Senin, Agustus 18, 2014

Bag-1: Sejarah PADANG LAWAS: ‘Ekspansi Militer dan Eksplorasi Sipil di Era Hindia Belanda’

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Lawas dalam blog ini Klik Disini


Padang Lawas, sesungguhnya memiliki sejarah yang panjang. Sebuah wilayah di pedalaman Tapanuli, Sumatra yang secara geografis berbeda dengan wilayah lainnya. Padang Lawas menyimpan banyak hal, seperti sejarah percandian Hindu-Budha di Portibi, migrasi penduduk Batak, ekspansi militer Belanda untuk meredam perlawanan Tuanku Tambusai, pembentukan pemerintahan sipil, pembangunan ekonomi, pergolakan social politik dan lain sebagainya. Serial artikel ini menyajikan sebuah deskripsi secara kronologis berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe yang selama ini belum tergali dan belum terungkap sepenuhnya ke permukaan.

Lanskap Padang Lawas atau bahasa lokal juga disebut Padang Bolak, sejak awal sudah dipetakan oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai bagian dari Residentie Tapanoeli, namun persoalan pembentukan pemerintahan ternyata tidak mudah karena perlu pertimbangan yang cermat sebagai syarat adanya pemerintahan sipil. Setelah pemerintahan sipil di Mandheling en Natal sudah berjalan dengan baik, pemerintah colonial Belanda bekerja meneruskan ekspansi ke Ankola en Sipirok, baru kemudian secara paralel ke utara di Silindung dan Toba dan ke timur di Padang Lawas dan Padang Bolak. Positioning Ankola dan Sipirok menjadi bagian penting dalam proses tugas Militair Departement dan Civiel Departement dalam mengakuisisi lanskap Silindung maupun lanskap Padang Lawas.

Kampung di Goenoengtoe, 1867 (KITLV)
Lanskap Padang Lawas bersinggungan langsung dengan lanskap Mandheling, Ankola dan Sipirok. Ekspansi militer dilakukan lewat Ankola dan proses pembentukan pemerintahan sipil dilakukan lewat Sipirok. Ini bermula dari sejarah awal militer Belanda di Tapanuli. Pada tahun 1833 militer Belanda mendarat di Natal, kemudian menduduki Mandheling dengan membangun benteng Eliot di Panyabungan (1834). Selanjutnya dalam penguasaan Ankola en Sipirok, militer merangsek dari dua arah: dari selatan di benteng Eliot dengan membangun pos militer di Sayurmatinggi (1835) dan dari barat di pangkalan militer di Sibolga dengan membangun pos militer di Tobing (sebuah pos di lereng Gunung Lubuk Raya).

Penguasaan lanskap Silindung dan khususnya Toba tidak mudah dan ternyata cukup alot, karena adanya perlawanan dari Si Singamangaraja terhadap misionaris dan militer Belanda. Demikian juga di lanskap Padang Lawas, tidak juga mudah, bahkan terjadi pertarungan di beberapa tempat antara pengikut Tuanku Tambusai dengan pasukan Belanda. Para misionaris yang secara regular menulis secara terang benderang situasi dan kondisi di Silindung dan Toba, memudahkan Belanda untuk menyusun strategi penguasaan. Berbeda dengan di Padang Lawas, ‘gelap gulita’, penduduk yang mayoritas sudah memeluk agama Islam dan ‘keunggulan’ pasukan Tuanku Tambusai menguasai medan stepa. Dengan kata lain, tidak ada informasi yang akurat dari jantung lanskap Padang Lawas ke luar. Ini yang membuat ekspansi militer ke Padang lawas tanpa referensi dan sedikit ‘ngeri’.

Peta Pijor Koling 1843-1847 (diterbitkan 1852)
Untungnya bagi militer Belanda, mengejar Tuanku Tambusai mendapat dukungan moral dari penduduk yang berada di lanskap Mandheling, Ankola dan Sipirok. Sebab sebelumnya, tiga lanskap ini telah terbebaskan dari ‘keonaran’ yang dilakukan oleh pengikut Tuanku Tambusai. Ternyata kemudian, aksi keonaran pengikut Tambusai ini juga dirasakan oleh sebagian penduduk Padang Lawas. Untuk memulai strategi penguasaan lanskap Padang Lawas, militer Belanda terpaksa memindahkan markas dari Panyabungan dengan membangun benteng di Pijor Koling, Ankola pada tahun 1837. Benteng ini dimaksudkan untuk mendekatkan militer ke TKP serta basis ‘take off’ dan pertahanan terakhir militer Belanda dalam ekspansi ke Silindung/Toba dan Padang Lawas/Labuhan Batu.

***
Di dalam ‘Jurnal Hindia Belanda, Tahun 1846, lanskap Padang Lawas sudah dideskripsikan secara singkat. Laporan ini disusun sebelum dr. Junghun dan Mr. van der Tuuk mengunjungi dan menyelesaikan ekspedisinya di wilayah pedalaman Tapanuli. Kemungkinan yang melakukan ekspedisi ke Padang Lawas ini adalah Willer (asisten Residen Afdeeling Mandheling en Ankola yang berkedudukan di Panyabungan) bersama-sama dengan pasukan militer. Dalam laporan ini, lanskap Padang Lawas adalah sebagai berikut:

1. Padang Lawas, terdiri dari empat distrik: (Total 23 kampung. 805 keluarga)
  1. Batang Onang, 4 kampung, 160 keluarga
  2. Pertibie, 10 kampung. 315 keluarga
  3. Batang Paneh, 7 kampung, 230 keluarga
  4. Kotta Pinang, 2 kampung, 100 keluarga

2. Dollok, terdiri dari empat distrik: (Total 44 kampung, 1.235 keluarga)
  1. Boekit, 9 kampung, 275 keluarga
  2. Simenabon 16 kampung, 606 keluarga
  3. Simasse, 4 kampung, 92 keluarga
  4. Tambiski, 15 kampung, 262 keluarga
           
3. Boeroemon, terdiri dari tiga distrik: (Total 16 kampung, 620 keluarga)
  1. Aijernabara, 4 kampung, 140 keluarga
  2. Assahatan, 10 kampung, 370 keluarga
  3. Kaijoedra, 2 kampung, 110 keluarga

4. Tamboeseij terdiri dari tiga distrik: (Total 32 kampung, 1.660 keluarga)
  1. Batang Sossa 12 kampung, 775 keluarga
  2. Batang Labo, 13 kampung, 670 keluarga
  3. Pariet, 7 kampung, 215 keluarga

5.  Paneh, hampir seluruhnya berpenghuni oleh emigrasi dari kepala Soetan Manedar Alam.
6.  Biela, di mulut Batang Paneh di sebelah timur.

Total sementara sebanyak 115 kampung, 4.320 keluarga. Oleh karena dua lanskap diperkirakan 5 kampung, 309 keluarga, maka total keseluruhan adalah 120 kampung dengan 4.620 keluarga. Sumber angka-angka ini diperoleh dari kepala-kepala kampong yang mungkin hanya perkiraan. Namun tim sangat menyadari angka-angka ini masih diragukan, karena mereka beranggapan bahwa penduduk terkesan bahwa tujuan pendataan ini dikaitkan dengan pajak, apalagi sebelumnya banyak kampong-kampung yang tersiksa akibat ulah para pengikut Tuanku Tambusai dan juga mereka terkesan ketidakpercayaan pada supremasi asing. Secara keseluruhan jumlah populasi minimum sebanyak 23.100 jiwa dengan asumsi satu keluarga terdiri dari lima anggota. Jika mempertimbangkan bahwa para budak termasuk dihitung, sejumlah dusun-dusun yang terpencil yang tidak diketahui para kepala kampong, dan kemungkinan asumsi satu keluarga dinaikkan menjadi enam anggota, maka jumlah populasi diperkirakan bisa mencapai maksimum 28.000 jiwa. Dengan luas lanskap 300 mil persegi maka kepadatan penduduk lanskap Padang Lawas ditaksir 93 jiwa per kilometer persegi.

***
Sejauh ini lanskap Padang Lawas termasuk daerah operasi militer (DOM) Belanda. Di dalam ‘Jurnal Hindia Belanda, Tahun 1853 ditemukan suatu usulan pengurangan pasukan karena dampak  krisis yang terjadi pada tahun 1837. Usulan itu diantaranya: ‘di luar Tamboesi Padang Lawas dan Bila, mensyaratkan bahwa menarik pasukan, karena keberadaannya dianggap mogten berada di kematian garnisun negara yang tersisa, juga tidak ada pemandangan, yang tidak melakukan pekerjaan mujarab diperlukan, atau karena seseorang penting produktif atau menjadi bagian dari garis linkage strategis. Berbeda dengan yang berada di Rau dan Loeboe Sikaping yang bisa harus tetap diperhitungkan dan tetap dijaga keberadaannya untuk mengisolasi Mandheling dan melakukan superintendence penting dalam produksi’. Sebagaimana disebutkan dalam buku ini bahwa tugas militer adalah untuk menundukkan onar sekali dan memastikan. perlindungan untuk melakukan massa pasif penduduk yang dikaitkan martabat kita ingin yang memiliki panen buah, dengan mendorong pertanian dan terutama dengan menerapkan diri untuk budidaya produk untuk pasar Eropa.

***
Dalam buku berjudul ‘Bijdragen tot de taal-, land-en volkenkunde van Nederlandsch-Indie’ tahun 1855, penerbit Nijhoff  terdapat satu bab tentang sebuah laporan ekspedisi penelitian geologi ke Ankola dan Padang Lawas. Ekspedisi ini dimulai dari Sibolga melalui jalur  Lumut, kemudian Batangtoru, Huraba Panabasan, Sisoendoeng hingga akhirnya sampai ke Pijor Koling. Di dalam benteng Pijor Koling, tim ekspedisi ini bertemu hanya dengan seorang sersan berbangsa Belanda bernama  Scheeren dengan anak buah sebanyak dua puluh tentara Jawa. Di desa Pijor Koling sendiri terdapat 40 buah rumah kecil yang terbuat dari bambu yang konstruksi berbentuk rumah panggung. Sejumlah ternak berkeliaran di halaman, para wanita tampak menenun kain berwarna warni dan menggunakan manik-manik, para pria bertani padi dan jagung untuk kebutuhan sendiri (subsisten). Hanya beberapa pria yang bisa berbahasa Melayu sedikit-sedikit. Kami mendapat informasi sekadarnya dari mereka.

***
Kami melanjutkan perjalanan ke Padang lawas. Jalan dari Pitjar Kolling yang kami lalui berjalan secara soliter (ala Indian). Pertama kami menyeberang sungai besar Batang Angkolah yang lebarnya 100 kaki. Lalu kami berjalan melalui wilayah pegunungan, lereng gunung dan terus naik di bagian belakang pegunungan yang luas, kadang-kadang, terutama oleh hutan yang tinggi, di atas bukit Simardona (suhu 21 C). Di puncak bukit Simardona kami bisa melihat ke barat merupakan lembah Pitjar Kollin, ke timur merupakan wilayah yang luas. Titik tertinggi Bukit Simardona terletak 520 meter di atas laut. Selanjutnya kami turun melalui hutan, rumput tinggi, lalu kami sampai ke sungai Batang Anang, yang mana sumber airnya dari Simardona Mountains yang kemudian tercurah sekitar dua jam ke lembah yang luas di mana terdapat sungai yang lebih besar sungai Batang Siapas yang di bagian selatan lembah luas dengan ketinggian tempat 198 meter di atas laut dengan suhu 25,4 C. Suhu udara hangat dan iklim kering. Sungai Siapas bersumber dari pegunungan di Sipirok dan Loeboeraja. Ini mengalir deras kemudian melalui lembah luas hingga berakhir di selatan pasca-Goenong Tuah. Di sini dia membelok lebih ke timur, antara pegunungan Sioengam dan bukit Sipapal. Dekat Goenong Tuah sungai ini bersatu dengan Batang Anang yang bulu di bukit Simardona. Di bagian belakang atau sisi timur pegunungan sumber terakhir dari sungai besar Batang Boeroemon, yang mengalir ke laut di Selat Malaka.

Di Goenong Tuah, kami menemukan eenen sersan dengan delapan puluh penduduk asli Angkolah sebagai pembantu, yang hanya bertugas sebagai kuli, bahkan mereka tidak bersenjata. Sulit untuk mendapatkan makanan seperti beras atau jagung atau pisang, atau ubi jalar. Seekor ayam hutan, itu akan biaya setidaknya satu gulden. Ada banyak di sungai; tapi pribumi terlalu lambat untuk menangkap mereka dan kurangnya pakan yang buruk makanan menjadi penderitaan. Jalan sekitar tiga perempat dari Goenong Tuah terdapat dataran yang lebih rendah sekitar  150 meter dpl sampai Batang Siapas, yaitu lebar sekitar 80 kaki, dan air sedikit di atas lutut.

Pada perjalanan selama rentang pegunungan yang luas ini kami menikmati pada poin lebih tinggi biasanya luas dan prospek bersih, tapi kami juga memiliki penderitaan besar, seperti bagian bawah hanya dengan semak atau rumput setengah layu tertutup dari panas. Kea rah timur terlihat, sejauh mata lembut bisa bergelombang bukit, hampir sendirian dengan alang-berumput: sebuah hutan rumput besar, di mana kelompok-kelompok jarang dari semak dan pohon yang rendah terjadi di gurun pasir dan oasis. Strip kecil atau lebih besar dari kayu yang lebih tinggi dirasakan hanya di kedalaman lembah, bersama air yang mengalir. Tidak ada makhluk hidup tampaknya menghuninya. Rerumputan tidak terbatas dan tandus. Secara bertahap perbukitan bergelombang dalam tampaknya datar, kehilangan dirinya negara padang-seperti, yang mengingatkan kita lukisan mencolok dari padang rumput Amerika Utara, Washington, Irving dan Cooper. Sepanjang sisi timur pegunungan melihat semak ramping, bahwa bagian-bagian besar dari lereng tertutup dan apa gelap tempat hijau eksentrik.

Di tepi sungai pertama, kami bertemu tampak kaki timur pegunungan Sipapal dan di mana wisatawan biasanya memiliki sedikit istirahat, kami menemukan beberapa bambu groeijende, mana sejumlah Batak atau lebih ketika mereka mengatakan kami Manda Healing Serbia menulis tanda-tanda menorehkan yang. Mereka dari pembantu asli Padang Lawas dibesarkan dan berarti pencurahan hati tentang sakit yang dirasakan, karena pengangkatan dan regularisasi melarikan diri dari tanah asli, karena kematian ibu tercinta, segala macam keluhan kurangnya, kelelahan dan semacamnya. Dalam hal ini adalah Manda Heli Gers selangkah lebih maju dari Eropa, yang biasanya hanya nama mereka atau hanya karakter nama di kulit kayu dipotong.

Aek Soerimambeh, sekitar 40 kaki lebar, cukup dalam dan cepat mengalir sungai, yang memiliki air keruh dan berlumpur dalam Aek Paneh membawa, membuat kami waktu lama untuk rambut bank yang aktif, di jembatan sejuk dari bambu dan rotan rusak satu. Tidak ada yang tersisa kecuali untuk membuang pakaian untuk menjaga mereka di atas kepala dan di bawah ketiak untuk mengarungi air. Namun, kami datang dengan cara itu, tanpa membuat barang-barang kami dengan senang basah. Di tepi kiri sungai ini hanya subur bambu pagar kampung Sioengam, dua tahun sebelumnya, oleh sekelompok pengikut Toeankoe Tamboesi, diserang di malam hari dan benar-benar hancur. Semua orang tewas dan para wanita dan anak-anak sebagai budak dideportasi.

Penduduk terus rintangan ini di mana-mana banyak rumah dan berpenghuni negara secara sistematis. Pos Belanda terdapat di tembok pembatas kecil, terutama diletakkan untuk Pertibi tujuan transportasi. Kami bertemu di tempat itu beberapa pribumi dari distrik lebih utara Batta, Sipirok, yang sepenuhnya disepakati dalam superintendence tubuh dan pakaian dengan penduduk Angkolah. Semua kontribusi ke tengah tubuh bagian luas dan sangat dilipat kain, di bawah pusar biasanya diikat dengan sabuk eenen kulit, sementara alam liar, tapi bulu-bulu halus yang sebagian besar terikat. Menggunakan sebuah band jerami padi atau alang-alang rotan Di dalam dan di luar gubuk mereka tampak tidak kekurangan housebroken, meskipun Geene babi yang dimiliki. Posting Sioengam hanya 114 meter dpl.

Jalan menuju Pertibi akan karena melihat prospek gratis yang satu ke semua jika tidak leemige, tanah licin akan telah dibuat. kebun binatang vermoeijend Jarang mereka melihat pohon dan rumput alang itu hampir satu kaki tinggi, kecuali di lembah lebih lembab dan dekat air. Seperti kita mendekati Pertibi, itu lanskap datar padang rumput berbukit dan masih dalam limitlessness jelas nya. Vegetasi telah di gurun rumput ini kesepian karakter yang sama sekali aneh, benar-benar berbeda dari apa yang kita terbiasa melihat. Di antara pohon-pohon yang masih menigvuldigst milik satu Mimosa, dengan buah asam hijau, bentuk dan ukuran bahkan peluru senapan. Salah satu spesies kecil puyuh (Tlemipodius) berkibar di kali Digt kaki kami dari rumput dan kehilangan dirinya di dalamnya lagi segera. Jejak gajah yang cukup banyak. Dalam sungai, kami menemukan dua jenis scheipen, satu Unio dan satu Melania.

Kondisi geologi negara stepa ini yang bersangkutan: tanahnya terdiri terutama dalam tanah liat coklat tangguh, yang memancarkan air moeijelijk. Dekat asal satu tunas air kami pertama kali melihat kerumunan batu digulung, ukuran, eener kacang dengan yang setengah kaki kubik bervariasi; kemudian kami masih sering mereka di sana-sini. Mereka biasanya keras, batu pasir kuarsa berbatu, sekarang sekali lagi baik daripada kualitas kasar. Sangat jarang itu terlihat sedikit jasper merah atau alam kieselschieferigen dan warna hitam di antara mereka. Mereka terletak deposisi jauh memperluas batu digulung karena itu mungkin di bawah laut dan sebelum dc penghapusan plutonium. Usia deposit mungkin tidak akan berbeda dari yang nagelfiue bersama dan dalam rantai Bukit Gedang, di tepi selatan ekstrim dari lanskap Limapoeloh Kota dan di tempat lain. Mungkin salah satu di kedalaman yang cukup batu pasir digulung verhonden oleh semen menjadi massa padat, karena ini adalah kasus dengan nagelfiue tersebut.

Pertibi untuk memungkinkan negara dirugikan penampilan bergelombang dan menjadi lebih datar. Batu-batu manik-manik jauh lebih banyak. Ketika uitdelven parit yang baru dibangun benteng telah di bawah ramping, coklat dan sekitar tujuh kaki tebal lapisan atas bumi, satu sekitar enam kaki tebal, air lapisan passe pasir putih halus bertemu, dan kemudian di bawah satu tempat tidur dari plastik Blaauw Nihon, ketebalan James Forster hampir enam kaki telanjang, tetapi bahkan lebih dalam. Kedua lapisan mungkin residu dagteekening baru. Pada lapisan pasir kami melihat beberapa lembar mika dan bagian benedenst nya agak lebih kencang dan garis-garis kekuningan. Eenig sisa organik kami telah menemukan di pasir.

Kampung Pertibi wasvoorheen ibukota dist Reed Padanglawas atau Lawee, sebagai penduduk asli biasanya mengucapkan kata terakhir dan nama harfiah berarti "dataran luas." Beberapa panggilan daerah ini dikenal sebagai Padang-Bolak, "Sepenuhnya atau Gansch polos." Pertibi tidak jauh dari serikat "dari sungai dan Soerimambeh Paneh, dekat tepi kanan yang terakhir, sekitar 80 kaki lebar, dan antara bank yang tinggi dan curam dari aluvium berpasir cukup cepat mengalir sebagainya. Meskipun ketinggian bank ketika tingkat adalah 15, sungai di musim hujan kadang-kadang membengkak sehingga senyawa tersebut diletakkan di bawah air. Batang Soerimambeh adalah klan agak kecil Batang Paneh.

Rumah Pertibi lebih bagian dari ukuran yang layak, semua beristirahat di atas panggung dan memiliki dinding dari kulit kayu, kecuali bahwa dari Badja, yang mereka terdiri dari papan berat. Seorang pilot besar adalah masjid, karena sebagian penduduk telah memeluk ajaran Muhammad dan doa sehari-hari. Bahasa orang Batak tidak berbeda dari selatan atau bawah-Angkolah Manda Healing. Desa itu diduduki oleh pasukan kami pada bulan Desember 1837 dan kemudian dibangun satu benteng di sekitarnya, yang diberikan nama Fort Pertibi. Sebuah benteng tanah tinggi dengan empat bastion dan dikelilingi oleh parit yang dalam 15 kaki untuk membuat benteng off. Peralatan pendudukan terdiri dari 50 laki-laki.

Bangunan yang terbuat dari kulit kayu. Air minum sangat langka dan miskin. Ketinggian di atas permukaan laut tidak melebihi 72 meter. Bingkai udara panas dan kering. Honderddeelige termometer kami menarik pagi hari untuk 06:00, dengan angin NW yang kuat, 22, 5 ° di sore hari untuk dua 29 jam, 7 ° dan malam hari untuk 6E 26 jam, 7 °. Sebuah W. kurang lebih kuat dan NW angin yang bertiup kadang-kadang minggu dan bulan, siang dan malam di padang rumput belakang dan shrivels dan hangus semuanya. Penyebab angin teguh ini tampaknya oleh panas besar dan kekeringan sangat diperluas udara di padang gurun, ke mana yang lembab dan dingin, sehingga jauh lebih sedikit diencerkan, lueht pegunungan barat kabur dengan kekuasaan.

Dengan Letnan Jawa, pendudukan benteng Pertibi milik, kita melihat satu peta asli Sumatera. The Goenong Merapi di Menangkabo Mahameroe ini atau Olympus orang Melayu, berbaring di tengah-tengah pulau, dan sekitar gunung melihat satu, berputar-putar, tiga kabupaten utama Menangkabosche Kekaisaran tua, yaitu Tanah-Datar, Samawang dengan ïigablas Kota cn Agam. Kunci ini adalah kabupaten lain untuk tidak teratur. Pegunungan membentang reticulated seluruh negeri; tapi mereka di beberapa titik cukup onnaauwkeurig menandatangani kontrak dengan alam. Peta ini dihasilkan oleh Maleijer ke Natal pada saat ketika Inggris telah menangkap sana.
 
The berigten yang kita mencoba untuk mendapatkan informasi tentang asal-usul dan tentu saja sungai Boeroemon besar dan berlayar melewati mereka ke Selat Malaka, memiliki akses ke hasil Geene cukup menghasilkan. Menurut cerita penduduk asli adalah sumber dari Batang Boeroemon, seperti yang dari Batang Sasak, di sisi W. dari besar Bukit Maleha, arah Baratdaya dari Pertibi, di perbatasan Manda Healing, dalam rantai pusat terletak, yang merupakan DAS membentuk W. pantai pulau. Setelah termasuk disebutkan sebelumnya Batang Siapas yang Boeroemon juga menerima perairan sungai bersatu Soerimambeh Paneh dan, untuk alasan apa pun, mereka kemudian, membuat mereka dalam perjalanannya, juga kadang-kadang Batang Paneh bukan Batang Boeroemon yang geheeten.

Titik zamenvloeijing dengan Paneh sebenarnya terletak pada jarak hanya sekitar satu setengah jam dari Pertibi. Dari sana, seorang pria bisa turun dalam enam hari sampai kampung Bila, tidak jauh dari pantai laut, dengan perahu Boeroemon dan tanah masuk tujuh hari Bila mencapai. Nama-nama desa di sepanjang pantai rambut yang memberi kita jauh berbeda dengan yang dapat ditemukan terdaftar di peta terbaru. Saat matahari terbit perjalanan kami mulai sesuai dengan informasi yang diberikan kepada kami, pada siang hari di kampung Koerita dan saat malam kampung Simangabat. Hari kedua akan, setelah beberapa jam berada ancaman ke mulut besar, di sisi kiri yang Boeroemon jatuh sungai, yang disebut Singa-Kanan, dan menjelang malam pada saat sepi Kampong Padang Matingi.

Pada hari ketiga yang memenuhi Geene dusun. Satu semalam untuk Pasir Andjangan dan melewati bahwa hari pertama pelebaran luar biasa sungai, yang dikenal dengan nama Loeboe Dalam. Hari keempat biasanya berlayar ke Kota Pinang; tetapi kita juga dapat mencapai kampung Sisamoet sebelum matahari terbenam, seperti berbohong sebelumnya di tepi kiri. Hari kelima (selalu pagi 06:00 ekspedisi awal) satu tiba di malam ke kampung Paneh, di mana satu, seperti biasa, malam tetap, dan hari keenam akhirnya kami tiba di kampung Bila, yang serikat sungai nama itu dengan Boeroemon berada.

Untuk Pertibi dari selatan ke Badja-moendang waktu itu, karena banyak band bermusuhan Toeankoe Tamboesi yang omzwierven di bagian-bagian, sangat tidak aman dan tidak tanpa pengawalan tc militer melakukan. Dan dengan demikian kita lihat memaksa kita untuk kembali sepanjang jalan yang sama untuk Pitjarkolling dan kemudian dari sana, barat Simardona "ebergte dan beserta rantai pusat zamenhangende, melalui lembah besar dari Lower Angkolah dan Manda Penyembuhan terus selatan. Kami menerima bagian pengembalian 3d September, pagi 08:00. Jalan melalui padang rumput itu sekarang alang-batang kering dan pendek, setelah dua hari hujan berdaya, kecoklatan sudah berbintik-bintik. Sebuah angin barat cukup kuat verkoelde kehangatan menyenangkan dari udara. Tak lama setelah 00:00 kami Sioengam. Termometer kami menarik ada di IJ ure 30, 9 centigr., Untuk 2 jam 81, 1 dan 06:00 di malam hari dari 26, 2 centigr. Yang merupakan perbedaan dari 7, 2 ° dengan panas udara menunjuk. Di malam hari melayang uap kabut seperti baik-baik saja di atas padang rumput, dimana pegunungan tetangga dan belakang tabir, tapi cukup tajam dalam lingkar mereka terjadi.

Keesokan paginya kami zetteden istirahat hari, perjalanan dilanjutkan. Langit jernih, hangat dan kering; Angin barat segera mulai menusuk. Pada pukul 7J kami sudah di kaki Pegunungan Sipapal, tempat di mana bambu yang disebutkan di atas ditemukan dengan tanda-tanda naskah asli. Mendaki gunung itu, sepanjang sisi timur lebih mudah daripada ke barat, lalu ke lereng glooijender itu, seperti umumnya lereng timur rantai pusat di Sumatera flaauwer, maka miliknya barat. Vegetasi memiliki penampilan yang hangus dan tandus. Selain sudah mantan semak dengan jarum-seperti dedaunan, kita juga mengambil satu Melastoma mana, dengan kecil, daun kasar dan bunga merah muda-merah.

Versche zat kotoran gajah yang sering di sana-sini di antara mereka pada daerah yang sangat curam jalan gunung ini. Sekitar tengah hari kami sampai di pos-Goenong Tuah. Kita harus menambahkan di sini bahwa sepanjang lereng seluruh timur pegunungan Sipapal batu pasir kekuningan dan napal baik dan sering berisi lembaran mika. Kemiringan lapisan mana ini jelas datang untuk hari biasanya lebih atau kurang. Untuk Goenong-Tuah adalah honderddeeüge termometer di sore hari 2 sampai 30 jam, 7 ° dan 3 jam 29, 6 °. Pada 04:00 ada hujan dari Selatan, dan saat suhu hingga 26, 7 ° centrigr. menurun. Gunung-gunung tampak sekarang, dalam cuaca basah, jauh lebih tinggi daripada di pagi hari di satu pesawat yang jelas dan murni. Selama malam kami mendengar beberapa kali teriakan rusa.

Keesokan paginya, pada awal hari, hujan berat bertaruh, sehingga kita pukul pertama setelah delapan, ketika langit mulai membersihkan, perjalanan di pegunungan Simardona bisa melanjutkan. Jalan melalui hutan yang tinggi mengerikan: berlumpur, licin, penuh danau dan melalui kerumunan tunggul, akar dan duri, semak-semak basah dan merambat, jadi obstruktif dan menjengkelkan, jika mungkin, tapi bisa menciptakan. Jenis batuan dari Simardona Mountains diragukan lagi milik pembentukan Neptunus tertua dari Sumatera dan yang telah mengalami perubahan yang paling. Di sekitar nya massa semakin luas Irypogene batu terjadi; yang tidak berarti kasus dengan formasi Neptunus muda, seperti yang ditemukan pada Sipapal. Agaknya hilang dalam lanjutan selatan Simardona rantai zoodanige batuan di sana, seperti dalam rantai barat lembah Angkolah mana terutama syenieten dan melaphieren hadir.

Catatan:

  1. Sumber utama (dalam tanda kutip) merupakan sari berita yang relevan dengan artikel ini. Sumber lain (ditulis anonim) hanya sebagai informasi pendukung agar konteks ‘berita’ sesuai.
  2. Isi artikel ini dibuat seorisinil mungkin, hanya berdasarkan informasi (surat kabar) yang tersedia. Kemungkinan adanya ‘bolong-bolong’ di sana sini, silahkan para pengguna (pembaca) melengkapi dan menginterpretasi sendiri.
  3. Beberapa kalimat masih memerlukan proses penerjemahan (menyusul)

(bersambung)
Baca juga:



*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber tempo doeloe. Sumber pendukung::

  • Tijdschrift voor Neerland's Indië jrg 8, 1846 (2e deel) [volgno 2]
  • Tijdschrift voor Neerland's Indië jrg 15, 1853 (2e deel), No 12.
  • Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indië. Nijhoff. 1855.

1 komentar:

syofyanlubis mengatakan...

terima kasih yang tidak terhingga kepada Bapak Akhir Matua Harahap atas postingannya yang memuat sejarah Padang Lawas yang berkaitan dengan sejarah Panai yang ada di muara sei barumun kabupaten Labuhanbatu semoga bermanfaat untuk anak cucu kita amiin, semoga terus berkarya