Sebagaimana umumnya komunitas kecil dengan jumlah penduduk yang terbatas (desa dengan ciri small population) kerap mengidentifikasi dirinya dan kampungnya. Identifikasi mereka biasanya dikaitkan dengan siapa tokoh yang berhasil yang berasal dari kampungnya. Hal yang sebaliknya bagi mereka sekampung (sahuta) juga tidak lupa mengidentifikasi siapa yang menjadi tokoh dari kampung (huta) tetangga bahkan huta yang jauh dari huta mereka.
Hal serupa ini sesungguhnya bukan tipikal penduduk huta (desa) di wilayah Tapanuli Bagian Selatan, tetapi juga masyarakat Indonesia umumnya, bahkan mereka yang berada di daerah perkotaan atau level masyarakat yang terpelajar (memiliki pendidikan yang lebih tinggi) juga berlaku fenomena identifikasi diri ini. Misalnya bagaimana mengidentifikasi siapa itu Presiden Amerinka Serika Barack Obama (anak Menteng); Siapa itu Soekarno, Habibie, Gusdur, SBY dan lainnya. Siapa itu Ken Soetanto, Batara Kesuma, Nelson Tansu dan seterusnya.
Tokoh-tokoh yang diidentifikasi tersebut, bagi orang per orang di dalam komunitas merupakan cara mereka untuk menunjukkan diri mereka melalui tokoh yang diidentifikasi. Tokoh ini semakin menguat di hati masyarakatnya jika tokoh ini masih 'berbekas' di kampungnya karena belum lama sang tokoh merantau keluar desa, keluar daerah, keluar negeri atau karena tokoh tersebut kerap melakukan mudik (mulak tu huta). Jika tokoh tersebut sudah tidak terlacak bekasnya di kampung, maka pihak lain dari kerabat terdekat akan menunjukkan semangatnya bahwa seseorang yang menjadi tokoh (daerah atau nasional) adalah berasal dari kampung ini atau kampung itu.
Tradisi identifikasi tokoh merupakan cara unik dari masyarakat agraris yang terikat kuat dengan kampung halaman. Tidak terkecuali komunitas masyarakat pedesaan di wilayah Tapanuli Bagian Selatan yang sangat kental dengan tradisi ini. Jelas, tradisi ini tidak salah, karena tradisi ini menjadi faktor penting pemberi semangat untuk mereka yang masih tinggal. Generasi muda dari huta ini dengan mudah mengidentifikasi tokohnya (seperti halnya masayarakat kosmopolitan yang 'ngefans' sama tokoh idola), selain berguna untuk menjaga begitu pentingnya kekerabatan, juga menjadi sumber semangat untuk maju dan bergerak untuk mengikuti karir sang tokoh. Banyak yang berpendapat, identifikasi tokoh bagi masyarakat huta secara tak langsung telah mendorong mereka yang muda untuk merantau keluar desa dan menjadi faktor penting migrasi bagi masyarakat huta selama ini.
Huta bagi masyarakat ‘dalihan na tolu’ tidaklah sekadar desa secara administratif, melainkan sebagai ‘negeri’ yang berdaulat secara adat dan tradisi--yang menjadi asal atau tempat leluhur. Karenanya, banyak huta-huta di wilayah Tapanuli Bagian Selatan yang penduduknya kini hanya tinggal segelintir keluarga yang tetap bermukim menganggap huta adalah huta. Pada masa ini huta-huta yang menjadi desa, pada umumnya bukanlah huta-huta baru tetapi justru huta-huta lama yang jumlah penduduknya tergerus akibat migrasi. Sudah banyak cerita yang mengisahkan sejumlah huta yang dulunya eksis menjadi hilang (tidak terdaftar) karena eksodus dari pemilik huta. Mereka yang bermigrasi atau merantau ini tidak jarang tersiar kabar mereka sudah terpencar di semua penjuru nusantara.
Bagi masyarakat huta, huta adalah semacam ‘ibu pertiwi’ yang selalu terbuka dan sang penjaga huta (ibu sendiri) yang umumnya ikhlas melepaskan anaknya untuk merantau. Mereka tidak berharap balik tetapi mereka selalu menantikannya. Kodrat huta menjadi dilematis. Di satu pihak, pemilik huta semakin bertambah dengan berjalannya waktu, tetapi penghuni huta semakin menyusut di pihak lain. Inilah salah satu faktor mengapa jumlah penduduk desa-desa, utamanya huta-huta di wilayah Tapanuli Bagian Selatan jumlah penduduknya terbilang sedikit jika dibandingkan dengan desa-desa di wilayah lain di Indonesia.
Huta tetap eksis di jaman demokrasi dan modern ini. Tradisi identifikasi tokoh ini juga tetap berlanjut. Semakin banyak tokoh yang dilahirkan oleh huta semakin kerap pembicaaran tokoh ini dibicarakan. Pembicaraan dan sambutan yang paling bersemangat sangat terasakan di hari raya (Idul Fitri) ketika para tokoh-tokoh yang ditokohkan oleh pemilik huta itu pulang kampung. Akibatnya, huta dan tokoh tidak terpisahkan bagi penduduk Indonesia yang berasal dari huta. Di perantauan, identifikasi huta dan saling memperkenalkan huta di dalam pertemuan menjadi topik wajib yang tidak terlewatkan. Mengenang huta sesaat bagi masyarakat perantauan berbanding terbalik dengan penduduk yang mewarisi huta yang selalu mengenang dan terkenang dengan para tokoh-tokohnya. Dunia jejaring sosial pada masa kini telah menolong warga huta untuk mengidentifikasi siapa tokoh dan pahlawannya dan memberi kesadaran baru bagi buat para tokoh di perantauan itu sendiri bahwa mereka ternyata masih memiliki huta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar