*Semua artikel Sumatera Tenggara di Asia Tenggara dalam blog ini Klik Disini
Kandungan mineral logam (khususnya emas dan perak) sudah sejak lama tersimpan di daerah Tapanuli Bagian Selatan, tepatnya di Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Mandailing Natal dan Kabupaten Padang Lawas. Secara khusus, deposit emas yang sangat besar di Kecamatan Batangtoru Kabupaten Tapanuli Selatan, sekalipun kegiatan eksplorasi sudah dilakukan dalam dua dekade terakhir ini, namun baru dua tahun terakhir menunjukkan titik terang ke fase produksi (eksploitasi). Sementara itu potensi batuan (seperti pasir dan kerikil) merupakan kekayaan lain yang penyebarannya cukup merata di Tapanuli Bagian Selatan tetapi hanya sejumlah desa di kecamatan tertentu yang dapat dianggap sebagai lumbung yang potensial.
Kandungan mineral logam (khususnya emas dan perak) sudah sejak lama tersimpan di daerah Tapanuli Bagian Selatan, tepatnya di Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Mandailing Natal dan Kabupaten Padang Lawas. Secara khusus, deposit emas yang sangat besar di Kecamatan Batangtoru Kabupaten Tapanuli Selatan, sekalipun kegiatan eksplorasi sudah dilakukan dalam dua dekade terakhir ini, namun baru dua tahun terakhir menunjukkan titik terang ke fase produksi (eksploitasi). Sementara itu potensi batuan (seperti pasir dan kerikil) merupakan kekayaan lain yang penyebarannya cukup merata di Tapanuli Bagian Selatan tetapi hanya sejumlah desa di kecamatan tertentu yang dapat dianggap sebagai lumbung yang potensial.
Deposit Emas Batangtoru
Sejauh ini, potensi deposit emas terbesar di Tapanuli Bagian Selatan terdapat di Kecamatan Batangtoru. Sebagaimana diketahui di lokasi proyek tambang Martabe memiliki deposit yang dapat diproduksi diperkirakan sebanyak 6,5 ton emas dan perak 66,4 ton per tahun selama 10 tahun ke depan. Namun yang sudah dipastikan, cadangan emasnya sekitar 2,7 ton dan perak 32,8 ton. Pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang sekarang di proyek Martabe adalah G-Resources Group Limited Hongkong (yang sebelumnya dikuasai oleh Aginrcourt, Australia seluas).
Perusahan ini dikabarkan menguasai wilayah pertambangan seluas 163.927 Ha yang seberan lokasinya membentang di wilayah lima kabupaten/kota: Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Tapanuli Tengah, Kabupaten Mandailing Natal dan Kota Padang Sidempuan. Investasi yang ditanamkan perusahaan ini sekitar US$ 440 juta atau sekitar Rp 3,5 Triliun lebih. Pertambangan emas di Batangtoru sempat tertunda karena adanya peralihan kepemilikan yang sebelumnya ada pada Aginrcourt, Australia menjadi G. Resources, Hongkong. Sebelumnya, Agricourt sempat menghentikan kegiatan eksplorasi dan rencana eksploitasi tambang emas di Batangtoru karena perusahaan ini mengalami kesulitan keuangan akibat dampak krisis keuangan global.
Lokasi Proyek Pertambangan Emas |
G-Resources sudah memulai kegiatan konstruksi dan proyek Martabe dijadwalkan akan melakukan produksi perdana Desember 2011 ini. Hasil tambang ini akan di angkut ke Australia dari lokasi eksploitasi dialirkan melalui pipa besar menuju pantai/laut sebelah barat Batangtoru. Belakangan ini dikabarkan bahwa G-Resources Group Limited juga telah menemukan zona mineralisasi emas baru di sekitar proyek Martabe, Lokasi baru yang cukup prospek ini berada di wilayah yang dikenal dengan nama Horas atau Barani Selatan yang lokasinya hanya tiga kilometer dari lokasi konstruksi proyek tambang emas Martabe.
Eksplorasi vs Pertambangan Rakyat di Madina
Sementara itu yang melakukan eksplorasi pertambangan emas di Kabupaten Mandailing Natal adalah PT Sorik Mas Mining (sebanyak 75 persen saham dimiliki Sihayo Gold Limited dan sisanya 25 persen dimiliki PT Aneka Tambang). Perusahaan ini sudah sejak 1998 sebagai pemegang kuasa pertambangan (kontrak karya) di wilayah ini yang mencakup Kecamatan Kotanopan, Kecamatan Muara Sipongi dan Kecamatan Ulu Pungkut dengan area wilayah pertambangan seluas 24.300 Ha. Sementara seluas 41.900 Ha yang lain terletak di Kecamatan Siabu, Bukit Malintang dan Panyabungan Utara. Area kontrak PT SMM sebagian besar berada di Taman Nasional Batang Gadis (TNBG). Kegiatan PT Sorik Mas Mining di Kabupaten Madina selaku pemegang IUP yang sekarang sudah beberapa kali melakukan perpanjangan kegiatan eksplorasi. Sementara PT Sorik Mas Mining melakukan kegiatan eksplorasi, pada waktu yang bersamaan tampak semakin marak penambangan emas liar di perbukitan Kecamatan Huta Bargot, Kabupaten Mandailing Natal.
Emas dan Batubara di Padang Lawas
Selain di Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kabupaten Mandailing Natal juga terdapat potensi yang cukup besar emas dan batubara di Kabupaten Padang Lawas. Wilayah yang sangat berpotensi sebagai wilayah pertambangan yang menarik investor meliputi Kecamatan Batang Lubu Sutam, Kecamatan Sosopan dan Kecamatan Sosa. Di daerah ini tidak saja emas yang tersimpan juga terdapat potensi batu bara dan timah hitam.
“Kontrak Karya” dan “Bagi Hasil”: Daerah Dapat Apa?
Sayangnya, sampai saat ini kedua perusahaan multi nasional sebagai pemegang IUP (sebelumnya dikenal sebagai pemegang kontrak karya) tersebut masih belum pernah memberikan kontribusi apa-apa untuk daerah. Sebagaimana PT Sorik Mas Mining yang masih fase eksplorasi dan G-Reources yang sudah pada fase konstruksi proyek untuk produksi, maka hasil bumi sebagaimana dinyatakan dalam UUD 1945 belum terasakan untuk kepentingan rakyat. Sambil menunggu, mari kita perhatikan hitung-hitunganya.
Sesuai UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) dan PP No. 23 Tahun 2010 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara pemegang IUP wajib membayar pendapatan Negara dan pendapatan daerah. Negara dalam hal ini Pemerintah akan memperoleh sebagai pendapatan negara dari penerimaan pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan bea masuk dan cukai, juga dari penerimaan bukan pajak yang terdiri dari iuran tetap, iuran eksplorasi, iuran produksi dan kompensasi data informasi. Sementara pendapatan daerah terdiri dari pajak daerah dan retribusi daerah serta pendapatan lain yang sah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Besarnya pajak dan penerimaan bukan pajak yang dipungut dari pemegang IUP ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selain itu, setiap keuntungan bersih perusahaan sejak berproduki, Pemerintah mendapat bagian 4 (empat) persen dan pemerintah daerah sebanyak 6 (enam) persen. Bagian pemerintah daerah diatur sebagai berikut: pemerintah provinsi 1 (satu) persen; pemerintah kabupaten penghasil 2,5 (dua koma lima) persen; dan kabupaten/kota lainnya di dalam provinsi sebanyak 2,5 (dua koma lima) persen. Dengan demikian maka keuntungan dari kegiatan produksi tambang untuk investor (perusahaan) sebesat 90 (sembilan puluh) persen dan sisanya buat negara/rakyat (pemerintah) sebesar 10 (sepuluh) persen.
Apakah 10 persen itu banyak atau sedikit? Bukankah deposit emas itu pemiliknya adalah kita? Tampaknya persentase keuntungan itu jelas sangat-sangat kecil. Tapi sebelum keuntungan ditakar kita sudah memungut banyak pulus mulai dari di pintu pelabuhan atas bea masuk dan cukai terhadap komponen-komponen yang menjadi faktor produksi baik pada fase eksplorasi maupun pada fase eksploitasi. Juga pundi-punsi kita telah terisi oleh pajak-pajak dan iuran-iuran baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat daerah. Masih ada lagi: perusahaan melakukan pembelian terhadap barang dan jasa lokal, upah untuk tenaga local, energy dan mungkin menyumbang buat masyarakat sebagai CSR.
Oke, terserah bagaimana mekanisme hitung-hitungannya. Namun yang perlu diperhatikan semua hitungan tersebut sudah barang tentu terkait dengan penerimaan (revenue) dan biaya-biaya produksi (cost). Selisih revenue dengan cost itu yang disebut keuantungan (profit). Revenue adalah perkalian harga internasional dengan berapa banyak yang diproduksi. Untuk perihal cost sangat-sangat rumit dan tidak sesederhana yang kita bayangkan.
Jelas untuk menambang ‘harta karun’ Tapanuli Bagian Selatan membutuhkan biaya yang maha besar dan pemerintah daerah jelas tidak akan mampu. Karena itu, kita perlu mengundang investor (umumnya perusahaan asing) untuk mengusahakannya: eksplorasi, menambang dan juga sebagai pembeli bukan? Bagaimana perusahaan membiayai operasinya? Awalnya dengan uang tunai lalu kemudian dengan barang. Bukankah biaya harus dikeluarkan lebih dulu sebelum untung bisa ‘dihisap’. Semua teknologi yang digunakan, gaji para top management, cost of capital serta pajak-pajak dan iuran-iuran adalah bagian dari biaya itu sendiri.
Nah, kalau perusahaan mau untung ‘gede’ maka kemungkinan curang dengan cara ‘mark-up’ bisa terjadi. Barang yang seharusnya bisa disediakan local harus didatangkan dari negara lain, tenaga kerja professional yang sudah ada di negeri ini dikesampingkan dengan macam-macam alasan untuk digantikan dengan tenaga asing. Harga barang dan upah dari luar sudah barang tentu sangat mahal bukan? Lalu bagaimana dengan harga produk? Jelas tidak mungkin lebih mahal dari harga pasar, toh juga pembelinya bukan melalui pasar terbuka melainkan pembelinya adalah perusahaan itu sendiri yang memiliki pabrik pengolahan yang lokasinya berada di negaranya.
Lalu bagaimana kita memahami kembali amanat dari ‘semua kekayaan dimiliki oleh negara untuk kesejahteraan rakyat’. Apakah sudah cukup adil? Habibie (mantan Presiden RI) hari ini menyebut pengalihan kekayaan alam Indonesia termasuk yang di Batangtoru ke pihak asing dianggapnya bentuk VOC gaya baru. Lho, koq? Dulu, VOC adalah kepanjangan tangan dari sebuah organisasi kamar dagang Belanda yang mengeruk kekayaan nusantara. Habibie menyebut mekanisme yang dimainkan oleh VOC gaya baru yang sekarang seakan kita hanya sekadar membeli jam kerja bangsa lain: kita yang punya kekayaan, kita harus bayar mahal, kita dapat untung lebih sedikit, tenaga kerja (professional dan non professional) tidak diberi kesempatan, produk alam kita yang lain seperti bahan baku dan bahan penolong dan lainnya tidak teroptimalkan. Oleh karenanya, sudah waktunya semua kontrak-kontrak yang ada direview agar lebih berkeadilan bagia bangsa dan rakyatnya. Memang di satu pihak kita masih tetap membutuhkan investor (utamanya investor asing), tapi di pihak lain jangan lupa kita juga perlu menjaga martabat bangsa. Sebagai catatan bahwa hingga Februari 2010 tercatat terdapat 8.020 izin Kuasa Pertambangan (KP) yang harus diubah menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP) sesuai UU No 4 Tahun 2009.
Pajak Daerah Mineral Bukan Logam dan Batuan
Di dalam Undang-Undang No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba), wilayah pertambangan terdiri dari wilayah usaha pertambangan (WUP), wilayah pertambangan rakyat (WPR) dan wilayah pencadangan nasional (WPN). WUP dilakukan oleh Pemerintah (pusat) setelah berkordinasi dengan pemerintah daerah dan disampiakan sevara tertulis kepada DPR (pusat). WPR ditetapkan oleh bupati/walikota setelah berkonsultasi dengan DPRD kabupaten/kota. Untuk kepentingan strategis nasional, Pemerintah dengan persetujuan DPR dan dengan memperhatikan aspirasi daerah menetapkan WPN sebagai daerah yang dicadangkan untuk komoditas tertentu dan daerah konservasi dalam rangka menjaga keseimbangan ekosistem dan lingkungan. WPN ini dapat diusahakan sebagian luas wilayahnya dan WPN ditentukan batasan waktu. Wilayah yang akan diusahakan pada WPN atau eks WPN berubah statusnya menjadi Wilayah Usaha Pertambangan Khusus (WUPK).
Usaha pertambangan di dalam Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) diuraikan secara lebih terperinci. Usaha pertambangan (UP) dikelompokkan atas pertambangan mineral dan pertambangan batubara (termasuk batuan aspal dan gambut). Pertambangan mineral sendiri digolongkan atas: (a) Pertambangan mineral radioaktif, (b) Pertambangan mineral logam, (c) Pertambangan mineral bukan logam, dan (d) Pertambangan batuan.
Sementara itu, pajak daerah merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintah daerah. Kebijakan pajak daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas dengan memperhatikan potensi daerah. Dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan kemandirian daerah, perlu dilakukan perluasan objek pajak daerah serta pemberian diskresi dalam penetapan tarif. Untuk itu dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 dilakukan perubahan agar lebih sesuai dengan kebijakan otonomi daerah, dimana daerah diberi kewenangan yang lebih besar dalam perpajakan dengan memperluas basis pajak daerah dan kewenangan kepada daerah untuk menetapkan tarif.
Pajak daerah merupakan pajak dalam konteks daerah yang dapat dipungut oleh pemerintah daerah, dalam hal ini pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota. Pajak daerah diatur berdasarkan Peraturan Daerah dan hasilnya untuk membiayai pembangunan daerah. Dari segi kewenangan pemungutan pajak atas objek pajak daerah, pajak daerah dibagi menjadi dua, yakni : pajak daerah yang dipungut oleh provinsi dan pajak daerah yang dipungut oleh kabupaten/kota. Berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 2009, ada 11 jenis pajak daerah yang dapat dipungut oleh kabupaten/kota dengan tarif pajak tertentu. Salah satu pajak daerah yang dimaksud adalah Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan.
Mineral bukan logam meliputi antara lain intan, pasir kuarsa, belerang, asbes, mika, bentonit, gypsum, tawas, batu kuarsa, batu gamping untuk semen dan sebagainya. Batuan meliputi jenis dan bentuk yang beragam yang antara lain: marmer, granit, andesit, tanah liat, tanah urug, batu apung, Kristal kuarsa, giok, batu gunung quarry besar, kerikil galian dari bukit, kerikil sungai, batu kali, kerikil sungai ayak tanpa pasir, pasir urug, pasir pasang, kerikil berpasir alami (sirtu), tanah merah (laterit) batu gamping, pasir laut dan lain sebagainya.
Pada Tabel-1 disajikan persentase desa yang memiliki galian-C menurut kecamatan di Tapanuli Bagian Selatan. Terminologi galian golongan C yang sebelumnya terdapat dalam UU No. 11 Tahun 1967 telah diubah berdasarkan UU No.4 Tahun 2009 menjadi batuan. Pemberian izin usaha pertambangan batuan sesuai Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 dilakukan dengan cara permohonan wilayah. Permohonan wilayah maksudnya adalah setiap pihak badan usaha, koperasi atau perseorangan yang ingin memiliki IUP harus menyampaikan permohonan kepada menteri, gubernur atau bupati walikota sesuai kewenangannya. Pembagian kewenangan menteri, gubernur dan bupati/walikota adalah: (a) Menteri ESDM, untuk permohonan wilayah yang berada lintas wilayah provinsi atau wilayah laut lebih dari 12 mil dari garis pantai, (b) Gubernur, untuk permohonan wilayah yang berada lintas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi atau wilayah laut 4 (empat) sampai dengan 12 mil, dan (c) Bupati/walikota, untuk permohonan wilayah yang berada di dalam satu wilayah kabupaten/kota atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil. Sumber: Dikompilasi dari berbagai sumber (Akhir Matua Harahap)
Tabel-1. Jumlah (persentase) desa yang memiliki galian-C menurut
kecamatan di Kab. Mandailing Natal, Kab. Tapanuli Selatan, Kab. Padang Lawas Utara,Kab. Padang Lawas, dan Kota Padang Sidempuan | |||
Kecamatan
|
Jumlah
desa
|
Desa ada galian-C
| |
Jumlah
|
Persen
| ||
Batahan
|
18
|
17
|
94.4
|
Sinunukan
|
13
|
1
|
7.7
|
Batang Natal
|
31
|
18
|
58.1
|
Lingga Bayu
|
18
|
4
|
22.2
|
Ranto Baek
|
16
|
2
|
12.5
|
Kotanopan
|
36
|
7
|
19.4
|
Ulu Pungkut
|
13
|
0
| |
Tambangan
|
20
|
1
|
5.0
|
Lembah Sorik Marapi
|
9
|
0
| |
Puncak Sorik Marapi
|
11
|
0
| |
Muara Sipongi
|
15
|
5
|
33.3
|
Pakantan
|
8
|
0
| |
Panyabungan
|
38
|
13
|
34.2
|
Panyabungan Selatan
|
11
|
0
| |
Panyabungan Barat
|
10
|
0
| |
Panyabungan Utara
|
12
|
0
| |
Panyabungan Timur
|
15
|
3
|
20.0
|
Huta Bargot
|
13
|
1
|
7.7
|
Natal
|
29
|
3
|
10.3
|
Muara Batang Gadis
|
17
|
4
|
23.5
|
Siabu
|
24
|
1
|
4.2
|
Bukit Malintang
|
11
|
0
| |
Naga Ujung
|
7
|
0
| |
Kab. Mandailing Natal
|
395
|
80
|
20.3
|
Batang Angkola
|
57
|
1
|
1.8
|
Sayur Matinggi
|
54
|
3
|
5.6
|
Angkola Timur
|
39
|
2
|
5.1
|
Angkola Selatan
|
18
|
4
|
22.2
|
Angkola Barat
|
24
|
1
|
4.2
|
Batang Toru
|
29
|
3
|
10.3
|
Marancar
|
32
|
0
| |
Muara Batang Toru
|
7
|
1
|
14.3
|
Sipirok
|
96
|
1
|
1.0
|
Arse
|
31
|
2
|
6.5
|
Saipar Dolok Hole
|
68
|
0
| |
Aek Bilah
|
42
|
0
| |
Kab. Tapanuli Selatan
|
497
|
18
|
3.6
|
Batang Onang
|
32
|
7
|
21.9
|
Padang Bolak Julu
|
23
|
0
| |
Portibi
|
38
|
10
|
26.3
|
Padang Bolak
|
77
|
10
|
13.0
|
Simangambat
|
34
|
1
|
2.9
|
Halongonan
|
44
|
0
| |
Dolok
|
86
|
3
|
3.5
|
Dolok Sigompulon
|
44
|
17
|
38.6
|
Hulu Sihapas
|
8
|
2
|
25.0
|
Kab. P. Lawas Utara
|
386
|
50
|
13.0
|
Sosopan
|
22
|
0
| |
Ulu Barumun
|
15
|
5
|
33.3
|
Barumun
|
41
|
13
|
31.7
|
Lubuk Barumun
|
24
|
2
|
8.3
|
Sosa
|
39
|
2
|
5.1
|
Batang Lubu Sutam
|
28
|
1
|
3.6
|
Hutaraja Tinggi
|
31
|
2
|
6.5
|
Huristak
|
27
|
3
|
11.1
|
Barumun Tengah
|
77
|
1
|
1.3
|
Kab. Padang Lawas
|
304
|
29
|
9.5
|
P. Sidempuan Tenggara
|
18
|
10
|
55.6
|
P. Sidempan Selatan
|
12
|
4
|
33.3
|
P. Sidempuan Batunadua
|
15
|
3
|
20.0
|
P. Sidempuan Utara
|
16
|
3
|
18.8
|
P. Sidempuan Hutaimbaru
|
10
|
1
|
10.0
|
P. Sidempuan Angkola Julu
|
8
|
2
|
25.0
|
Kota Padang Sidempuan
|
79
|
23
|
29.1
|
Sumber: Diolah dari Podes (BPS) 2008
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar