'Kopi' adalah kopi dan 'sikola' adalah sekolah. Kopi sikola adalah awal peradaban modern di Tapanuli pada era Hindia Belanda. Sebagaimana ekonomi tebu di Jawa, di Tapanuli instrumen yang dipakai pemerintah Belanda adalah kopi. Namun introduksi kopi tahun 1841 dan sistem budidaya kopi (koffij cultuur-stelsel) ini di Tapanoeli awalnya tidak mudah, ada penentangan dari penduduk, karena sebagian penduduk lambat-laun menyadari skema partrnership yang disepakati telah bergeser menjadi eksploitasi, akibatnya perlawanan timbul di beberapa tempat bahkan berdarah-darah.
Gudang kopi di Mandailing |
Pemerintah
kolonial Belanda di Batavia ‘ngotot’ harus menerapkan budidaya kopi di tanah
Mandailing dan Ankola, karena informasi yang diperoleh dari ekspedisi Franz Wilhelm Junghuhn, tanah di
Mandheling en Ankola khususnya di Pakantan (Mandheling) dan di Sipirok (Ankola)
adalah jenis tanah yang unik dan sesuai untuk tanaman kopi (lihat Junghuhn, 1847 'Die Battaländer auf Sumatra' / Tanah Batak di
Sumatra). Kopi yang tumbuh di tanah-tanah pegunungan
Mendheling en Ankola itu dianggap paling sesuai dengan kopi yang diinginkan
konsumen Eropa Barat dan Amerika Utara. Terbukti pada akhirnya, kopi yang
berasal dari Mandheling en Ankola menjadi kopi terbaik dunia dan harga tertinggi
di pasar internasional. Hingga kini nama kopi Mandheling en Ankola di Tapanoeli
menjadi nama generic untuk kopi terbaik dunia.
Untuk
mengamankan program colonial Belanda ini di Tapanoeli, Gubernur Andreas Victor Michiels mendatangkan seorang prajurit
yang ‘tidak ada takutnya dan tidak kenal
mati’ dari Jawa yang beberapa tahun sebelumnya menjadi salah satu Pahlawan Bonjol, Alexander
van der Hart, yang baru saja
mendapat pangkat mayor untuk mendampingi pemerintahan sipil di
Tapanoeli. Prajurit yang paling disukai Michiels ini terbukti berhasil
melumpuhkan perlawanan Tuanku Tambusai
(pahlawan Nasional, 1995) di Sosa dan Dalu-Dalu serta berhasil meredam gejolak
sosial di Mandheling en Ankola dengan damai. Alexander van der Hart yang telah
dipromosikan menjadi Residen (Residen Tapanoeli pertama, 1845) juga terbilang cerdas dan berhasil
menerapkan budidaya kopi secara normal dengan sangat hati-hati karena van der
Hart juga seorang yang berperilaku baik dan humanis.
Atas
prestasinya ini, van der Hart yang telah bertabur bintang, van der Hart juga mendapat
pujian dari Radja di Negeri Belanda untuk mengirim utasannya langsung Jenderal van Gagen yang didampingi
Jenderal Mischiels yang memulai perjalanan dengan kuda dari Natal, Panjaboengan
yang disambut van der Hart di Padang Sidempoean yang datang dari Siboga dengan didampingi
L.B. van Polanel Petel, controleur
Ankola (teman lama sama-sama bertugas di Siboga, 1842, dan pernah menjadi penasehat
asisten residen Mandheling en Ankola sejak 1843, yang sudah sukses menerapkan
budidaya kopi di Mandheling. Dari dua hari yang direncanakan menginap di Padang
Sidempoean Agustus 1846 molor menjadi empat hari karena van der Hart mengajak dua
jenderal pujaannya ini untuk berburu rusa di sekitar Sipirok.
Pada
tahun 1847 kopi Mandheling en Ankola sudah menumpuk di tangan para petani, namun
tidak tersalurkan secara baik ke pelabuhan (Natal di Mandailing dan Lumut di
Ankola). Alexander van der Hart mulai gelisah. Di satu sisi budidaya kopi harus
berjalan mulus dan di sisi lain mengendalikan keamanan harus tetap terjaga.
Apalagi van der Hart, setelah tiga tahun menduduki jabatan Residen Tapanoeli
bisa sewaktu-waktu dimutasi ke tempat lain. A. van der Hart tidak merasa elok
jika meninggalkan Tanah Batak di Tapanoeli tanpa ada kesan baik dari sisi sipil
yang akan memberi tambahan warna dalam karirnya yang begitu cemerlang prestasinya di bidang militer. A. van der Hart
tidak sekadar mempertaruhkan jabatannya dalam hal ini tetapi riwayat hidupnya.
Alexander
van der Hart setali tiga uang dengan Michiels yang sama-sama humanis juga memiliki visi dan
misi yang jelas dalam memajukan tanah dan penduduk. Penempatan jabatan yang
selama ini top down dimata van der Hart tidak selalu menjanjikan di lapangan.
A. van der Hart yang benar-benar orang lapangan besar kemungkinan banyak
memainkan peranan pada akhir masa jabatannya di dalam menentukan siapa yang menjadi pimpinan
di lanskap-lanskap Residentie Tapanoeli. Sejauh ini, satu-satunya lanskap di
Residentie Tapanoeli yang benar-benar siap untuk menjalankan roda pemerintahan
di bidang pembangunan hanyalah terdapat di Afdeeling Mandheling en Ankola. H. Rodenberg yang menggantikan
asisten residen Willer (1846) kemungkinan dianggap tidak cakap dan belum
setahun bertugas sudah ‘diusir’ van der Hart dari Tapanoeli. Setelah pencopotan
ini, bahkan posisi asisten residen di Mandheling en Ankola selama tahun 1847
kosong, untung masih ada teman sohibnya Petel yang sudah menjadi tangan
kanannya selama ini dalam budidaya kopi di Mandheling en Ankola. Konon van der
Hart di masa libur kerap datang ke Mandheling en Ankola hanya sekadar berburu
rusa, dimanfaatkan untuk mengamati kemajuan pertanian di Ankola, khususnya
budidaya padi dan budidaya kopi.
Pada
tahun 1848 didatangkan J.K.D. Lammleth sebagai asisten residen di Mandheling en
Ankola. Sekali lagi, test case dilakukan van der Hart, dan setelah Lammleth
bekerja 100 hari tampaknya rapornya buruk, tidak ada hasilnya dan senasib
dengan Rodenberg juga dicopot dari jabatannya karena dianggap tidak melakukan
apa-apa dan hasilnya nol. Setelah berkonsultasi dengan bosnya, Michiels, lalu van der
Hart lalu mengevaluasi anak buahnya sendiri dengan dengan cermat. A. van der Hart ternyata
menemukan solusi dengan mempromosikan (bottom up) seorang controleur A.P. Godon
yang bertugas di Singkel untuk mengisi kekosongan jabatan asisten residen di
Mandheling en Ankola. Godon datang, Lammleth kemudian tersingkir entah kemana.
Ketika
Alexander P. Godon tiba pada pertengahan 1848 di Mandheling en Ankola mungkin
sedikit sumringah. Ini terkait dengan tempat tugas baru yang jelas sangat
menyenangkan meski di dalam masih ada riak-riak ketidakpuasan penduduk terhadap
pelaksanaan budidaya kopi. Di dua tempat sebelumnya, A.P. Godon terbilang
nyaman-nyaman saja karena di Bonjol dan Singkel selama dia berugas termasuk
lanskap yang terbilang aman. Kini, Godon datang di tempat yang menantang bagi
dirinya. Anehnya, ketika atasannya meminta harus hati-hati, malahan Godon
justru datang dengan anak dan istrinya—sesuatu yang jarang dilakukan oleh
petugas baru, yang baru ditempatkan di wiilayah kerja yang baru.
A.P.
Godon tampaknya sudah lama mempelajari secara makro apa yang terjadi di
Mandheling en Ankola kalau tidak dikatakan dia mengidam-idamkannya. A.P. Godon
adalah seorang yang humanis dan datang dari kalangan partai liberal yang kini
tengah berkuasa di Negeri Belanda. A.P. Godon telah pula mengetahui bagaimana
Eduard Douwes Dekker dicopot sebagai controleur di Afdeeling Natal. A.P. Godon
tidak melakukan pendekatan yang ‘berat sebelah’ seperti yang telah dijalankan oleh
Dekker. A.P. Godon sudah tahu apa yang akan dilakukannya yakni menyeimbangkan
antara kepentingan pemerintah dan kepentingan penduduk. Apalagi Godon sudah
diwanti-wanti oleh atasan agar tetap menjalankan tugas dengan hati-hati karena sesungguhnya
situasi dan kondisi internal di Mandheling en Ankola bisa sewaktu-waktu
meletus.
Sekolah guru (kweekschool) Padang Sidempoean |
Di
belakang, ketika mendampingi suaminya, nyonya Godon merekrut anak-anak cerdas
dari pemimpin-pemimpin local ini untuk diasuhnya untuk belajar di sikola
(sekolah) yang dimulainya tahun 1851. Terbukti anak-anak belia ini sangat cerdas
dan dalam tempo kurang dari tiga tahun sudah ada dua yang dianggapnya bisa dipromosikan
untuk mengikuti sekolah kedokteran (Dokter Djawa School) di Batavia. Pemuda
belia yang pintas dalam bidang pengetahuan alam ini bernama Si Asta dan Si
Angan. Pada bulan September 1854 kedua anak ini sudah tiba di Batavia (dua anak
yang cerdas ini adalah siswa yang pertama diterima di sekolah tersebut yang
berasal dari luar Jawa; sekolah ini dibuka 1851).
Satu
anak didiknya bernama Si Sati (adik kelas Si Asta dan Si Angan) sangat cerdas
dalam bidang linguistik dan etnologi. Kepiawaian Si Sati dalam menulis dalam
bahasa Belanda dengan aksara latin direkrut Godon menjadi penulisnya di kantor
asisten residen. Nyonya Godon juga mempromosikan Si Sati untuk menjadi guru di
sikola swadaya itu karena dia ingin lengser dan istirahat biar total mendampingi
suaminya. Si Sati tidak keberatan dengan ‘rangkap jabatan’ dan malah semakin
bersemangat. Dari hari ke hari seakan alam terkembang, Si Sati meluas
cakrawalanya karena kerap berinteraksi dengan orang-orang Eropa di
Panjaboengan. Ketika mendengar Godon akan mendapat cuti dua tahun ke
Belanda, Si Sati meminta untuk diajak agar bisa studi di Belanda. Suami istri ini kaget
tetapi sama-sama respek. Mereka bertiga mendiskusikannya lalu diteruskan ke Menteri
Pendidikan di Batavia.
Di
Parlemen, usul Godon ini ditentang habis-habisan oleh anggota dewan, terutama
perihal pembiayaan. Sang menteri memberi argument akurat yang disiapkan Godon bahwa
kini Mandheling en Ankola dalam jalur ekonomi kopi yang prospektif. Istilah
sekarang pendapatan asli daerah (PAD) afdeeling Mandheling en Ankola sudah
surplus dengan kontribusi terbesar dari kopi. Semua menjadi mengerti, akhirnya
Si Sati berangkat bersama keluarga Godon ke Belanda 1857. Si Sati adalah
pribumi pertama yang studi ke luar negeri. Setelah mendapat akte guru, Si Sati gelar
Soetan Iskandar kini menyebut dirinya Willem
Iskander membuka sekolah guru di Tanobato, Mandheling 1862.
Inilah
awal perkembangan pendidikan modern lebih lanjut di Tanah Batak, suatu lanskap
yang maha luas, yang memiliki aksara sendiri dan sudah mengenal tulisan sejak jaman doeloe. William Marsden dalam bukunya The Histrory
of Sumatra (1811) sangat kaget bahwa penduduk di Tanah Batak lebih dari separuh
penduduk bisa membaca dan menulis, suatu tingkat literasi yang jauh melebihi
semua bangsa-bangsa di Eropa. Herman Neubronner van der Tuuk yang dikirim untuk
menerjemahkan Injil di Tanah Batak, di dalam rekomendasinya untuk sukses
kegiatan misi di Tanah Batak harus orang yang bekerja total, suami istri, mau
blusukan, mendirikan sikola, berbaur dan tidak mempertentangkan agama.
Rekomendasi ini seakan kopi paste di Mandheling en Ankola karena van der Tuuk
kerap ke Mandheling en Ankola dan berdiskusi dengan Godon. Awalnya rekomendasi
ini berat untuk diterapkan oleh misionaris Belanda di Ankola tetapi sangat
mudah dipahami oleh Ludwig Ingwer Nommensen
dari misionaris Jerman yang melakukan kegiatan misi di Silindoeng dan Toba
dengan membuka sekolah pertama di Sipirok, Ankola.
***
Dalam
perkembangan selanjutnya, murid-murid Willem Iskander sudah menyebar di
Tapanoeli untuk membuka sekolah swadaya. Sekolah guru Tanobato ini tidak ada
duanya, sebab sejak diakuisi pemerintah prestasinya terus meningkat hingga
menjadi sekolah guru terbaik di Sumatra. Willem Iskander sangat rajin menulis
buku, dan buku-bukunya diterbitkan di Batavia. Willem Iskander adalah penulis
buku pribumi pertama. Mantan murid-muridnya yang kini menjadi guru di seluruh
wilayah Tapanoeli juga mengikuti jejak gurunya untuk menulis buku-buku basaon
di sikola (buku bacaan di sekolah). Cukup banyak buku para guru-guru ini yang
diterbitkan di Batavia. Semua buku-buku itu tidak hanya digunakan di sekolah
tetapi juga beredar di tengah penduduk yang haus pendidikan.
***
Seorang
dokter muda yang baru datang dari negeri Belanda, Charles Adrian van Ophuijsen melamar menjadi pegawai
pemerintah dan langsung ditempatkan di Panjaboengan, Mandheling sebagai
panitera pada Desember 1876. Charles datang setelah Willem Iskander berangkat
ke negeri Belanda untuk kali kedua pada tahun 1875 untuk membimbing guru guru
di Hindia Belanda studi ke Eropa. Namun Willem Iskander dan anak-anak
bimbingannya tidak ada yang kembali karena semuanya meninggal di Belanda karena
alasan yang berbeda-beda. Sementara
itu, Charles yang sudah beberapa bulan bekerja di Panjaboengan mulai tergoda
dan tidak terlalu senang dengan pekerjaannya, karena kenyataannya Charles
justru lebih bersemangat mempelajari Bahasa Batak dialek Mandailing ketimbang
menjiwai tugas-tugas utamanya. Di sela-sela berdinas, Charles banyak
mempelajari cerita rakyat dan menuliskannya dalam bahasa Batak atau bahasa
Melayu. Charles adalah orang Belanda kedua yang fasih berbahasa Batak (setelah
N. van der Tuuk). Besar kemungkinan bakat terpendam Charles timbul ke permukaan
di lanskap ini, lebih-lebih dia melihat tradisi menulis ini sudah umum di
kalangan pribumi di Mandheling en Ankola
yang merupakan anak-anak asuh Willem Iskander di Kweekschool Tanobato.
Rupanya
perilaku dan kemampuan belajar otodidak Charles ini diketahui oleh Menteri
Buijs yang tengah berkunjung ke Panjaboengan lalu menawarkan apakah Charles
dengan bakat dan kemampuannya itu bersedia untuk menjadi guru di sekolah
Kweekschool. Sekolah yang dimaksud Pak Menteri membutuhkan guru Eropa yang
akrab dengan satu atau lebih bahasa asli dan etnologi di Nederlandsche Indie.
Profesi ini sangat jarang dan Charles tidak keberatan, malah sangat
bersemangat. Jalan hidup Charles yang sebenarnya kini muncul ke permukaan di
daerah terpencil di Mandheling en Ankola. Mungkin Charles melihat tradisi
menulis yang sudah berkembang itu di kalangan pribumi di Mandheling en Ankola,
menganggap dirinya tidak ada apa-apanya dalam hidupnya jika hanya sekadar
pegawai rendah di pemerintahan sementara riwayat pendidikan Charles sendiri
terbilang cemerlang di Negeri Belanda. Apakah situasi yang dilihatnya dan
kondisi yang dialaminya itu yang
menyebabkan Charles mengubah haluan dari dunia birokrasi ke dunia ilmu
pengetahuan? Boleh jadi.
Setelah
jadi guru di Probolinggo, dan dua tahun kemudian setelah kepergiannya dari
Mandheling en Ankola kini Charles ditugaskan ke sekolah guru yang baru dibuka
di Padang Sidempoean (1879) pengganti sekolah guru Tanobato yang ditutup tahun
1874. Di sekolah ini Charles mengabdi selama delapan tahun yang mana lima tahun
terakhir sebagai direktur sekolah guru Padang Sidempoean. Charles adalah guru
teladan yang membuat sekolah guru Padang Sidempoean menjadi sekolah terbaik di
Hindia Belanda. Charles aktif meneliti dan melibatkan anak-anak didiknya untuk
mempelajari bahasa Batak, etnologi Batak dan bahasa Indonesia. Pada tahun 1890
Charles dipromosikan menjadi Inspektur Pendidikan yang selanjutnya menjadi guru
besar bahasa Melayu di Universiteit Leiden. Charles Adrian van Ophuijsen adalah peletak dasar bahasa dan
tatabahasa Indonesia yang lebih dikenal dengan ejaan Ophuijsen. Charles adalah penerus
Willem Iskander di Nederlandsche Indie. Selanjutnya sekolah guru (kweekschool) Padang Sidempoean dan anak-anak
didik Charles Adrian van Ophuijsen menjadi pegawai tangguh dan menjadi tokoh-tokoh
pendidikan di tingkat nasional yang pada gilirannya melahirkan anak-anak yang hebat di
tingkat nasional dan internasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar