Pada
masa kini, gajah hanya ditemukan di perbatasan Padang Lawas. Dengan kata lain,
gajah tidak ditemukan lagi di Tapanuli Selatan (Angkola, Mandailing dan Padang
Lawas). Gajah yang terakhir ditemukan pada tahun 1936. Hanya tinggal satu:
soliter, Gadingnya hanya tinggal satu (boleh jadi merupakan sisa gading yang
dimilikinya ketika terjadi pertarungan yang terakhir dengan lawannya). Gajah ini boleh disebut gajah the last of mochican.
De Sumatra post, 22-05-1936. |
Gajah
terakhir ini, sang 'the last of mochican' terdeteksi pada bulan Mei 1936 di Batang Toru
(Angkola) sebagaimana dilaporkan De Sumatra post, 22-05-1936. Gajah ini sudah sangat tua.
Penduduk lokal menyebutnya ‘klamboe boeroek’ atau kelambu tua. Disebut
demikian, karena puluhan tahun lalu dilaporkan telah menghancurkan kemah militer
lalu menyeret semua barang dab orang didalamnya hingga masuk jauh ke dalam hutan. Sejak kejadian itu,
sering ada laporan penduduk yang menyebut gajah besar itu menghancurkan sawah
ladang dan perkampungan. Gajah itu kemudian menjadi target buruan. Gadingnya
yan panjang dan bagus menjadi incaran setiap pemburu.
Wartawan
De Sumatra post yang berhasil mewawancarai Mr. Pietersz, seorang pemburu gajah
yang tengah berada di Padang Sidempoean telah menemukan jejak gajah itu dan
ukurannya memang sangat besar, Sudah banyak pemburu yang coba melumpuhkannya
tetapi senjata laras panjang tidak mempan. Sebagaimana disebut De Sumatra post,
almarhum Tjong A Fie (orang kaya dan Mayor Tionghoa di Medan) bahkan pernah
menjanjikan uang sebesar f2.500 untuk gading gajah soliter tersebut. Itu juga tetap
tidak ada yang berhasil melumpuhkan gajah tersebut. Orang terus bertanya-tanya,
apakah gajah soliter ini pada nantinya akan mati secara alamiah?
Tjong A Fie
meninggal tahun 1921. Dengan memperhatikan harga (hadiah) dari satu buah gading
gajah ini, besar kemungkinan gajah soliter ini boleh jadi merupakan gajah
terbesar yang pernah dilaporkan pada masa itu. Mr. Pietersz yang tengah berada di
Padang Sidempuan adalah pemburu professional yang mungkin hanya dating karena
Klamboe Boeroek (dan tentunya tergiur dengan hadiah (harga) gading yang cukup
menggiurkan.
Pada
bulan Juli gajah raksasa ini dilaporkan berada di Mandailing sebagaimana
dilaporkan Sumatra post yang dilansir oleh Bataviaasch nieuwsblad, 01-08-1936.
Menurut laporan penduduk, gajah soliter ini yang di Mandailing disebut Si
Teleng (karena hanya memiliki sisa satu gading) beberapa waktu sebelumnya telah
menghancurkan sawah, kebun dan pondok-pondok. Petugas dari Panjaboengan
didatangkan tetapi tetap tidak berhasil melumpuhkannya. Juga dilaporkan bahwa
gajah bergading satu itu telah berulang kali dating menghancurkan pondok-pondok
ikan kering (dari orang-orang yang mengumpulkan ikan di sungai Batang Gadis),
Gajah ini juga dilaporkan tahun lalu telah menginjak-injak mati seorang
penambang emas hingga mati di Hutabarat.
Jika membandingkan
saat ditemukan bulan Mei di Batang Toru dan kemudian kini di Mandailing serta
kejadian tahun lalu di Mandailing, ini berarti bahwa gajah soliter ini telah
bolak-balik antara Angkola dan Mandailing. Sebagaimana diketahui, bahwa gajah
adalah hewan berkelompok, tetapi laporan-laporan dari Batang Toru di Angkola
dengan yang di Mandailing gajah besar ini selalu sendiri (soliter). Ini juga
mengindikasikan bahwa gajah lainnya sudah tidak ada lagi alias tidak ada lagi
kelompoknya.
Mendengar
kejadian-kejadian yang terakhir ini, seorang inspektur polisi yang sekarang berdinas
di Koetanopan bernama Mr van Leuven diminta penduduk untuk turut membantu. Mr
van Leuven bukanlah pemburu gajah, tetapi keahliannya adalah pemburu harimau. Mr
van Leuven ini sudah kerap membantu penduduk yang merasa terancam dengan
kehadiran harimau di kampong-kamnpung mereka. Dan selalu berhasil melumpuhkan
harimau-harimau tersebut. Ketika bulan Juli sebagaimana dilaporkan Sumatra
post/ Bataviaasch nieuwsblad gajah tersebut dilaporkan tengah berada di Aek
Siajoe, Mr van Leuven diberitahu dan kemudian bergegas ke TKP.
Akhirnya
sang pemburu harimau bertemu sang gajah soliter yang besar. Saat Mr van Leuven
masih coba membuka koper (tempat senjatanya) dia sudah langsung di serang sang gajah,
Mr van Leuven terpelanting dan senjatanya ala cowboy Arkansas tersebut hancur
berantakan. Namun, Mr van Leuven masih ada revolver dipigangga. Pertarungan
jarak dekat tidak terhindarkan. Mr van Leuven tidak bisa menyasar mata gajah
(titik paling lemah) karena gajah yang besar tidak terlihat dari jarak dekat.
Tapi Mr van Leuven masih sempat berpikir untuk membidik rahangnya:
dor..dor..dor. Peluru revolver tentu tidak akan mempan sebab sebelumnya sudah
banyak pemburu yang pernah menggunakan peluru yang lebih besar dari laras
panjang (dari jarak jauh). Mr van Leuven yang kini bertarung dalam jarak dekat
memiliki kesempatan untuk menembak rahang atas. Setelah pertarungan ini
selesai, sang gajah mundur dan berkeliaran kemana-mana. Mungkin sang gajah mulai
sempoyongan (karena sudah mulai kekurangan darah) dan baru dua hari kemudian
gajah itu benar-benar jatuh dan mati. Mr van Leuven adalah pemenang dalam
pertarungan itu. Gajah ini setelah tergeletak lalu diukur dan ternyata sangat besar: tingginya 2.2 meter dan panjangnya 4.68
meter. Umurnya sangat tua, tetapi tidak diketahui berapa puluh tahun umurnya.
Good
news dari hasil pertarungan gajah tersebut, semua penduduk bersukacita. Hama
besar dan predator manusia telah mati. Semua desa lalu beramai-ramai memberikan
upeti (baca: hadiah) kepada Mr van Leuven. Penduduk kini bernapas lagi. Bad
news dari perburuan gajah tersebut adalah gajah di Angkola dan Mandailing tamat
alias punah untuk selama-lamanya. Tapi mudah-mudahan saja masih ada gajah yang
tersisa di sudut-sudut hutan di Angkola dan Mandailing yang belum terdeteksi.
Namun sejak kematian the last mochican itu, tidak ada lagi gajah yang
pernah dilaporkan di Mandailing dan Angkola.
Belum lama ini
ditemukan fosil gajah purba yang berukuran raksasa di Blora, Jawa Tengah.
Dilaporkan bahwa fosil gajah purba tersebut saat ini merupakan yang terbesar di
dunia. Ukurannya: Tingginya empat meter dan panjangnya mencapai lima meter.
Replika fosil ini akan dipajang di Museum Geologi Bandung, sedangkan yang asli
akan dikirim ke museum internasional.
*Dikompilasi
oleh Akhir Matua Harahap dari
berbagai sumber tempo doeloe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar