Kerangka anak 'orang pendek' |
Ternyata leto adalah primata
yang mirip manusia yang disebut: ‘orang letjo’. ‘orang pendek’, ‘orang pandak’,
dan sebagainya. Cerita tentang orang leto bermula di Laboehan Bilik, Laboehan
Batoe. A. Luytjes menulis di dalam De Tropische Natuur tentang ‘orang
pendek’ Sumatra setelah membaca tulisan Dammerman tentang orang pendek di edisi
De Tropische Natuur sebelumnya. Luytjes menceritakan pengalamannya tahun 1923 selama
10 bulan di Laboehan Bilik dalam observasi tanah gambut: ‘Karena adanya cerita
penduduk tentang ‘orang letjo’, selama itu pula saya melakukan observasi
tentang orang leto. Saya mengetahui bahwa beberapa pribumi, telah melihat lètjo
dan segera bersembunyi karena ketakutan. Namun begitu, selama observasi saya
belum mendapat data dan informasi yang lengkap, tetapi petunjuk adanya orang
leto sudah ada, tidak melihat tetapi jejaknya dapat diamati dengan jelas. Dari
yang kami amati, itu adalah ibu dan anaknya berjalan berdampingan kerap
ditemukan di sekitar pohon durian. Sejauh ini, kita tidak tahu apakah itu
‘manusi baru’ atau ‘manusia yang hilang’. Saya telah melaporkan penemuan ini
kepada Mr Westenenk, gubernur Sumatra’s Ooskust’
(De Indische courant, 06-04-1925).
Kisah leto ini juga terus
berlanjut. Pada tahun 1927 di kampong Pakis dilaporkan ada empat leto mendekati
perkampungan penduduk. Ketika leto mengambil beras dalam wadah kemudian
penduduk mengejar tetapi cepat menghilang. Deskripsi ini mirip dengan yang di Pasar
Pangaraiyan, Rokan (afd. Bengkalis, Province Sumatra’s Oostkust). Cerita yang
lain juga ditemukan di Rambah dimana dua leto terlihat di hutan tengah
menangkap ikan di sungai. Pelapor mendengar leto-leto tersebut berbicara satu
sama lain dengan nada kecepatan yang cepat, berambut kriting sebahu, berjalan
tegak. Laporan lain juga datang dari Medang, dekat Oedjong Batoe dekat Padang
Lawas. Penduduk mengatakan sulit menangkap hidup-hidup, karena mereka cepat.
Controleur telah memerintahkan untuk menangkap atau menembak. Dari dua leto,
ibu dan anak, tertembak anaknya dan berhasil ditangkap (De Sumatra post,28-05-1932).
Setelah kisah Laboehan
Bilik, Rambah, Rokan dan Padang Lawas ini berita semakin gencar, dan ternyata
juga ditemukan di tempat lain, seperti di Sumatra’s Westkust, Djambie dan
Palembang. Penemuan leto ini mengundang perhatian banyak pihak, apakah ini
sekedar kesalahan mengidentifikasi (apa yang dilihat berbeda dengan apa yang
diketahui) atau kasus ini merupakan jawaban atas pertanyaan atropologis tentang
‘missing link’ dalam teori asal manusia dari kera atau Darwinism? (Algemeen
Handelsblad, 06-06-1932).
Kini, setelah lama tidak
terdengar kisah-kisah leto, pada tahun 2013 seperti yang dilaporkan Viva News,
muncul kabar dari Taman Nasional Way Kambas. Para polisi hutan melihat di rawa kelompok
‘orang pendek’, terhitung banyaknya lebih dari 10 ‘orang’. penampilan
“orang-orang pendek” itu seperti manusia purba, pendek sekitar satu meter.
“Mereka tidak memakai baju, berambut gimbal panjang dan memegang tombak kayu
panjang. Tidak bisa juga dibedakan yang masih dewasa atau anak-anak, namun
petugas melihat ada di antaranya seperti yang ‘perempuan’ sedang menggendong
bayi. Disebutkan, bahwa penampakan ini bukan kali pertama ‘orang-orang’ itu
terlihat. Pada 1995, satu regu pendaki di Gunung Singgalang pernah bersua
dengan makhluk serupa sebagaimana yang dilihat para polisi hutan di Way Kambas.
Mereka melihat sepasang makhluk seperti monyet tapi berjalan dengan dua kaki.
Seorang peneliti, Deborah
Martyr, asal Inggris beberapa kali menyaksikan ‘orang pendek’ di Taman Nasional
Kerinci Seblat. Dia menyebut bahwa ‘orang pendek’ yang dilihatnya di sejumlah
hutan di Jambi, Bengkulu dan Sumatera Barat umumnya soliter, tidak bergerombol
lebih dari tiga orang. Ms. Martyr, Pemimpin Tim Fauna & Flora International's
Tiger Protection & Conservation Units di Sumatera, awal perkenalannya
dengan ‘orang pendek’ bermula tahun 1989 yang saat itu ia masih berprofesi
sebagai jurnalis. Namun baru tahun 1994, Debbie bersama Jeremy Holden dari
Fauna dan Flora International dan Achmad Yanuar dari Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia menggelar Project Orang Pendek. Selain melihat di Kerinci, Solok dan Bengkulu,
Deborah juga menyaksikan makhluk itu di hutan lindung di perbatasan Sumatera
Barat dengan Sumatera Utara. ‘Awalnya saya juga beranggapan sama, itu hanya
mitos. Namun setelah melihat, saya yakin itu bukan mitos’, katanya saat
diwawancara jurnalis VIVA News. di kediamannya di Sungai Penuh, Jambi, Rabu 27
Maret 2013. Deborah menyimpulkan bahwa ‘orang pendek’ tergolong primata, bukan
manusia. ‘Orang Pendek’ disebutnya adalah primata yang belum tercatat dalam
ilmu pengetahuan.
Project Orang Pendek ini
berhasil mengumpulkan spesimen rambut, feses, jejak telapak kakinya, serta
bentuk pemukimannya. Rambutnya kemudian ada yang dikirim ke Inggris untuk
diekstrak DNA-nya. Jejak kaki juga dicetak, memperlihatkan lekuk seperti
telapak kaki manusia, namun lebih pendek, lebih lebar dan jempolnya agak besar
dan mencelat. Ada variasi penampakan ‘orang pendek’ di mata narasumber riset.
Ada yang melihatnya berjalan dengan empat kaki, tapi umumnya dua kaki. Tapi
semuanya konsisten melihat makhluk ini berjalan di atas tanah, tak ada yang
melayang dari pohon ke pohon seperti dilakukan kera, beruk atau orangutan.
David Chivers, ahli primata dari Universitas Cambridge, telah
menganalisis jejak telapak kaki yang dikumpulkan Debbie dan kawan-kawan. ‘Sangat
tak biasa, karena mereka merupakan campuran karakter dari semua jenis kera dan
manusia’, kata Chivers seperti dilansir majalah Edge Science edisi No.7,
April-Juni 2011 yang dikutip Viva News. ‘Mereka punya jari yang lebih pendek,
hampir seperti manusia’. Antropolog biologis dari Universitas Idaho, Jeff
Meldrum, juga melihat jejak kaki itu menandakan bipedalisme atau berjalan
dengan dua kaki.
Sementara analisis atas DNA rambut, ahli hewan Hans Bruner dari
Universitas Deakin, Australia, menyatakan rambut itu milik primata tak dikenal.
Tahun 2010, jebolan genetika Universitas Oxford Tom Gilbert melakukan tes DNA
sendiri atas rambut tersebut. Peneliti di Centre for GeoGenetics, bagian dari
Natural History Museum of Denmark, itu menyatakan DNA makhluk itu adalah
manusia, atau setidaknya berhubungan dekat dengan manusia. Jika pendapat ini
diterima, ‘orang pendek’ bisa berdiri sejajar dengan Homo neanderthal, Homo
floresiensis dan Homo sapiens alias masuk jajaran ‘manusia’.
***
Lantas apa hubungannya primata
‘orang pendek’ dengan unggas ‘leto’. Sebagaimana yang dikutip di atas, unggas
leto di Tapanuli (bagian) Selatan sudah dikenal secara luas dan kerap dijadikan
sebagai perumpamaan. Misalnya ‘ulang ho songon leto’ yang artinya jangan
menjadi pencemburu (oleh Abdul Hakim Siregar dalam Kompasiana); judul lagu: ‘songon
leto na hona pias’ (seperti burung leto yang terperangkap dengan teknik pias)
atau pantun (lihat facebook Komunitas Pantun Tapsel Madina). Di Tapanuli
(bagian) Selatan teknik menangkap leto ada dua cara: metode marjobak dan dan
metode pias. Metode marjobak dideskripsikan oleh Amiruddin Pulungan dalam
blognya. Marjobak adalah teknik menangkap leto dengan sangkar perangkap yang
diumpan dengan padi, sedangkan teknik pias adalah dengan memancing leto betina
di dalam sangkar agar leto betina yang lain masuk perangkap. Kenapa leto betina,
Abdul Hakim Siregar mengidentifikasi karena leto betina percemburu (dan
cenderung bersifat soliter).
Seperti yang dikatakan
Deborah, ‘orang pendek’ bersifat soliter (bukan bergerombol), hanya ibu dan
anak-anaknya (yang jantan juga tentunya soliter). Sementara itu, semua laporan
penduduk dan identifikasi para observer (pengamat), bahwa ‘orang pendek’ sulit
ditangkap karena bersifat reflek, gesit dan cepat. Menurut Amiruddin Pulungan,
leto dapat ditangkap dengan mengumpan dengan makanannya, tetapi menurut Abdul
Hakim Siregar juga dapat dilakukan dengan menempatkan saingannya di dalam sangkar
perangkap. Tapi, untuk mendapatkan ‘orang pendek’ sendiri pun sejauh ini belum
ada, jadi akan sulit, dan masih menunggu hingga ‘orang pendek’ ditangkap baru bisa
menangkap ‘orang pendek’ yang lain.
Soal nama leto sendiri, profil
dan perilaku unggas leto ini sedikit atau banyak mirip dengan ‘orang pendek’:
kecil, pendek, berjalan di tanah (meski bisa melompat), sama-sama gesit, reflek
dan penakut (cepat kabur) serta soliter. Pertanyaannya: mana yang lebih dahulu
diidentifikasi, uanggas leto atau ‘orang
pendek’? Unggas leto atau unggas letjo adalah juga (semacam) burung puyuh.
Sejauh ini, burung puyuh tidak ada diasosiasikan dengan ‘orang puyuh’. Tetapi
burung leto masih berasosiasi dengan ‘orang leto’ atau ‘orang letjo’ atau ‘orang
pendek’. Tempat dimana keberadaan ‘orang pendek’ atau ‘orang letjo’ dilaporkan
tidak jauh dari Tapanuli (bagian) Selatan. Leto tidak hanya burung, juga tidak
hanya kiasan, tetapi habitatnya juga tidak begitu jauh.
1 komentar:
Artikel Abang Akhir Matua Harahap ini sangat bagus, rujukan bagi orang atau ahli yang ingin paham Tapanuli Selatan. Terima kasih. Aku banyak berguru di sini. Tarimo kasih.
Posting Komentar