Djabangoen (1931) |
‘Kota’ Medan pada
awalnya adalah sebuah tempat dengan ciri perkotaan (town) yang terdiri dari
sejumlah fasilitas dari perusahaan perkebunan tembakau Deli Maatschappij. Fasilitas
tersebut terdiri dari beberapa bangunan kantor Administratur, bangunan untuk
fasilitas kesehatan (rumahsakit dengan seorang dokter bangsa Belanda), bangunan
untuk fasilitas pendidikan bagi anak-anak para kuli (sekolah dengan guru-guru
yang didatangkan dari Mandheling en Ankola), bangunan untuk berbagai outlet
kebutuhan sehari-hari, bangunan gudang dan bangunan pengolahan tembakau,
bangunan mes untuk tamu dan bedeng-bedeng yang diperuntukkan untuk para kuli
(dan keluarganya).
Ketika Medan, sebuah kampung; Padang Sidempuan, sebuah kota |
Jalan setapak
yang menghubungkan kota Laboehan Deli dengan kampung Medan Poetri lambat laun
semakin diperlebar sehubungan dengan semakin tingginya intensitas pemanfaatan
jalan darat untuk menggantikan jalan sungai yang tidak praktis lagi. Jalan ini
semakin ramai, dan kota Medan ‘ala’ Deli Mij ini juga dijadikan para planter
lain (tetangga Deli Mij) sebagai tempat persinggahan (beristirahat atau bermalam)
dari dan ke area kebun masing-masing. ‘Kota’ Deli Mij ini menjadi sangat
penting ketika terjadi pemberontakan kuli di perkebunan Soengai Pertjoet (empat
jam perjalanan dari kota Medan yang mana pos militer yang awalnya berada di kota
Laboehan Deli dipindahkan ke kota Medan agar lebih dekat dengan TKP. ‘Kota’
Medan lalu menjadi satu-satunya wilayah paling aman di Deli, lebih-lebih satu
detasemen militer yang didatangkan untuk mengatasi pemberontakan tidak kembali
tetapi justru menetap dan awal dibangunnya garnisun militer di Medan. Lalu
kemudian menyusul ditempatkannya seorang controleur (sipil) di kota Medan
(1875). Tidak lama kemudian, setelah adanya pemerintahan sipil di kota Medan (yakni
setingkat controleur) segera pula menyusul dibangun kantor pos dan Hotel Deli
di Laboehan Deli membangun hotel (cabang) di kota Medan. Sejak itu, kota Medan
tumbuh kembang bagaikan deret ukur. Pertumbuhan kota menjadi lebih masif,
karena kampung-kampung (komunitas) Tionghoa di sepanjang jalan poros antarakota
Laboehan Deli dan kota Medan melakukan migrasi
(urbanisasi) ke kota Medan yang disusul kemudian urbanisasi orang-orang Melayu,
Batak dan Atjeh yang sudah lama ada di kota Laboehan Deli dan orang-orang Batak
yang dari dataran tinggi (pedalaman). Itu semua terjadi begitu cepat. Dan
percepatan itu semakin kencang dengan pindahnya ibukota Asisten Residen Deli
dari kota Laboehan Deli ke kota Medan (1879) dan Deli Mij mandapat konsesi
untuk membangun dan mengoperasikan kereta api di Medan dan sekitarnya (1881).
Pada tahun 1880 titik nol kota Medan ditetapkan dengan membangunan
esplanade (aloon-aloon kota) yang dimasa kini disebut Lapangan Merdeka. Dari
pusat kota ini (esplanade) lanskap kota mulai diatur sedemikian rupa kota Medan
(ala Deli Mij) menjadi Kota Medan (planologi ala pemerintah kolonial). Ketika
ibukota Residentie Sumatra’s Oostkust pindah dari Tebing Tinggi di Bengkalis ke
Medan di Deli tahun 1887, kebutuhan aparatur pemerintah menjadi membengkak.
Untungnya, Kota Medan secara fisik sudah sangat siap. Berbagai fasilitas
pemerintah diperbanyak, jalan dan jembatan semakin ditingkatkan kualitasnya.
Aparatur pemerintah juga seakan ‘bedol desa’ dari Tebing Tinggi, Bengkalis ke
Medan, Deli. Para pegawai pemerintah yang ada di Bengkalis yang selama ini
banyak didatangkan dari Sumatra’s Westkust (Padangsche dan Tapanoeli) juga
turut migrasi ke Medan. Jumlah para pegawai Residen ini semakin banyak, meski
tidak semua pegawai di Bengkalis ikut pindah tetapi sejumlah pegawai berpengalaman
(pejabat) didatangkan langsung dari Sumatra’s Westkust khususnya dari
Residentie Tapanoeli.
Salah satu pejabat dari Tapanoeli yang terdeteksi adalah seorang djaksa
senior yang bernama Soetan Goenoeng Toea (kakek dari Amir Sjarifoedin--mantan Perdana Menteri). Djaksa ini dipindahkan dari onderafdeeling
Sipirok, Residentie Tapanoeli tahun 1893. Kebutuhan aparatur peradilan ini
sebagai prioritas sangat masuk akal, karena tingkat kriminal (yang juga disertai
tingkat prostitusi dan tingkat ‘narkoba’) sudah sangat membahayakan. Aparatur
djaksa dan mantri polisi kala itu masih kerap ganti posisi (mungkin karena
sifat pekerjaannya mirip dan bersifat komplemen). Djaksa-djaksa setelah Soetan
Goenoeng Toea dan mantri polisi banyak yang berasal dari Mandheling en Ankola.
Selain itu, Mandheling en Ankola yang sudah sejak lama surplus tenaga
pendidikan (guru) dan tenaga kesehatan (dokter) semakin melihat Kota Medan dan
Afdeeling Deli sebagai wilayah kerja tujuan yang baru. Para pemuda yang ‘terpelajar’
dari Mandheling en Ankola lulusan sekolah negeri semakin banyak yang merantau
ke Deli untuk mengadu peruntungan apakah sebagai pegawai pemerintah atau
pegawai perkebunan (krani).
Dalam perkembagan selanjutnya, sejak 1900, yang sejak terkesan ada secara
ekonomi ‘degradasi’ di Padang (Sumatra’s Westkust) relatif terhadap adanya ‘promosi’
di Medan (Sumatra’s Oostkust), para pebisnis Mandheling en Ankola yang selama
ini berbasis di Padang dan Sibolga mulai melirik dan mengalihkan sebagian atau
seluruh investasinya ke Medan dan Deli. Pebisnis-pebisnis yang awalnya terbatas
pada bidang perdagangan komoditi dan barang, kemudian menyusul bisnis
percetakan dan bisnis pers. Para pebisnis ini umumnya membawa anak buah
masing-masing yang mengakibatkan semakin ramainya orang-orang Mandheling en
Ankola yang merantau ke Deli.
***
Gelombang kedua anak-anak
Mandheling en Ankola ‘merantau’ ke Medan dan Deli dimotori oleh golongan berpendidikan
yang dalam hal ini sudah mulai disebut anak-anak Padang Sidempuan. Mereka itu
adalah para alumni Kweekschool plus siswa-siswa ELS dan HIS di Padang Sidempuan
yang menempuh pendidikan yang lebih tinggi di Batavia, Buitenzorg, dan Belanda
baru kemudian menuju (migrasi) ke Medan dan Deli. Gelombang kedua ini sudah
menggunakan jalur baru: Batavia-Medan. Mereka ini kelak yang akan banyak tampil
(sebagai pemimpin) di berbagai bidang keahlian di Medan khususnya dan Deli
umumnya.
Pada tahun 1901 dua anak Padang Sidempuan lulus di Docter Djawa
School: Haroen al Radjid Nasoetion ditempatkan di Padang lalu dipindahkan ke
Sibolga dan Mohamad Hamzah Harahap ditempatkan di Telok Betong lalu dipidahkan
ke Pematang Siantar tahun 1905. Kemudian tahun 1905 dua anak Padang Sidempuan lulus
di Docter Djawa School: Abdul Karim Harahap ditempatkan di Sawahlunto lalu
dipindahkan ke Goenoeng Sitoli dan Abdul Hakim Harahap ditempatkan di Padang
Sidempuan lalu dipindahkan tahun 1910 ke Bindjei (Sumatra’s Oostkust). Di Medan
sendiri kala itu, dokter yang ada adalah dokter-dokter berbangsa Belanda
(dokter pribumi selalu ditempatkan di pelosok). Pada tahun 1907 satu lagi anak
Padang Sidempuan, Mohamad Daoelaj lulus di Docter Djawa School dan ditempatkan
di Semarang lalu dipindahkan ke Laboehan Deli 1911. Pada tahun 1916, setelah
pensiun menjadi dokter memberantas kusta di Deli, Dr. Mohamad Daoelaj
mendirikan rumahsakit swasta khusus kusta di Poelo Sitjanang (Bataviaasch
nieuwsblad, 22-04-1916). Besar kemungkinan Dr. Mohamad Hamzah Harahap, Dr. Abdoel
Hakim Harahap dan Dr. Mohamad Daoelaj adalah tiga dokter pribumi terawal yang
ditugaskan di wilayah kerja Deli. [Pada tahun 1902 Docter Djawa School berubah
nama menjadi STOVIA dengan kurukulum pendidikan yang lebih lama]. Angkatan awal
STOVIA awal yang berasal dari Padang Sidempuan (Radjamimn, Soeib Prahoeman,
Abdul Rasjid, R. Djoengdjoengan dan lainnya) hanya Radjamin Nosoetion yang
dipindahkan ke Medan Deli di Perbaungan tetapi tidak sebagai dokter tetapi
petugas bea dan cukai (1914). Radjamin Nasoetion yang lulus STOVIA tahun 1912,
dan pernah berkunjung ke Medan sebagai pemain Docter Djawa Voetbal Club tahun
1907 melawan Tapanoeli Voetbal Club baru
tahun 1923 menjadi pejabat di Kota Medan (sebagai kepala bea dan cukai di
pabean Belawan).
Nama-nama yang disebut di atas
hanya beberapa dari banyak nama asal Padang Sidempuan yang datang ke Medan dan
Deli (sebelum tahun 1920). Mereka itu tidak hanya alumni Docter Djawa School
atau STOVIA tetapi juga alumni sekolah hukum di Batavia, sekolah kedokteran
hewan dan sekolah pertanian di Buitenzorg dan yang studi di Belanda. Mereka
inilah anak-anak asal Padang Sidempuan bersama para guru asal Padang Sidempuan (alumni
Kweekschool Padang Sidempuan yang kemudian diikuti alumni Kwekschool Fort de
Kock) yang sudah terlebih dahulu berkiprah dan masih terus berdatangan ke Medan
dan Deli.
Singkat cerita: antara tahun
1920-1940 tokoh-tokoh asal Padang Sidempuan yang cukup berpengaruh di Medan,
sebagian sudah meninggal dan sebagian pindah ke tempat lain. Yang sudah
meninggal migran terawal seperti seperti djaksa Soetan Goenoeng Toea (kakek
Amir Sjarifoedin), editor Mangaradja Salamboewe (anak Dr. Asta, siswa pertama
yang diterima di Docter Djawa School yang berasal dari luar Djawa, 1854), Radja
persuratkabaran Sumatra, Dja Endar Moeda, Oloan Soripada pejabat di kantor
Residen di Medan (mantan Demang di Sibolga). Yang pindah tempat seperti Dr.
Radjamin Nasoetion, pejabat bea dan cukai Medan yang berkiprah di Surabaja,
Djamin Soripada (ayah Amir Sjarifoedin) yang berkiprah di Sibolga, Radja
Pandapoetan (ayah Mochtar Lubis) yang berkiprah di Kerintji, Djambi, Abdul
Hakim Harahap, kelahiran Saronlangoen mantan anggota dewan kota Medan selama
tujuh tahun berkiprah di Batavia, Parada Harahap dan lainnya yang tidak disebut
satu per satu.
Sementara yang tetap berkiprah di
Medan, antara lain: guru Radja Goenoeng (mantan anggota dewan kota), guru GB
Josua pendiri dan direktur Josua Institite, Dr. Gindo Siregar, Mr. Loeat
Siregar, Abdullah Loebis (direktur koran Pewarta Deli), Abdul Azis (direktur koran
Sinar Deli), guru Madong Loebis, Dr, Alimoedin Pohan, Dr. Suleiman Hasiboean,
notaris Soetan Pane Paroehoem (mantan anggota dewan), dan sebagainya. Satu lagi
yang memiliki pengaruh kuat di Medan adalah Dr. Djabangoen Harahap yang telah
berhasil mengatasi wabah TBC di Medan dan Sumatra’s Oostkust.
Mereka yang berada di Medan ini
dapat diperluas di sekitar Medan,
seperti Dr. Mohamad Hamzah, guru Soetan Martoewa Radja, Dr. Alimoesa Harahap, Dr.
Diapari Siregar dan lainnya di Pematang Siantar; Mangaradja Soeangkoepon di
Tandjoengbalai, Soetan Batang Taris anggota dewan pribumi pertama di Tebing
Tinggi, Djohan Nasoetion ahli pertanian, Dr. Pangariboean Siregar gelar Soetan Namora di Perbaungan, Dr. Koempoelan Pane di Loeboek Pakam dan sebagainya yang tidak bisa disebut satu
per satu.
Sedangkan anak-anak asal Padang
Sidempuan yang tidak pernah berkiprah di Medan tapi memiliki koneksi kuat
dengan di Medan antara lain di Batavia: Mr. Amir Sjarifoedin, guru Panangian
Harahap, wartawan Adam Malik, Dr. Sorip Tagor, Prof. Mr. Soetan Goenoeng
Moelia, PhD, Sanusi Pane, Armijn Pane dan sebagainya yang tidak bisa disebut
satu per satu; di Padang: Mr. Egon Hakim (pengacara), Soetan Kenaikan (guru,
pendiri sekolah pertanian dan anggota dewan Minangkabau) dan sebagainya; di
Lampoeng: Gele Haroen; di Jawa Timur: Soeib Prahoeman, Dr. Irsan Nasoetion,
apoteker Ismail Harahap; di Bogor: Dr. Aboebakar Siregar, Dr. Anwar Nasoetion. Juga
dalam daftar tokoh ini dapat dimasukkan mereka yang tengah bermukim di luar
negeri, tahanan politik di Digul dan anak-anak Padang Sidempuan dan anak-anak
para tokoh yang disebut di atas yang tengah studi di perguruan tinggi di
Batavia, Buitenzorg dan Eropa. Tentu saja banyak yang berkiprah di Residentie
Tapanoeli khususnya di Sibolga dan Padang Sidempuan.
***
Praktis saat berakhirnya kolonial
Belanda di Indonesia, orang-orang Padang Sidempuan sudah sangat menyebar di
Indonesia dan tokoh-tokohnya muncul dimana-mana di berbagai bidang. Pada masa
pendudukan Jepang diantara mereka dengan keahlianya direkrut militer Jepang
untuk dikaryakan. Sejumlah pemuda baik di kampung halaman maupun di rantau, karena
sistem pendidikan tinggi tidak jelas, banyak diantaranya yang masuk militer
untuk sekedar mempertahankan kehidupan di rantau (misalnya Zulkifli Loebis,
Abdoel Haris Nasoetion). Oleh karena lambat laut kehidupan semakin sulit, para
mahasiswa banyak yang harus pulang kampung demikian juga secara pelan-pelan
untuk menyiasati hidup yang semakin sulit dan tidak menentu, para perantau banyak
yang terpaksa pulang kampung (termasuk tokoh), karena di kampung masih cukup tersedia
lahan pertanian yang subur yang dapat diusahakan untuk menyambung kehidupan. Sebagian
tokoh yang pulang kampung, diminta militer Jepang untuk berpartisipasi
menjalankan pemerintahan. Diantara para tokoh ini termasuk Abdul Hakim Harahap,
Kalisati Siregar, Hasan Basjaroedin Nasoetion dan sebagainya.
***
Kehadiran Jepang ini untuk
menggantikan Belanda dipandang dengan sikap beragam: ada yang apatis, ada yang
terpaksa ikut bergabung dan tentu saja ada yang berpandangan ekstrim dengan
menunjukkan sikap perlawanan terhadap Jepang. Salah satu dari mereka yang
menunjukkan sikap tegas adalah Mr. Amir Sjarifoedin. Ahli hukum yang satu ini
sejak awal tidak suka degan fasis (sejak mahasiswa). Untuk menjalankan
sikapnya, Amir Sjarifoedin terpaksa melakukan perlawanan bawah tanah. Ketika
Amir Sjarifoedin tertangkap dan dipenjara, sikapnya tetap tidak berubah dan hanya
dua pilihan: merdeka atau mati. Ini yang membedakan dengan ketokohan Soekarno
dan Hatta yang masih mau berkolaborasi. Mentor Soekarno dan Hatta yakni Parada
Harahap, mati langkah. Parada Harahap di satu sisi anti Belanda dan pro Jepang.
Namun kapabilitas Parada Harahap di bidang bisnis pers tidak dibutuhkan oleh
militer Jepang. Parada Harahap mati langkah, akibatnya bisnis pers Parada
Harahap berantakan. Situasi ini tidak diinginkan oleh Parada Harahap sebagai satu-satunya
tokoh pers yang kritis di jamannya (era Belanda). Parada Harahap tidak bisa menyuarakan
sikap seperti Amir Sjarifoedin. Sikap politik Parada Harahap menjadi tergadai,
karena Parada Harahap adalah sebelumnya adalah ‘penyambung suara’ Jepang di era
kolonial Belanda. Parada Harahap adalah pemimpin rombongan orang Indonesia
pertama ke Jepang (termasuk di dalamnya M. Hatta, mahasiswa baru lulus sarjana di
Belanda dan Abdullah Loebis pemimpin Pewarta Deli di Medan).
***
Namun tidak terduga, masa hidup Jepang
di Indonesia ternyata tidak lama. Jepang telah menyerah kalah kepada sekutu, akibatnya
konfigurasi keamanan dan politik di Indonesia mengalami setengah chaos.
Kesempatan inilah yang diambil oleh sejumlah tokoh di Jakarta untuk mengambil
alih kekuasaan yang vakum dengan cara memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.
Untuk itu, Jepang memfasilitasi untuk kemerdekaan Indonesia dengan dibentuknya
BUPKI (Badan Penyelidikan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Ke dalam tim
ini, Parada Harahap termasuk yang direkomendasikan Jepang (satu-satunya orang
Batak anggota BPUPKI). Dal tim ini tidak terdapat nama Amir Sjarifoedin, karena
Amir masih berada di dalam bui Jepang (satu-satunya tokoh penting Indonesia
yang kebebasan politiknya di masa vakum yang masih terbelenggu di dalam
penjara).
***
Semua persiapan kemerdekaan pada
dasarnya sudah beres. Namun kemerdekaan tidak kunjung datang. Jepang tampaknya tetap
mengulur-ulur waktu yang diajukan BPUPKI. Para pemuda militan, seperti Adam
Malik (anak Pematang Siantar asal Padang Sidempuan) menganggap waktu sudah
masuk injury time. Soekarno, Hatta dan Parada Harahap yang menjadi anggota
BPUPKI seakan mati langkah: satu kaki sudah ditarik rakyat Indonesia untuk
merdeka, tetapi satu kaki lagi masih tertahan oleh tangan-tangan Jepang
(sebagai kolaborator). Tinggal satu pilihan bagi pemuda militan, yakni: Amir
Sjarifoedin. Namun untuk membawa Amir tidak mudah, karena Jepang sangat rahasia
dimana tempat penjara Amir dibelenggu. Sekali lagi, andaikan diketahui,
melepaskannya oleh para pemuda militan tidak mudah, sebab kekuatan militer
Jepang masih kuat (cuma tidak bisa bergerak, karena patuh terhadap perjanjian
Jepang-Sekutu).
Dalam masa vakum ini, orang Indonesia
satu-satunya yang memiliki portofolio paling tinggi untuk membacakan teks
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia hanya Amir Sjarifoedin. Sebab Amirlah
yang paling layak untuk membacakan teks proklamasi yang sudah dipersiapkan itu.
Inilah buah dari sikap tegas Amir yang anti fasis dan tentu saja anti Jepang
serta tidak sedikitpun ada keinginan untuk berkolaborasi dengan Jepang. Di
pikiran Amir, dalam berjuang hanya ada satu kata: republik Indonesia yang merdeka.
Inilah untuk kali kedua anak-anak Padang Sidempuan kehilangan
haknya untuk menjadi yang pertama. Amir Sjarifoedin kehilangan hak untuk membacakan
teks Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, karena kaki dan tangannya masih
terbelenggu di penjara rahasia militer Jepang yang terkenal ketat sistem
pengamanannya. Kesempatan pertama adalah soal siapa yang menjadi pemenang lagu
kebangsaan Indonesia Raya. Ternyata pemenangnya adalah gubahan WR Supratman,
bukan gubahan Nahoem Sitoemorang. Padahal ketua panitia lomba adalah Parada Harahap,
anak Padang Sidempuan kelahiran Pargaroetan (yang saat itu Parada adalah sekretaris
PPPKI, yang mana ketuanya M. Hoesni Thamrin).
Nahoem Sitoemorang anak Padang Sidempuan kelahiran Sipirok
tentu saja kecewa (lalu menulis dan menggubah lagu Batak yang sangat harmoni..cek
sendiri judul lagunya). Mungkin dialog kedua pemuda yang kampungnya bertetangga
ini di afdeeling Padang Sidempuan kira-kira begini: Nahum: ‘Bang, kenapa lagu
saya tidak jadi pemenang, cam mana ini ?’. Parada: ‘Ah, aku kan sendiri, tidak
bisa menentukan sendiri. Tapi, kau malah lebih bebas menciptakan jumlah lagu
sebanyak yang kau suka!’. Nahum: ‘Jadima, Bang. Horas be!’. Tentu saja Parada
Harahap tidak terlalu kecewa dengan terpilihnya pemenang WR Supratman. Sebab,
WR Supratman adalah karibnya Parada Harahap juga. WR Supratman adalah anak buah
Parada Harahap ketika tahun 1925 Parada Harahap mendirikan kantor berita
pribumi pertama (Alpena). WR Supratman diangkat sebagai editor yang juga
merangkap sebagai watawan. Begitu akrabnya, WR Supratman tinggal di rumah
Parada Harahap.
Akhirnya para tokoh pemuda militan,
Adam Malik dkk setengah berhasil meyakinkan Soekarno-Hatta dan sisanya dipenuhi
dengan setengah menculik keduanya untuk dibawa ke Pegangsaan Timur tempat
dimana teks Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dibacakan. Tepat pada
pukul sepuluh pagi, proklamasi dibacakan
oleh Ir. Soekarno disamping Drs. M. Hatta dihadapan para kerumunan patriot
bangsa yang telah hadir di Pegangsaan Timur Jakarta tanggal 17 Agustus tahun
1945.
Adam Malik adalah anak Pematang Siantar asal Padang Sidempuan…pernah
ditangkap dengan dalih politik dan dibui di penjara Padang Sidempuan…hijrah ke
Batavia menjadi wartawan, mendirikan kantor berita Antara (suksesi kantor
berita yang pernah didirikan oleh Parada Harahap, Alpena.
Namun urusan teks proklamasi belum
tuntas, karena yang mengetahui hanya para hadirin yang hadir di lapangan
Pegangsaan Timur. Tidak ada relay di radio, semua koran yang berkolaborasi
dengan Jepang diawasi ketat oleh militer Jepang. Akibatnya, isi proklamasi tidak
diketahui secara luas. Tidak diketahui di dalam negeri dan juga tidak diketahui
di luar negeri. Alat komunikasi cepat hanya telegram, tapi itu juga di bawah
pengawasan militer Jepang. Satu-satunya cara yang efektif untuk menyebarluaskan
isi proklamasi itu hanya melalui radio agar bisa lebih cepat, lebih luas dan
lebih jauh dan dapat ditangkap di luar Indonesia. Lantas radio apa?, dimana?
Dilaporkan bahwa isi proklamasi
tersebut ternyata dapat disiarkan melalui radio. Tidak segera, justru baru
malam hari. Radio yang menyiarkan rekaman isi Proklamasi Kemerdekaan yang
dibacakan Soekarno itu adalah Radio Malabar di Bandung, radio yang juga
dikooptasi oleh militer Jepang dan juga mendapat pengawasan yang merupakan
satu-satunya corong propaganda Jepang di daerah Priangan. Siaran kata pengantar
dan rekaman isi proklamasi yang dibacakan Soekarno itu cukup jelas diterima
radio penduduk pedesaan dan warga Kota Bandung dan mengenal baik siapa nama
penyiarnya itu. Penyiar ini dalam mengantarkan rekaman proklamasi tersebut
menyebut: ‘Di sini Radio Republik Indonesia….’ (padahl RRI sendiri belum ada,
sangat futuristik). Di Jawa Barat lalu menjadi heboh, lalu Indonesia menjadi
heboh dan diluar negeri juga menjadi heboh karena siaran radio Bandung itu
telah ditangkap radio lain di berbagai tempat dengan menggunakan frekuensi
gelombang pendek (SW). Inilah kontribusi Radio Bandung yang berada di Gunung
Malabar (dekat Bandung).
Siapa yang melakukan tindakan patriot itu semua. Ternyata
tiga orang itu adalah anak asal Padang Sidempuan. Siapa mereka? Mereka adalah
tiga pemuda yang profesinya wartawan dan pernah sama-sama bekerja di radio
militer di awal pendudukan Jepang di Batavia, yakni: Adam Malik, Mochtar Lubis
dan Sakti Alamsjah. Hanya Sakti Alamsjah Siregar yang terus bertahan di radio
hingga rekaman isi proklamasi itu disiarkan melalui radio. Sakti Alamsjah adalah
orang yang menyiarkan isi rekaman itu dengan memulai kalimat ‘Di sini Radio
Republik Indonesia’ (sekali lagi, padahal RRI belum ada). Bagaimana rekaman ini
diperoleh itu adalah peran Adam Malik yang turut ‘meminta’ dan ‘menculik’
Soekarno dan Hatta untuk membacakan isi proklamasi di Pegangsaan Timur. Mochtar
Lubis menjadi penghubung antara Jakarta-Bandung dimana Mochtar Lubis berangkat
ke Bandung dengan kereta api untuk berdiskusi dengan Sakti Alamsjah bagaimana isi
proklamasi tersebut dapat disiarkan. Dari banyak radio militer Jepang, Radio
Malabar adalah radio paling mudah disusupi karena letaknya di gunung,
terpencil, jadi kurang pengawasan. Antara Jakarta dan Bandung bagaikan gayung
bersambut, antara Adam Malik, Mochtar Lubis dan Sakti Alamsjah. Mereka bertiga
tampaknya mengambil risiko itu. Sakti Alamsjah adalah penyiar pavorit kala itu
di udara kota Bandung, selain suaranya yang berat, juga Sakti Alamsjah penulis
lirik lagu-lagu dari musisi yang manggung di Radio Bandung (waktu itu musik
dilakukan dengan siaran langsung alias live).
Meski ketiga orang ini lahir di tempat yang berbeda tetapi
mudah akrab dan kebetulan memiliki jiwa pers yang sama. Adam Malik Batubara
kelahiran Pematang Siantar, Simaloengoen asal Huta Tanobato, Mandailing adalah
mentor bagi Mochtar Lubis di dunia pers (di Kantor Berita Antara). Mochtar
Lubis kelahiran Soengai Penuh, Kerinci, Jambi asal Huta Pakantan, Mandailing ini
seumur dengan Sakti Alamsjah kelahiran Sungai Karang, Deli Serdang asal Huta
Parau Sorat, Sipirok. Kedekatan Mochtar Lubis dan Sakti Alamsjah karena tugas
mereka sebagai wartawan cetak sering melaksanakan tugas ke tempat yang sama.
Dalam perkembangan selanjutnya, Mochtar Lubis mendirikan koran Indonesia Raya
terbit di Jakarta dan Sakti Alamsjah menirikan koran Pikiran Rakyah terbit di
Bandung. Motto kedua koran ini sama: ‘Dari Rakyat, Oleh Rakyat dan Untuk Rakyat’.
Hal serupa ini pernah terjadi antara koran Pertja Barat di Padang dan koran
Pewarta Deli di Medan dengan motto yang sama: ‘Organ Oentoek Segala Bangsa’.
***
Di Medan, rupanya siaran radio
Bandung ini tidak dapat ditangkap. Oleh karenanya, bahwa Indonesia telah
merdeka sebagaimana telah diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta pada tanggal 17
Agustus 1945 tidak segera diketahui. Karena itu, wakil dari Medan yang
menghadiri proklamasi tersebut harus membawa langsung salinan isi Proklamasi
Kemerdekaan itu ke Medan. Meski, para pembawa kabar proklamasi itu (Mr. T.
Hasan dan Dr. Amir) sudah berada di Medan, tetapi tetap tidak kunjung
disebarluaskan. Padahal keduanya sudah diangkat di Jakarta sebagai perwakilan
pusat pasca proklamasi sebagai Gubernur Sumatra dan Wakil Gubernur Sumatra. Di
Medan para pihak tidak mau mengambil risiko, karena memang militer Jepang
secara defacto masih berkuasa. Ini berbeda dengan Sakti Alamsjah Siregar dan
kawan-kawan di Bandung yang berani mengambil risiko.
Apa yang sesungguhnya terjadi di
Medan? Sulit dipahami. Langkah-langkah yang dilakukan di Medan adalah baru tanggal
3 September 1945 dibentuk Komite Nasional Indonesia (KNI). Setelah itu, isi
proklamasi kemerdekaan Indonesia, baru sebulan
kemudian tepatnya tanggal 17 September 1945 diproklamirkan kembali di Medan
yang dilakukan sebuah panitia. Bagaimana bisa menyusun langkah-langkah yang
akan dilakukan dan upaya mengambil alih kekuasaan dapat dilaksanakan
sesingkat-singkatnya, jika isi proklamasi sendiri tidak segera disebarluaskan
kepada masyarakat luas.
Setali tiga uang, kabar bahwa
Indonesia telah merdeka juga tidak diketahui di Tapanoeli, karena tidak ada
perwakilan yang datang. Padahal jarak dari Medan ke Sibolga dan Padang Sidempuan
dapat ditempuh dalam dua atu tiga hari jika harus terpaksa dilakukan dengan jalan
kaki bagi kurir yang akan mengabarkan berita kemerdekaan itu. Dengan demikian,
kemerdekaan Indonesia di Medan sudah sempat ‘masuk angin’ duluan. Padahal, Amir
Sjarifoedin, anak Medan mati-matian sudah berjuang habis-habisan demi
kemerdekaan republik Indonesia. Bahkan Amir masih berada dibelenggu didalam bui
saat mana proklamasi itu berlangsung. Padahal pemuda militan, Adam Malik dkk
sudah mengambil risiko dengan ‘memaksa’ Soekarno dan Hatta untuk menggantikan
posisi Amir Sjarifoedin untuk membacakan isi proklmasi. Padahal MochtarLubis
dan Skati Alamsjah sudah mengambil risiko untuk menyiarkan isi rekaman
proklamasi itu di Radio Bandung.
(tunggu deskripsi lengkapnya)
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber tempo
doeloe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar