Sabtu, April 16, 2016

Leto atau Letjo di Padang Lawas: Misteri ‘Orang Pendek’ di Tapanuli Selatan



Kerangka anak 'orang pendek'
Di Tapanuli (bagian) Selatan, leto adalah nama jenis unggas (semacam burung puyuh): pendek, lebih sering berjalan di tanah (seperti ayam). Sangat gesit, sekejap hilang jika merasa ada gangguan. Meski sangat liar, ada cara untuk menangkapnya tanpa melukai, yakni dengan cara: ‘marjobak’, ‘marpias’ dan sebagainya. Secara sosial, burung leto ini juga kerap dijadikan sebagai perumpamaan, misalnya ‘ulang ho songon leto’. Juga leto dibuat judul lagu: ‘songon leto na hona pias’. Tentu saja bagian dari pantun: ‘habang mada unggas leto, na songgop di sopo saba; memang au do tong naoto, na mancintai alak nasala.

Ternyata leto adalah primata yang mirip manusia yang disebut: ‘orang letjo’. ‘orang pendek’, ‘orang pandak’, dan sebagainya. Cerita tentang orang leto bermula di Laboehan Bilik, Laboehan Batoe. A. Luytjes menulis di dalam De Tropische Natuur tentang ‘orang pendek’ Sumatra setelah membaca tulisan Dammerman tentang orang pendek di edisi De Tropische Natuur sebelumnya. Luytjes menceritakan pengalamannya tahun 1923 selama 10 bulan di Laboehan Bilik dalam observasi tanah gambut: ‘Karena adanya cerita penduduk tentang ‘orang letjo’, selama itu pula saya melakukan observasi tentang orang leto. Saya mengetahui bahwa beberapa pribumi, telah melihat lètjo dan segera bersembunyi karena ketakutan. Namun begitu, selama observasi saya belum mendapat data dan informasi yang lengkap, tetapi petunjuk adanya orang leto sudah ada, tidak melihat tetapi jejaknya dapat diamati dengan jelas. Dari yang kami amati, itu adalah ibu dan anaknya berjalan berdampingan kerap ditemukan di sekitar pohon durian. Sejauh ini, kita tidak tahu apakah itu ‘manusi baru’ atau ‘manusia yang hilang’. Saya telah melaporkan penemuan ini kepada Mr Westenenk, gubernur Sumatra’s Ooskust’ (De Indische courant, 06-04-1925).

Kisah leto ini juga terus berlanjut. Pada tahun 1927 di kampong Pakis dilaporkan ada empat leto mendekati perkampungan penduduk. Ketika leto mengambil beras dalam wadah kemudian penduduk mengejar tetapi cepat menghilang. Deskripsi ini mirip dengan yang di Pasar Pangaraiyan, Rokan (afd. Bengkalis, Province Sumatra’s Oostkust). Cerita yang lain juga ditemukan di Rambah dimana dua leto terlihat di hutan tengah menangkap ikan di sungai. Pelapor mendengar leto-leto tersebut berbicara satu sama lain dengan nada kecepatan yang cepat, berambut kriting sebahu, berjalan tegak. Laporan lain juga datang dari Medang, dekat Oedjong Batoe dekat Padang Lawas. Penduduk mengatakan sulit menangkap hidup-hidup, karena mereka cepat. Controleur telah memerintahkan untuk menangkap atau menembak. Dari dua leto, ibu dan anak, tertembak anaknya dan berhasil ditangkap (De Sumatra post,28-05-1932).

Setelah kisah Laboehan Bilik, Rambah, Rokan dan Padang Lawas ini berita semakin gencar, dan ternyata juga ditemukan di tempat lain, seperti di Sumatra’s Westkust, Djambie dan Palembang. Penemuan leto ini mengundang perhatian banyak pihak, apakah ini sekedar kesalahan mengidentifikasi (apa yang dilihat berbeda dengan apa yang diketahui) atau kasus ini merupakan jawaban atas pertanyaan atropologis tentang ‘missing link’ dalam teori asal manusia dari kera atau Darwinism? (Algemeen Handelsblad, 06-06-1932).

Kini, setelah lama tidak terdengar kisah-kisah leto, pada tahun 2013 seperti yang dilaporkan Viva News, muncul kabar dari Taman Nasional Way Kambas. Para polisi hutan melihat di rawa kelompok ‘orang pendek’, terhitung banyaknya lebih dari 10 ‘orang’. penampilan “orang-orang pendek” itu seperti manusia purba, pendek sekitar satu meter. “Mereka tidak memakai baju, berambut gimbal panjang dan memegang tombak kayu panjang. Tidak bisa juga dibedakan yang masih dewasa atau anak-anak, namun petugas melihat ada di antaranya seperti yang ‘perempuan’ sedang menggendong bayi. Disebutkan, bahwa penampakan ini bukan kali pertama ‘orang-orang’ itu terlihat. Pada 1995, satu regu pendaki di Gunung Singgalang pernah bersua dengan makhluk serupa sebagaimana yang dilihat para polisi hutan di Way Kambas. Mereka melihat sepasang makhluk seperti monyet tapi berjalan dengan dua kaki.

Seorang peneliti, Deborah Martyr, asal Inggris beberapa kali menyaksikan ‘orang pendek’ di Taman Nasional Kerinci Seblat. Dia menyebut bahwa ‘orang pendek’ yang dilihatnya di sejumlah hutan di Jambi, Bengkulu dan Sumatera Barat umumnya soliter, tidak bergerombol lebih dari tiga orang. Ms. Martyr, Pemimpin Tim Fauna & Flora International's Tiger Protection & Conservation Units di Sumatera, awal perkenalannya dengan ‘orang pendek’ bermula tahun 1989 yang saat itu ia masih berprofesi sebagai jurnalis. Namun baru tahun 1994, Debbie bersama Jeremy Holden dari Fauna dan Flora International dan Achmad Yanuar dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menggelar Project Orang Pendek.  Selain melihat di Kerinci, Solok dan Bengkulu, Deborah juga menyaksikan makhluk itu di hutan lindung di perbatasan Sumatera Barat dengan Sumatera Utara. ‘Awalnya saya juga beranggapan sama, itu hanya mitos. Namun setelah melihat, saya yakin itu bukan mitos’, katanya saat diwawancara jurnalis VIVA News. di kediamannya di Sungai Penuh, Jambi, Rabu 27 Maret 2013. Deborah menyimpulkan bahwa ‘orang pendek’ tergolong primata, bukan manusia. ‘Orang Pendek’ disebutnya adalah primata yang belum tercatat dalam ilmu pengetahuan.

Project Orang Pendek ini berhasil mengumpulkan spesimen rambut, feses, jejak telapak kakinya, serta bentuk pemukimannya. Rambutnya kemudian ada yang dikirim ke Inggris untuk diekstrak DNA-nya. Jejak kaki juga dicetak, memperlihatkan lekuk seperti telapak kaki manusia, namun lebih pendek, lebih lebar dan jempolnya agak besar dan mencelat. Ada variasi penampakan ‘orang pendek’ di mata narasumber riset. Ada yang melihatnya berjalan dengan empat kaki, tapi umumnya dua kaki. Tapi semuanya konsisten melihat makhluk ini berjalan di atas tanah, tak ada yang melayang dari pohon ke pohon seperti dilakukan kera, beruk atau orangutan.

David Chivers, ahli primata dari Universitas Cambridge, telah menganalisis jejak telapak kaki yang dikumpulkan Debbie dan kawan-kawan. ‘Sangat tak biasa, karena mereka merupakan campuran karakter dari semua jenis kera dan manusia’, kata Chivers seperti dilansir majalah Edge Science edisi No.7, April-Juni 2011 yang dikutip Viva News. ‘Mereka punya jari yang lebih pendek, hampir seperti manusia’. Antropolog biologis dari Universitas Idaho, Jeff Meldrum, juga melihat jejak kaki itu menandakan bipedalisme atau berjalan dengan dua kaki.

Sementara analisis atas DNA rambut, ahli hewan Hans Bruner dari Universitas Deakin, Australia, menyatakan rambut itu milik primata tak dikenal. Tahun 2010, jebolan genetika Universitas Oxford Tom Gilbert melakukan tes DNA sendiri atas rambut tersebut. Peneliti di Centre for GeoGenetics, bagian dari Natural History Museum of Denmark, itu menyatakan DNA makhluk itu adalah manusia, atau setidaknya berhubungan dekat dengan manusia. Jika pendapat ini diterima, ‘orang pendek’ bisa berdiri sejajar dengan Homo neanderthal, Homo floresiensis dan Homo sapiens alias masuk jajaran ‘manusia’.

***
Lantas apa hubungannya primata ‘orang pendek’ dengan unggas ‘leto’. Sebagaimana yang dikutip di atas, unggas leto di Tapanuli (bagian) Selatan sudah dikenal secara luas dan kerap dijadikan sebagai perumpamaan. Misalnya ‘ulang ho songon leto’ yang artinya jangan menjadi pencemburu (oleh Abdul Hakim Siregar dalam Kompasiana); judul lagu: ‘songon leto na hona pias’ (seperti burung leto yang terperangkap dengan teknik pias) atau pantun (lihat facebook Komunitas Pantun Tapsel Madina). Di Tapanuli (bagian) Selatan teknik menangkap leto ada dua cara: metode marjobak dan dan metode pias. Metode marjobak dideskripsikan oleh Amiruddin Pulungan dalam blognya. Marjobak adalah teknik menangkap leto dengan sangkar perangkap yang diumpan dengan padi, sedangkan teknik pias adalah dengan memancing leto betina di dalam sangkar agar leto betina yang lain masuk perangkap. Kenapa leto betina, Abdul Hakim Siregar mengidentifikasi karena leto betina percemburu (dan cenderung bersifat soliter).

Seperti yang dikatakan Deborah, ‘orang pendek’ bersifat soliter (bukan bergerombol), hanya ibu dan anak-anaknya (yang jantan juga tentunya soliter). Sementara itu, semua laporan penduduk dan identifikasi para observer (pengamat), bahwa ‘orang pendek’ sulit ditangkap karena bersifat reflek, gesit dan cepat. Menurut Amiruddin Pulungan, leto dapat ditangkap dengan mengumpan dengan makanannya, tetapi menurut Abdul Hakim Siregar juga dapat dilakukan dengan menempatkan saingannya di dalam sangkar perangkap. Tapi, untuk mendapatkan ‘orang pendek’ sendiri pun sejauh ini belum ada, jadi akan sulit, dan masih menunggu hingga ‘orang pendek’ ditangkap baru bisa menangkap ‘orang pendek’ yang lain.

Soal nama leto sendiri, profil dan perilaku unggas leto ini sedikit atau banyak mirip dengan ‘orang pendek’: kecil, pendek, berjalan di tanah (meski bisa melompat), sama-sama gesit, reflek dan penakut (cepat kabur) serta soliter. Pertanyaannya: mana yang lebih dahulu diidentifikasi,  uanggas leto atau ‘orang pendek’? Unggas leto atau unggas letjo adalah juga (semacam) burung puyuh. Sejauh ini, burung puyuh tidak ada diasosiasikan dengan ‘orang puyuh’. Tetapi burung leto masih berasosiasi dengan ‘orang leto’ atau ‘orang letjo’ atau ‘orang pendek’. Tempat dimana keberadaan ‘orang pendek’ atau ‘orang letjo’ dilaporkan tidak jauh dari Tapanuli (bagian) Selatan. Leto tidak hanya burung, juga tidak hanya kiasan, tetapi habitatnya juga tidak begitu jauh.



*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe dan sumber pendukung.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Artikel Abang Akhir Matua Harahap ini sangat bagus, rujukan bagi orang atau ahli yang ingin paham Tapanuli Selatan. Terima kasih. Aku banyak berguru di sini. Tarimo kasih.