Abdul Hakim Harahap, Gubernur Sumatra Utara 1952-1954 |
Atas
prestasi dan pengabdian kelahiran Hutarimbaru, Padang Sidempuan ini di bidang pendidikan (guru,
eksekutif maupun legislatif) Residen Bouman atas nama Gubernur dan atas nama
Gubernur Jenderal diberikan bintang de Groote Zilveren Ster van Trouw en
Verdienste, 1928. Suatu tingkat pencapaian yang tinggi bagi seorang pribumi.
Pada tahun 1927, Baginda Aloan Soripada yang berdinas terakhir di Medan dan
1927 mendapat bintang emas untuk loyalitas dan jasa diberikan kepadanya sebagai
demang di Sibolga.
Pada tahun 1918 ditempatkan seorang
hakim muda di kantor Landraad Medan, bernama Alinoedin Siregar. Tugas-tugas
utamanya adalah untuk menangani semakin banyaknya kasus-kasus pertanahan yang
terjadi dan tingkat kriminal. Alinoedin adalah alumni pertama sekolah hukum
(Rechts School) di Batavia. Di sekolah hukum ini, Alinoedin adalah anggota tim
catur kampusnya. Setelah beberapa tahun, anak kelahiran Batangtoru ini yang
terbilang cerdas dan karena prestasinya di Medan, Alinoedin diberi kesempatan
untuk melanjutkan studi hukum ke Negeri Belanda.
Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi berangkat studi ke
negeri Belanda dan belajar hukum di Universiteit Leiden. Pada tahun 1925, Radja
Enda Baomi meraih gelar doktor (PhD) dengan desertasi berjudul ‘Het
grondenrecht in de Bataklanden: Tapanoeli, Simeloengoen en het Karoland' (hukum
tanah). Radja Enda Boemi adalah ahli hukum pribumi pertama orang Batak, satu
dari dua di Sumatra dan satu dari delapan di Nederlansch Indie. Radja Enda
Boemi adalah pribumi keempat bergelar doktor dan pribumi kedua bergelar doktor
di bidang hukum di Nederlandsch Indie. Setelah pulang ke tanah air, Radja Enda
Boemi diangkat sebagai ketua pengadilan di Semarang, lalu di Surabaya dan
kemudian di Buitenzorg (1930).
Pada bulan Mei 1921 Radjamin
Nasoetion tiba di Medan sebagai pejabat yang ditempatkan di bidang bea dan
cukai di pelabuhan Belawan. Radjamin kelahiran Barbaran ini adalah alumni
STOVIA (lulus 1912) dan telah berpindah-pindah tempat dari satu pelabuhan ke
pelabuhan lain. Tugas Radjamin di pelabuhan kelas-A ini adalah membersihkan
praktek korupsi di pelabuhan dan memberantas penyelundupan. Boleh jadi ini
hasil pertukaran pemikiran antara Mackay (eksekutif) dengan Radja Goenoeng (legislatif)
untuk mendatangkan orang yang kapabel: pintar, berani dan tegas.
Radjamin adalah kepala bea dan cukai pribumi pertama di
Medan. Radjamin Nasoetion tidak merasa asing di Medan. Radjamin pernah tahun
1907 sebagai pemain sepakbola Docter Djawa VC ketika bertamu ke Tapanoeli VC di
Medan. Radjamin pernah di tempatkan di Perbaungan tahun 1915 lalu dipindahkan
ke Cilacap. Selama di Medan, Radjamin aktif membina sepakbola. Koran De Sumatra
Post terbitan 13-02-1923 memberitakan Radjamin membentuk Asosiasi Sepakbola
Deli (Deli Voetbal Bond). Setelah lama di Medan, akhirnya Radjamin dipindahkan
kembali ke Batavia. Kelak Radjamin Nasoetion menjadi anggota dewan kota
Surabaya (1931) dan kemudian menjadi walikota pribumi pertama di Surabaya
(1942).
Setahun sebelum Radjamin ditempatkan di Medan, pada tahun 1920 ada empat adik kelas Radjamin yang tengah memulai karir: Tiga dokter baru lulusan baru dari STOVIA yang diangkat menjadi dokter pemerintah. Dr. Tengkoe Mansoer ke Surabaya; Maamoer A. Rasjid (Nasoetion) ke Loeboek Pakam (Sumatra's Oostkust) dan Abdoel Radjid ke Padang Sidempuan, untuk menggantikan Soeib Paroehoeman yang dipindahkan dari Padang Sidempuan ke Solok. Soeib Paroehoeman lulus STOVIA tahun 1917 (bersama R. Djoengdjoengan). Paroehoeman kemudian dipindahkan ke Batavia (1920) dan dipindahkan lagi tahun 1921 ke Manado.Kemudian dipindahkan lagi tahun 1924 ke Midden Java lalu tahun 1926 ditugaskan untuk melanjutkan studi ke Belanda. Sjoeib Paroehoeman lulus dari Universiteit Amsterdam pada tahun 1930 dengan promotor Prof. Dr. Schuffner.
Setahun sebelum Paroehoeman datang, Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi di Universiteit Leiden meraih gelar doktor (PhD) di bidang hukum. Kemudian setahun setelah Paroehoman pulang ke tanah air, Ida Loemongga Nasoetion di Universiteit Amsterdam meraih gelar doktor (PhD) di bidang kedokteran. Radja Enda Boemi adalah orang ketiga pribumi, dan Ida Loemongga orang keenam pribumi yang meraih gelar doktor. Orang ketujuh peraih doktor (PhD) adalah Todoeng Harahap gelar Soetan Gooenoeng Moelia di Universiteit Leiden tahun 1933 di bidang sastra dan filsafat. Inilah tiga anak Padang Sidempuan yang mampu meraih level tertinggi pendidikan di masa-masa awal.
Setahun sebelum Radjamin ditempatkan di Medan, pada tahun 1920 ada empat adik kelas Radjamin yang tengah memulai karir: Tiga dokter baru lulusan baru dari STOVIA yang diangkat menjadi dokter pemerintah. Dr. Tengkoe Mansoer ke Surabaya; Maamoer A. Rasjid (Nasoetion) ke Loeboek Pakam (Sumatra's Oostkust) dan Abdoel Radjid ke Padang Sidempuan, untuk menggantikan Soeib Paroehoeman yang dipindahkan dari Padang Sidempuan ke Solok. Soeib Paroehoeman lulus STOVIA tahun 1917 (bersama R. Djoengdjoengan). Paroehoeman kemudian dipindahkan ke Batavia (1920) dan dipindahkan lagi tahun 1921 ke Manado.Kemudian dipindahkan lagi tahun 1924 ke Midden Java lalu tahun 1926 ditugaskan untuk melanjutkan studi ke Belanda. Sjoeib Paroehoeman lulus dari Universiteit Amsterdam pada tahun 1930 dengan promotor Prof. Dr. Schuffner.
Setahun sebelum Paroehoeman datang, Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi di Universiteit Leiden meraih gelar doktor (PhD) di bidang hukum. Kemudian setahun setelah Paroehoman pulang ke tanah air, Ida Loemongga Nasoetion di Universiteit Amsterdam meraih gelar doktor (PhD) di bidang kedokteran. Radja Enda Boemi adalah orang ketiga pribumi, dan Ida Loemongga orang keenam pribumi yang meraih gelar doktor. Orang ketujuh peraih doktor (PhD) adalah Todoeng Harahap gelar Soetan Gooenoeng Moelia di Universiteit Leiden tahun 1933 di bidang sastra dan filsafat. Inilah tiga anak Padang Sidempuan yang mampu meraih level tertinggi pendidikan di masa-masa awal.
Sebelum berakhir masa dinas
Radjamin Nasoetion di kantor bea dan cukai Medan (pabean Belawan), pada tahun
1927 datang seorang anak muda lulusan angkatan pertama Sekolah Bea dan Cukai di
Batavia. Anak muda tersebut bernama Abdul Hakim kelahiran Sarolangoen, Djambi
1905. Ini berarti generasi lama pejabat bea dan cukai akan digantikan generasi
baru lulusan sekolah bea dan cukai. Radjamin sendiri adalah dokter, alumni
STOVIA dan diangkat tahun 1912 sebagai pegawai bea dan cukai di Batavia. Kala
itu, sekolah bea dan cukai belum ada, baru era Abdul Hakim ada sekolah yang
sesuai untuk penempatan pos bea dan cukai.
Di kota Medan ini, Abdul Hakim menikah dengan boru Tapanoeli,
Mariana br. Loebis, seorang gadis yang pernah dikenalnya dulu ketika Abdul
Hakim bersekolah MULO di Padang, sementara Mariana masih di sekolah dasar.
Abdul Hakim adalah anak dari Karim Harahap gelar Mangaradja Gading, seorang
pegawai di kantor Residen di Sibolga dan dipindahkan sebagai pengawas ke
Djambi. Dari Sarolangun selanjutnya, Mangaradja Gading dipindahkan ke Kota
Jambi. Di kota ini, Mangaradja Gading memasukkan Abdul Hakim di sekolah ELS
untuk mengikuti abangnya yang sudah lebih dahulu bersekolah. Namun karena sudah
cukup lama bertugas di Jambi, Mangaradja Gading minta dipindahkan ke Sibolga.
Abdul Hakim tidak selesai mengikuti sekolah ELS tetapi dilanjutkan di Sibolga. Setelah
lulus ELS, Mangaradja Gading menyekolahkan Abdul Hakim ke MULO (sekolah
menengah pertama) di Padang. Selanjutnya Mangaradja Gading menyekolahkan Abdul
Hakim ke Batavia di sekolah Prins Hendrikschool (sekolah menengah atas, bidang
ekonomi). Di luar sekolah, Abdul Hakim di Batavia aktif dalam organisasi pemuda
seperti Jong Islamieten Bond, Jong Batak dan Jong Sumatra Bond. Setelah lulus
di Prins Hendrikschool, Abdul Hakim mengikuti sekolah untuk layanan bea dan
cukai di Batavia.
Setelah cukup mengenal Medan dan
aktivitasnya yang bergerak di bidang pabean memungkinkannya untuk membangun
networking dan kemudian Abdul Hakim menjadi lebih dikenal secara luas. Lantas
dia maju dalam pemilihan anggota dewan kota (gementeeraads). Abdul Hakim
menjelaskan pada waktu itu minat yang besar dalam Medan untuk masalah ekonomi,
keuangan dan sosial, Selama di Medan, tujuh tahun terakhir dari sepuluh tahun
di Medan Abdul Hakim menjadi anggota dewan kota. Kegiatan yang dilakukan Abdul
Hakim selain anggota dewan adalah aktif sebagai guru privat bahasa Inggris dan
bahasa Prancis (yang super langka kala itu). Prestasi Abdul Hakim selama di
dewan, Abdul Hakim telah berkontribusi besar terhadap pembangunan kota Medan
utamanya pembangunan Pasar Central dan pengembangan Rumah Sakit Umum.
Pada tahun 1937, Abdul Hakim pindah ke Batavia. Ia bekerja
sebagai pejabat di Departemen Keuangan (divisi Akuntan dan Statistik Keuangan).
Di Batavia, Abdul Hakim bertemu kembali dengan kawan-kawan lama yang dulu
menjadi aktivis Jong Batak Bond. Sepeninggal hidupnya pernah di kota Medan,
mungkin ia merasa Keresidenan Tapanoeli mulai tertinggal dibandingkan
Keresidenan Oost Sumatra, karena orang-orang terpelajar Tapanoeli lebih memilih
meniti karir di Medan dan Batavia. Kebetulan pada tahun 1938 di Batavia sudah
kerap dilangsungkan pembangunan di Tapanoeli. Tentu ini klop dengan
pemahamannya dan karenanya Abdul Hakim ikut melibatkan diri. Komite pembangunan
Tapanoeli ini awalnya digagas oleh Sanusi Pane, anak Sipirok kelahiran
Palembang. Komite ini memiliki tujuan untuk mengajukan desain rencana reformasi
wilayah administrasi (keresidenan) Tapanoeli. Istilah masa kini Rencana Jangka
Panjang. Dewan Komite terdiri sebagai berikut (disalin sesuai yang tertulis
dalam Bataviaasch nieuwsblad, 01-03-1938): Presiden: Sanusi Pane (editor
majalah ‘Kebangoenan’, Wakil Ketua: J.K. Panggabean, Sekretaris dan Bendahara:
Napitoepoeloe. Anggota terdiri dari: Parada Harahap (editor ‘Tjaja Timoer’, Abdul
Hakim Harahap (mantan anggota dewan kota Medan), A.L. Tobing, H. Pane, T.
Dalimoente, Panangian Harahap. Sebagai penasehat komite ini adalah Mangaradja
Soangkoepon, Dr. Abdul Rashid, Mr. S. G. Moelia, PhD (ketiganya anggota Volksraad), dan Mr. Amir
Sjarifoeddin (kelahiran Medan). Kelak, Abdul Hakim Harahap kembali ke kampung
di Padang Sidempuan lalu menjadi anggota dewan Tapanoeli (jaman Jepang) dan
menjadi residen Tapanoeli (era agresi militer) dan menjadi gubernur Sumatra
Utara yang ketiga, 1952 (psca pengakuan kedaulatan RI),
Pada tahun 1927 di Batavia, seorang
anak Padang Sidempuan bernama Hasan Harahap gelar Soetan Pane Paroehoem lulus
ujian bagian pertama pendidikan notaris. Yang lulus bersamaan dengan Soetan
Pane Paroehoem adalah Dr. Reichler di Medan. Kemudian Soetan Pane Paroehoem
melanjutkan pada bagian kedua dan lulus tahun 1929 dan dinyatakan berhak untuk
mendapat register.
Soetan Pane Paroehoem (1925) |
Pada tahun 1928 saat mana Kajamoedin
gelar Radja Goenoeng menjabat sebagai Ketua Tatakelola Administrasi Pemerintahan
Kota Medan, seorang pemuda kelahiran Sipirok bernama Gading Batoebara tahun
1928 diangkat menjadi guru pemerintah dan ditempatkan di Medan.Pada tahun ini beberapa guru asal Padang Sidempuan berdatangan
diantaranya. Abdoel Herman Siregar mengadjar di Hollandsch Inlandsche School di
Bindjei dan Kamaroeddin Nasoction di Schakel School di Medan. Abdoel Herman
Siregar dan Kamaroeddin Nasoction sama-sama baru lulus dari Hoogere Kweekschool
di Bandoeng (lihat De Sumatra post, 04-07-1928).
Pada saat ini (1928), Abdullah Loebis (Direktur Pewarta Deli) adalah salah satu pribumi yang menjadi anggota dewan kota (gemeenteraad) di Kota Medan. Abdullah Loebis adalah penerus Kajamoedin di dewan kota. Abdullah Loebis adalah tokoh pers pribumi terpenting di Medan. Sementara tokoh pers pribumi terpenting di Batavia adalah Parada Harahap (pernah menjadi editor Benih Mardeka di Medan tahun 1918 dan kemudian editor Sinar Merdeka di Padang Sidempuan 1919-1922). Parada Harahap hijrah ke Batavia 1923 dan kiprahnya langsung meroket. Parada Harahap mendirikan kantor berita Alpena 1925, mendirikan surat kabar Bintang Timoer 1926 (koran bertiras paling besar di Batavia). Parada Harahap tahun 1927 sekretaris PPPKI yang mana ketuanya MH Thamrin. PPPKI (Permoefakatan Perhimpoenan-perhimpoenan Politiek Kebangsaan Indonesia dengan motto:Hidoeplah Persatoean Indonesia) adalah penyelenggara kongres pemuda 1928 (kelak, tahun 1931 Parada Harahap, pendiri dan sebagai Ketua Kadin pribumi di Batavia memimpin rombongan orang Indonesia pertama ke Jepang yang di dalamnya termasuk Abdoellah Loebis (editor Pewarta Deli) dan M. Hatta (sarjana baru lulusan Belanda, kelak menjadi wakil presiden). Trio pengurus Sumatranen Bond ke kongres pemuda adalah Bahder Djihan, Diapari Siregar dan Abdul Gafar. Sedangkan pemuda yang berpartisipasi dalam kongres pemuda antara lain Amir Sjarifoedin. [Diapari Siregar lulus STOVIA tahun, 1928, setelah bertugas di Kalimantan, melanjutkan studi ke Belanda, lulus Univrsiteit Leiden 1933, pulang ke tanah air langsung membuka dokter praktek di Pematang Siantar].
Secara khusus, Gading
Batoebara yang lebih dikenal sebagai GB Josua adalah suksesi Kajamoedin gelar
Radja Goenoeng dalam pengembangan pendidikan di Kota Medan. Hal yang kurang
lebih sama Abdul Hakim Harahap sebagai suksesi dari Radjamin Nasoetion. Sementara itu, Djohan Nasoetion suksesi Abdul Azis Nasoetion gelar Sutan Kenaikan (alumni pertama sekolah menengah pertanian di Buitenzorg, 1914 yang berkarir di Padangsche) datang ke Medan tahun 1929. Setelah lulus di Buitenzorg, Djohan Nasoetion langsung ditempatkan di Medan sebagai 'de
adjunct landbouwconsulent' dengan wilayah kerja Oostkust van Sumatra (lihat De Sumatra post,
19-07-1929). Djohan Nasoetion adalah orang pribumi pertana, ahli pertanian di Sumatra's Oostkust (sebagai asisten dari insinyur pertanian berbangsa Belanda).
Anak-anak Padang Sidempuan tidak hanya melakukan estafet di bidang pengajaran (guru), bidang kesehatan (dokter), bidang legislatif (anggota dewan), bidang pertanian (dokter hewan dan ahli pertanian) juga melakukan estafet di bidang pemberitaan (jurnalis). Surat kabar Pewarta Deli (suksesi Pertja Timor, 1902-1911) yang didirikan oleh Dja Endar Moeda dan kawan-kawan telah melahirkan banyak jurnalis yang handal. Pewarta Deli setelah era Dja Endar Moeda, diteruskan Soetan Panoesoenan, kemudian dilanjutkan Soetan Parlindoengan, Abdoellah Loebis dan selanjutnya Mangaradja Ihoetan. Kini (tahun 1930) Pewarta Deli yang dipimpin Abdoellah Loebis mendapat masalah karena editornya Mangaradja Ihoetan dan Hasoel Arifin terkena delik pers. Abdoellah Loebis sempat bingun karena tidak ada yang mampu menggantikan dua editor andal itu, lalu Abdoellah Loebis meminta Parada Harahap, pimpinan Bintang Timoer di Batavia agar editornya Djamaloedin alias Adinegoro mengisi kekosongan editor di Pewarta Deli. Parada Harahap menyetujui. Dalam perkembangannya, setelah Mangaradja Ihoetan dan Hasanoel Arifin Pohan bebas lalu mendirikan koran baru bernama Sinar Deli yang mulai terbit 4-3-1930 (lihat De Sumatra Post, 05-03-1930). Kisah lama berulang, ketika Dja Endar Moeda di Padang 1907 dengan korannya Pertja Barat dan Sumatra Nieuwsblad terkena delik pers, lalu meninggalkan Padang dan hijrah ke Medan. Dua koran itu diserahkan kepada adiknya Dja Endar Bongsoe, lalu Dja Endar Moeda menerbitkan koran baru di Medan 1910 yang diberi nama Pewarta Deli. Koran Pewarta Deli ini (1930) untuk kali kedua mengalami delik pers (kasus M. Ihoetan dan Hasanoel Arifin), yang pertama adalah di era Soetan Panoesoen yang harus keluar lalu digantikan Soetan Parlindoengan (1912). .
Pertja Timor, edisi 28 Agustus 1902 (tahun I) |
Gading Batoebara, anak Padang Sidempoean kelahiran
Hoetapadang, Sipirok 10 Oktober 1901 (10-10-01) ini mengikuti jejak seniornya
Radja Goenoeng (lulus 1899) dan Abdul Azis Nasoetion gelar Sutan Kenaikan (masuk 1909) di sekolah guru di Fort de Kock. Setelah lulus Kweekschool
Fort de Kock, Gading Batoebara melanjutkan sekolah ke Hogere Kweekschool
(sekolah tinggi guru) di Poeworedjo. Setelah lulus, 1923 Gading Batoebara
pulang kampung dan menjadi guru sementara di HIS swasta Sipirok (kampung
halamannya, menikah dengan boru Regar). Kemudian Gading Batoebara merantau dan menjadi guru di
Tandjoengpoera (Langkat). Tidak lama di Tandjongpoera, GB Josua tertarik atas
tawaran untuk memajukan sekolah HIS swasta di Doloksanggoel. Kehadirannya
membuat sekolah HIS Doloksanggoel maju pesat hingga akhirnya diakuisisi oleh
pemerintah menjadi HIS negeri. Sukses GB Josua merancang HIS di Doloksanggoel
membuat namanya diperhitungkan oleh pemerintah Nederlansch Indie. Atas dasar
inilah Gading Batoebara diangkat menjadi guru pemerintah dan ditempatkan di
Schakel School di Medan, 1928. Tidak hanya itu, pada tahun 1929 Gading
Batoebara melanjutkan pendidikannya ke Negeri Belanda di Groningen. Setelah
mendapat akte Lager Onderwijs Gading Batoebara kembali ke tanah air, 1931..[catatan: Mackay sejak 1931 cuti sebagai walikota dan ketua gemeeteraad Medan yang dimulai April 1918 (lihat De
Sumatra post
01-04-1931].
Daftar sekolah ELS dan HIS di Medan, 1932 |
Pada tahun ini seorang anak remaja yang baru berumur 17 tahun ditahan di Sipirok dan dimasukkan ke penjara. Anak muda tersebut bernama Adam Malik. Penangkapan ini berdasarkan permintaan hakim di Sipirok, karena diketahui bahwa Adam Malik telah melakukan pertemuan politik di Sipirok. Polisi langsung bergerak untuk menangkap Adam Malik di Pematang Siantar. Adam Malik lalu dibawa dengan pengawalan ketat ke Sipirok (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 01-11-1934). Adam Malik Batubara (ketua Partindo Pematang Siantar dan Medan yang berpusat di Pematang Siantar, 1934-1935) kemudian dibui di penjara Padang Sidempuan, penjara yang kerap menjadi tempat Parada Harahap dulu (1918-1922) karena dalih delik pers pada surat kabar Sinar Merdeka yang terbit di Padang Sidempuan. Adam Malik sendiri adalah bendahara Partai Indonesia di Pematang Siantar yang didirikan tahun 1932 yang mana yang berindak sebagai ketua adalah Mohamad Said dan Sekretaris Cholik Nasoetion (lihat De Sumatra post, 27-12-1932). [catatan: Adam Malik menjadi pengurus partai sejak berumur 15 tahun, kelak menjadi Menteri Luar Negeri dan Wakil Presiden]. Setelah Adam Malik dibebaskan atas tuduhan pertemuan politik yang membawa nama partai yang dilarang itu, Partindo hijrah ke Batavia dan langsung bergabung dengan partai yang baru didirikan, Gerakan Indonesia (Gerindo) yang dipimpin oleh Amir Sjarifoedin. Anak Medan Bung (Amir) dan anak Siantan Men (Adam) bahu membahu membesarkan partai revolusioner anti Belanda ini. Adam Malik dkk mendirikan kantor berita Antara, 13 Desember 1937). Dalam pertemuan besar yang dilakukan Gerindo cabang Batavia, Amir dan Adam masing-masing berpidato di hadapan 600 yang hadir dengan topik yang berbeda. Kongres kedua Gerindo akan dilaksankan di Palembang 27-29 Juli ini (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 12-06-1939). Dalam kongres ini Adam Malik tampil berpidato yang intinya perlunya mendirikan organisasi pemuda yang diulanginya pada pertemuan Gerindo di cabang Tjibadak, Soekaboemi (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 07-10-1939). Adam Malik yang berprofesi sebagai wartawan ini setelah hijrah ke Batavia, masuk dalam jajaran elit Perdi (Persatoean Djoernalis Indonesia), dimana Wakil Ketua adalah Parada Harahap, sedangkan Adam Malik ketua cabang Batavia. [catatan: Adam Malik meski masih berumur 22 tahun sudah menjadi senior partai dan menganjurkan adanya kelompok pemuda. Kelak gerakan pemuda Indonesia pimpinan Adam Malik ini yang 'menculik' Soekarno dan Hatta untuk membacakan Proklamasi RI].
Setelah Kajamoedian gelar Radja
Goenoeng sukses, karir GB Josua mulai mendapat tempat di Medan. De Sumatra
post, 19-06-1934 memberitakan bahwa GB Josua diusulkan menjadi anggota Dewan Kota
melalui pemilihan. Total kursi anggota dewan yang diperebutkan sebanyak 17 yang
terdiri dari 10 kursi untuk Belanda, 5 kursi untuk pribumi dan 2 kursi untuk
Non Belanda. Dari daftar calon untuk pribumi ada sebanyak 15 orang. Dari daftar
ini terdapat enam anak Padang Sidempoen, yakni: Abdullah Lubis, Aboe Bakar,
Abdul Hakim, GB Joshua, Madong Lubis dan Soeleiman Hasiboean. Dalam putaran
terakhir pemilihan Dewan Kota Medan yang terpilih adalah Abdul Hakim dan GB
Josua (lihat De Sumatra post, 04-04-1936).
GB Josua kembali dicalonkan untuk pemilihan Dewan Kota (De
Sumatra post. 30-07-1938). Dari kalangan pribumi terdapat sebanyak 25 orang,
diantaranya Abdoel Wahab Siregar, Bedawi Rangkoeti, Suleiman Hasiboean,
Pamoesoek gelar Sutan Mangasa Pintor, Taralam Nasution gelar Mangaradja
Soangkoepon, Dr. Gindo Siregar, Mr. Loeat Siregar, Zakaria Loebis, Madong
Loebis, GB Josua, Boerhanoeddin gelar Soetan Dilaoet. Dalam pilkada kali ini GB
Josua gagal. Dari hasil pemungutan suara hanya Suleiman Hasiboean yang langsung
terpilih. Sedangkan delapan pribumi harus bersaing kembali untuk memperebutkan
empat kursi. (De Sumatra post, 15-08-1938). Akhirnya yang terpilih, satu diantaranya
adalah Boerhanoeddin gelar Soetan Dilaoet (De Sumatra post, 24-08-1938).[catatan: Madong Loebis adalah mantan guru di Normaal School di Pematang Siantar dan kini pengawas sekolah di Medan, pernah menjadi anggota dewan kota Pematang Siantar bersama guru Soetan Martoewa Radja dan Dr. Muhamad Hamzah Harahap; sementara Boerhanoeddin adalah djaksa yang sebelumnya berdinas di Sibolga (penerus djaksa Sibolga, Djamin Harahap gelar Baginda Soripada, ayah dari Amir Sjarifoedin) yang kemudian dipindahkan ke Medan sebagai pengawas kantor perbendaharaan Kota Medan; sedangkan Zakaria Loebis, pejabat keuangan di pemerintahan Kota Medan].
Tidak hanya para putra-putra Padang Sidempuan yang berkiprah di Medan, para putri-putri juga menunjukkan semangat adanya emansipasi. Pada tahun 1936 muncul organisasi wanita yang diberi nama Kaoem Iboe Sepakat. Organisasi ini diketuai oleh Ny. D. Poeloengan, wakil oleh Ny. Djamaloedin, sekretaris Nn. Mariam Loebis dan Nn Mariamsah Loebis, bendahara Nn. A. Pohan. Komisioner antara lain Ny. Zakaria :Loebis, Ny. Maskoed Siregar, Ny. Diapari Siregar
Tidak hanya para putra-putra Padang Sidempuan yang berkiprah di Medan, para putri-putri juga menunjukkan semangat adanya emansipasi. Pada tahun 1936 muncul organisasi wanita yang diberi nama Kaoem Iboe Sepakat. Organisasi ini diketuai oleh Ny. D. Poeloengan, wakil oleh Ny. Djamaloedin, sekretaris Nn. Mariam Loebis dan Nn Mariamsah Loebis, bendahara Nn. A. Pohan. Komisioner antara lain Ny. Zakaria :Loebis, Ny. Maskoed Siregar, Ny. Diapari Siregar
De Sumatra post, 05-09-1940 (Josua
Institute membuka Ekspansi): ‘Kemarin sore di bawah bunga yang sangat indah
berlangsung pembukaan bangunan baru, Joshua Institute di Delistraat Medan untuk
upacara dimana berbagai otoritas hadir, seperti Walikota Medan, anggota dewan
kotapraja dan anggota dewan kotapraja Djamaloeddin. Sebelum memasuki sekolah
tersebut didahului pidato yang disampaikan oleh Raja Goenoeng, pengawas sekolah
utama dan menyambut para peserta dan juga membuat perhatian khusus dari
kehadiran Tcngkoe Mahkota Deli. Radja Goenoeng mengatakan dengan tegas
bahwa lembaga seperti Josua Institute, hanya bisa berkembang di bawah dukugan
kuat semua stakeholder. Sementara anak-anak sekolah bernyanyi dan bendera
dikibarkan, dan petugas bangunan dan memasuki tempat dimana sejumlah besar
rangkaian bunga berdiri. Bergabung dengan ruang hiasan kemudian mengadakan
pertemuan dimana. berpidato Dr. Pirngadi, yang memberikan sejarah singkat sekolah
yang menekankan bahwa Mr Johua adalah pendiri sekolah dan orang yang memulai
dari sebuah sekolah kecil, lembaga ini telah dibuat pada 12 Juli 1932, yang
mana institute ini di sebuah gudang di Westenenkstraat. Sekolah ini awalnya
para siswa mengalami kesulitan belajar karena fasilitas yang jauh memadai, yang
harus diatasi pada awalnya, namun secara bertahap sekolah ini tumbuh, dan tidak
butuh waktu lama sebelum sekolah ini pindah ke gedung sekolah di Delistraat.
GB Josua (1950) |
Dr. Pirngadi adalah alumni STOVIA, seangkatan dengn Dr. FL Tobing dan adik kelas Abdoel Moenir Nasoetion. Pirngadi lahir di Banten (Bantam) lulus STOVIA tahun 1923..Pada tahun 1926, Raden Pirngadi dipindahkan dari STOVIA di Welt. ke Medan dan pada saat yang sama, Maamoer Al Rasjid Nasoetion dari Padang Sidempuan dipindahkan ke STOVIA di Welt.(lihat Bataviaasch nieuwsblad, 11-11-1926). Pada tahun 1929, Pirngadi menjadi anggota (pengganti) dewan kota (bersama Abdoellah Loebis, pimpinan Pewarta Deli). Untuk sekadar diketahui, selain Pewarta Deli, koran lokal yang cukup berpengaruh adalah Sinar Deli (pimpinan Abdul Azis gelar Baginda R. Sodjoeangon).
GB Josua tidak hanya cerdas di bangku
kuliah, tidak hanya piawai mengajar siswa di kelas dan tidak hanya pintar
berdebat di parlemen kota, tidak hanya mampu membangun sekolah, tetapi GB Josua
juga jago di lapangan rumput, sebagai pemain. GB Josua di Medan juga adalah
pengurus klub Sahata. Klub Sahata Voetbal Club adalah suksesi klub Medan Tapanoeli
Voetbal. Klub Medan Tapanoeli Voetbal Club adalah suksesi Tapanoeli Voetbal
Club (1907).
Klub Sahata Voetbal Club awalnya didirikan oleh koran Sinar
Deli pada tahun 1935 (Sinar Deli adalah suksesi Pewarta Deli, mulai beroperasi
tahun 1930 dengan editor Mangaradja Ihoetan). Klub ini dibentuk dari gabungan
(merger) dua klub yakni Horas Voetbal Vereeniging (HVV) dan Parsadaan Sport
Vereeniging (PSV). De Sumatra post, 31-10-1935 memberitakan bahwa pengurus klub
Sahata ketika dibentuk adalah Abdul Hakim (Wethouder Gemeeteraad) dengan sekretaris
Albert Siregar dan bendahara Ibu Mariamsjah Loebis. Oleh karena Abdul Hakim
pindah tugas ke Batavia, kepengurusan klub ini dipimpin oleh Dr. Gindo Siregar kemudian GB Josua. Dalam
perkembangannya, OSVB yang dimotori oleh MSV merasa perlu menggabungkan
kompetisi OSVB dengan kompetisi pribumi. Penggabungan ini didukung oleh
klub-klub pribumi termasuk Sahata VC. Di dalam kompetisi Sahata VC masuk Divisi
Satu. Kompetisi OSVB tahun 1940, Sahata VC berada pada peringkat keempat di
bawah Noertjahaja dan Shells SC dan Deli Mij. VC (kampiun). Untuk Divisi Dua
adalah Deli Spoor SC. Klub Sahata pimpinan GB Josua ini cukup lama eksis hingga
muncul perselisihan dengan OSVB, lagi-lagi karena soal ketidakadilan. Salah satu pemain andalan Sahata VC
adalah Kamaraoedin Panggabean (kelak menjadi tokoh sepakbola Medan). Pada
bulan Juni 1941 OSVB melakukan rapat tahunan seperti biasanya evaluasi
kompetisi dan bertepatan dengan pemilihan pengurus baru. GB Josua yang hadir
dalam rapat tahunan tersebut mewakili Sahata VC merasa selama ini seakan tidak
diberi kesempatan bagi pribumi untuk menjadi Presiden. GB Josua melakukan
protes dan memberi argumen yang realistik. De Sumatra post, 14-06-1941:
‘Sejumlah kandidat telah diumumkan sebelum pemilihan. Kandidat non Belanda
adalah Dr. Soedin dan Mr Joshua. Perwakilan Sahata dalam hal ini mengumumkan
bahwa Mr Josua untuk menarik kembali. GB Josua harus meninggalkan pertemuan.
Alasannya, tidak akan mungkin Indonesia menjadi presiden karena sudah diatur
meski namanya pemilihan. Seperti biasanya Presiden adalah dari MSV. Padahal
menurut GB Josua jumlah klub Indonesia lebih banyak di dalam kompetisi.
Penjaringan calon dan pemilihan itu hanya akal-akalan saja. OSVB adalah
federasi dan bukan MSV. Jangankan menjadi presiden, anggota dewan saja tidak
ada wakil Indonesia’. Klub Sahata lalu mundur dari OSVB (De Sumatra post,
14-06-1941). [Selama pendudukan Jepang klub Sahata tidak terdengar kabar
beritanya. Baru setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia kabar berita
Sahata muncul kembali pada tahun 1950 (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra,
16-08-1950)].
Inilah untuk kali kedua wakil
pribumi protes keras terhadap pengurus bond yang notabene orang-orang Belanda.
Pada tahun 1908 Tapanoeli VC juga pernah melakukan protes dan menarik diri dari
kompetisi karena adanya ketidakadilan (kala itu nama bond adalah Deli Voetbal
Bond yang dimotori oleh DSV. Kini, pada tahun 1941 terjadi lagi proses yang
sama ketika penggabungan kompetisi dilakukan. Serba kebetulan, Tapanoeli VC
berafiliasi dengan surat kabar Pewarta Deli (lembaga pemberitaan) milik Dja
Endar Moeda dan Sahata berafiliasi dengan Josua Instituut (lembaga pendidikan)
milik GB Josua. Dja Endar Moeda dan GB Josua adalah anak Padang Sidempoean yang
sama-sama menjadi guru. Guru ternyata berjuang dengan caranya sendiri.
Pada tahun 1934, saat mana GB Josua dicalonkan menjadi anggota dewan kota
Medan (dan berhasil menuju raadhuis (gedung dewan kota) bersama incumbent
Abdoel Hakim Harahap), seorang anak Padang Sidempuan ditempatkan di rumah sakit
kota Medan, namanya Djabangoen. Jabatan barunya di Medan untuk menempati posisi
yang baru dibentuk di rumah sakit kota yakni Biro Konsultatif untuk Wabah TBC
yang wilayah kerjanya semua wilayah Sumatra’s Oostkust. Dalam tugas baru ini,
Djabangoen bertindak sebagai Kepala Biro. Djabangoen sebelum menempati pos
baru ini, adalah asisten ahli dari Dr. O. Paneth di Sanatorium yang berlokasi di Kabandjahe.
Djabangoen sejak 1931 adalah asisten dari dokter spesialis TBC di Nederlansch
Indie yang bekerja di Kabandjahe. Di rumah sakit ini sudah terlebih dahulu bertugas Dr. Pirngadi (kakak kelas Djabangoen di STOVIA).
Djabangoen (1931) |
Di Medan, Djabangoen harus bekerja keras. Pemerintah sangat
mengkhawatirkan wabah TBC semakin meluas dan menggerogoti kesehatan masyarakat
di Sumatra’s Oostkust. Pada tahun 1935, untuk penanganan kategori penduduk murid
sekolah baru tertangani oleh Djabangoen baru sebanyak 400 sekolah dari 600 sekolah di Sumatra’s
Oostkust.
Hasil kerja keras Djabangoen atas cakupan tugas yang luas dan prestasi mengurangi secraa drastis prevalensi TBC, nama Djabangoen di Medan dan Sumatra’s
Oostkust semakin dikenal secara khusus di Medan. Pada tahun 1937, warga
Medan mengajukan Djabangoen untuk menjadi anggota dewan kota. Sayang dalam
putaran terakhir pemilihan, Djabangoen hanya meraih suara, tujuh terbanyak dari
25 kandidat. Yang berhak menjadi anggota dewan, tiga dari dari lima anggota pribumi
dewan kota terpilih adalah Dr. Suleiman Hasiboean, Dr. Gindo Siregar dan
Djamaloedin.
Pada tahun ini (1935) seorang anak Padang Sidempuan kelahiran Sipirok (28-11-1908) ditempatkan di Kantor Pengadilan (Raad van Justitie) Medan sebagai advokat bernama Mr. Loeat Siregar yang baru lulus Desember 1934 dari Reschthoogeschool di Leiden. Di kantor ini sudah ada pejabat senior Pamoesoek gelar Soetan Mangaradja Pintor. Baru setahun Loeat Siregar di Medan sudah terpilih sebagai Ketua Sarikat 'Teman Persahabatan. Setahun kemudian (1937) sudah diusulkan menjadi kandidat untuk dewan kota Medan, namun gagal pada putaran terakhir. Taman Persahabatan adalah organisasi sosial seperti Boedi Oetomo namun organisasi yang dibentuk di Medan ini tahun 1930 bersifat multi etnik yang diprakarsai oleh anggota dewan pribumi dan editor dari surat kabar Pewarta Deli dan tokoh lainnya seperti Baginda Djoendjoengan Lubis, dokter alumni STOVIA. Jauh sebelumnya sudah pernah ada organisasi sejenis yang multi etnik yang disebut Medan Prijaji. Organisasi ini didirikan tahun 1915 yang diketuai oleh Dr. Abdoel Rasjid dengan komisaris antara lain DR. Baginda Djoendjoengan dan Abdul Wahab Siregar. Dr. Abdoel Rasjid dan Dr. Djoendjoengan adalah alumni STOVIA (kelak Abdoel Rasjid adalah anggota Volkstaad dari dapil Tapanoeli, 1932). Sekadar diketahui bahwa organisasi sosial, seperti Indisch Vereeniging di Belanda (yang didirikan Soetan Casajangan tahun 1908) dan Boedi Oetomo (1908) bukanlah organisasi yang tertua, ternyata organisasi tertua terdapat di Padang. Organisasi sosial di Padang ini didirikan tahun 1902 yang diberi nama Medan Perdamaian dengan ketua Dja Endar Moeda (lihat De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 21-08-1902). Organisasi Medan Perdamaian ini ternyata juga eksis di Medan yang mana organisasi Dja Endar Moeda ini membentuk klub sepakbola bernama Medan Perdamaian yang ikut berkompetisi tahun 1908 di Medan..
Satu lagi anak Padang Sidempua kelahiran Sipirok datang ke Medan tahun 1936 bernama Dr. Gindo Siregar. Gindo Siregar baru saja pulang dari Belanda studi kedokteran (bedan dan kebidanan) dan setelah mendapat lisensi di Batavia membuka praktek di Medan. Gindo Siregar sebelum studi ke Belanda pernah selama 2 tahun enam bulan di rumah sakit Pangoeroeran dari tahun 1931. Gindo Siregar adalah alumni STOVIA tahun 1930. Namun baru satu sahun di Medan, sudah langsung dicalonkan sebagai anggota dewan kota Medan. Lnngsung berhasil.
Djamaloedin (tahun
kedua bersama Casmir Harahap) adalah mahasiswa STOVIA, adik kelas Djabangoen (tahun kelima) pada tahun 1920. Djamaloedin tidak selesai kuliah di STOVIA (tidak diketahui sebab musababnya). Lalu Djamaloedin berangkat studi
jurnalistik ke Eropa. Pada tahun akhir 1929, Djamaloedin alias Adinegoro
kembali ke tanah air. Pada tahun awal 1930 Adinegoro bekerja pada surat kabar
Bintang Timoer (pimpinan Parada Harahap). Kemudian Parada Harahap menyerahkan
tugas editor kepada Adinegoro, karena Parada Harahap sangat sibuk di dunia
politik (Parada Harahap adalah sekretaris PPPKI yang mana ketuanya M. Hoesni
Thamrin; PPPKI adalah penyelenggara Sumpah Pemuda 1928). Namun setahun kemudian
datang Abdullah Lubis dari Medan meminta Adinegoro menjadi editor Pewarta Deli
(pimpinan Abdullah Lubis). Parada Harahap setuju, dan Adinegoro berangkat ke
Medan. Adinegoro adalah adik dari Mohamad Jamin (dari Talawi, Sumatra’s Westkust), dan Jamin sendiri adalah teman dekat Parada Harahap yang sama-sama tokoh di Sumatranen Bond di Batavia..
Djabangoen menerima kekalahan itu dan menerimanya dengan gentlemen
sebagaimana dilaporkan De Sumatra Post 13-4-1937 (Dr. Suleiman Hasiboean, Dr.
Gindo Siregar dan Djamaloedin adalah adik kelas Djabangoen di STOVIA). Namun tidak demikian dengan Mr. Loeat Siregar.
Djabangoen kembali bekerja seperti semula, menangani kasus-kasus wabah TBC.
Djabangoen adalah seorang yang memiliki kepribadian yang lengkap. Dulu, semasa
kuliah di STOVIA, Djabangoen adalah anggota tim catur kampusnya untuk
berkompetisi (biasanya secara beregu) dengan tim-tim kuat yang ada di Batavia. Di
Medan, hobby catur Djabangoen tidak terdengar kabar beritanya (mungkin di Medan
banyak jago-jago catur). Namun, pada tahun 1940, nama Djabangoen diberitakan
muncul di ring tinju, namun bukan sebagai petinju tetapi dokter yang berada di
sisi ring jika para petinju mengalami cidera atau risiko tinggi. Pada waktu
itu, di Medan tengah dilangsungkan untuk pertamakali tinju profesional antara
petinju Medan, Satar melawan petinju dari Penang bernama Tony Louis.
Pada tahun ini (1937) atas usul seorang anggota Volksraad di Batavia agar jumlah pribumi dengan ETI di dewan haruslah sama jumlanya, Mr. Loet Siregar merespon dan membentuk komite di Medan untuk memperjuangkan agar jumlah pribumi dan ETI di dewan kota Medan sama jumlahnya. Komite ini terdiri dari Mr. Loeat Siregar sebagai ketua dan anggota terdiri dari semua anggota dewan pribumi, dan lain-lain termasuk editor Pewarta Deli dan editor Sinar Deli. Pada tahun 1938 Loeat Siregar diusulkan untuk kandidat untuk Volksraad dari dapil Sumatra's Oostkust melalui Parindra.
Peran anak-anak Padang Sidempuan di Medan pada bidang pendidikan dan kesehatan tidak ada putusnya: Pionir dan selalu dibutuhkan. Pada tahun 1938 ada suatu kejadian khusus, Dr. van der Molen mengambil hak cuti ke Eropa, rumah sakit Kota Medan kekurangan dokter. Lantas, walikota Aldermen mengangkat dua dokter pribumi: Dr. Gindo Siregar dan Dr. Diapari Siregar. Namun ada pertanyaan dari salah satu anggota dewan, apakah Dr. Gindo Siregar yang saat itu juga anggota dewan boleh rangkap jabatan. Walikota menjawab ini kondisi darurat. Kemudian diajukan pertanyaan: apakah gaji sebagai anggota dewan menjadi doble accounting dalam pembiayaan pemerintah karena sebagai dokter rumah sakit juga mendapat imbalan sebesar f 450 perbulan. Walikota menjawab: 'Tidak, karena Dr. Gindo harus meninggalkan praktek dokternya'. Untuk Dr. Diapari Siregar tidak ada masalah karena Dr. Diapari Siregar dipindahkan dari rumah sakit di luar kota Medan.
Dr. Gindo Siregar, alumni STOVIA setelah berdinas di berbagai tempat lalu melanjutkan studi ke Universiteit Leiden, dan setelah lulus membuka praktek di Medan. Belum lama di Medan sudah langsung terplih sebagai anggota dewan kota. Sementara itu, Dr. Diapari Siregar, alumni STOVIA, setelah berdinas lalu melanjutkan studi ke Universiteit Leiden, dan sepulang ke tanah air membuka dokter praktek di Pematang Siantar. Namun di tengah kesibukannya sebagai dokter swasta, pemerintah membutuhkan keahliannya untuk rumah sakit pemerintah di Pematang Siantar. Sebelumnya juga dialami oleh Dr. Alimoedin Pohan, alumni STOVIA, setelah berdinas di beberapa tempat lalu melanjutkan studi ke Belanda, dan setelah lulus membuka dokter praktek di Djawa. Namun kemudian pemerintah mengajukannya untuk menjadi direktur rumah sakit yang baru dibuka di Padang Sidempuan (kampung halamannya) dengan syarat harus diuji karena ada kandidat lain (berbangsa Belanda). Dr. Alimoedin langsung setuju dan dalam tahap uji kelayakan itu, Alimoedin yang dianggap lebih layak.
*Dikompilasi oleh Akhir Matua
Harahap berdasarkan sumber tempo doeloe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar