Padang Lawas, sesungguhnya memiliki sejarah yang panjang. Sebuah wilayah di pedalaman Tapanuli, Sumatra yang secara geografis berbeda dengan wilayah lainnya. Padang Lawas menyimpan banyak hal, seperti sejarah percandian Hindu-Budha di Portibi, migrasi penduduk Batak, ekspansi militer Belanda untuk meredam perlawanan Tuanku Tambusai, pembentukan pemerintahan sipil, pembangunan ekonomi, pergolakan social politik dan lain sebagainya. Serial artikel ini menyajikan sebuah deskripsi secara kronologis berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe yang selama ini belum tergali dan belum terungkap sepenuhnya ke permukaan.
Lanskap
Padang Lawas atau bahasa lokal juga disebut Padang Bolak, sejak awal sudah dipetakan
oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai bagian dari Residentie Tapanoeli, namun
persoalan pembentukan pemerintahan ternyata tidak mudah karena perlu
pertimbangan yang cermat sebagai syarat adanya pemerintahan sipil. Setelah pemerintahan
sipil di Mandheling en Natal sudah berjalan dengan baik, pemerintah colonial
Belanda bekerja meneruskan ekspansi ke Ankola en Sipirok, baru kemudian secara
paralel ke utara di Silindung dan Toba dan ke timur di Padang Lawas dan Padang
Bolak. Positioning Ankola dan Sipirok menjadi bagian penting dalam proses tugas
Militair Departement dan Civiel Departement dalam mengakuisisi lanskap Silindung
maupun lanskap Padang Lawas.
Lanskap
Padang Lawas bersinggungan langsung dengan lanskap Mandheling, Ankola dan
Sipirok. Ekspansi militer dilakukan lewat Ankola dan proses pembentukan
pemerintahan sipil dilakukan lewat Sipirok. Ini bermula dari sejarah awal militer
Belanda di Tapanuli. Pada tahun 1833 militer Belanda mendarat di Natal,
kemudian menduduki Mandheling dengan membangun benteng Eliot di Panyabungan
(1834). Selanjutnya dalam penguasaan Ankola en Sipirok, militer merangsek dari
dua arah: dari selatan di benteng Eliot dengan membangun pos militer di
Sayurmatinggi (1835) dan dari barat di pangkalan militer di Sibolga dengan
membangun pos militer di Tobing (sebuah pos di lereng Gunung Lubuk Raya).
Penguasaan
lanskap Silindung dan khususnya Toba tidak mudah dan ternyata cukup alot,
karena adanya perlawanan dari Si Singamangaraja terhadap misionaris dan militer
Belanda. Demikian juga di lanskap Padang Lawas, tidak juga mudah, bahkan
terjadi pertarungan di beberapa tempat antara pengikut Tuanku Tambusai dengan
pasukan Belanda. Para misionaris yang secara regular menulis secara terang
benderang situasi dan kondisi di Silindung dan Toba, memudahkan Belanda untuk
menyusun strategi penguasaan. Berbeda dengan di Padang Lawas, ‘gelap gulita’, penduduk
yang mayoritas sudah memeluk agama Islam dan ‘keunggulan’ pasukan Tuanku
Tambusai menguasai medan stepa. Dengan kata lain, tidak ada informasi yang
akurat dari jantung lanskap Padang Lawas ke luar. Ini yang membuat ekspansi
militer ke Padang lawas tanpa referensi dan sedikit ‘ngeri’.
Peta Pijor Koling 1843-1847 (diterbitkan 1852) |
Untungnya
bagi militer Belanda, mengejar Tuanku Tambusai mendapat dukungan moral dari
penduduk yang berada di lanskap Mandheling, Ankola dan Sipirok. Sebab
sebelumnya, tiga lanskap ini telah terbebaskan dari ‘keonaran’ yang dilakukan
oleh pengikut Tuanku Tambusai. Ternyata kemudian, aksi keonaran pengikut
Tambusai ini juga dirasakan oleh sebagian penduduk Padang Lawas. Untuk memulai
strategi penguasaan lanskap Padang Lawas, militer Belanda terpaksa memindahkan
markas dari Panyabungan dengan membangun benteng di Pijor Koling, Ankola pada
tahun 1837. Benteng ini dimaksudkan untuk mendekatkan militer ke TKP serta
basis ‘take off’ dan pertahanan terakhir militer Belanda dalam ekspansi ke
Silindung/Toba dan Padang Lawas/Labuhan Batu.
***
Di
dalam ‘Jurnal Hindia Belanda, Tahun 1846, lanskap Padang Lawas sudah
dideskripsikan secara singkat. Laporan ini disusun sebelum dr. Junghun dan Mr.
van der Tuuk mengunjungi dan menyelesaikan ekspedisinya di wilayah pedalaman
Tapanuli. Kemungkinan yang melakukan ekspedisi ke Padang Lawas ini adalah
Willer (asisten Residen Afdeeling Mandheling en Ankola yang berkedudukan di
Panyabungan) bersama-sama dengan pasukan militer. Dalam laporan ini, lanskap
Padang Lawas adalah sebagai berikut:
1.
Padang Lawas, terdiri dari empat distrik: (Total 23 kampung. 805 keluarga)
- Batang Onang, 4 kampung, 160 keluarga
- Pertibie, 10 kampung. 315 keluarga
- Batang Paneh, 7 kampung, 230 keluarga
- Kotta Pinang, 2 kampung, 100 keluarga
2.
Dollok, terdiri dari empat distrik: (Total 44 kampung, 1.235 keluarga)
- Boekit, 9 kampung, 275 keluarga
- Simenabon 16 kampung, 606 keluarga
- Simasse, 4 kampung, 92 keluarga
- Tambiski, 15 kampung, 262 keluarga
3.
Boeroemon, terdiri dari tiga distrik: (Total 16 kampung, 620 keluarga)
- Aijernabara, 4 kampung, 140 keluarga
- Assahatan, 10 kampung, 370 keluarga
- Kaijoedra, 2 kampung, 110 keluarga
4.
Tamboeseij terdiri dari tiga distrik: (Total 32 kampung, 1.660 keluarga)
- Batang Sossa 12 kampung, 775 keluarga
- Batang Labo, 13 kampung, 670 keluarga
- Pariet, 7 kampung, 215 keluarga
5.
Paneh, hampir seluruhnya berpenghuni
oleh emigrasi dari kepala Soetan Manedar Alam.
6.
Biela, di mulut Batang Paneh di sebelah timur.
Total
sementara sebanyak 115 kampung, 4.320 keluarga. Oleh karena dua lanskap
diperkirakan 5 kampung, 309 keluarga, maka total keseluruhan adalah 120 kampung
dengan 4.620 keluarga. Sumber angka-angka ini diperoleh dari kepala-kepala
kampong yang mungkin hanya perkiraan. Namun tim sangat menyadari angka-angka
ini masih diragukan, karena mereka beranggapan bahwa penduduk terkesan bahwa
tujuan pendataan ini dikaitkan dengan pajak, apalagi sebelumnya banyak
kampong-kampung yang tersiksa akibat ulah para pengikut Tuanku Tambusai dan
juga mereka terkesan ketidakpercayaan pada supremasi asing. Secara keseluruhan
jumlah populasi minimum sebanyak 23.100 jiwa dengan asumsi satu keluarga
terdiri dari lima anggota. Jika mempertimbangkan bahwa para budak termasuk
dihitung, sejumlah dusun-dusun yang terpencil yang tidak diketahui para kepala
kampong, dan kemungkinan asumsi satu keluarga dinaikkan menjadi enam anggota,
maka jumlah populasi diperkirakan bisa mencapai maksimum 28.000 jiwa. Dengan luas
lanskap 300 mil persegi maka kepadatan penduduk lanskap Padang Lawas ditaksir
93 jiwa per kilometer persegi.
***
Sejauh
ini lanskap Padang Lawas termasuk daerah operasi militer (DOM) Belanda. Di
dalam ‘Jurnal Hindia Belanda, Tahun 1853 ditemukan suatu usulan pengurangan
pasukan karena dampak krisis yang
terjadi pada tahun 1837. Usulan itu diantaranya: ‘di luar Tamboesi Padang Lawas
dan Bila, mensyaratkan bahwa menarik pasukan, karena keberadaannya dianggap
mogten berada di kematian garnisun negara yang tersisa, juga tidak ada
pemandangan, yang tidak melakukan pekerjaan mujarab diperlukan, atau karena
seseorang penting produktif atau menjadi bagian dari garis linkage strategis. Berbeda
dengan yang berada di Rau dan Loeboe Sikaping yang bisa harus tetap
diperhitungkan dan tetap dijaga keberadaannya untuk mengisolasi Mandheling dan
melakukan superintendence penting dalam produksi’. Sebagaimana disebutkan dalam
buku ini bahwa tugas militer adalah untuk menundukkan onar sekali dan
memastikan. perlindungan untuk melakukan massa pasif penduduk yang dikaitkan martabat kita ingin yang memiliki panen buah, dengan
mendorong pertanian dan terutama dengan menerapkan diri untuk budidaya produk
untuk pasar Eropa.
***
Dalam
buku berjudul ‘Bijdragen tot de taal-, land-en volkenkunde van
Nederlandsch-Indie’ tahun 1855, penerbit Nijhoff
terdapat satu bab tentang sebuah laporan ekspedisi penelitian geologi ke
Ankola dan Padang Lawas. Ekspedisi ini dimulai dari Sibolga melalui jalur Lumut, kemudian Batangtoru, Huraba Panabasan,
Sisoendoeng hingga akhirnya sampai ke Pijor Koling. Di dalam benteng Pijor
Koling, tim ekspedisi ini bertemu hanya dengan seorang sersan berbangsa Belanda
bernama Scheeren dengan anak buah sebanyak
dua puluh tentara Jawa. Di desa Pijor Koling sendiri terdapat 40 buah rumah
kecil yang terbuat dari bambu yang konstruksi berbentuk rumah panggung.
Sejumlah ternak berkeliaran di halaman, para wanita tampak menenun kain
berwarna warni dan menggunakan manik-manik, para pria bertani padi dan jagung
untuk kebutuhan sendiri (subsisten). Hanya beberapa pria yang bisa berbahasa
Melayu sedikit-sedikit. Kami mendapat informasi sekadarnya dari mereka.
***
Kami
melanjutkan perjalanan ke Padang lawas. Jalan dari Pitjar Kolling yang kami
lalui berjalan secara soliter (ala Indian). Pertama kami menyeberang sungai
besar Batang Angkolah yang lebarnya 100 kaki. Lalu kami berjalan melalui
wilayah pegunungan, lereng gunung dan terus naik di bagian belakang pegunungan
yang luas, kadang-kadang, terutama oleh hutan yang tinggi, di atas bukit
Simardona (suhu 21 C). Di puncak bukit Simardona kami bisa melihat ke barat
merupakan lembah Pitjar Kollin, ke timur merupakan wilayah yang luas. Titik
tertinggi Bukit Simardona terletak 520 meter di atas laut. Selanjutnya kami turun
melalui hutan, rumput tinggi, lalu kami sampai ke sungai Batang Anang, yang
mana sumber airnya dari Simardona Mountains yang kemudian tercurah sekitar dua
jam ke lembah yang luas di mana terdapat sungai yang lebih besar sungai Batang
Siapas yang di bagian selatan lembah luas dengan ketinggian tempat 198 meter di
atas laut dengan suhu 25,4 C. Suhu udara hangat dan iklim kering. Sungai Siapas
bersumber dari pegunungan di Sipirok dan Loeboeraja. Ini mengalir deras
kemudian melalui lembah luas hingga berakhir di selatan pasca-Goenong Tuah. Di
sini dia membelok lebih ke timur, antara pegunungan Sioengam dan bukit Sipapal.
Dekat Goenong Tuah sungai ini bersatu dengan Batang Anang yang bulu di bukit
Simardona. Di bagian belakang atau sisi timur pegunungan sumber terakhir dari sungai
besar Batang Boeroemon, yang mengalir ke laut di Selat Malaka.
Di
Goenong Tuah, kami menemukan eenen sersan dengan delapan puluh penduduk asli
Angkolah sebagai pembantu, yang hanya bertugas sebagai kuli, bahkan mereka
tidak bersenjata. Sulit untuk mendapatkan makanan seperti beras atau jagung
atau pisang, atau ubi jalar. Seekor ayam hutan, itu akan biaya setidaknya satu
gulden. Ada banyak di sungai; tapi pribumi terlalu lambat untuk menangkap
mereka dan kurangnya pakan yang buruk makanan menjadi penderitaan. Jalan
sekitar tiga perempat dari Goenong Tuah terdapat dataran yang lebih rendah
sekitar 150 meter dpl sampai Batang
Siapas, yaitu lebar sekitar 80 kaki, dan air sedikit di atas lutut.
Pada
perjalanan selama rentang pegunungan yang luas ini kami menikmati pada poin
lebih tinggi biasanya luas dan prospek bersih, tapi kami juga memiliki
penderitaan besar, seperti bagian bawah hanya dengan semak atau rumput setengah
layu tertutup dari panas. Kea rah timur terlihat, sejauh mata lembut bisa
bergelombang bukit, hampir sendirian dengan alang-berumput: sebuah hutan rumput
besar, di mana kelompok-kelompok jarang dari semak dan pohon yang rendah
terjadi di gurun pasir dan oasis. Strip kecil atau lebih besar dari kayu yang
lebih tinggi dirasakan hanya di kedalaman lembah, bersama air yang mengalir.
Tidak ada makhluk hidup tampaknya menghuninya. Rerumputan tidak terbatas dan
tandus. Secara bertahap perbukitan bergelombang dalam tampaknya datar,
kehilangan dirinya negara padang-seperti, yang mengingatkan kita lukisan
mencolok dari padang rumput Amerika Utara, Washington, Irving dan Cooper.
Sepanjang sisi timur pegunungan melihat semak ramping, bahwa bagian-bagian
besar dari lereng tertutup dan apa gelap tempat hijau eksentrik.
Di
tepi sungai pertama, kami bertemu tampak kaki timur pegunungan Sipapal dan di
mana wisatawan biasanya memiliki sedikit istirahat, kami menemukan beberapa
bambu groeijende, mana sejumlah Batak atau lebih ketika mereka mengatakan kami
Manda Healing Serbia menulis tanda-tanda menorehkan yang. Mereka dari pembantu
asli Padang Lawas dibesarkan dan berarti pencurahan hati tentang sakit yang
dirasakan, karena pengangkatan dan regularisasi melarikan diri dari tanah asli,
karena kematian ibu tercinta, segala macam keluhan kurangnya, kelelahan dan
semacamnya. Dalam hal ini adalah Manda Heli Gers selangkah lebih maju dari
Eropa, yang biasanya hanya nama mereka atau hanya karakter nama di kulit kayu
dipotong.
Aek
Soerimambeh, sekitar 40 kaki lebar, cukup dalam dan cepat mengalir sungai, yang
memiliki air keruh dan berlumpur dalam Aek Paneh membawa, membuat kami waktu
lama untuk rambut bank yang aktif, di jembatan sejuk dari bambu dan rotan rusak
satu. Tidak ada yang tersisa kecuali untuk membuang pakaian untuk menjaga
mereka di atas kepala dan di bawah ketiak untuk mengarungi air. Namun, kami
datang dengan cara itu, tanpa membuat barang-barang kami dengan senang basah.
Di tepi kiri sungai ini hanya subur bambu pagar kampung Sioengam, dua tahun
sebelumnya, oleh sekelompok pengikut Toeankoe Tamboesi, diserang di malam hari
dan benar-benar hancur. Semua orang tewas dan para wanita dan anak-anak sebagai
budak dideportasi.
Penduduk
terus rintangan ini di mana-mana banyak rumah dan berpenghuni negara secara
sistematis. Pos Belanda terdapat di tembok pembatas kecil, terutama diletakkan
untuk Pertibi tujuan transportasi. Kami bertemu di tempat itu beberapa pribumi
dari distrik lebih utara Batta, Sipirok, yang sepenuhnya disepakati dalam superintendence
tubuh dan pakaian dengan penduduk Angkolah. Semua kontribusi ke tengah tubuh
bagian luas dan sangat dilipat kain, di bawah pusar biasanya diikat dengan
sabuk eenen kulit, sementara alam liar, tapi bulu-bulu halus yang sebagian
besar terikat. Menggunakan sebuah band jerami padi atau alang-alang rotan Di
dalam dan di luar gubuk mereka tampak tidak kekurangan housebroken, meskipun
Geene babi yang dimiliki. Posting Sioengam hanya 114 meter dpl.
Jalan
menuju Pertibi akan karena melihat prospek gratis yang satu ke semua jika tidak
leemige, tanah licin akan telah dibuat. kebun binatang vermoeijend Jarang
mereka melihat pohon dan rumput alang itu hampir satu kaki tinggi, kecuali di
lembah lebih lembab dan dekat air. Seperti kita mendekati Pertibi, itu lanskap
datar padang rumput berbukit dan masih dalam limitlessness jelas nya. Vegetasi
telah di gurun rumput ini kesepian karakter yang sama sekali aneh, benar-benar
berbeda dari apa yang kita terbiasa melihat. Di antara pohon-pohon yang masih
menigvuldigst milik satu Mimosa, dengan buah asam hijau, bentuk dan ukuran
bahkan peluru senapan. Salah satu spesies kecil puyuh (Tlemipodius) berkibar di
kali Digt kaki kami dari rumput dan kehilangan dirinya di dalamnya lagi segera.
Jejak gajah yang cukup banyak. Dalam sungai, kami menemukan dua jenis scheipen,
satu Unio dan satu Melania.
Kondisi
geologi negara stepa ini yang bersangkutan: tanahnya terdiri terutama dalam
tanah liat coklat tangguh, yang memancarkan air moeijelijk. Dekat asal satu
tunas air kami pertama kali melihat kerumunan batu digulung, ukuran, eener
kacang dengan yang setengah kaki kubik bervariasi; kemudian kami masih sering
mereka di sana-sini. Mereka biasanya keras, batu pasir kuarsa berbatu, sekarang
sekali lagi baik daripada kualitas kasar. Sangat jarang itu terlihat sedikit
jasper merah atau alam kieselschieferigen dan warna hitam di antara mereka.
Mereka terletak deposisi jauh memperluas batu digulung karena itu mungkin di
bawah laut dan sebelum dc penghapusan plutonium. Usia deposit mungkin tidak
akan berbeda dari yang nagelfiue bersama dan dalam rantai Bukit Gedang, di tepi
selatan ekstrim dari lanskap Limapoeloh Kota dan di tempat lain. Mungkin salah
satu di kedalaman yang cukup batu pasir digulung verhonden oleh semen menjadi
massa padat, karena ini adalah kasus dengan nagelfiue tersebut.
Pertibi
untuk memungkinkan negara dirugikan penampilan bergelombang dan menjadi lebih
datar. Batu-batu manik-manik jauh lebih banyak. Ketika uitdelven parit yang
baru dibangun benteng telah di bawah ramping, coklat dan sekitar tujuh kaki
tebal lapisan atas bumi, satu sekitar enam kaki tebal, air lapisan passe pasir
putih halus bertemu, dan kemudian di bawah satu tempat tidur dari plastik
Blaauw Nihon, ketebalan James Forster hampir enam kaki telanjang, tetapi bahkan
lebih dalam. Kedua lapisan mungkin residu dagteekening baru. Pada lapisan pasir
kami melihat beberapa lembar mika dan bagian benedenst nya agak lebih kencang
dan garis-garis kekuningan. Eenig sisa organik kami telah menemukan di pasir.
Kampung
Pertibi wasvoorheen ibukota dist Reed Padanglawas atau Lawee, sebagai penduduk
asli biasanya mengucapkan kata terakhir dan nama harfiah berarti "dataran
luas." Beberapa panggilan daerah ini dikenal sebagai Padang-Bolak,
"Sepenuhnya atau Gansch polos." Pertibi tidak jauh dari serikat
"dari sungai dan Soerimambeh Paneh, dekat tepi kanan yang terakhir,
sekitar 80 kaki lebar, dan antara bank yang tinggi dan curam dari aluvium
berpasir cukup cepat mengalir sebagainya. Meskipun ketinggian bank ketika
tingkat adalah 15, sungai di musim hujan kadang-kadang membengkak sehingga
senyawa tersebut diletakkan di bawah air. Batang Soerimambeh adalah klan agak
kecil Batang Paneh.
Rumah
Pertibi lebih bagian dari ukuran yang layak, semua beristirahat di atas
panggung dan memiliki dinding dari kulit kayu, kecuali bahwa dari Badja, yang
mereka terdiri dari papan berat. Seorang pilot besar adalah masjid, karena
sebagian penduduk telah memeluk ajaran Muhammad dan doa sehari-hari. Bahasa
orang Batak tidak berbeda dari selatan atau bawah-Angkolah Manda Healing. Desa
itu diduduki oleh pasukan kami pada bulan Desember 1837 dan kemudian dibangun satu
benteng di sekitarnya, yang diberikan nama Fort Pertibi. Sebuah benteng tanah
tinggi dengan empat bastion dan dikelilingi oleh parit yang dalam 15 kaki untuk
membuat benteng off. Peralatan pendudukan terdiri dari 50 laki-laki.
Bangunan
yang terbuat dari kulit kayu. Air minum sangat langka dan miskin. Ketinggian di
atas permukaan laut tidak melebihi 72 meter. Bingkai udara panas dan kering.
Honderddeelige termometer kami menarik pagi hari untuk 06:00, dengan angin NW
yang kuat, 22, 5 ° di sore hari untuk dua 29 jam, 7 ° dan malam hari untuk 6E
26 jam, 7 °. Sebuah W. kurang lebih kuat dan NW angin yang bertiup
kadang-kadang minggu dan bulan, siang dan malam di padang rumput belakang dan
shrivels dan hangus semuanya. Penyebab angin teguh ini tampaknya oleh panas
besar dan kekeringan sangat diperluas udara di padang gurun, ke mana yang
lembab dan dingin, sehingga jauh lebih sedikit diencerkan, lueht pegunungan
barat kabur dengan kekuasaan.
Dengan
Letnan Jawa, pendudukan benteng Pertibi milik, kita melihat satu peta asli
Sumatera. The Goenong Merapi di Menangkabo Mahameroe ini atau Olympus orang
Melayu, berbaring di tengah-tengah pulau, dan sekitar gunung melihat satu,
berputar-putar, tiga kabupaten utama Menangkabosche Kekaisaran tua, yaitu
Tanah-Datar, Samawang dengan ïigablas Kota cn Agam. Kunci ini adalah kabupaten
lain untuk tidak teratur. Pegunungan membentang reticulated seluruh negeri;
tapi mereka di beberapa titik cukup onnaauwkeurig menandatangani kontrak dengan
alam. Peta ini dihasilkan oleh Maleijer ke Natal pada saat ketika Inggris telah
menangkap sana.
The
berigten yang kita mencoba untuk mendapatkan informasi tentang asal-usul dan
tentu saja sungai Boeroemon besar dan berlayar melewati mereka ke Selat Malaka,
memiliki akses ke hasil Geene cukup menghasilkan. Menurut cerita penduduk asli
adalah sumber dari Batang Boeroemon, seperti yang dari Batang Sasak, di sisi W.
dari besar Bukit Maleha, arah Baratdaya dari Pertibi, di perbatasan Manda
Healing, dalam rantai pusat terletak, yang merupakan DAS membentuk W. pantai
pulau. Setelah termasuk disebutkan sebelumnya Batang Siapas yang Boeroemon juga
menerima perairan sungai bersatu Soerimambeh Paneh dan, untuk alasan apa pun,
mereka kemudian, membuat mereka dalam perjalanannya, juga kadang-kadang Batang
Paneh bukan Batang Boeroemon yang geheeten.
Titik
zamenvloeijing dengan Paneh sebenarnya terletak pada jarak hanya sekitar satu
setengah jam dari Pertibi. Dari sana, seorang pria bisa turun dalam enam hari
sampai kampung Bila, tidak jauh dari pantai laut, dengan perahu Boeroemon dan
tanah masuk tujuh hari Bila mencapai. Nama-nama desa di sepanjang pantai rambut
yang memberi kita jauh berbeda dengan yang dapat ditemukan terdaftar di peta
terbaru. Saat matahari terbit perjalanan kami mulai sesuai dengan informasi
yang diberikan kepada kami, pada siang hari di kampung Koerita dan saat malam
kampung Simangabat. Hari kedua akan, setelah beberapa jam berada ancaman ke
mulut besar, di sisi kiri yang Boeroemon jatuh sungai, yang disebut
Singa-Kanan, dan menjelang malam pada saat sepi Kampong Padang Matingi.
Pada
hari ketiga yang memenuhi Geene dusun. Satu semalam untuk Pasir Andjangan dan
melewati bahwa hari pertama pelebaran luar biasa sungai, yang dikenal dengan
nama Loeboe Dalam. Hari keempat biasanya berlayar ke Kota Pinang; tetapi kita
juga dapat mencapai kampung Sisamoet sebelum matahari terbenam, seperti
berbohong sebelumnya di tepi kiri. Hari kelima (selalu pagi 06:00 ekspedisi
awal) satu tiba di malam ke kampung Paneh, di mana satu, seperti biasa, malam
tetap, dan hari keenam akhirnya kami tiba di kampung Bila, yang serikat sungai
nama itu dengan Boeroemon berada.
Untuk
Pertibi dari selatan ke Badja-moendang waktu itu, karena banyak band bermusuhan
Toeankoe Tamboesi yang omzwierven di bagian-bagian, sangat tidak aman dan tidak
tanpa pengawalan tc militer melakukan. Dan dengan demikian kita lihat memaksa
kita untuk kembali sepanjang jalan yang sama untuk Pitjarkolling dan kemudian
dari sana, barat Simardona "ebergte dan beserta rantai pusat zamenhangende,
melalui lembah besar dari Lower Angkolah dan Manda Penyembuhan terus selatan.
Kami menerima bagian pengembalian 3d September, pagi 08:00. Jalan melalui
padang rumput itu sekarang alang-batang kering dan pendek, setelah dua hari
hujan berdaya, kecoklatan sudah berbintik-bintik. Sebuah angin barat cukup kuat
verkoelde kehangatan menyenangkan dari udara. Tak lama setelah 00:00 kami
Sioengam. Termometer kami menarik ada di IJ ure 30, 9 centigr., Untuk 2 jam 81,
1 dan 06:00 di malam hari dari 26, 2 centigr. Yang merupakan perbedaan dari 7,
2 ° dengan panas udara menunjuk. Di malam hari melayang uap kabut seperti
baik-baik saja di atas padang rumput, dimana pegunungan tetangga dan belakang
tabir, tapi cukup tajam dalam lingkar mereka terjadi.
Keesokan
paginya kami zetteden istirahat hari, perjalanan dilanjutkan. Langit jernih,
hangat dan kering; Angin barat segera mulai menusuk. Pada pukul 7J kami sudah
di kaki Pegunungan Sipapal, tempat di mana bambu yang disebutkan di atas
ditemukan dengan tanda-tanda naskah asli. Mendaki gunung itu, sepanjang sisi
timur lebih mudah daripada ke barat, lalu ke lereng glooijender itu, seperti
umumnya lereng timur rantai pusat di Sumatera flaauwer, maka miliknya barat.
Vegetasi memiliki penampilan yang hangus dan tandus. Selain sudah mantan semak
dengan jarum-seperti dedaunan, kita juga mengambil satu Melastoma mana, dengan
kecil, daun kasar dan bunga merah muda-merah.
Versche
zat kotoran gajah yang sering di sana-sini di antara mereka pada daerah yang
sangat curam jalan gunung ini. Sekitar tengah hari kami sampai di pos-Goenong
Tuah. Kita harus menambahkan di sini bahwa sepanjang lereng seluruh timur
pegunungan Sipapal batu pasir kekuningan dan napal baik dan sering berisi
lembaran mika. Kemiringan lapisan mana ini jelas datang untuk hari biasanya
lebih atau kurang. Untuk Goenong-Tuah adalah honderddeeüge termometer di sore
hari 2 sampai 30 jam, 7 ° dan 3 jam 29, 6 °. Pada 04:00 ada hujan dari Selatan,
dan saat suhu hingga 26, 7 ° centrigr. menurun. Gunung-gunung tampak sekarang,
dalam cuaca basah, jauh lebih tinggi daripada di pagi hari di satu pesawat yang
jelas dan murni. Selama malam kami mendengar beberapa kali teriakan rusa.
Keesokan
paginya, pada awal hari, hujan berat bertaruh, sehingga kita pukul pertama
setelah delapan, ketika langit mulai membersihkan, perjalanan di pegunungan
Simardona bisa melanjutkan. Jalan melalui hutan yang tinggi mengerikan:
berlumpur, licin, penuh danau dan melalui kerumunan tunggul, akar dan duri,
semak-semak basah dan merambat, jadi obstruktif dan menjengkelkan, jika
mungkin, tapi bisa menciptakan. Jenis batuan dari Simardona Mountains diragukan
lagi milik pembentukan Neptunus tertua dari Sumatera dan yang telah mengalami
perubahan yang paling. Di sekitar nya massa semakin luas Irypogene batu
terjadi; yang tidak berarti kasus dengan formasi Neptunus muda, seperti yang
ditemukan pada Sipapal. Agaknya hilang dalam lanjutan selatan Simardona rantai
zoodanige batuan di sana, seperti dalam rantai barat lembah Angkolah mana
terutama syenieten dan melaphieren hadir.
Catatan:
- Sumber utama (dalam tanda kutip) merupakan sari berita yang relevan dengan artikel ini. Sumber lain (ditulis anonim) hanya sebagai informasi pendukung agar konteks ‘berita’ sesuai.
- Isi artikel ini dibuat seorisinil mungkin, hanya berdasarkan informasi (surat kabar) yang tersedia. Kemungkinan adanya ‘bolong-bolong’ di sana sini, silahkan para pengguna (pembaca) melengkapi dan menginterpretasi sendiri.
- Beberapa kalimat masih memerlukan proses penerjemahan (menyusul)
(bersambung)
Baca juga:
*Dikompilasi
oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber tempo doeloe. Sumber pendukung::
- Tijdschrift voor Neerland's Indië jrg 8, 1846 (2e deel) [volgno 2]
- Tijdschrift voor Neerland's Indië jrg 15, 1853 (2e deel), No 12.
- Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indië. Nijhoff. 1855.
1 komentar:
terima kasih yang tidak terhingga kepada Bapak Akhir Matua Harahap atas postingannya yang memuat sejarah Padang Lawas yang berkaitan dengan sejarah Panai yang ada di muara sei barumun kabupaten Labuhanbatu semoga bermanfaat untuk anak cucu kita amiin, semoga terus berkarya
Posting Komentar