Pesawat pertamakali mendarat di Indonesia adalah di Medan. Dari Medan ke Singapura dan dari Singapura ke Batavia. Itu terjadi pada tahun 1924. Penerbangan pertama ini merupakan langkah radikal dalam transportasi Belanda (Nederland) dengan Indonesia (Nederlandsch Indie). Jalur perdana Medan-Singapoera-Batavia ini kemudian menjadi jalur internasional dari Batavia ke Eropa/Belanda. Namun demikian, penerbangan domestik justru dimulai di Jawa baru kemudian menyusul di Sumatra.
Pembicaraan tentang jalur
penerbangan di langit Sumatra baru dimulai pada tahun 1926. Hal ini dimulai
dari rencana sebuah maskapai membuat jalur Batavia-Telok Betong. Bandara Telok
Betong ini akan menjadi jalur entri memasuki Sumatra yang akan dikembangkan
terus ke utara hingga ke Kota Radja via Moeara Bliti, Pajacombo, Padang
Sidempoean atau Rautau Prapat atau Gunung Toea lalu ke Medan. Dari Medan
diperluas ke Kota Radja. Jalur Medan-Padang Sidempuan secara khusus menjadi
prioritas jika Rantau Prapat yang akan dipilih yang juga akan mencakup wilayah yang luas baik
ke Toba maupun ke timur (De Indische courant, 15-07-1926).
Jalur ini direncanakan untuk memenuhi aviation jalur tengah Sumatra, Jalur
tengah ini selain untuk angkutan orang juga untuk mendukung pengakutan pos.
Juga telah datang usul agar dibuat jalur Padang-Singapoera, namun maskapai baru
membatasi jalur Medan-Singapora-Batavia (yang akan beroperasi tahun 1930). Penerbangan
Batavia-Medan secara militer sudah dimulai pada tahun 1928.
Pada bulan Agustus 1930 secara
resmi akan dibuka penerbangan sipil secara permanen dari Batavia-Medan. Tentang
bagaimana kesiapan bandara Medan telah ditinjau oleh Ir. Valkenburg. Untuk
merealisasikan ini di Pakan Baru sudah disiapkan bandara pembantu (jika
sewaktu-waktu terjadi pendaratan darurat). Juga hal yang sama telah dilakukan
di Laboehan Ruku dan Rantau Prapat. Untuk yang di Rantau Prapat lahan yang
digunakan adalah lahan jalan raya. Untuk tujuan-tujuan pendaratan darurat ini
juga di Kota Pinang tersedia sebuah situs yang cocok tanpa memerlukan upaya pekerjaan
yang lebih besar. Sementara ini yang paling memungkinkan adalah di Padang
Lawas, di mana sudah terdapat sebuah situs yang berukuran 650-200 meter. Untuk hanggar
di Medan masih berproses yang akan diinstal oleh Kantor Teknis dari Bandung. Persiapan
ini selesai awal Agustus yang secara keseluruhan menelan biaya f60.000. (Het
nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 19-05-1930).
Setelah Batavia Medan
sukses, giliran berikutnya adalah Batavia-Padang. Pada tahun 1934, atas dukungan
pemerintah di Sumatra’s Westkust dalam mendukung permintaan bandara di Padang.
Pembangunan bandara di Padang ini akan menelan biaya sebesar lima ribu gulden.
Kini pembangunan Bandar itu telah dimulai. Bandara ini akan membuka koneksi
dengan berbagai daerah di pantai barat Sumatra. Seperti yang kita dilaporkan
beberapa waktu lalu sudah ada maskapai yang berminat untuk jalur Batavia,
Benkoelen, Padang (dengan koneksi berikutnya melalui Padang Sidempoean, Toba ke
Medan). Terkait dengan ini penting untuk menganggap pembangunan bandara di lndrapoera
yang layanan berasal dari Sungei Penoeh (De Sumatra post, 18-05-1935).
De Sumatra post, 04-11-1935 |
Setelah memulai pembangunan
bandara di Padang, giliran berikutnya adalah pembangunan bandara di Padang
Sidempuan, yang merupakan wujud rencana pengembangan jalur Medan-Padang.
Sebagaimana yang dilaporkan Aneta yang dikutip De Sumatra post, 04-11-1935
bahwa bandara Padang Sidempuan ini Dewan Kota (Plaatselijken Raad) sudah
membeli lahan di Sihitang yang nilai seribu gulden. Meskipun bandara ini untuk pengembangan
bandara transit, tetapi untuk sementara akan digunakan untuk bandara pembantu
jika sewaktu-waktu terjadi pendaratan darurat antara Padang dan Medan.
Rencana pembangunan bandara Padang Sidempuan ini ternyata mendapat penolakan
dari sebagian penduduk sebagaimana dilaporkan oleh De tribune: soc. dem. Weekblad,
16-12-1935. Penolakan ini di satu sisi
dianggap penduduk lebih pada untuk mempromosikan penerbangan militer dan sipil yaitu
untuk persiapan perang terbuka dan rahasia imperialism Belanda, sementara di
sisi lain penduduk banyak yang lapar dan kesusahan.
Surat kabar Sinar Merdeka di Padang Sidempuan, sejak 1919 |
Penolakan pembangunan
bandara Padang Sidempuan ini sangat khas. Hanya terjadi di Padang Sidempuan.
Pada masa itu, kebutuhan penerbangan masih merupakan kebutuhan-orang-orang
Eropa baik pejabat pemerintah maupun para wisatawan. Untuk kebutuhan penduduk
pribumi jelas belum diperhitungkan (karena dianggap tidak layak secara financial).
Namun bukan disitu intinya. Penduduk Padang Sidempuan pada tahun-tahun itu,
sudah sangat maju secara social dan secara politik. Bahkan pada tahun 1919 di
Padang Sidempuan sudah terbit surat kabar yang diberi nama Sinar Merdeka, surat
kabar yang secara harpiah telah memberikan pencerahan bagi penduduk apa
implikasinya imperialism dan apa manfaatnya independen (kemerdekaan). Itulah
Padang Sidempuan, tempat kelahiran tokoh-tokoh penting Indonesia yang anti imperialis
(penjajahan).
***
Rencana pembangunan bandara
Padang Sidempuan lambat-laun semakin redup dan hilang dari program pemerintah
kota. Pada masa pendudukan Jepang berita-berita rencana pembangunan bandara di
Tapanoeli jika tidak terdengar. Pembangunan bandara di Tapanoeli baru muncul
dan tiba-tiba semasa agresi militer Belanda. Kebutuhan bandara ini dimaksdukan
untuk memperkuat pergerakan militer Belanda yang sudah ada. Jalur darat dari
Medan via Pematang Siantar dan Tarutung (tengah) dan Rantau Prapat dan Gunung
Tua (timur). Jalur laut dari Teluk Tapanuli di Sibolga. Untuk jalur udara
lokasi yang dipilih adalah Pinang Sori. Bandara di Padang Sidempuan baru
direncanakan tahun 1975 dan selesai dibangun tahun 1978 di Aek Godang.
*Dikompilasi oleh Akhir
Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar