*Mesiu juga sudah dikenal sejak dulu di Tanah Batak (diolah dari belerang)
Andaliman (Miller, 1772) |
Andaliman atau sinyarnyar (Zanthoxylum acanthopodium DC) semacam rempah masakan sudah dikenal di Angkola, Tapanuli Selatan sejak doeloe. Yang mengabarkan penemuan ini pertama kali adalah seorang ahli botani Inggris yang tengah melakukan ekspedisi tanaman cassia (kulit manis) ke pedalaman Tanah Batak di Angkola tahun 1772. Ahli botani tersebut bernama Charles Miller. Besar kemungkinan Miller adalah orang Eropa pertama memasuki Tanah Batak. Penemuan ini diungkapkan oleh William Marsden dalam bukunya History of Sumatra (1811) berdasarkan ekstrak surat-surat pribadi Miller. Kisahnya adalah sebagai berikut (diringkas dari Marsden):
21 Juni, 1772.
Kami berangkat dari Pulau Punchong (kini Poncang) dengan kapal lalu memasuki
muara sungai Pinang Suri. Keesokan paginya kami naik sampan sekitar enam jam,
tiba di muara Lumut. Sepanjang kiri kanan sungai dipenuhi pohon-pohon kamper, oak, meranti dan
lainnya, tidak lama kemudian terdapat kampong Batak terletak di puncak bukit
kecil. Berdasarkan pemandu kami orang Melayu, Radja dari kampong ini mengundang
kami ke rumahnya. Lalu kami diterima dengan upacara besar dan memberi hormat
dengan tembakan ke udara dari tiga puluh senjata, Kampung ini terdiri dari
delapan atau sepuluh rumah yang masing-masing rumah memiliki padi. Kampung
mereka dibentengi dengan kayu kamper dan juga bamboo duri. Juga tampak kandang
kerbau.
23 Juni 1772.
Kami melanjutkan ke kampong Lumut dan hari berikutnya Sa-Tarong dimana saya
mengamati perkebunan pohon benzoin, kapas, nila, kunyit, tembakau, dan beberapa
tanaman lada merambat. Selanjutnya kita sampai di Tappolen, kemudian Sikka dan Sa-Pisang
yang terletak di tepi sungai Batang Tara (perjalanan tiga sampai empat hari ke
hilir di pantai).
01 Juli 1772.
Kami melanjutkan perjalanan dan tiba di sebuah ladang, lalu cuaca buruk kami
menempati pondok padi. Keesokan paginya sungai meluap dan tidak bisa
menyeberang lalu bermalam lagi di tempat yang tidak nyaman.
03 Juli 1772.
Kami meninggalkan ladang berjalan melalui jalan yang tidak teratur tidak
berpenghuni penuh dengan batu dan ditutupi dengan hutan. Kami hari ini juga
melintasi punggung bukit yang sangat curam dan di sore hari tiba di sebuah
Negara yang dihuni dengan budidaya baik di pinggir dataran Ankola. Kamu malam
ini tidur di pondok kecil terbuka dan hari berikutnya melanjutkan perjalanan ke
kampong bernama Koto Lambong (Huta Lambung).
Buah andaliman (foto/internet) |
05 Juli 1772. Kami
berangkat melalui wilayah yang lebih terbuka dan menyenangkan di Terimbaru
(Hutaimbaru), sebuah kampong besar di tepi selatan dataran Ankola. Tanah di
sekitar ini sepenuhnya dibajak dengan kayu secara baik dan ditaburi dengan padi
atau jagong, di padang rumput mereka terlihat banyak ternak kerbau, kambing dan
kuda. Setelah diinformasikan kepada Radja, lalu menyuruh anaknya datang menemui
kami dengan 30-40 orang bersenjata tombak dan senapan locok (matchlock), lalu
membawa kami, yang sepanjang jalan dilakukan pemukulan gong dan tembakan ke
udara. Radja yang menberima kami bertubuh besar, dan dengan hormat
memerintahkan untuk menyembelih kerbau. Kami diminta menginap semalam. Saya
mengamati semua perempuan yang belum kawin mengenakan sejumlah cincin timah
besar di telinga mereka (penyelidikan saya lebih lanjut bahwa timah itu datang
dari Selat Makala).
Pohon andaliman (foto/internet) |
07 Juli 1772.
Ketika kami melanjutkan perjalanan Radja meminta anaknya untuk mengawal kami.
Dari Terimbaru kami terus ke Sa-masam (Simasom). Kami bertemu radja yang mana
dihadiri 60-70 orang dengan bersenjata lalu menyiapkan sebuah rumah untuk kami
dan memperlakukan kami dengan keramahan dan hormat. Wilayah ini dikelilingi
bukit yang dipenuhi kayu dan sebagian besar tanah padang rumput untuk ternak
mereka yang tampaknya memiliki kelimpahan yang besar. Di sini saya bertemu
dengan hal yang luar biasa semacam semak berduri yang disebut penduduk sebagai
Andalimon, yang berbentuk bulat yang memiliki rasa pedas yang sangat
menyenangkan di lidah dan mereka menggunakan dalam gulai (kari) mereka.
14 Juli 1772.
Kami meninggalkan Batang Onang untuk pulang dan berhenti untuk bermalam di Koto
Moran (Huta Morang) dan malam berikutnya tiba kembali di Sa-masam. Namun
setelah itu kami mengambvil jalan yang berbeda sebelum Sa-pisang. Dengan
mengambil sampan kami menyusuri sunga Batang Tara ke laut.
22 Juli 1772.
Kami tiba kembali di Pulo Punchong.
1 komentar:
Terimaksih informasi yang menarik rempah asli Sumatera Utara ini. boleh di beritahu pak sumber bacaaan nya yang menarik ini. kami mau baca buku sumbernya untuk menggali hal hala yang belum terungakap selama ini. terimakasih . Sortha simatupang. medan
Posting Komentar