Baca
juga:
Lomang
(Batak), lemang (Melayu) dan lamang (Minangkabau) adalah tiga nama yang
diucapkan dan ditulis mirip untuk menunjukkan nama satu hal. Lemang (selanjutnya,
baca: Indonesia) adalah suatu metode memasak beras menjadi nasi dengan
menggunakan wadah bamboo. Setelah beras dimasukkan ke dalam rongga bamboo yang
di dalamnya dilapisi daun pisang kemudian dibakar/dipanggang di atas api
menyala. Beras yang sudah menjadi nasi ini dengan metode bamboo disebut lemang.
Lemang
pada masa kini ditemukan di beberapa Negara dan sejumlah daerah di Indonesia.
Dalam perkembangannya, jenis beras yang digunakan bermacam-macam, utamanya
beras local seperti beras putih, beras merah, beras hitam atau beras pulut. Di daerah Angkola dan Mandailing beras disebut dahanon dan jenisnya bermacam-macam, seperti dahanon Sipulo, dahanon Silanting, dahanon Sipahatta nabara, dan dahanon Sipulut (beras ketan). Diantara jenis-jenis
beras yang ada, beras pulut yang paling popular yang kerap dihidangkan untuk lomang di
saat-saat tertentu terutama ketika hari raya.
***
'Mangalomang' |
***
Produk beras dengan menggunakan metode
memasak ala bamboo ini terbukti memang nasi menjadi lebih uenak. Hal ini tidak hanya karena
bahan dasarnya beras lokal, juga karena dibakar dengan kayu bakar. Jangan lupa
efek dari wadah bamboo dan daun pisang juga turut meningkatkan aroma rasanya
menjadi khas. Value inilah yang dicapture untuk dilestarikan sebagai makanan yang
khas pada hari tertentu, seperti hajatan atau hari raya. Sedangkan di masa kini
value yang dimaksud adalah nilai komersil yang dapat diperdagangkan setiap
hari, seperti di Tebing Tinggi, Sumatra Utara. Dengan demikian, penganan pada
hari raya dan produk bisnis di pasar menjadi sebanding jika metode bamboo ini
diterapkan.
Namun perlu diingatkan, dalam industri lemang yang sekarang, seperti dituturkan Baharuddin Aritonang dalam bukunya Orang Batak Berpuasa, chapter 26 'Mangalomang', banyak lemang komersil yang palsu di pasaran. Dalam dunia tradisi, lomang asli haruslah taat menggunakan jenis bambu yang sesuai--agar hasilnya maksimal. Lomang asli ciri-cirinya lembek di bagian bawah dan bagian atas. Bagian terbaik dari lomang asli (pulen) ada di bagian tengah ruas bambu. Lemang palsu mudah dikenali jika semua bagian ruas bambu (bawah, tengah dan atas) tampak seragam dan tingkat kematangannya rata, Teknik lemang palsu ini dilakukan dengan cara beras pulut dimasak dulu dalam dandang baru kemudian dibungkus dan digulung dengan daun pisang yang sudah diasapi lalu dimasukkan ke dalam rongga bambu dan kemudian dipanggang seadanya. Dalam perdagangan lemang palsu maccam ini, kerap kali bambunya disembunyikan, isinya dijajakan. Tidak demikian dengan lomang tradisi nan asli.
Namun perlu diingatkan, dalam industri lemang yang sekarang, seperti dituturkan Baharuddin Aritonang dalam bukunya Orang Batak Berpuasa, chapter 26 'Mangalomang', banyak lemang komersil yang palsu di pasaran. Dalam dunia tradisi, lomang asli haruslah taat menggunakan jenis bambu yang sesuai--agar hasilnya maksimal. Lomang asli ciri-cirinya lembek di bagian bawah dan bagian atas. Bagian terbaik dari lomang asli (pulen) ada di bagian tengah ruas bambu. Lemang palsu mudah dikenali jika semua bagian ruas bambu (bawah, tengah dan atas) tampak seragam dan tingkat kematangannya rata, Teknik lemang palsu ini dilakukan dengan cara beras pulut dimasak dulu dalam dandang baru kemudian dibungkus dan digulung dengan daun pisang yang sudah diasapi lalu dimasukkan ke dalam rongga bambu dan kemudian dipanggang seadanya. Dalam perdagangan lemang palsu maccam ini, kerap kali bambunya disembunyikan, isinya dijajakan. Tidak demikian dengan lomang tradisi nan asli.
Ini berarti, untuk
menghasilkan lemang yang orisinil, syarat perlu metode lemang ini haruslah ada jenis bamboo yang sesuai
dengannya, yakni bambu spesies Schizostachyum zollingeri Steud. Jenis bamboo ini tidak mudah diperoleh, hanya terbatas di beberapa daerah, tetapi umum ditemukan di Tanah Batak. Tanaman bamboo jenis ini
tumbuh liar secara acak di berbagai tempat dan jarang dibudidayakan penduduk
karena manfaatnya sangat terbatas. Berbeda dengan jenis bamboo yang lain yang
batang bamboo dapat dibuat menjadi gubuk/rumah, pagar, jembatan atau tiang
jemuran. Akibatnya nilai ekonomis penggunaannya bamboo lemang bagi penduduk
tidak setinggi jenis bamboo yang lain--kuat dan tahan lama.
Bambu
lemang ruasnya lebih panjang dan ketebalannya lebih tipis yang menyebabkannya
memiliki rongga yang lebih lebar. Di dalam rumpun bamboo, jenis bamboo serupa
ini dapat patah ditiup angin kencang. Selain itu jika digunakan untuk maksud
lain, sangat mudah keropos dimakan rayap. Namun demikian, Tuhan tahu apa yang
direncanakannya, penduduk yang hidup pada masa teknologi yang masih sederhana
(primitive), melihat kelemahan bamboo jenis lemang ini sebagai sesuatu yang
justru bisa digunakan bahkan untuk mempertahankan hidup di hutan—yakni memasak
nasi dengan nikmat. Kecerdasan Tuhan yang tinggi dapat dipahami dengan baik
oleh penduduk local yang bersahaja.
Bambu 'lomang' (www.bambooweb) |
***
Faedah
utama dengan memasak nasi dengan metode lemang ini, sesungguhnya bukan karena
nasinya lebih enak, tetapi hasilnya (nasi) dapat tahan lama, tidak mudah basi,
tidak perlu wadah baru untuk menyimpan karena bamboo itu sendiri sudah menjadi
semacam termos alam, dan juga tetap bisa dihangatkan, cukup ditaruh langsung
termos alam itu di atas bara api. Oleh karenanya, metode memasak nasi ala
bamboo sangat sesuai dengan perjalanan panjang yang membutuhkan waktu lama
(beberapa hari). Singkat kata: lemang adalah suatu metode memasak beras yang syarat
dan ketentuannya tidak mudah, tetapi manfaat yang dihasilkannya sangat berarti.
Perjalanan jauh merupakan hal yang biasa di Tanah Batak utamanya di Mandailing dan Angkola di jaman doeloe. Bahkan perjalanan ini dilakukan dalam beberapa hari. Hal ini karena untuk memenuhi prosedur dalam sistem perkawinan dalam budaya 'dalihan na tolu'. Dalam perkawinan di Tanah Batak tidak diizinkan secara adat kawin semarga. Marga Siregar di Sipirok menjalin hubungan perkawinan (timbal balik) dengan marga Harahap di Padang Lawas dan Angkola. Demikian juga penduduk di Padang Lawas (Hasibuan) dan Angkola dengan penduduk di Mandailing Godang (Nasution). Selanjutnya penduduk Mandailing Godang dengan penduduk yang berada di Klein Mandheling, Oeloe en Pakanten yang berbatasan dengan Bovenlanden (Lubis, Rangkuti). Hal yang sama juga antara penduduk Batang Toru (Pulungan) dengan penduduk di Sipirok. Jarak wilayah antar marga ini sangatlah berjauhan jika jalan sendiri dua hari dan jika rombongan dapat tiga empat hari. Lomang, dendeng, ikan sale, kopi, gulo bargot, sasagun dan lainnya adalah bekal tahan lama yang digunakan dalam perjalanan adat yang kemudian di masa kini menjadi warisan tradisi yang masih ada..
Perjalanan jauh merupakan hal yang biasa di Tanah Batak utamanya di Mandailing dan Angkola di jaman doeloe. Bahkan perjalanan ini dilakukan dalam beberapa hari. Hal ini karena untuk memenuhi prosedur dalam sistem perkawinan dalam budaya 'dalihan na tolu'. Dalam perkawinan di Tanah Batak tidak diizinkan secara adat kawin semarga. Marga Siregar di Sipirok menjalin hubungan perkawinan (timbal balik) dengan marga Harahap di Padang Lawas dan Angkola. Demikian juga penduduk di Padang Lawas (Hasibuan) dan Angkola dengan penduduk di Mandailing Godang (Nasution). Selanjutnya penduduk Mandailing Godang dengan penduduk yang berada di Klein Mandheling, Oeloe en Pakanten yang berbatasan dengan Bovenlanden (Lubis, Rangkuti). Hal yang sama juga antara penduduk Batang Toru (Pulungan) dengan penduduk di Sipirok. Jarak wilayah antar marga ini sangatlah berjauhan jika jalan sendiri dua hari dan jika rombongan dapat tiga empat hari. Lomang, dendeng, ikan sale, kopi, gulo bargot, sasagun dan lainnya adalah bekal tahan lama yang digunakan dalam perjalanan adat yang kemudian di masa kini menjadi warisan tradisi yang masih ada..
***
Secara
teoritis, inovasi memasak beras dengan metode lemang timbul di luar lingkungan peradaban
(di luar kampong) atau tepatnya di dalam hutan. Metode memasak ala bamboo ini
sangat taktis di dalam suatu perjalanan jarak jauh, tetapi tidak praktis di
dalam lingkungan tempat tinggal. Namun karena metode ini memberi value tinggi
(antara lain rasa dan memiliki system penyimpanan sendiri) lalu metode ini dicapture sebagai metode yang
memiliki makna lain (ritual dan komersil). Penduduk rural yang cenderung mengadopsi
metode ini secara luas adalah penduduk yang memiliki persyaratan tertentu dan
kegunaan tertentu. Penduduk urban yang menggunakan metode ini dan mengkonsumsi
hasilnya karena awalnya dikaitkan dengan konsumen tradisi lalu menjadi popular
untuk semua kalangan.
***
Pada masa kini, Kota Tebing Tinggi di Sumatra
Utara dikenal sebagai Kota Lemang adalah suatu fakta. Disebut industri lemang
yang terbilang cukup berkembang di kota ini karena produksi berlangsung tiap
hari dan produsen yang menghasilkan lemang cukup banyak. Konsumennya tidak
hanya konsumen tradisi tetapi juga konsumen baru di luar konsumen tradisi.
Menariknya, konsumen tradisi ini tidak saja yang tinggal di Tebing Tinggi dan
sekitarnya, tetapi karena Kota Tebing Tinggi adalah kota lintasan jarak jauh
dari Tapanuli ke Medan dan sebaliknya, maka konsumen tradisi juga dari luar
kota. Konsumen tradisi dari Tapanuli inilah yang menjadi pasar potensial dalam awal perkembangan industri
lemang di Tebing Tinggi. Akan tetapi sangat disayangkan, akhir-akhir ini beredar kabar tidak sedap bahwa lemang yang diperdagangkan di Tebing Tinggi sudah tidak orisinil lagi seperti dua dekade lalu. Kini produsen modern menjajakan lemang palsu berhadapan dengan konsumen tradisi, khususnya dari Tanah Batak di Tapanuli.
Lemang sebagai produk industri makanan
tradisi akan tumbuh kembang jika pendukungnya (masih) memiliki preferensi yang
kuat terhadap penganan yang khas ini. Produsen vis-Ã -vis konsumen. Tiga etnik
yang memiliki tradisi lemang dan sudah dikenal sejak lama adalah Melayu
(lemang), Minangkabau (lamang) dan Batak (lomang). Di lingkungan tradisi tiga
etnik ini, lemang adalah penganan yang khas yang disiapkan dan dihidangkan pada
waktu-waktu tertentu, seperti hajatan, hari raya dan juga dapat ditemukan pada
hari pekan.
Lemang sebagai produk makanan yang disiapkan
dan dimasak dengan wadah bamboo yang dapat diidentifikasi pada masa kini
terdapat di sejumlah tempat di nusantara (Asia Tenggara). Ragam dan kreasinya
terus berkembang namun metode memasaknya tetap sama: menggunakan metode bamboo.
Lantas dimana atau darimana munculnya inovasi memasak beras ala bamboo ini?
Mari kita lacak!
***
Meski tidak satu pun Negara atau daerah
(etnik) yang secara terus terang mengklaim inovasi metode memasak ini, tetapi
secara tidak langsung atau mungkin dengan maksud tersembunyi masing-masing
ingin heritage ini menjadi miliknya. Pada era komersial modern yang sekarang, label
sejarah juga penting dalam praktek pemasaran. Karena itu, setiap bangsa atau
setiap etnik ingin memiliki sesuatu yang tidak pernah diciptakannya—mereka
hanya meneruskan dan mempopulerkannya saja. Bahaya hak cipta era modern dari
anak cucu (internasional) kerap mengabaikan hak kearifan lokal jaman doeloe dari
nenek moyang (etnik). Akibatnya, melupakan sejarah nenek moyang menimbulkan
persaingan tidak sehat pada anak cucu yang bahkan memunculkan perseteruan
(rivalitas).
Soal metode memasak beras menjadi nasi ala
bamboo di dalam buku The Cambridge World History of Food, dibawah ‘rice as a
food’ hanya satu wilayah (kawasan) di jagat raya ini yang pernah dicatat yang mempraktekkan metode
memasak ala bamboo. Di dalam volume ini, memasak beras dapat dilakukan dengan suatu
pemasak bamboo. Di dalam buku ini metode ini ditemukan di Malaysia dimana beras
dengan dicampur dengan daging di dalam seruas bamboo yang dibakar di atas api.
Yang menjadi rujukan awal dari volume ‘rice
as a food’ ini dan juga buku-buku lain yang pernah diterbitkan selanjutnya,
serta artikel-artikel lepas, maupun diskusi-diskusi khususnya di internet diduga
pemicunya dan berasal dari satu sumber. Yang menjadi sumber tersebut adalah
buku yang berjudul ‘Monographs on Malay Subjects’ volume 3 yang diterbitkan
pertama kali tahun 1925 yang ditulis ulang berdasarkan sebuah menograf yang
bahannya dikumpulkan antara tahun 1864-1867 oleh L.A. Mills. Di dalam monograf
ini disebutkan bahwa ada seseorang memberikan nasi di dalam suatu wadah kepada
seseorang yang lain: ‘rice in a pot and condiments in a bamboo’. Hanya satu
frase itu saja.
Sangat disayangkan, bagaimana nasi itu dibuat
di dalam pot sebuah bamboo tidak dijelaskan. Juga sangat disesalkan buku
sekelas produk Cambridge mungkin hanya mengacu pada sumber-sumber Inggris, seperti buku An Encyclopedia of Gardening (Loudon and Loudon,
1871). Yang
paling disesalkan adalah bahwa buku-buku Belanda tidak pernah mengodifikasi metode
bamboo ini sebagai sebuah produk budaya yang sudah digunakan meluas di
Nederlansche Indie terutama di ranah Minangkabau dan di Tanah Batak (khususnya
Mandheling en Ankola). Oleh karenanya, tidak sepenuhnya
penulis-penulis Inggris abai dalam hal ini. Namun yang jelas rekod yang
terdapat dalam buku Cambridge dan buku Monographs on Malay Subjects ini menjadi
bukti bahwa di Malaysia setidaknya metode memasak bamboo ini sudah ada sejak
1864.
Lemang sebagai suatu penganan, baru teridentifikasi dalam buku Bijdragen tot de taal (volume 2) publikasi 1894 dan buku Vragen van den dag (volume 2) terbitan 1901. Lemang sebagai suatu metode memasak nasi ala bamboo (lemang) tidak kunjung pula didaftarkan oleh penulis-penulis Belanda di dalam buku Catalogus van ‘sRijks Ethnographisch Museum (katalog peralatan dan perlengkapan tradisi) yang disusun oleh Dr. H.H. Juynboll, penerbit Boekhandel en Drukkerij (E.J., Brill), Leiden 1914.
Lemang sebagai suatu penganan, baru teridentifikasi dalam buku Bijdragen tot de taal (volume 2) publikasi 1894 dan buku Vragen van den dag (volume 2) terbitan 1901. Lemang sebagai suatu metode memasak nasi ala bamboo (lemang) tidak kunjung pula didaftarkan oleh penulis-penulis Belanda di dalam buku Catalogus van ‘sRijks Ethnographisch Museum (katalog peralatan dan perlengkapan tradisi) yang disusun oleh Dr. H.H. Juynboll, penerbit Boekhandel en Drukkerij (E.J., Brill), Leiden 1914.
***
Penduduk Malaysia masa kini pada dasarnya
tergolong mix population atau melting pot. Ada local ada pendatang. Ada Melajoe, ada Madoera,
ada Djawa, ada Boegis, ada Bandjar, ada China, ada India, ada Minangkabaoe, dan
tentu saja ada Batak. Pendatang di semenanjung ini sudah ada jauh sebelum
bahan-bahan monograf itu dikumpulkan (1864). Migran Minangkabau dan migrant
Batak (Mandheling en Ankola) terbilang penduduk pendatang yang datang secara
massif sejak timbulnya gerakan pembaruan Islam ala Mazhab Hambali di Sumatra Barat
oleh kaum padri (putih) dengan kaum adat (hitam) dan aneksasi pasukan padri
khususnya di lanskap Mandheling (Mandailing) dan Ankola (Angkola). Migrasi ini
menyebar dari Alam Minangkabaoe dan Tanah Batak melalui jalur-jalur yang
berbeda lalu mengumpul di semenanjung Malaysia. Dua etnik yang berbeda ini
dalam perkembangannya mengutub menjadi dua koloni penduduk pendatang yakni
Salangor (Mandheling en Ankola) dan Nagari Sembilan (Minangkabaoe).
***
Pusaho: 'lomang' analog 'gordang sambilan' (http://mandelingbatak.blogspot.com) |
***
Sebagaimana di tempat lain, kegiatan ‘mangalomang’
di Tanah Batak sangat umum dilakukan menjelang hari raya utamanya idul fitri. Selain itu, lomang juga hadir dalam horja, utamanya dalam pesta perkawinan. Lomang selalu menyertai upacara adat. Bukti bahwa metode
‘mangalomang’ ini sudah ada di Ankola khususnya diperkenalkan oleh pemandu Ida
Pfeiffer di dalam perjalanan wisata menuju Silindoeng en Toba pada
Agustus 1852. Pemandu dari nona Ida Pfeiffer ini adalah seorang kepala kampong
di Soeroematinggi (sekarang Sayurmatinggi, Angkola). Bagaimana pemandu Ida
Pfeiffer yang bernama (mangara)Dja Pangkat dan kawan-kawan memasak nasi dikisahkan oleh
Ida Pfeiffer sebagai berikut:
‘....Selama malam, saya dengan yang lain istrirahat di hutan
dengan memasak beras semi kering yang direbus dengan sedikit tambahan
garam, lalu saya melihat mereka mempersiapkan beras dalam cara yang sama sekali
baru bagi saya. Mereka membungkusnya dengan daun besar (daun pisang), dan
memasukkan beras ke dalam potongan bambu, kemudian menuangkan sejumlah kecil
air, lalu meletakkan tongkat bamboo itu pada api pembakaran, mereka membiarkan
berbaring begitu lama sampai bamboo kelihatan mulai terbakar, cukup lama
berlangsung sejak bamboo segar dan isinya dipanggang’.
Deskripsi lemang oleh Ida Pfeiffer, Algemeen Handelsblad, 9-10-1853 |
***
Deskripsi metode lemang ini dengan sendirinya
dicatat pertamakali oleh Ida Pfeiffer (1852) dan telah mendahului waktu
pencatatan yang dilakukan oleh orang Inggris yang melakukan ekspedisi di
semenanjung Malaysia antara tahun 1864 dan 1867. Deskripsi metode lemang yang
dibuat Ida Pfeiffer juga terkesan lebih eksplisit, gamblang dan mudah
dibandingkan dengan metode lemang yang dilakukan oleh masyarakat modern yang
sekarang. Ida Pfeiffer tampaknya cukup cerdas untuk merekod kearifan lokal di
Ankola ini sebagai bagian dari budaya memasak nasi dunia. Mungkin Ida berpikir,
kalau tidak dicatat sekarang kapan lagi. Publish
or perish.
***
Ida Pfeiffer adalah seorang gadis kelahiran
Austria yang memiliki keinginan yang kuat untuk melancong dan membuat
perjalanan ke tempat-tempat yang eksotik dan memiliki tantangan sendiri secara
sendirian (lone ranger). Ida Pfeiffer memulai perjalanannya di tanah Melayu
dimulai dari Serawak, kemudian memasuki wilayah Dayak dan seterusnya ke
Pontianak. Setelah dari Kalimantan, Ida Pfeiffer menuju ke Djawa lalu Ida
Pfeiffer melanjutkan perjalanan utama ke Tanah Batak di Sumatra.
Ida Pfeiffer |
Pada tanggal 5 Agustus, 1852, Ida Pfeiffer tiba di
Padang Sidempoean (onderfadeeling Ankola). Dari tempat terakhir dimana ada orang Eropa di Padang Sidempoean, Ida Pfeiffer dipandu oleh Dja Pangkat (yang juga mantan
pemandu terbaik Friedrich Franz Wilhelm Junghuhn, 1840-1845 dalam ekspedisi geologi di Zuid Tapanoeli / Tapanuli bagian selatan) berangkat menuju Silindoeng melewati
wilayah Sipirok. Dari Boeloemario mereka melakukan perjalanan melewati hutan
rimba sepanjang DAS Batang Toroe, bukit yang terjal dan jurang yang dalam dengan
jalan kaki. Di tengah jalan antara Sipirok dan Silindoeng ini mereka istirahat
jelang malam, Ida Pfeiffer melihat langsung bagaimana Dja Pangkat dan
kawan-kawan menyiapkan nasi untuk makan malam dan bekal untuk melanjutkan
perjalanan esok harinya. Sebelum ke Silindoeng di Boeloemario, Ida Pfeiffer diterima dengan baik dan
dijamu dengan tari pedang yang disebutnya mirip dengan tarian di daerah Dayak. Tarian ini diiringi musik gondang dan diselingi pantomime. Singkat kisah, setelah
Ida Pfeiffer berhasil melongok danau Toba (orang Eropa pertama yang melihat danau Toba) langsung lekas pulang (karena sakit), Ida Pfeiffer tiba kembali di Padang Sidempoean tanggal 25 Agustus
1852.
Sepulang dari Tanah Batak, Ida Pfeiffer
menyempatkan diri melakukan perjalanan keliling di ranah Minangkabau, seperti Paijakoemboeh dan
sempat bergabung dengan tim Jerman yang melakukan ekspedisi botani mendaki
Gunung Merapi. Pada tanggal 7 Oktobe 1852, Ida Pfeiffer kembali ke Padang dan lalu
berlayar kembali ke Batavia. Ida Pfeiffer secara total telah melakukan perjalanan 700
mil di atas kuda plus 150 mil dengan jalan kaki di Sumatra (ranah Minangkabaoe
dan Tanah Batak). Di pulau Djawa, Ida Pfeiffer masih terus melanjutkan perjalanan ke Semarang,
Borobudur, Djokjakarta dan Soerakarta. Lalu perjalan dilanjutkan ke beberapa
daerah lainnya diantaranya beberapa pelosok di Maluku.
***
Kisah perjalanan Ida Pfeiffer ke Tanah Batak yang
ditulisnya sendiri pada tanggal 12 Oktober 1852 yang kemudian diterbitkan
pertama kali oleh koran Algemeen
Handelsblad edisi 09-05-1853 di Batavia menunjukkan bahwa Ida Pfeiffer sudah
berada di Batavia. Ini artinya bahwa sebelum menulis kisah ini Ida Pfeiffer sudah
melakukan ekspedisi di Tanah Batak dan ranah Minangkabaoe. Di dalam kisah ini
Ida Pfeiffer menulis secara rinci bagamana metode memasak beras menjadi nasi
ini sebagaimana dikatakannya sendiri: ‘saya melihat mereka mempersiapkan beras
dalam cara yang sama sekali baru bagi saya’.
***
Setelah tulisan Ida Pfeiffer di koran pada tahun 1852. literatur Belanda, baik buku maupun artikel
di surat kabar tidak pernah mengkodifikasi adanya metode memasak ala bamboo ini di Nederlandsche Indie.
Setelah sekian lama baru muncul nama penganan yang disebut lemang di koran Sumatra-courant:
nieuws- en advertentieblad, 05-04-1873. Selanjutnya di dalam koran Sumatra-courant
: nieuws- en advertentieblad, 18-05-1880 dimuat sebuah surat oleh seorang
Belanda dari Padang Pandjang yang menceritakan di daerah Kotta Lawas dimana
para penduduk diminta mengumpulkan bahan makanan yang diantaranya lemang, pisang, beras, dan lain-lain yang lalu diangkut dengan seisi pedati penuh. Informasi lainnya ditemukan suatu frase di dalam koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 18-12-1900 yang menceritakan bahwa ketika seorang pejabat Belanda di Bengcoelen mengunjungi pesta pernikahan: ‘kami dijamu di
suatu ruangan, di atas meja disajikan kue-kue, termasuk lemang yang ditaruh di
dalam bamboo yang telah dibakar. Makanan ini tampaknya merupakan kepala kue
(mungkin maksudnya, special)’.
***
Alat masak bambu, asli Sumatra (Marsden, 1783) |
Untuk sekadar dimaklumi, bahwa urutan waktu ini tentu saja belum bisa dijadikan patokan bahwa metode memasak beras menjadi nasi--yang disebut lemang, lamang atau lomang--yang mana satu istilah etnik lebih dahulu dibanding yang lainnya. Oleh karana itu, metode memasak bamboo ini setidaknya di masa-masa awal peradaban modern sudah ditemukan di Tanah Batak, ranah Minangkabaoe dan semenanjung Malaysia. Untuk sekadar menambahkan, bahwa di dalam Almanak Belanda tahun 1814 yang di dalamnya berisi kamus Nederduitsch en Maleidsch tidak ditemukan kata lemang, lamang atau lomang. Padahal di dalam buku seorang Inggris bernama William Marsden berjudul The History of Sumatra (1783) sudah mengidentifikasi adanya cara mengolah jenis beras yang disiapkan dengan menggunakan bambu di Sumatra--namun sayang alat masak asli Sumatra ini tidak dijelaskan dimana di pulau itu ditemukan adanya.
Poestaha dan muziek Batak, 1870 (kitlv) |
Masih menurut Marsden, dengan mata uang asing yang disebut 'keppeng' (sekarang 'hepeng') di tangan dan pangan yang cukup di lumbung, penduduk Tanah Batak berhasil mengembangkan sistem sosial yang paling orisinil yang teratur (basis dalihan na tolu), sistem pertahanan dan persenjataan sendiri (sudah mampu menciptakan mesiu dari bahan dasar belerang), seni sendiri (tarian, musik dan arsitektur), ilmu pengetahuan (budidaya pertanian, peternakan dan manufaktur kain tenun), sastra sendiri dan tulisan sendiri. Yang tidak diduga oleh Marsden adalah lebih dari separuh penduduk Tanah Batak (tahun 1700-an) mampu membaca dan menulis dengan aksara Batak yang melampaui kemampuan baca tulis latin semua bangsa-bangsa di Eropa. Untuk keperluan menulis ini penduduk menggunakan kulit pohon khusus dan menuliskannya di bagian yang halus. Tinta yang digunakan adalah jelaga dengan bahan dasar damar yang dicampur dengan air tebu. Damar bukan saja komoditi ekspor dunia tetapi juga bahan yang memicu pengembangan peradaban lokal.Teori 'orisinilitas' ini juga mendapat dukungan dari T.J. Willer, seorang pejabat Belanda yang bertugas di Mandheling en Ankola (1841-1845). Dalam buku yang ditulis Willer (1846) berjudul 'Verzameling der Battahsche wetten en
instellingen in Mandheling en Pertibie' dijelaskan nasi sebagai makanan pokok tidak ada kaitannya dengan bahasa Melayu: padi='eme'; beras='dahanon'; nasi='indahan'. Menurut Willer, budidaya beras (dahanon) di Tanah Batak sudah sejak doeloe ada, seusia dengan bahasa mereka untuk mengatakan 'dahanon' sebagai beras. Istilah 'dahanon sipulut' (beras ketan) boleh jadi merupakan istilah yang sudah ada sejak jaman kuno (doeloe).
