang masih hijau, jauh di sana di sebelah utara ada kampung-kampung terpencil, seperti Batang Ajoemi, Tanobato, Boeloe Gonting dan Sitataring; sebelah barat seperti Sigiring-giring, Sihadabuan dan Panyanggar; di sebelah timur; seperti Batoe nadoewa dan Oejoeng Goerap; sebelah selatan seperti Sidangkal dan Batang Toehoel
Pusat kota dan wilayah pedesaan tersebut,
menurut peta resmi Kota Padang Sidempuan 1880 merupakan wilayah administrasi Kota Padang Sidempuan.
Persoalan baru muncul. lanskap Padang Sidempuan (termasuk Oeta Rimbaroe dan
Saboengan) yang awalnya adalah lumbung beras utama di Ankola, kewalahan
memenuhi kebutuhan pangan penduduk di pusat kota Padang Sidempuan yang
jumlahnya meningkat dari tahun ke tahun. Terjadi excess demand. Akibatnya
harga-harga kebutuhan pokok, utamanya beras mulai pada tahun 1873 terjadi
ekskalasi kenaikan harga.
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 06-02-1873:..di pemerintahan Padang Sidempoean harga
makanan meningkat. Mereka mengeluh tentang kenaikan harga kebutuhan hampir
setiap hari. Beras telah mencapai harga Æ’ 11/12 per picol’
***
Di Batavia, kemajuan yang terjadi di Padang
Sidempuan terus di pantau. Sudah waktunya, Kota Padang Sidempuan ditingkatkan
dari ibukota asisten residen Mandheling en Ankola menjadi ibukota residen
Tapanoeli. Pada tanggal 13 Maret 1873 terbit Keputusan Gubernur Jenderal yang
mengindikasikan bahwa ibukota Residen Tapanoeli akan dipindahkan ke Padang
Sidempoean.
Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 02-04-1873:
‘Dengan keputusan 13 Maret, Lembaran Negara No 51, jabatan Asisten Residen dari
Mandheling dan Ankola akan dicabut pada afdeelingen ini dan didedikasikan untuk
jabatan Residen Tapanoeli, sementara di Afdeeling Siboga akan di bawah pengelolaan dengan
jabatan Asisten Residen. (dalam Koran ini) sebanyak 10 unit sekolah pribumi (Inlandsche School) di
Tapanoeli akan dibentuk’.
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 23-04-1873: ‘untuk jabatan Asisten Residen di Siboga adalah
Asisten Residen dari Mandheling en Ankola, J.C. Boyle. Untuk kommisioner di
kantor asisten residen Siboga adalah kommisioner dari kantor asisten residen
Mandheling en Ankola, H.O. Schultze’.
Pada tahun 1873 ini juga dari Departement
Onderwijs di Batavia bahwa akan disetting sejumlah sekolah rakyat menjadi
sekolah dasar pemerintah (Inlandsche School) sebanyak 10 unit sekolah di
Tapanoeli. Menariknya, dari 10 Sekolah Dasar Pemerintah yang telah dibangun di
Residentie Tapanoeli delapan diantaranya berada di Afdeeling Mandheling en
Ankola. Salah satu sekolah dasar pemerintah itu berada di Padang Sidempuan.
Sekolah dasar pemerintah di Padang Sidempuan ini merupakan sekolah yang
dibangun benar-benar baru. Sedangkan Sekolah Dasar Pemerintah seperti di
Batunadua, Hutarimbaru dan Pitjar Koling merupakan akuisisi dari sekolah rakyat
yang dikelola masyarakat yang guru-gurunya merupakan alumni Kweekschool
Tanobato. Guru-guru yang sudah ada inilah yang diangkat pemerintah sebagai guru
di sekolah dasar pemerintah tersebut.
***
Kini, anak-anak usia sekolah sudah bisa
bersekolah karena sudah ada sekolah dasar milik pemerintah di utara Kampung
Bukit yang letaknya dekat persawahan. Lokasi yang dipilih untuk sekolah dasar
ini di Padang Sidempuan adalah di pinggir kota (kala itu) yang kini menjadi
Jalan Sutomo (SD N 2 yang sekarang). 'Sikola Topi Saba' ini menjadi tempat
tujuan baru untuk bersekolah anak-anak dari pemukiman di pusat kota dan
anak-anak yang berasal dari kawasan 'parsabaan' seperti Batang Ajoemi, Tanobato,
Sigiring-giring, Sihadabuan, Panyanggar dan juga dari Sidangkal.
Sekolah ini cepat berkembang. Guru-gurunya
sangat pintar-pintar dan sedikit banyak menguasai bahasa Belanda dan berdedikasi
tinggi. Mereka ini pernah diasuh langsung 'maha guru' Willem Iskander--guru tamatan
Negeri Belanda yang asli Mandailing. Murid-murid selain diajarkan membaca,
menulis dan berhitung, juga para guru-gurunya sangat menganjurkan membaca buku
Siboeloes-boeloes, Siroemboek-roemboek karya Willem Iskander yang sudah
diterbitkan oleh percetakan di Batavia 1872.
***
Pengembangan pendidikan di Padang Sidempuan tidak hanya mendidik
anak-anak usia sekolah, tetapi juga segera tersedianya fasilitas pendidikan untuk
mendidik calon guru (kweekschool). Sekolah guru ini yang akan dibangun merupakan pengganti kweekschool Tanobato yang berkapasitas lebih besar. Untuk direktur sekolah tersebut harus memiliki ijazah kepala sekolah. Calon yang diproyeksikan adalah Willem Iskander. Namun Willem Iskander belum memiliknya, karenanya pemerintah memberikan beasiswa untuk mengikuti pendidikan ke Negeri Belanda.
Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 09-12-1874: ‘..bahwa sekolah Guru Pribumi (Inlandsche
Onderwijzers) di Tanah-Batoe akan
dipindahkan ke Padang Sidempoean, dan sekolah yang akan diatur untuk dua puluh lima murid yang berasal dari
Residentie Tapanoeli.
Algemeen Handelsblad, 21-09-1875 menyatakan bahwa
kweekschool yang ada nantinya akan mengidikasikan sekolah guru hanya terdapat
di delapan kota, yakni: Magelang, Bandoeng, Proboliggo (java); Amboina.
Tondano, Bandjermasin, Fort de Kock (Bukittinggi); dan Padang Sidempoean.
Sumatra-courant: nieuws-en advertentieblad, 13-11-1875
memberitakan bahwa Kweekschool Tano Bato telah ditutup sementara tahun lalu
(1974), karena Willem Iskander (Satie Nasoetion) masih bersama dua rekannya
melakukan studi di Negeri Belanda. Diharapkan nantinya Willem Iskander akan
menjadi kepala sekolah di Kweekschool Padang Sidempoean.
Ketika Willem Iskander berangkat ke Negeri Belanda, Kweekschool Tanobato ditutup. Namun harapan ini tidak tercapai, karena Willem
Iskander telah meninggal di Negeri Belanda, 8 Mei 1876. Kabar meninggalnya
pelopor pendidikan di Tapanuli Selatan ini
diberitakan koran De Locomotief: Samarangsch handels-en advertentie-blad
yang terbit pada tanggal 31 Juli 1876.
***
Sejak tahun 1875, positioning Kota Padang
Sidempuan semakin menguat di Tapanoeli. Kota Padang Sidempuan tidak hanya
strategis dalam hankam dan ekuin, tetapi juga secara sosbud. Secaa hankam
karena Kota Padang Sidempuan berada di garis depan poros hankam Fort de Kock,
Rao, Kota Nopan dan Padang Sidempuan. Di Padang Sidempuan sendiri markas
militer (garnisun) semakin komplit dengan satuan dan peralatan tempur yang
baik. Kekuatan ini menjadi psywar terhadap sisa-sisa pengikut Tuanku Tambusasi
di Padang Lawas dan juga pasukan paling aktif untuk meladeni perlawanan
pengikut Sisingamangaradja dan upaya melumpuhkan pengaruh Sisingamangaradja di
Silindoeng dan Toba.
Secara ekuin, kopi dan beras di Afdeeling
Mandheling en Ankola adalah penyumbang terbesar penerimaan Belanda di Tapanoeli
dan juga menjadi sumber pendanaan dalam perang di Tapanoeli (khususnya
Bataklanden). Perputaran uang di Padang Sidempuan makin kencang akibat langsung
pengeluaran pemerintah (G) dan konsumsi penduduk seiring dengan daya beli yang
meningkat (C). Secara sosbud, Kweekschool Tanobato di Mandailing menjadi yang
terbaik di Sumatra's Westkust. Lulusannya telah menyebar hingga jauh ke Siboga,
Baros, dan Singkel. Selain itu, anak-anak usia sekolah di Afdeeling Mandheling
en Ankola memiliki angka partisipasi sekolah yang terbilng tinggi. Hal ini
karena dari delapan dari 10 sekolah dasar pemerintah berada di Afdeeling
Mandheling en Ankola.
Akibat-akibat yang muncul dari situasi dan
kondisi tersebut, pertama pada tahun 1875 lanskap Ankola en Sipirok direncanakan
akan dimekarkan.
Sumatra-courant: nieuws-en advertentieblad, 24-02-1875:
‘berdasarkan Surat Keputusan tanggal 11-02-1875 No.2 (Staatsblad No. 2)
ditemukan bahwa koeria Sipirok, Goenoeng Bringin dan Praoe Sorat di
Onderafdeeling Angkola en Sipirok (Afdeeling Mandheling en Angkola, Residentie
Tapanoeli) untuk memisahkan mereka, dan menyatukannya menjadi satu
onderafdeeling yang akan dikepalai oleh seorang Controller (pangkat kelas 2)
dan berkedudukan di Sipirok sebagai lokasi yang ditunjuk. (Koran ini juga
menyebut bahwa Controleur) ‘dibantu satu orang pribumi sebagai juru tulis
dengan gaji f 20 per bulan, dan dua orang sebagai pengawal yang masing-masing
mendapat gaji f 10 per bulan’.
Java-bode: nieuws, handels-en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 01-05-1875: ‘Pengawas sekolah yang dirangkap oleh A.
Laarhuis untuk Sipirok dan Boengabandar diangkat sebagai anggota komisi sekolah
untuk Keresidenan Tapanoeli’. (Koran ini juga menyebutkan bahwa) ‘diangkat E.
Winckel, pejabat kelas-2 pada layanan sipil di kantor Controller Onderafdeeling
Angkola en Sipirok akan bertugas untuk dua wilayah (Sipirok dan Bunga Bondar)’.
Kedua, adalah realisasi rencana
pemindahan ibukota Residen Tapanoeli ke Padang Sidempuan akan semakin terwujud.
Sumatra-courant: nieuws-en advertentieblad, 19-01-1876:
‘dilakukan konprensi pers secara terbatas oleh Gubernur pada tanggal 31
Desember 1875, sebagai tindak lanjut implementasi dari keputusan tanggal 13
Maret 1873 (Staatsblad No 51) yang berbunyi sebagai berikut: (a) kekuasaan atas
Afdeeling Mandheling en Angkola untuk posisi asisten residen ditiadakan dan
dimasukkan sebagai tugas Resident Tapanoelie yang dilaksanakan jika sudah
terlaksana penambahan satu Controleur (sederhana) khusus untuk Onderafdeeling
Angkola en Sipirok, (b) untuk menarik jabatan Asisten Residen di Afdeeling
Mandheling en Angkola’. [catatan: pembentukan controleur di Sipirok,
Onderafdeeling Ankola en Sipirok tampaknya sudah terlaksana sebagaimana
berita-berita sebelumnya].
Selain itu adalah realisasi pembebasan perbudakan dipercepat. Pembebasan perbudakan di Tapanoeli khususnya di Mandheling en Ankola sesungguhnya tertunda dibanding wilayah lain di Nederlansche Indie karena alasan tertentu. Pemerintah melihat pemilik sawah adalah pemilik budak yang signifikan jumlahnya. Jika dibebaskan kemungkinan tenaga kerja akan berkurang dan pada gilirannya produksi beras akan merosot drastis. Lalu dalam perkembangannya pembebasan itu benar-benar direalisasikan.
Akibatnya jumlah tenaga kerja di sektor persawahan makin berkurang. Produksi beras makin menurun. Namun demikian substituasi tenaga kerja cepat teratasi. Para imigran mulai membeli sawah-sawah yang tidak tergarap. Juga semakin derasnya aliran tenaga kerja musiman dari wilayah Silindoeng cukup banyak karena situasi dan kondisi yang belum mereda (dampak perlawanan pengikut Sisingamangaradja).
Bataviaasch handelsblad, 25-09-1876: ‘laporan yang
bersumber dari Gubernur Sumatra’s Westkust yang didalamnya terdapat bahwa
pembebasan budak di Tapanoeli tidak mudah. Warga Sipirok melakukan demonstrasi
besar-besaran karena adanya rumor bahwa budak dianggap jenis properti dan
sumber utama pendapatan bagi pemilik dan dalam pembebasan ini pemerintah ingin
membeli budak laki-laki untuk dijadikan sebagai prajurit untuk mengirim mereka
ke Aceh dan menjadikan budak perempuan sebagai pelacur.Para demonstran ingin
memastikan hal itu tidak terjadi. Di Penjaboengan, ibukota Groot Mandheling
kerusuhan meningkat. Atas kejadian ini para kepala koeria mengatakan bahwa
mereka mengundurkan diri dari kompensasi yang akan diberikan pemerintah
sebanyak £ 15.000. Para budak telah mengancam dan akan membunuh para koeria
ketika jika para koeria menyerahkan mereka ke pemerintah dan juga akan membakar
rumah koeria. Atas kisruh ini, dan kemungkinan untuk deklarasi umum secara
gratis dan kemudian dimerdekakan pemerintah menghargai dan untuk
dipertimbangkan. Kemungkinan cara itu lebih bermanfaat’.[Di seluruh
Ankola menurut catatan Belanda terdapat sebanyak 2.297 budak terdaftar. Dalam
realisasinya menjadi 2.320 budak (ditebus 135 budak, meninggal 194 budak, lahir
289 dengan rincian laki-laki 151 budak, perempyan 138 budak dan penambahan
netto 329 budak)].
Juga realisasi
pemindahan Kweekschool Tanobato ke Padang Sidempuan.
Koran Algemeen Handelsblad, 23-07-1879 memberitakan bahwa pada 30 April tahun ini telah dilakukan pembukaan Kweekshool Padang Sidempoean, Tapanoeli, Governement Sumatra’s Westkust. Pendidikan diikuti sebanyak 18 murid. Kweekshool Padang Sidempoean adalah sekolah guru pribumi di era Hindia Belanda. Lokasi Kweekshool Padang Sidempoean ini (lihat, Peta-1880) adalah di luar pusat kota, antara Kampung Bukit/Pasar Moedik dengan Kampung Sigiring-giring tepatnya dipinggir jalan poros Padang Sidempuan-Siboga dengan persawahan yang kini merupakan area yang menjadi lokasi SMA-1, SMA-2, SPG, SD-16, SD-23, SD-14 dan SMP-3. Sementara bangunan lama kweekshoolnya sendiri pada masa ini masih terlihat dan menjadi gedung SMA Negeri 1 Padang Sidempuan.
Eks Kweekschool Padang Sidempoean |
Koran Algemeen Handelsblad, 23-07-1879 memberitakan bahwa pada 30 April tahun ini telah dilakukan pembukaan Kweekshool Padang Sidempoean, Tapanoeli, Governement Sumatra’s Westkust. Pendidikan diikuti sebanyak 18 murid. Kweekshool Padang Sidempoean adalah sekolah guru pribumi di era Hindia Belanda. Lokasi Kweekshool Padang Sidempoean ini (lihat, Peta-1880) adalah di luar pusat kota, antara Kampung Bukit/Pasar Moedik dengan Kampung Sigiring-giring tepatnya dipinggir jalan poros Padang Sidempuan-Siboga dengan persawahan yang kini merupakan area yang menjadi lokasi SMA-1, SMA-2, SPG, SD-16, SD-23, SD-14 dan SMP-3. Sementara bangunan lama kweekshoolnya sendiri pada masa ini masih terlihat dan menjadi gedung SMA Negeri 1 Padang Sidempuan.
***
Untuk menjadi murid sekolah guru ini tidak
mudah, karena syarat dan ketentuannya sangat ketat utamanya dari aspek
pembiayaan (wawancara orangtua) dan kemampuan siswa (ujian masuk).
Oleh karenanya, yang diterima di sekolah guru ini hanya mereka yang berasal dari
putra-putra para koeria atau kerabatnya. Permasalahannya adalah dimana
anak-anak murid ini tinggal, sebab tidak ada asrama dan juga tidak ada famili
atau rumah kontrakan (kost).
Orang tua para murid membangun pemondokan sendiri buat anak-anak mereka di sekitar sekolah ini, Untuk membangun rumah-rumah pemondokan ini sudah tentu perlu lahan dan para orang tua murid membeli lahan-lahan sawah untuk dijadikan rumah. Kita bisa bayangkan dalam tiga tahun dengan rata-rata jumlah murid per tahun 20 murid maka harus tersedia sebanyak 60 pemondokan baru. Ini bukan jumlah yang sedikit. Dalam tempo singkat di sekitar sekolah kweekschool ini sudah timbul pemukiman baru yang mengakuisi lahan sawah menjadi tempat tinggal.
Perluasan pemukiman baru ini semakin kencang ketika para penduduk di pemukiman pusat kota juga ikut membangun rumah baru karena harga tanah yang relatif masih murah. Lalu areal sawah yang dulunya sawah yang hijau kini menjadi pemukiman penduduk yang kemudian menjadi Kampung Salak, Kampung Salamat, Kampung Tobu, Jalan Topi, Jalan Tonga dan Jalan Merdeka,
Orang tua para murid membangun pemondokan sendiri buat anak-anak mereka di sekitar sekolah ini, Untuk membangun rumah-rumah pemondokan ini sudah tentu perlu lahan dan para orang tua murid membeli lahan-lahan sawah untuk dijadikan rumah. Kita bisa bayangkan dalam tiga tahun dengan rata-rata jumlah murid per tahun 20 murid maka harus tersedia sebanyak 60 pemondokan baru. Ini bukan jumlah yang sedikit. Dalam tempo singkat di sekitar sekolah kweekschool ini sudah timbul pemukiman baru yang mengakuisi lahan sawah menjadi tempat tinggal.
Perluasan pemukiman baru ini semakin kencang ketika para penduduk di pemukiman pusat kota juga ikut membangun rumah baru karena harga tanah yang relatif masih murah. Lalu areal sawah yang dulunya sawah yang hijau kini menjadi pemukiman penduduk yang kemudian menjadi Kampung Salak, Kampung Salamat, Kampung Tobu, Jalan Topi, Jalan Tonga dan Jalan Merdeka,
***
Di wilayah lain di dalam Kota Padang
Sidempuan juga setali tiga uang. Tekanan penduduk (urbanisasi) semakin tidak
terelakkan. Kampong kecil Sitamiang semakin berkembang, Demikian juga kampung
kecil Aek Tampang, Silandit, Sihadabuan, Oejoeng Padang, Padang Matinggi yang
menjadi kampung yang berdiri sendiri. Diduga, kampung-kampung kecil tadi lebih
awal berdiri dibanding pemukiman di tengah kota. Kampung-kampung ini muncul
sebagai konsekuensi dari tradisi 'dalihan na tolu' khususnya hubungan
'mora-anakboru'. Dalam perkembangannya, kampung-kampung baru ini juga lambat
laun menjadi tempat-tempat tujuan para imigran di Kota Padang Sidempuan. Di
Sitamiang menjadi tempat menetap para imigran dari Sipirok, di Aek Tampang,
Silandit, Padang Matinggi menjadi tempat menetap dari imigran Ankola Djei dan
Mandailing, di Sigiring-giring, Sihadabuan menjadi tempat menetap imigran dari
Angkola Joeloe dan Batang Toroe.
Di tengah kota sendiri, pemukiman baru juga
meluas ke Rambin. Wilayah Pasar Siborang dan Pasar Siteleng semakin meluas. Pasar Siteleng ke arah Sidangkal berkembang menjadi komunitas yang
berasal dari Siondop dan sekitarnya. Sisi pasar di Kampung Bukit termasuk jalan
Sitombol menjadi lingkungan komunitas Tionghoa. Kampung
Losung menjadi suatu komunitas yang kemudian umumnya imigran berasal dari
Silindoeng. Kampung Jawa yang terletak
tidak terlalu jauh dari pusat kota diduga awalnya menjadi enclave dari imigran
etnik Jawa yang sebagian merupakan pensiunan tentara Jawa di Tapanoeli dan para
buruh kebun di Batang Toroe dan Pitjar Koling.
(bersambung)
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap
berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama, antara lain:
- Topographisch Bureau, Batavia, Batavia: Kaart van Padang Si Dimpoewan en Omstreken (1880).
- Kaart van het Gouvernement Sumatra's Westkust : opgenomen en zamengesteld in de jaren 1843 tot 1847 / door L.W. Beijerink met medehulp van C. Wilsen... et al. Beijerink, L.W., Topographisch Bureau, Batavia, 1852.
- Peta 1830
- Peta 1908
- Peta 1943
- Etappekaart Sumatra's West Kust, 1845
- Almanak Pemerintahan Belanda
- Koran-koran Belanda
- Laporan Tahunan Pemerintahan Belanda
- Observasi pribadi
1 komentar:
Silahkan saja bere. Jangan lupa menyebutkan link-nya
Posting Komentar