***
Suatu yang bersifat kearifan lokal haruslah
menjadi heritage. Beras yang disiapkan untuk menghasilkan nasi dengan metode bamboo
dalam hal ini haruslah digolongkan sebagai makanan dunia (world food). Setiap
orang, setiap etnik dan setiap Negara diizinkan untuk mempopulerkan metode bamboo
ini. Akan tetapi keasliannya tetaplah harus dijaga. Yang dimaksud lemang asli tradisi Nusantara (baca: Asia Tenggara) adalah lemang sebagaimana telah dideskripsikan oleh Ida Pfeiffer, gadis pelancong yang melakukan perjalanan wisata hingga ke Tanah Batak tahun 1852. Mengikuti dokumentasi Ida Pfeiffer ini tentu saja sangat berfaedah untuk kepentingan dunia, kepentingan Negara dan kepentingan
etnik. Kita anak cucu wajib mengembangkannya agar produk beras dengan metode bamboo
ini menjadi bagian dari kuliner internasional. Ida Pfeiffer adalah jaminannya.
Untuk para generasi muda from Zuid Tapanoeli, memperhatikan jenis bambu yang sesuai sangat penting. Jenis bambu yang sesuai itu hanya terbatas di beberapa tempat (Sumatra dan Jawa) dan masih bersifat liar. Orang Angkola dan Mandailing yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya sudah sejak awal mengetahui dimana ditemukan adanya jenis bambu ini. Pada akhir tahun 1970-an jenis bambu lomang ini secara tidak sengaja ditemukan oleh orangtua pensiunan asal Tapanuli Selatan yang tengah membuka kebun dan teridentifikasi tumbuh liar di daerah Sukabumi, tepatnya di kecamatan Cicurug dan kecamatan Parung Kuda, lereng Gunung Salak. Sejak itu, lomang orisinil Tanah Batak mulai diperkenalkan di rantau Jakarta dan sekitarnya. Penemuan lokasi bambu lemang ini menunjukkan bahwa lomang orisinil memang ada di tangan ahlinya. 'Aha dope, mangalomang ma hamu, lomang ima pusaho ni ompungta'. Horas.
Untuk para generasi muda from Zuid Tapanoeli, memperhatikan jenis bambu yang sesuai sangat penting. Jenis bambu yang sesuai itu hanya terbatas di beberapa tempat (Sumatra dan Jawa) dan masih bersifat liar. Orang Angkola dan Mandailing yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya sudah sejak awal mengetahui dimana ditemukan adanya jenis bambu ini. Pada akhir tahun 1970-an jenis bambu lomang ini secara tidak sengaja ditemukan oleh orangtua pensiunan asal Tapanuli Selatan yang tengah membuka kebun dan teridentifikasi tumbuh liar di daerah Sukabumi, tepatnya di kecamatan Cicurug dan kecamatan Parung Kuda, lereng Gunung Salak. Sejak itu, lomang orisinil Tanah Batak mulai diperkenalkan di rantau Jakarta dan sekitarnya. Penemuan lokasi bambu lemang ini menunjukkan bahwa lomang orisinil memang ada di tangan ahlinya. 'Aha dope, mangalomang ma hamu, lomang ima pusaho ni ompungta'. Horas.
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.
Lihat juga:
Lihat juga:
Sejarah Batak Kuno di Sumatera Utara: Mengapa Melayu Tidak Dikenal? Ada Benarnya Medan Disebut Batak
4 komentar:
Terima kasih infonya gan.....
infonya sangat bermamfaat.....
salam kenal dan salam sukses..
jangan lupa berkunjung kembali..
....
Ulasan yg menarik disertai data pula.
woow.. long history
makasih gan buat infonya dan semoga bermanfaat
Posting Komentar